Sunday, October 5, 2025
Home Blog Page 2207

Uang Receh

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Kehadiran uang logam di tengah-tengah masyarakat memang seperti anak tiri. Sebagian besar masyarakat kita tidak suka menyimpan uang logam. Selain nilainya kecil, menyimpan uang logam memang merepotkan!

Lucunya, banyak konsumen kita menggerutu jika diberi permen sebagai pengganti kembalian uang receh. Orang Indonesia banyak yang tidak suka mendapat uang kembalian belanja dalam bentuk permen. Konsumen mencurigai bahwa toko tersebut mengambil keuntungan tambahan saat mengganti receh dengan permen. Selain itu, konsumen juga merasa dipaksa untuk membeli permen, yang belum tentu mereka suka.

Padahal ketika mendapatkan uang koin kembalian, sebagian dari kita merasa tidak berguna menyimpan uang logam dalam waktu yang lama. Bahkan, pengemis dan tukang ngamen pun merasa terhina jika diberi uang Rp 50 atau Rp 100. Akibatnya, uang receh tersebut tercecer tanpa tujuan yang jelas.

Di dunia marketing, uang receh punya peran dalam pembentukan odd price. Orang Marketing senang menggunakan odd price, yakni harga psikologis untuk membuat konsumen merasa bahwa produk yang dibeli tidak mahal. Kita bisa melihat odd price ini di ritel seperti 9.999 atau 5.555. Selain membuat produk terkesan tidak mahal, odd price diperlukan untuk menjaga harga agar tetap kompetitif dibandingkan kompetitor. Survei di AS menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen harga di ritel ternyata mempergunakan odd price.

Dari mana asal odd price? Cerita menarik soal ini saya temukan di internet, sekalipun saya tidak tahu benar-tidaknya cerita ini.

Ada seorang pemilik koran di Chicago bernama Melville Stone. Ketika dia mulai menjual koran tersebut pada tahun 1875, harganya cukup murah dan bisa dibayar dengan uang receh logam. Selama bertahun-tahun dia menjual koran, sirkulasinya terus meningkat. Namun pada satu titik, secara perlahan oplah korannya terus mengalami penurunan.

Stone pun mencoba melakukan riset kepada konsumen, mengapa mereka tidak lagi membeli korannya. Hasilnya, permasalahan utama ternyata tidak pada kualitas koran, namun ada pada keterbatasan supply uang receh di Chicago. Konsumen kesulitan mendapatkan uang receh untuk membeli korannya.

Apa yang dilakukan Stone? Dia pergi ke Philadelphia dan mentransfer uang receh dalam jumlah besar ke rekeningnya di Chicago. Dengan demikian, Chicago akan mendapatkan supply uang receh yang cukup banyak.

Namun permasalahannya, bagaimana caranya agar uang receh ini bisa terus berputar di masyarakat? Dia kemudian mendorong toko-toko di Chicago untuk menjual barang-barang dengan harga yang aneh, seperti US$ 8,99 ketimbang mempergunakan US$ 9. Dengan demikian, konsumen akan mendapatkan uang kembalian dalam bentuk receh dan uang receh tersebut bisa dipergunakan untuk membeli korannya!

Lalu, apa kaitan antara odd price dengan Bank Indonesia?

Dengan semakin banyaknya odd price di ritel, sebenarnya menciptakan permintaan akan uang receh dalam jumlah besar kepada BI. Peritel akan menukar uang untuk mendapatkan uang receh. Kemudian, uang receh itu diberikan sebagai kembalian kepada konsumen (khususnya mereka yang marah-marah karena uang kembaliannya ditukar permen).

Uang receh tersebut ternyata tidak dipergunakan untuk belanja, karena konsumen malas menyimpan uang logam dalam jumlah banyak. Mereka kembali membayar dengan uang kertas pada saat berbelanja. Di mana uang receh tersebut berada? Konsumen memberikannya sebagai sumbangan atau bahkan hilang karena mereka menyimpannya secara sembarangan. Akibatnya, uang receh mengalami perputaran yang sangat lambat dalam ekonomi.

BI selalu kebingungan. Pada saat BI mengeluarkan uang receh, ternyata uang yang kembali ke BI sangat sedikit. Akibatnya, begitu ada permintaan uang receh, seperti ketika Lebaran, BI kembali harus mencetaknya. Hal ini lama-kelamaan bisa memicu inflasi.

Tak mengherankan, BI senang sekali ketika para relawan galang koin untuk Prita (ingat kasus Prita Mulyasari dan Omni?) berhasil mengumpulkan uang receh senilai Rp 650 juta ke BI. Artinya, ada uang receh di luar yang kembali ke BI, sekalipun kabarnya pegawai BI harus lembur 5 hari untuk menghitung uang receh tersebut!

Inilah barangkali sumbangan odd price dalam inflasi. Mungkin akan lebih berguna jika kembalian receh ditukar permen. Konsumen bisa lebih merasakan manfaatnya dibandingkan membuang-buang uang receh secara tidak produktif. Namun itulah konsumen, mereka memang bukan ekonom dan lebih senang membuang uang receh secara percuma dibandingkan merasa tertipu oleh kasir. (Majalah MARKETING)

Merek Hitam

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Diakui atau tidak, belakangan ini semua indera kita tertuju pada PT Pertamina (Persero). Masyarakat bawah menganggap perusahaan milik pemerintah ini tidak bisa mengurusi penyediaan gas dengan benar, sehingga terjadi ledakan di mana-mana. Hingga kini, hampir 100 kasus tak bisa dihindari dan telah memakan begitu banyak korban.

Sementara, masyarakat kelas menengah atas, yang notabene memiliki mobil, menganggap Pertamina sedang “meneror” mereka dengan mendistribusikan bahan bakar premium tak layak konsumsi. Akibatnya, pompa bahan bakar (fuel pump) ribuan kendaraan, khususnya di Jabodetabek, rusak. Pemilik mobil pribadi mengeluh, pengusaha taksi rugi ratusan juta rupiah.

Dua masalah besar itu tak satu pun beranjak dari Pertamina sampai sekarang. Terhadap kasus pertama, yakni meledaknya gas di berbagai daerah, perusahaan pelat merah ini tidak mau disalahkan dengan alasan tabung yang disuplainya sudah layak edar dan lain sebagainya. Begitu pula dengan kasus kedua, soal buruknya bahan bakar premium, lagi-lagi perusahaan ini tidak mau disudutkan dengan dalih kualitasnya tak seburuk yang dituduhkan.

“Pertamina oh Pertamina…,” tiga kata yang mungkin belum beranjak dari benak masyarakat luas sampai saat ini. Dan kalau melihat kasus ini, kita seolah-olah kembali ke masa ketika merek-merek besar seperti Ajinomoto, Mizone, dan lain sebagainya disibukkan dengan kampanye negatif (black campaign) merek.

Memang kampanye negatif pada dasarnya bisa terjadi akibat dari kelalaian kita sebagai pemasar, bisa pula disebabkan kesengajaan yang diciptakan kompetitor. Maraknya kasus fuel pump sejak dua bulan lalu sempat memunculkan isu bahwa itu diluncurkan oleh kompetitor (kompetitor Pertamina di Indonesia hanya ada dua, Shell dan Petronas) untuk mengalihkan pelanggan dari Pertamina.

Kompetitor tidak menanggapi isu itu sama sekali. Justru Pertamina bereaksi cepat dengan menyatakan pihaknya tidak bersalah karena telah memenuhi standar kualitas bahan bakar. Lantas, Pertamina setengah menuduh stasiun-stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU)-lah yang perlu disorot karena tangki penampungannya kemungkinan kotor, sehingga menimbulkan sumbatan di fuel pump kendaraan.

