Menggaet Konsumen dengan Kontes di Dunia Maya

Marketing.co.id – Derasnya arus teknologi mau tidak mau memaksa Wondershoe untuk mengoptimalisasi jalur online dalam memasarkan produk. Seperti apa strateginya?

Bicara soal online shopping mungkin sudah bukan hal yang aneh belakangan ini. Maraknya toko online dari berbagai bidang industri yang memilih jalur digital menjadikan aktivitas yang dulu dianggap jalur alternatif ini menjadi channel utama.

Pendiri Mind Talk, sebuah situs jejaring sosial, Danny Oei Wirianto mengatakan bahwa potensi pemasaran melalui jalur online di Indonesia saat ini masih sangat besar. Sampai Februari 2012 lalu, menurutnya, baru ada 40 juta orang yang terlibat. Sedangkan yang betul-betul melakukan jual-beli online baru sekitar 4 juta orang. Padahal jumlah total penduduk Indonesia lebih dari 240 juta jiwa.

Tidak heran, banyak produsen yang kepincut untuk menyuarakan merek mereka melalui media online. Termasuk di antaranya adalah Wondershoe (www.wondershoe.com). Brand sepatu flat (tanpa hak) buatan-tangan asli dari Indonesia ini sudah lima tahun berdiri dan sebagian besar strategi marketing yang dilakukannya adalah melalui channel digital.

Langkah awal Wondershoe di ranah digital diawali dengan sebuah website di tahun 2008. Natalia Krisnan Arini, Owner Wondershoe, berkisah website brand sepatunya dibuat secara tidak sengaja.

Semula ia enggan memilih jalur online shopping karena konsekuensi yang harus ditempuhnya, yakni menyiapkan stok sepatu bagi konsumen. Sementara pembuatan sepatu tetap memerlukan cost terlebih dahulu.

Belum lagi risiko sepatu yang tidak pas ukurannya maupun tidak sesuai selera konsumen. Namun, seorang kawannya berhasil menawarkan untuk memasarkan produk Wondershoe dengan website yang dibuat secara gratis.

“Awalnya saya memasarkan Wondershoe dengan cara menitip jual di beberapa distro di kota-kota besar di Indonesia. Jika saya membuat website, maka saya harus membuat stok sepatu untuk website saya. Namun, karena teman saya antusias sekali, saya pikir tidak ada salahnya membuat website,” kisah perempuan yang karib disapa Arini ini.

Untuk mengatasi kendala ini, ia membuat sistem pre order (PO) bagi para konsumennya dengan jangka waktu 14 hari untuk pembuatan sepatu sesuai pesanan yang diinginkan. Hal ini dilakukan untuk menghindari stok sepatu yang menumpuk.

“Saat itu saya menentang salah satu prinsip dasar dagang ‘ada uang ada barang’. Tetapi, ternyata sambutan masyarakat sangat baik,” kata Arini.

Ketika ditanya mengenai keuntungan memasarkan produk melalui dunia online, dengan gamblang ia memaparkan kelebihannya adalah tidak harus menyediakan stok barang sehingga mengurangi risiko barang mati.

Selain itu, beban ongkos menurun karena modal yang dikeluarkan cenderung lebih sedikit dibanding membuat sebuah toko fisik—yang membutuhkan cost besar tidak hanya saat start up, tetapi juga saat running, seperti biaya sewa space, gaji pegawai, listrik, pajak reklame, dan lain-lain.

“Saya juga dengan sangat mudah dapat memasarkan sepatu saya ke daerah-daerah yang belum terjangkau toko fisik. Oleh sebab itu, saya gencar memasarkan Wondershoe secara online,” imbuhnya.

Kembali kepada website, Arini menyebut website Wondershoe saat itu (2008) adalah generasi pertama karena wujudnya masih sederhana dan pengelolaannya pun masih ditangani oleh dirinya sendiri.

Sadar akan besarnya potensi penjualan dari website, lulusan Ilmu Pendidikan Jurusan Bahasa Inggris Universitas Atmajaya ini mulai melakukan pembenahan di sana-sini. Sementara untuk website generasi kedua (tahun 2010), ia merogoh kocek sebesar Rp 5 juta untuk penyempurnaan.

Di tahun 2011 ia melakukan facelift untuk website dengan biaya sebesar Rp 10 juta. Pembenahan tersebut meliputi pemilihan warna serta desain yang menarik sesuai dengan target market Wondershoe, yaitu perempuan usia 15–30 tahun dari kalangan menengah ke atas yang memiliki aktivitas tinggi dan membutuhkan kenyamanan alas kaki. Selain itu, website ini juga dilengkapi dengan menu-menu yang user friendly.

Channel digital lain yang dioptimalkan oleh Wondershoe adalah jejaring sosial Twitter. Dengan akun @wondershoe yang memiliki 7.800 follower, Arini semakin memperluas awareness masyarakat akan brand sekaligus produk-produk di Wondershoe. Salah satu strategi uniknya adalah kontes dan promo.

“Saya memanfaatkan Twitter dan website untuk melakukan promo, kuis, dan memperkenalkan koleksi baru untuk follower Wondershoe. Misal, bagi konsumen yang memesan sepatu pada bulan Maret, nomor invoice mereka akan diundi dan pemenangnya akan mendapatkan hadiah iPod. Atau, saya juga pernah mengadakan kontes berfoto bersama Wondershoe yang pemenangnya akan mendapatkan sepatu Wondershoe secara gratis,” kilasnya.

Soal omzet tidak perlu diragukan lagi. Perempuan yang sebelumnya pernah bekerja sebagai subtitle editor ini mampu mengantongi nominal Rp 60 juta per bulan.

Adapun untuk wujud fisik, Wondershoe juga memiliki outlet, yaitu “Wondershoe and Robinet Store” di bilangan Kemanggisan, Jakarta Barat, serta premium store yang bernama “Foot Republic” di Level One Grand Indonesia. Sejauh ini, Arini mengaku, perbandingan penjualan masih berimbang antara toko offline dan online.

Selepas memetik keberhasilan dari channel online shopping, Wondershoe pun menargetkan optimalisasi dunia digital yang lebih luas lagi, yakni jejaring sosial media lain seperti Facebook, Pinterest, dan sebagainya.

Di sisi lain, kerja sama antara satu brand fashion dengan brand bidang lainnya akan menjadi inovasi Wondershoe ke depan. Semua hal tersebut agar brand Wondershoe mampu menjadi top of mind di masyarakat untuk kategori sepatu flat.

“Target saya menjadikan brand Wondershoe seperti Aqua, dimana masyarakat akan menyebutkan nama ‘Wondershoe’ saat hendak menyebut flat shoes,” pungkas Arini optimistis. (Angelina Merlyana Ladjar)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.