Himpunan Wiraswasta Minyak dan Gas (Hiswana) sebagai asosiasi pengelola SPBU kontan membantah. Mereka mengatakan selalu melakukan kontrol kualitas selama penerimaan dan pengelolaan. Perang dingin pun berlangsung. Pertamina menyalahkan SPBU, pengelola SPBU tidak mau dipersalahkan dan berujung blunder. Tapi, bayangkan jika Pertamina sejak awal mengatakan, “Baik, kami akan segera melakukan pengujian terhadap bahan bakar kami, sehingga kita semua akan mengetahui bagaimana kualitas bahan bakar yang kami impor dari luar negeri. Kalau memang betul penyebabnya adalah jeleknya kualitas premium, kami siap membatalkan kontrak impor dari luar negeri tersebut.”

Ini persoalan komunikasi. Ingat, seorang pemasar harus paham benar bahwa membangun merek itu bukan sekadar menempeli produk dengan nama sesukanya. Merek itu merupakan kumpulan dari product, price, place, promotion atau yang sering disebut 4P dan atribut-atribut merek lainnya. Oleh karena itu, melahirkan merek hanya membutuhkan waktu satu hari, tapi membangun merek memerlukan perjuangan sepanjang masa. Kesalahan mengomunikasikan merek, termasuk menanggapi komplain pelanggan, tak ubahnya membunuh merek itu sendiri.

Cepat dan Tepat

Menanggapi komplain pelanggan tentu menjadi kewajiban pemilik merek. Karena itu, hampir semua merek sekarang ini dilengkapi dengan layanan pelanggan lengkap dengan call center-nya. Jika tidak, merek itu sama juga mati saat masih menjadi kecambah. Kalau sudah begitu, untuk apa memasarkan merek (produk), toh tak serius menjalaninya.

Pertamina sebaiknya belajar dari sahabatnya, PT Garuda Indonesia, dalam mengatasi krisis merek. Masih ingat kejadian Boeing 737 Garuda Indonesia jurusan Mataram-Yogyakarta-Jakarta yang mendarat darurat di sungai Bengawan Solo pada 16 Januari 2002? Bagi Garuda, itu merupakan masalah besar dan sudah menjadi hal wajar jika para penumpang menyalahkannya. Tapi, ternyata kondisinya berbalik, para penumpang malah bersimpati pada Garuda Indonesia.

Saat itu pesawat sedang dihadang badai dan hal tersebut memaksa pilot melakukan pendaratan darurat. Pilot betul-betul mendapat ujian berat, apalagi mesin dalam keadaan mati. Tapi beruntung, di samping kru, 54 penumpangnya selamat, termasuk lima warga negara asing. Manajemen Garuda Indonesia langsung merespons kejadian itu dengan membuka pusat informasi secara periodik, di samping melakukan evakuasi para penumpang secara cepat. Kepada media, manajemen secara sengaja menceritakan kisah sang pilot dalam mengatasi masalahnya. Alhasil, kecelakaan itu berbuah simpati.

Jadi, strategi komunikasi yang tepat sangat membantu kita dalam mengatasi komplain pelanggan. Jangan segan-segan melibatkan pihak ketiga, baik konsultan, para ahli, regulator, dan lain sebagainya, dalam menjawab berbagai persoalan yang terjadi, karena itu akan sangat membantu. Kuncinya, jangan langsung bilang “tidak” jika Anda tak ingin melihat merek Anda mati suri atau mati selamanya. Berhati-hatilah, kesalahan komunikasi hanya akan mengantarkan merek Anda menjadi hitam dan sulit memutih kembali. (www.marketing.co.id)

Service or Solution?

0
[Reading Time Estimation: 5 minutes]

Customer Service Championship yang diselenggarakan oleh Carre–Center for Customer Satisfaction and Loyalty (CCSL) dan didukung Majalah MARKETING telah selesai dilaksanakan di akhir Agustus 2010 yang lalu. CS Championship ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Pelanggan Nasional yang jatuh pada 4 September. Salah satu rangkaian acara yang digelar adalah presentasi yang dilakukan oleh para customer service manager. Mereka mempresentasikan studi kasus keberhasilan perusahaan mereka dalam menangani persoalan pelayanan yang dihadapi oleh call center atau pelayanan walk-in-center di perusahaan masing-masing.

Sebagai salah satu anggota dewan juri, saya sungguh menikmati acara ini. Banyak manajer yang membawakan presentasi dengan sangat baik. Mereka memiliki kemampuan konsep yang baik dan juga pemahaman terhadap industrinya secara baik. Melihat kualitas presentasi yang mereka sajikan, optimisme saya terhadap kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada para pelanggan Indonesia semakin bertambah besar. Perusahaan-perusahaan Indonesia terbukti memiliki banyak manajer yang berkualitas di bidang ini. Tidak mengherankan pula, beberapa tahun terakhir ini, banyak manajer yang kemudian dikirim ke ajang internasional dalam lomba customer service, ternyata juga mendapatkan penilaian yang baik dari dewan juri di tingkat Asia maupun global.

Walaupun demikian, tentunya ada sisi yang masih perlu diperbaiki. Beberapa persoalan pelayanan di dalam perusahaan hanya dilihat dalam perspektif dan konteks yang agak sempit. Perusahaan melihat bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan adalah dengan cara melihat problem di pelayanan, disesuaikan dengan harapan pelanggan, dan kemudian berupaya untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan pelanggan di kemudian hari. Padahal, sangat mungkin bahwa yang pelanggan butuhkan adalah solusi yang lebih baik. Mereka menginginkan sebuah pelayanan yang lebih inovatif dan menjawab kebutuhan dan keinginan mereka, dan bukan sekadar harapan mereka.

Misalnya saja, dalam pelayanan call center, problem yang sering terjadi adalah rejection atau ignorance call yang tinggi. Artinya, banyak telepon yang tidak mendapatkan pelayanan karena kekurangan jumlah agen atau jumlah telepon masuk yang tinggi pada jam-jam tertentu. Demikian pula dalam pelayanan walk-in-center, problem yang sering dihadapi adalah waiting-time yang semakin lama. Ini terjadi karena jumlah pelanggan yang datang ke galeri pelayanan semakin banyak. Di sisi lain, perusahaan tidak cukup cepat menambah jumlah tempat pelayanan untuk menampung peningkatan jumlah pelanggan.

Dalam perspektif kepuasan pelanggan, sangatlah logis bila kemudian permasalahan ini harus dipecahkan. Yang paling favorit adalah dengan menambahkan jumlah orang. Atau kemudian, mempercepat proses training para front liner agar semakin terampil dalam pelayanan. Dengan cara demikian, perusahaan akan mampu meningkatkan kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan. Tapi, apa jadinya upaya-upaya ini? Grafik kepuasan pelanggan akan terlihat cukup tinggi. Bila para pesaing juga melakukan hal yang sama, maka tingkat kepuasan akan menjadi mirip. Tetapi, problem terbesar adalah tingkat loyalitas yang tidak ikut naik atau bahkan memiliki kecenderungan menurun.

Service vs Solution

Inilah contoh situasi di mana perusahaan terjebak dalam pelayanan yang standar. Mereka terus melakukan evaluasi terhadap pelayanan dan kemudian di match-kan dengan harapan pelanggan. Apalagi dalam soal keramahan. Perusahaan Indonesia sudah sangat baik. Hampir sulit ditemukan bank yang mempunyai pelayanan yang tidak ramah di sini. Itu terjadi karena peningkatan pelayanan dalam hal keramahan memang telah mendapatkan prioritas yang tinggi.

Perbaikan dilakukan hanya dalam perspektif jangka pendek ini. Padahal, sangat mungkin bahwa kebutuhan dan keinginan pelanggan sudah mulai bergeser. Pelanggan membutuhkan suatu kenyamanan baru. Sebuah pelayanan yang selesai di satu tempat dan dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. Mereka ingin sebuah pelayanan di mana mereka diperlakukan secara individu. Pelanggan ingin agar mereka memiliki kontrol dalam pelayanan. Mereka ingin mudah dalam melakukan bisnis dengan perusahaan.

Perubahan kebutuhan dan keinginan ini, menyentuh esensi yang lebih dalam. Tanpa memberikan perubahan pelayanan yang radikal, kepuasan akan tetap moderat dan loyalitas bisa menunjukkan grafik yang menurun. Dalam situasi seperti ini, perusahaan memerlukan customer solution dan bukan sekadar perbaikan customer service. Bisa jadi, bukan call center yang mudah diakses yang mereka inginkan, tetapi produk yang memang mudah dimengerti. Bukan waiting time yang lebih singkat yang mereka inginkan, tetapi pelayanan home service. Pelanggan membutuhkan solusi. Perusahaan perlu melihat dalam perspektif yang lebih luas. Lalu, apa yang membuat perusahaan tidak mampu untuk menciptakan customer solution?

Customer Centric vs Service Centric

Pertama, customer solution hanya akan terjadi untuk perusahaan yang memang sudah mempersiapkan organisasinya, termasuk teknologi dan sumber daya manusianya. Mereka memiliki perusahaan yang disebut customer centric, dan bukan service centric business. Perusahaan yang masuk dalam kategori service centric organization berupaya untuk mencapai pelayanan prima. Perusahaan meningkatkan kualitas pelayanan dengan cara meningkatkan atribut pelayanan, seperti keramahan, kecepatan, akurasi, dan lain-lain. Mereka berupaya untuk mengalahkan pesaing dalam memberikan pelayanan yang prima. Hanya saja, sangat mungkin, mereka kemudian terjebak dalam pemikiran inside-out. Mereka melihat apa yang sanggup mereka berikan kepada pelanggan dan kemudian kehilangan perspektif besar.

Sebaliknya, perusahaan yang termasuk customer centric organization berusaha mempelajari obsesi pelanggan di masa mendatang. Mereka mempunyai relationship yang sangat baik dengan pelanggan. Mereka melakukan bisnis dengan cara outside-in. Semuanya dimulai dengan pelanggan dan kemudian perusahaan melakukan mobilisasi resources-nya untuk memberikan solusi terhadap kebutuhan dan keinginan pelanggan.

Kalau perusahaan yang service centric mempunyai masalah, mereka akan melihat problem di tingkat front liner. Perbaikan dilakukan di level mereka. Perusahaan yang customer centric akan melakukan perubahan dengan cara melihat service-profit chain. Mereka melihat permasalahan hingga ke belakang, yaitu karyawan back office, teknologi, system, atau bahkan kualitas para leader-nya.

Jadi, apa yang perlu diperbaiki oleh perusahaan yang masih service centric agar menjadi customer centric? Tentu saja, semuanya dimulai dengan CEO dan BOD-nya. Mereka perlu menetapkan customer vision, yaitu menentukan tujuan perusahaan dalam konteks dengan pelanggannya, seperti yang Peter Fisk jelaskan dalam bukunya Customer Genius. Setelah itu, yang kedua, perusahaan perlu mempunyai customer strategy yang jelas. Perusahaan yang berorientasi pada solusi selalu berupaya untuk memberikan pelayanan berbeda untuk pelanggan yang berbeda. Dengan cara seperti ini, mereka mampu melihat segmen pelanggan yang paling demanding. Inilah kelompok yang menentukan tingkat pelayanan yang harus mereka berikan di masa mendatang. Pelanggan inilah yang akan men-drive perusahaan untuk melakukan inovasi-inovasi baru di masa mendatang.

Customer strategy juga memungkinkan perusahaan untuk melihat lebih jelas, segmen mana sajakah yang menghasilkan profit bagi perusahaan. Tanpa tingkat profit yang baik, perusahaan tidak akan mampu untuk melakukan investasi dalam bidang teknologi, sumber daya manusia, dan perbaikan proses. Padahal, inilah yang sangat mungkin menjadi solusi  bagi pelanggan, dan bukan sekadar pelayanan yang standar. Pelanggan mungkin memerlukan saluran yang baru, produk yang baru, dan cara-cara berbisnis yang baru.

Ketiga, untuk mencapai tingkat customer solution dan bukan sekadar pelayanan yang standar, maka perubahan dalam customer insight sangat diperlukan. Perusahaan harus mengombinasikan semua cara untuk mempelajari pelanggan. Mereka membutuhkan survei, mystery shopping, FGD, dan juga semua data internal. Peran database, customer profiling, dan permodelan data pelanggan menjadi sangat penting artinya untuk memahami pelanggan lebih utuh. Inilah yang menjadi kelemahan dari banyak perusahaan di Indonesia, di mana kemampuan untuk mengintegrasikan data-data dari berbagai sumber ini masih lemah.

Keempat, perusahaan kemudian mempersiapkan perencanaan model dari customer solution. Untuk mencapai ini, dibutuhkaan sebuah spirit baru, yaitu co-creation. Dalam berbagai industri seperti telekomunikasi, ini sudah menjadi suatu keharusan. Perusahaan harus berkolaborasi dengan pelanggan. Pelanggan bisa menjadi co-designing. Mereka ikut mendesain produk baru. Mereka berpartisipasi dalam memberikan evaluasi. Lebih jauh, mereka bisa terlibat dalam co-developing. Mereka terlibat dalam proses pemilihan pelayanan yang efektif untuk mereka. Perusahaan membantu dalam berbagai pilihan dan kemudian kontrol untuk memilih ada di pelanggan. Terakhir, pelanggan bisa menjadi bagian co-delivering. Dalam proses ini, sebagian proses pelayanan justru dilakukan pelanggan sendiri, dan pelanggan merasa puas karena inilah yang mereka inginkan. Melibatkan mereka! Akhirnya, perusahaan memberi solusi dan bukan pelayanan yang standar.

Bagi perusahaan yang merayakan hari Pelanggan pada 4 September ini, saya sampaikan, “Salam pelanggan! Pelanggan puas, pelanggan loyal!”

ISSI 2010: Harus Melebih Harapan Pelanggan

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

layananwebMereka berhasil meraih prestasi dalam membangun layanan yang berkualitas, karena mereka selalu berusaha memberikan layanan yang bisa melebihi harapan pelanggan. Siapa sajakah mereka ini?

Saat akan melakukan servis sepeda motor, Anton kebingungan membagi waktunya antara nunggu di bengkel, dengan rencana mau kirim laporan lewat e-mail. Hari itu, dia harus memasukkan sepeda motornya ke bengkel karena ada komponen yang rusak mendadak, sementara sang bos pun menunggu kiriman laporan dari dia. Tak disangka, ketika dia masuk bengkel—dia memutuskan untuk memasukkan dulu sepeda motornya ke bengkel—ternyata di bengkel tersebut tersedia fasilitas wifi. Segera dia menyalakan laptopnya untuk berkirim e-mail, sambil menunggu motor diservis. Dia berguman, “Hebat juga bengkel ini, seperti di kafe, saja difasilitasi AC dan wifi.”

Anton sebagai pelanggan merasa surprise dengan layanan yang ada di bengkel tersebut. Dia tidak menyangka, karena sebelumnya dia berpikir layanan di bengkel tidak lebih dari kecepatan waktu servis dan keramahan petugas. Tapi, bengkel ini berbeda. Ruang tunggunya ber-AC sehingga nyaman, juga dilengkapi dengan fasilitas kantin, charger handphone dan wifi.

Memberikan surprise adalah bagian dari strategi pelayanan, untuk meningkatkan kepuasan pelanggan. Dengan adanya surprise, pelayanan yang diberikan pun diharapkan dapat melampaui harapan pelanggan, sehingga si pelanggan terpuaskan dan senang, atau delighted. Istilah delight ini bagi sebagian ahli pemasaran disebut beyond expectation, atau melebihi harapan pelanggan.

Apa yang dilakukan Yamaha maupun Honda dengan membangun fasilitas bengkel di luar standar, seperti fasilitas AC, kantin, atau akses internet, adalah upaya meningkatkan service quality menuju beyond expectation. Bagi mereka ini, di zaman sekarang, pelayanan yang rutin dan biasa agaknya sudah tidak begitu ampuh lagi untuk memikat hati pelanggan. Sebab, semua perusahaan juga berusaha memberikan layanan terbaik agar bisa bertahan dalam persaingan.

Sejatinya, membuat layanan yang beyond expectation kepada pelanggan bisa dilakukan dengan bermacam cara, mulai dari hal yang sederhana dan murah—senyum, mengenal nama pelanggan, dan sebagainya—sampai yang rumit (misal mengganti barang yang rusak dengan yang baru). Namun, dari semua itu, upaya untuk membangun service quality ini tidak bisa semata dibebankan pada satu divisi saja, seperti departemen customer service atau frontliner. Semua orang dan setiap lini perusahaan harus dilibatkan. Dan, satu hal yang utama adalah adanya dukungan dan komitmen penuh dari pimpinan perusahaan.

ISSIndex 2010

Dorongan untuk senantiasa meningkatkan kualitas layanan setiap tahun dikumandangkan oleh Majalah MARKETING bekerja sama dengan Carre-CCSL (Center for Customer Satisfaction & Loyalty) melalui indeks di bidang kepuasan layanan. Tahun ini, indeks kepuasan layanan yang diberi nama Indonesia Service Satisfaction Index (ISSIndex) 2010, kembali dikeluarkan. Indeks ini merupakan hasil survei yang mengukur tingkat kepuasan pelanggan terhadap layanan perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia.

Secara metodologi, survei ini tidak jauh berbeda dari pelaksanaan survei yang sama di tahun-tahun sebelumnya. Dalam ISSI 2010, terdapat 26 kategori penyedia jasa yang dinilai, mulai dari perbankan, otomotif, asuransi, pembiayaan, elektronik, hingga ritel, dan bandar udara. Berdasarkan incidance rate perolehan merek layanan yang digunakan, terdapat total lebih dari 500 merek walk in center. Adapun aspek-aspek yang dinilai serta metode pengukurannya dapat dilihat pada halaman “Metodologi ISSIndex 2010”.

Jika melihat hasil indeks tiap-tiap perusahaan, harus diakui industri perbankan memang jawara dalam soal pelayanan. Layanan yang ada di perbankan paling atraktif, terlebih untuk layanan priority banking. Dibanding kategori lainnya, indeks yang diraih perbankan untuk layanan priority banking tercatat paling tinggi. Layanan yang diberikan tidak sekadar pada tataran transaksi perbankan saja, namun sudah masuk pada ranah pribadi nasabah. Tegasnya, seperti membicarakan tentang hobi mereka, kegiatan keluarga, bisnisnya, dan lain-lain. Oleh sebab itu, tak heran bila nasabah memberikan nilai tinggi terhadap layanan priority banking.

Persaingan kedua pemain utama sepeda motor, Yamaha dan Honda, tidak saja terjadi dalam pengejaran sales unit. Namun juga, kedua pemain ini bersaing dalam layanan purnajual. Meski tahun ini unggul dalam kepuasan layanan, Yamaha tetap perlu waspada karena Honda menempel ketat untuk bersaing. Kedua perusahaan ini terus bersaing dalam layanan pelanggan. Ini bisa dilihat bagaimana mereka meningkatkan kualitas layanan bengkel masing-masing. Tidak hanya dalam hal kecepatan waktu servis dan keandalan para teknisi, namun keduanya juga berlomba melengkapi bengkelnya dengan fasilitas-fasilitas di luar kebiasaan, layaknya sebuah kafe atau tempat hiburan.

Di jajaran industri pembiayaan, tahun ini secara mengejutkan Adira Finance berada di posisi teratas sebagai perusahaan yang paling memuaskan dalam hal layanan. Hebatnya lagi, posisi ini diraih di kategori mobil serta sepeda motor. Posisi ini sekaligus menggeser kedudukan ACC maupun FIF, yang merosot di urutan kedua dibanding tahun lalu.

Sebenarnya, tidaklah mengejutkan jika Adira unggul dalam pelayanan. Perusahaan ini memang sejak awal berkomitmen membangun kualitas layanan. Servis yang dikembangkan mengacu pada filosofi to shell is to serve. Adira memberikan servis yang memberikan manfaat ekonomis maupun emosional. Di sini nampak Adira berupaya memberi servis yang lebih kepada pelanggan. Salah satunya, Adira membangun komunitas berbasis strategi dengan memberikan keanggotaan klub Adira. Program ini diklaim oleh Adira belum digarap oleh perusahaan sejenis.

Di industri penerbangan, harus diakui Garuda Indonesia masih tetap unggul jauh dalam kualitas layanan dibanding penerbangan domestik lainnya. Keunggulan ini terlihat dari prestasinya yang memperoleh predikat “Diamond” (indeks di atas 4). Sementara, yang lainnya belum mencapai angka rata-rata industri. Maskapai penerbangan milik pemerintah ini memang konsisten mengutamakan kualitas layanan ketimbang harga dalam bersaing. Hasilnya, Garuda Indonesia masih dirujuk sebagai penerbangan utama bagi banyak penumpang.

Namun harus diakui, kualitas layanan Garuda Indonesia sampai saat ini masih kalah dengan kualitas layanan dari penerbangan asing seperti Singapore Airlines atau Cathay Pacific Airways. Kedua maskapai ini mengalahkan Garuda dalam kategori penerbangan internasional.

Perusahaan-perusahaan yang baik berusaha agar bisa memenuhi harapan pelanggan mereka dan membuat para pelanggan tersenyum gembira. Namun jika mereka berhasil melakukannya, lama-kelamaan hal ini akan menjadi norma. Akibatnya, pelanggan jadi terbiasa. Di sinilah pentingnya dilakukan peningkatan dalam mengembangkan kualitas layanan yang selalu bisa melampaui harapan-harapan pelanggan.

Hasil-hasil survei kepuasan layanan kali ini bisa dijadikan cambuk bagi perusahaan untuk terus mengembangkan kualitas layanan. Era kompetisi dan tuntutan konsumen yang semakin tinggi memang mengharuskan perusahaan untuk mengembangkan service quality yang dapat memuaskan pelanggan. Pada era kompetisi bebas, pelanggan dapat menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Pelangganlah yang membuat perusahaan berkesinambungan. Oleh karenanya, perusahaan dituntut untuk senantiasa memberikan layanan yang beyond expectation. Dengan demikian, perusahaan memiliki keunggulan untuk bersaing dalam jangka panjang.

Perusahaan-perusahaan Beyond Expectation

1
[Reading Time Estimation: 5 minutes]

coversegutwebPerusahaan-perusahaan peraih indeks ISSI yang tinggi cenderung menerapkan pelayanan yang tidak biasa, bahkan beyond expectation. Namun, menjalankannya juga tidak mudah.

Setiap kali masuk ke GraPARI Telkomsel, Anda biasanya berhadapan dengan seorang officer yang akan menanyakan keperluan Anda datang ke gerai layanan tersebut. Jika urusannya masalah pembayaran, si officer akan memberi Anda nomor antrian ke kasir. Jika ada komplain atau mencari informasi, dia akan memberi nomor antrian ke customer service. Sebaliknya, jika urusan Anda hanya menyangkut setting internet atau ponsel, Anda bisa berurusan dengan bagian quick service.

Di dalam GraPARI tersebut, Anda bisa menunggu antrian sambil melihat-lihat produk Telkomsel yang dipajang. Juga bisa sambil menonton televisi atau mengambil air minum dalam kemasan yang disediakan. Di beberapa GraPARI bahkan disediakan minuman ringan seperti teh dalam kemasan botol atau minuman bersoda. Apabila Anda seorang priority customer, Anda lebih enak lagi karena Anda tidak perlu lama-lama mengantri. Sudah ada desk yang menangani khusus pelanggan seperti Anda.

Di era teknologi self service seperti ini, service outlet atau walk in center masih memegang peranan penting bagi pelanggan. Konsumen Indonesia yang masih senang bertatap muka dan membutuhkan pengalaman nyata cenderung menyukai untuk datang ke service outlet terdekat. Apalagi di daerah-daerah, sekalipun sudah ada fasilitas pembayaran melalui transfer bank, masih banyak pelanggan yang lebih senang datang dan membayar langsung dibandingkan harus melakukannya melalui ATM.

Service adalah sesuatu yang intangible (tidak kasat mata). Oleh karenanya, pelanggan seringkali mencari hal-hal yang bersifat tangible atau bukti-bukti fisik yang dapat membuat mereka bisa mengevaluasi dengan baik pelayanan yang mereka terima. Tidak mengherankan, pelanggan di Indonesia seringkali lebih memilih untuk datang ke service outlet karena mereka bisa merasakan sentuhan manusia dan suasana yang ada. Selain itu, service outlet bisa lebih meyakinkan mereka akan kualitas pelayanan yang diberikan.

Setiap tahun CCSL (Center for Customer Satisfaction & Loyalty) melakukan survei soal kualitas pelayanan, dan hasilnya dimuat di Majalah MARKETING. Indeks yang dikeluarkan dari survei ini (ISSI = Indonesian Service Satisfaction Index) menjadi alat ukur bagi perusahaan untuk menilai kinerja perusahaan dibandingkan kompetitor. ISSI khususnya memang berfokus pada service outlet. Ini terlihat dari metodologi survei, di mana pelanggan yang dijadikan responden survei ini adalah mereka yang pernah mengalami service experience dengan penyedia jasa.

Ada dua jenis responden yang sebenarnya disurvei, yakni mereka yang memiliki pengalaman di walk in center dan mereka yang punya pengalaman di sisi after sales service, seperti bengkel dan layanan perbaikan. Kepuasan mereka ini dinilai mulai dari kepuasan mengakses, kepuasan dalam service process, kepuasan terhadap orang yang melayani, sampai kepuasan dalam penanganan komplain. Tidak hanya itu, untuk urusan after sales service, kepuasan terhadap hasil (result) pun dinilai. Maklum, banyak kejadian di mana pelanggan tidak puas justru pada saat menerima hasil perbaikannya. Padahal, dalam service process terlihat sangat bagus.

Selain terhadap kualitas pelayanan, survei juga dilakukan terhadap value dari pelayanan yang diberikan. Artinya, apakah pelayanan yang diberikan sudah sesuai dengan harga yang dibayarkan. Pelanggan umumnya dikenakan biaya untuk pelayanan yang diterima. Hanya saja, apakah harga yang dibayarkan sesuai dengan pelayanan yang didapat? Oleh karenanya dalam ISSI juga dilakukan pengukuran terhadap harga ini.

Skema perhitungan ISSI kemudian mempergunakan dua variabel utama yang dijadikan pengukuran (total index), yakni perceived service value dan perceived service quality (lihat boks metodologi).

Pada pengukuran ISSI, ketimbang memberikan peringkat juara dan tidak juara, Carre CCSL dan Majalah MARKETING memutuskan untuk membagi dua kategori keberhasilan perusahaan dalam service quality (SQ). Pertama adalah kategori “Gold” dan kedua “Diamond. Baik perusahaan yang tergolong Gold dan Diamond harus memiliki indeks di atas industri. Perusahaan yang berada di atas industri namun indeksnya di bawah 4 masuk dalam kategori Gold. Sementara perusahaan yang ada di atas industri namun indeksnya minimal 4 akan masuk dalam kategori Diamond.

Selain meraih kategori Gold dan Diamond, naik turunnya indeks kepuasan sudah tentu menjadi isu di dalam pengukuran ISSI. Beberapa perusahaan boleh bangga bisa mengalami kenaikan indeks kepuasan, sedangkan beberapa perusahaan sepertinya mengalami penurunan. Memang, penilaian indeks SQ didasarkan oleh layanan di walk in center dan after sales service. Oleh karena itu, buat perusahaan yang memang excellence di bidang call center maupun remote channel belum tentu punya indeks yang tinggi.

Berbagai industri memiliki rata-rata indeks sendiri; ada yang tinggi, juga ada yang sesuai dengan standar. Bank misalnya, cukup banyak yang bisa meraih peringkat Diamond. Ini berbeda misalnya dengan elektronik dan handphone, cenderung hanya menghasilkan perusahaan-perusahaan pada peringkat Gold.

Interaksi yang begitu tinggi antara bank dengan nasabah memang menjadi pemicu mengapa bank-bank cenderung berpacu memberikan pelayanan dengan kualitas yang begitu tinggi. Tak heran, beberapa bank akhirnya bisa meraih peringkat Diamond dalam SQ award.

Meletakkan kekuatan pelayanan pada kantor cabang maupun pusat pelayanan memang membutuhkan strategi khusus. Selain unsur intangible seperti keramahan, keakuratan, kecepatan, dan sentuhan pribadi, mau tidak mau elemen fisik juga banyak berperan. Tata ruang yang baik, penampilan petugas yang rapi, sampai teknologi canggih yang digunakan, menjadi unsur penting dalam menciptakan kepuasan pelanggan. Elemen-elemen ini harus menjadi satu kesatuan yang mampu mencapai apa yang diharapkan pelanggan. Bahkan jika perlu, lebih dari yang diharapkan pelanggan.

Terlihat dari strategi perusahaan pemenang, ternyata program-program yang bertujuan mencapai beyond expectation dijalankan oleh beberapa perusahaan. Pada masa sekarang, memberikan pelayanan yang biasa-biasa saja memang tidak cukup. Bahkan, memuaskan pelanggan saja dirasa tidak cukup. Harus ada hal-hal yang membuat pelanggan delight, surprise, atau mendapatkan pengalaman yang menyenangkan.

Pada situasi sekarang, pelanggan tidak hanya masuk ke walk in center dan menyelesaikan urusan mereka saja. Seperti GraPARI Telkomsel, mereka bukan hanya membuat suasana di sana seperti di rumah, tetapi mereka juga mengangkat tema-tema tertentu pada momen tertentu. Secara konsisten, GraPARI Telkomsel memang mengangkat tema mobile lifestyle. Artinya, ketika masuk ke dalam GraPARI, pelanggan bisa merasakan aura mobile lifestyle melalui desain dan perangkat yang dipajang di situ. Namun demikian, mereka juga memperingati momen-momen khusus, seperti pada saat hari Kartini maupun hari Pelanggan Nasional.

Lain lagi dengan motor Honda yang memiliki Authorized Honda Service Station (AHASS). Honda percaya, bengkel mereka bukan sekadar tempat untuk membetulkan motor yang rusak dan butuh perbaikan. Pelanggan membutuhkan sentuhan-sentuhan yang menarik, yang bisa mereka rasakan pada saat menunggu perbaikan kendaraan. Ambil contoh fasilitas untuk men-charge ponsel, tersedianya jaringan wifi di beberapa outlet, dan bahkan dibuatnya tempat bermain anak-anak. Dengan demikian, ada unsur-unsur yang melebihi apa yang mereka harapkan.

Di industri mobil pun, pemberian pelayanan yang melebihi harapan pelanggan juga dilakukan. Bengkel-bengkel mobil kini tidak hanya sekadar memberikan layanan perbaikan. Mereka juga meluncurkan program-program pelayanan yang menarik. Ini misalnya dilakukan oleh Daihatsu dengan beberapa programnya, seperti garansi 24 jam spare parts, layanan mobile services, sampai pada layanan supercepat. Dalam waktu 59 menit, mobil Anda sudah selesai diperbaiki dan bahkan dicuci.

Sharp pun melakukan program layanan cepat, yang mereka namakan quick service. Artinya, penanganan satu kerusakan maksimal satu jam selesai. Dengan program ini, mereka berharap bisa memberikan sesuatu yang di luar kebiasaan pelanggan. Jika pelanggan punya harapan bahwa layanan servis elektronik butuh berhari-hari, dengan adanya quick service, penyelesaian kerusakan kecil bisa dilakukan dengan cepat.

Bagaimana dengan industri asuransi? Umumnya layanan yang paling menyenangkan si pelanggan harus terjadi pada saat mereka mengajukan klaim. Sudah jamak rasanya bahwa mengajukan klaim sekarang ini demikian mudahnya. Jadi, kalau unsur satu ini saja tidak bisa dipenuhi provider asuransi, jangan harap bisa memuaskan pelanggan. Kebanyakan asuransi bahkan sudah menerapkan jemput bola, yakni datang ke nasabah yang melakukan klaim, ketimbang mereka harus datang ke kantor cabang.

Beberapa kreativitas yang bisa dilakukan misalnya dilancarkan oleh Manulife dengan memberikan premi holiday pada nasabah yang mengalami bencana alam seperti di Aceh. Juga layanan mendatangi nasabah yang mengalami kecelakaan di jalan atau di daerah terpencil. Maka, si nasabah pun tidak perlu repot-repot melakukan klaim, semuanya sudah diurus oleh Manulife.

Ada banyak program yang bisa dijalankan perusahaan untuk menciptakan elemen of surprise atau beyond expectation. Namun demikian, hal-hal semacam ini bukannya tidak mengeluarkan biaya atau konsekuensi tertentu.

Hal yang paling penting dalam memberikan layanan beyond expectation terletak pada unsur manusia. Ini disebabkan unsur manusialah yang biasanya menghadapi problem pada saat menyajikan layanan yang beyond expectation. Sebagai contoh, layanan quick service akan sangat tergantung pada keahlian SDM. Jika keahliannya kurang, bisa jadi malah terkesan lama ketimbang cepat.

Selain itu juga infrastruktur yang mendukung. Tanpa infrastruktur, sudah pasti layanan yang beyond expectation sulit tercipta. Sebagai contoh, program premi holiday tidak akan memuaskan jika karena kesalahan sistem, nasabah yang seharusnya mendapat premi gratis, justru dianggap melalaikan pembayaran premi.

Oleh karena itu, memberikan pelayanan yang beyond expectation memang penting dilakukan. Tapi kalau tidak siap, bisa-bisa kemarahan pelanggan yang Anda terima, bukan kepuasan. Siapkah Anda memberikan layanan yang beyond expectation? Mari kita belajar dari perusahaan-perusahaan yang sukses dalam SQ Award kali ini.

Bertumbuh Gerainya Karena Word of Mouth

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]
DSC_0307web
Atanugraha Tirtawidjaja, Marketing Manager Edward Forrer

Berawal dari door to door, merek Edward Forrer sekarang ini sudah terkenal hingga mancanegara. Merek ini juga memberikan layanan yang susah ditemukan dalam industri sepatu. Apa itu?

Namanya lebih mirip merek-merek asal luar negeri, padahal benar-benar asli dari Indonesia. Tapi, kalau dibilang merek ini adalah merek global juga tidak salah. Sebabnya, Edward Forrer sudah berkibar di beberapa negara di berbagai belahan dunia.

Edward Forrer adalah merek sepatu dan juga merek dari “toko sepatu” yang dikemas seperti layaknya sebuah butik. Sebabnya, si pemilik toko tidak saja memajang sepatu, namun juga menampilkan penataan produk yang menarik, dan menyediakan suasana yang nyaman bagi pengunjung.

Berbeda dengan merek-merek lainnya, seperti Yongki Komaladi, Donatello, dan lain-lain, sepatu Edward Forrer tidak pernah dijual berbarengan dengan merek lain di konter sepatu yang ada di mal-mal. Edward Forrer hanya dijual di gerai Edward Forrer dan hanya merek tersebut yang tersedia di sana. Inilah konsep berbeda yang diusung oleh Edward Forrer dan belum ada padanannya di Indonesia.

Bila menelisik ke belakang, gerai sepatu ini mengambil nama dari pemiliknya sendiri, yakni Edward Forrer, seorang pria berdarah campuran Indonesia dan Belanda. Pria ini mengawali bisnis sepatu dari nol. Mulai dari menjual door to door atau direct selling. Menawarkan konsep desain ke para tetangga dan temannya hingga mengantarkannya langsung ke pembeli.

Sampai akhirnya, dibuatlah bengkel Edward Forrer berukuran 3 x 4 meter, di jalan Ramli, Bandung. Kemudian, dibuat gerai pertama di jalan Veteran, Bandung. Begitu dibuka, respons yang didapat sangat memuaskan. Sehingga, disusul pembukaan dua gerai lain, masih terdapat di dalam wilayah Kota Kembang. Pertumbuhan di Bandung ini terjadi di sekitar tahun 1990-an. Sejak itu, gerai Edward Forrer bertambah terus dari tahun ke tahun. Jumlahnya sempat mencapai 50 buah. Pertumbuhan ini akibat minat pasar yang naik karena efek penyebaran dari mulut ke mulut melebar hingga ke kota-kota lain. Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan pembukaan gerai-gerai mereka. Namun, bisnis ini juga sempat mengalami pasang surut akibat krisis ekonomi. Akibatnya, beberapa gerai harus ditutup.

Saat ini, jumlah gerainya ada 30, terdapat di dalam dan luar negeri. Dari total tersebut, lima gerai di antaranya adalah milik sendiri, dan sisanya merupakan waralaba. Edward Forrer tersebar di berbagai kota di Indonesia, juga ada di Australia dan Hawaii, USA.

“Awalnya, ada 17 outlet yang  milik sendiri. Namun, sekarang hanya empat di Bandung dan satu di Australia saja yang dipunyai atau dikelola sendiri oleh perusahaan. Sisanya adalah waralaba,” kata Atanugraha Tirtawidjaja, Marketing Manager Edward Forrer.

Pilihan melakukan waralaba ditempuh sejak tahun 2005. Ada berbagai tipe waralaba yang ditawarkan. Mulai dari investasi Rp 200 juta hingga Rp 900 juta. Hal ini tergantung dari luas gerai yang akan digunakan.

Meski sudah mewaralabakan gerai, dalam hal pemilihan partner, tidak serta merta berlaku bagi semua orang. Sang pemilik, Edward, atau biasa disapa Edo, melakukan seleksi bagi yang tertarik untuk menjadi pewaralaba Edward Forrer. Salah satu pertimbangannya adalah sepatu merek ini sangat customized. Setiap bulan rata-rata sekitar 160 desain baru dikeluarkan oleh Edward Forrer. Artinya, model dan desainnya bisa disesuaikan dengan pesanan konsumen.

Di sisi lain, gerai Edward Forrer sangat berbeda dari gerai-gerai sepatu lainnya. Sejauh ini, konsep kenyamanan dan desain ruang yang minimalis modern menjad ciri utama setiap gerai merek ini. “Kalau masuk ke Edward Forrer akan terasa nyaman dan luas, ditunjang dengan display produk yang menarik,” tambah Atanugraha.

Kemudian, salah satu ciri lain adalah Edward Forrer tidak membuka gerai di pusat pertokoan dan mal. Hampir semua gerai Edward Forrer ada di jalan protokol di pusat kota. Kalaupun ada yang dibuka di mal harus memiliki pasar yang sudah terbentuk.

Karakter Konsumen dan Purnajual

Karakter konsumen Edward Forrer juga cukup unik. Mereka terbentuk lebih karena efek word of mouth. Karena bisa dibilang, sampai saat ini Edward Forrer sangat minim melakukan komunikasi ke konsumen melalui media massa.

Pola dari mulut ke mulut merupakan kekuatan produk ini sejak hadir di pasaran. Suatu hal yang merupakan dampak dari pola yang diterapkan Edo ketika melakukan penjualan langsung, saat merintis Edward Forrer. Kepuasan yang didapat para konsumen ditularkan ke orang lain. Dan, pola ini juga menyebar ke kota-kota lain tempat terdapatnya gerai Edward Forrer.

Atanugraha menambahkan, meski secara nasional Edward Forrer belum melakukan komunikasi lewat media, setiap pemilik gerai dibebaskan melakukan promosi di media. Namun begitu, banyak gerai yang tetap mengandalkan word of mouth sebagai penggerak komunikasi. “Mungkin, tahun ini kami akan mulai melakukan promosi lewat media secara nasional,” kata dia.

Konsumen yang disasar oleh Edward Forrer bila dilihat dari kelompok ekonomi adalah menengah ke atas. Terlihat dari patokan harga merek ini yang paling rendah di kisaran Rp 150 ribu. Dari bentuk gerainya pun sudah tampak bahwa merek ini menyasar kelompok menengah ke atas. Sehingga, citra Edward Forrer yang terbangun sekarang ini adalah merek eksklusif. Sedangkan kalau dilihat dari sisi gender, Edward Forrer menyasar semua gender. Dan, menyasar konsumen dari usia anak hingga dewasa.

Bagi Edward Forrer, menurut Atanugaraha, konsumen sangat memiliki peran dalam perkembangan merek ini. Sehingga, kepuasan konsumen menjadi acuan utama dalam pelayanan. Termasuk, di antaranya memberikan layanan servis purnajual. Sebuah servis yang belum pernah ada pada merek lainnya dalam industri sepatu.

Layanan purnajual ini adalah garansi dan reparasi. Dalam masa garansi selama tiga bulan, bila ada keluhan dari konsumen, produk akan diperbaiki secara gratis. Setelah lewat masa garansi, Edward Forrer juga bisa melakukan reparasi bila sepatu rusak. “Ada konsumen yang sepatunya sudah dipakai lama, tapi masih ingin menggunakannya meski sudah sedikit rusak. Nah, kami memiliki layanan reparasi bagi mereka, namun akan dikenakan biaya,” jelas Atanugaraha.

Mengenai kualitas produk, Atanugaha menyatakan bahwa Edward Forrer memiliki kualitas yang tidak kalah dengan merek luar. Sebabnya, untuk urusan kualitas ada sistem gugus kendali mutu di semua tingkatan, dari pemilihan bahan, produksi, hingga finishing.

Setiap bulan, Edward Forrer pusat mendistribusikan sekitar 35 ribu item ke seluruh gerai Edward Forrer. Market share Edward Forrer di Indonesia untuk kategori sepatu nonsport di Indonesia antara 3–5 persen. (Ign. Eko Adiwaluyo/Majalah MARKETING)

SPBU Shell: Tawarkan Full Services

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Madhi Suryanto, Retail Marketing Manager PT Shell Indonesia
Madhi Suryanto, Retail Marketing Manager PT Shell Indonesia

Tahun 2010 ini, Shell tengah melakukan ekspansi perluasan jaringan SPBU di Tanah Air. Kualitas, kuantitas, dan servis pun jadi andalan strateginya.

Meskipun beberapa kali bahan bakar minyak (BBM) di negeri ini mengalami kenaikan harga, hal itu tak menjadi kendala bagi perusahaan-perusahaan penyuplai BBM. Setiap tahun, industri ini kian tumbuh. Hal ini didukung faktor bertambahnya jumlah kendaraan bermotor setiap tahun. Dampaknya, persaingan bisnis stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) kian ketat dan atraktif. Apalagi, semakin banyak pemain dari luar yang masuk dan beroperasi di Indonesia.

Salah satu pemain yang berani terjun ke bisnis SPBU adalah PT Shell Indonesia—dengan brand Shell. Shell mulai mengoperasikan SPBU di Indonesia sejak 1 November 2005. Ini ditandai dengan diresmikannya SPBU Shell pertama di Karawaci, Tangerang. “Shell merupakan SPBU berkelas internasional dengan fasilitas lengkap. Komitmen Shell adalah memberikan produk dengan kualitas teruji, kuantitas yang akurat, dan layanan terbaik,” kata Fathia Syarif, Manager Media Relations, External Affairs & Communications PT Shell Indonesia.

Ditambahkan Fathia, Shell merupakan perusahaan petroleum pertama di Indonesia yang membawa layanan baru. Tak hanya menawarkan bahan bakar saja, Shell pun menggebrak pasar dengan full services. Misalnya, para petugas SPBU menyapa dan melayani konsumen dengan ramah. Selain itu, Shell juga memberikan layanan pembersihan kaca kendaraan, mesin pengisian angin, dan semua transaksi dicatat dan dicetak secara digital untuk memastikan pelanggan mendapat bukti pembelian BBM yang tepat.

Sekadar informasi, PT Shell Indonesia merupakan bagian dari Royal Dutch/Shell Group (Shell)—salah satu perusahaan minyak dan gas terkemuka di dunia. Shell Indonesia memiliki ikatan sejarah yang erat dengan Indonesia selama lebih dari 100 tahun. Kini, SPBU Shell di Jabodetabek dan Surabaya siap melayani pelanggan dengan harga BBM yang kompetitif dan terjangkau. Adapun jenis BBM yang tersedia antara lain Shell Super, Shell Super Extra, dan Shell Diesel.

“Beroperasi di dalam bidang downstream oil products, Shell Indonesia melayani pangsa pasar bisnis dan pengendara bermotor. PT Shell Indonesia mengelola bisnis yang meliputi pemasaran dan perdagangan pelumas secara langsung maupun melalui distributor-distributor yang telah ditunjuk,” Fathia menambahkan.

Untuk penetrasi dan perluasan jaringan SPBU Shell tetap berfokus pada strategis suatu wilayah. Shell fokus memperbesar customer base dengan cara meningkatkan jumlah konsumen untuk datang ke SPBU Shell. Untuk itu, perlu ada point of barrier yang dilakukan. Misal, SPBU Shell memberikan berbagai penawaran menarik kepada konsumen.

“Semua bisnis pasti ada tantangannya. Begitu juga dengan penetrasi pasar. Untuk itu, diperlukan strategi guna memperbanyak jumlah SPBU Shell di seluruh Indonesia. Saat ini, jumlah total SPBU Shell sebanyak 45 SPBU yang tersebar di Jabodetabek dan Surabaya,” imbuh Madhi Suryanto, Retail Marketing Manager PT Shell Indonesia.

Dijelaskan Madhi, ketertarikan Shell membuka SPBU di Surabaya adalah karena daya beli masyarakat terhadap BBM sangat tinggi. Pembukaan SPBU di luar wilayah Jabodetabek ini menandakan ekspansi Shell di jalur perniagaan BBM di Tanah Air. Selain itu, dibukanya SPBU tersebut akan memungkinkan para pengendara kendaraan bermotor di wilayah Surabaya bisa menikmati BBM berkualitas.

Pembukaan SPBU di wilayah Surabaya ini akan menjadi titik awal rangkaian rencana dibukanya gerai-gerai SPBU Shell lainnya. Karena bagi Shell, Indonesia merupakan salah satu pasar penting di kawasan Asia Pasifik. Sayangnya, Fathia maupun Madhi enggan menyebutkan secara pasti berapa jumlah SPBU yang akan dibangun oleh Shell.

Dijelaskan Madhi, dalam melakukan penetrasi tersebut, SPBU Shell menggabungkan komunikasi di lini atas dan bawah. Jika ditunjukkan dengan persentase, maka hasilnya akan seimbang. “Namun, ada kalanya Shell melakukan pendekatan-pendekatan khusus untuk memudahkan komunikasinya. Misal, pada tahun 2009, Shell fokus pada science communication. Dimana, dalam setiap campaign, Shell menggunakan isu-isu science sebagai communication channel.”

“Waktu itu, Shell menyelenggarakan program berupa gratis satu kaleng Coca-Cola setiap pembelian Rp 50 ribu (berlaku kelipatan). Program ini telah dilaksanakan pada 12 Juni hingga 12 Juli 2009, dari pukul 06.00–18.00 WIB dan mendapat respons positif dari para pengendara,” ujar Madhi. Shell pun pernah menggelar promosi bagi pemegang kartu Citibank Cash Back. Mereka bisa mendapatkan tambahan cash back 5 persen dan juga berkesempatan menjadi salah satu pemenang dari 1.000 transaksi gratis.

Tak hanya itu, guna menarik mata pengendara, Shell mendesain SPBU-nya dengan warna mencolok, yakni kuning. Rata-rata, di setiap lokasi SPBU-nya, Shell menduduki wilayah strategis sehingga memudahkan pengendara untuk mengisi BBM. Area yang digunakan pun luas. Maka, tak heran jika Shell sering diasumsikan sebagai SPBU yang menjual BBM untuk kalangan menengah ke atas.

Memang asumsi bahwa BBM yang ditawarkan Shell sifatnya premium sering terjadi. Padahal, tak demikian. Bahkan, Shell bisa menawarkan harga promo lebih murah dibanding kompetitor. Sedangkan di pangsa pasar pelumas otomotif di Indonesia, merek Shell menawarkan produk Shell Helix—pelumas untuk roda empat; Shell Rimula untuk mesin truk dan kendaraan besar; dan Shell Advance yang diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda dua.

“Kami berharap semua pengendara kendaraan bermotor di daerah ini akan menikmati produk dan layanan yang kami tawarkan. Kami juga sangat menantikan langkah ke depan, dimana semua pemain yang memiliki lisensi dalam industri ini mendapatkan kesempatan yang sama. Hal ini, tentunya, akan mendatangkan lebih banyak investasi dan menciptakan kompetisi pasar yang sehat di Indonesia,” papar Fathia. (Fisamawati/Majalah MARKETING)

DESSI SUSANTY: Cantik Paripurna

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Dessi Susanty (Group Product Manager Cosmetics PT Mustika RatuwebPerempuan mana yang tidak ingin tampil cantik—baik dari luar maupun dari dalam. Untuk mencapai itu, tentunya harus ditunjang dengan penampilan diri yang rapi, bersih, dan sehat. Itulah yang dinyatakan Dessi Susanty, Group Product Manager Cosmetics, PT Mustika Ratu Tbk. Baginya, cantik paripurna—sesuai moto perusahaan tempatnya bernaung—adalah suatu yang harus dicapai.

“Suatu kebanggaan bagi saya bisa bergabung dengan Mustika Ratu. Meskipun perusahaan lokal, tetapi memiliki kualitas internasional. Bahkan, mampu menembus pasar luar negeri. Oleh karena itu, saya berharap bisa memberikan kontribusi—misal melakukan inovasi-inovasi baru serta growth 20–25 persen per tahunnya,” kata Dessi yang ditemui seusai acara peluncuran Mustika Putri Fashionista Mist Cologne.

Ditambahkan dia, menariknya bergabung di perusahaan kosmetik adalah karena ada banyaknya varian dan kategori untuk satu produk. Maklum saja, jabatan Dessi sekarang membawahi beberapa merek, antara lain Mustika Putri, Ratu Mas, dan Biocell. “Tantangan terbesar adalah menyesuaikan diri. Saya harus membuat skala prioritas—misal brand plan 2010, dan fokus terhadap produk-produk yang laris di pasaran,” ujar Dessi yang pernah bekerja di perusahaan consumer good ini.

Selain itu, lanjut perempuan kelahiran 21 Desember ini, guna menunjang performa saat bekerja, pastinya dibutuhkan stamina yang prima. Oleh karena itu, ia pun menyempatkan diri untuk melakukan olahraga—minimal dua kali dalam seminggu. ”Hal lainnya adalah minum air putih setelah bangun tidur untuk detox dan mengurangi makanan karbohidrat guna menjaga bentuk tubuh. Jadi, sebenarnya, menjadi cantik paripurna dari luar maupun dalam bukanlah hal yang sulit,” tandas Dessi. (Fisamawati/Majalah MARKETING)

    ANGELA VIRGINA SUTAN: Kreativitas tidak Pernah Habis

    0
    [Reading Time Estimation: < 1 minute]

    sutanWEBYang menarik dari dunia marketing adalah kreativitasnya yang tidak pernah habis. Kreativitas yang out of the box, tapi implementasinya inside the box; kena sasaran dan terukur. Demikian diungkapkan pemilik nama lengkap Angela Virgina Sutan, Director of Marketing & Business Development Timezone – PT Matahari Graha Fantasi.

    Hal inilah, menurut perempuan yang akrab disapa Angela, yang menjadi latar belakang dirinya terjun ke dunia marketing. Diakui oleh penghobi baca dan nonton ini, dunia marketing sangat dinamis dan tidak monoton. “Tiap hari kita dituntut untuk selalu berkreasi menciptakan cara dan strategi baru untuk meningkatkan profit,” kata dia.

    Namun, yang paling menyenangkan lagi, tambah Angela, bertemu banyak orang yang membuat pengalaman dan wawasannya menjadi bertambah. Selain itu, sering keluar kota membuat penyuka wisata kuliner ini menemukan kesukaannya, berburu makanan khas daerah.

    ”Berburu kuliner khas pasti saya lakoni kalau travelling. Tidak ada menu favorit. Semua makanan saya suka, apalagi kalau direkomendasikan oleh teman atau saudara. Pasti saya coba,” ujar Angela yang mengaku menyukai Bali dan Bandung sebagai destinasi wisata favoritnya.

    Bercerita mengenai makna kesuksesan dalam hidup, menurut dia adalah kalau dirinya sudah bisa menelurkan orang-orang sukses. Ketika ditanya apakah dia sudah melakukan hal itu, Angela mengaku sudah mencapainya. “Dan saya yakin, someday orang-orang tersebut akan lebih sukses lagi,” kata perempuan yang memiliki filosofi hidup do the best and God do the rest, and always be grateful. (Harry Tanoso/Majalah MARKETING)


    AGUS SUGIHARTO RUSLI: Marketing Harus Diselami

    0
    [Reading Time Estimation: < 1 minute]

    agus HTCwebYang menarik dari dunia marketing adalah membangun nilai, posisi merek dan produk, sekaligus menyampaikan pesan.  Demikian diungkapkan pemilik nama lengkap Agus Sugiharto Rusli, Country Manager, Indonesia – HTC Asia Pacific, Pte Ltd (Singapore). Menurut penghobi main gadget  ini, dunia marketing harus diselami. Menurutnya,  diri kita sendiri merupakan suatu produk yang tidak terlepas dari teori marketing dalam kehidupan sehari-harinya. “Hal ini tentunya bermakna dalam kehidupan saya sehari-hari jika saya bisa memahami teori marketing itu sendiri,” kata Agus.

    Penyuka wisata kuliner ini menambahkan, lewat marketing, pengalaman merek, dan kontak dengan pelanggan,  pangsa pasar menjadi lebih potensial untuk ditingkatkan. “Karena penjualan para distributor akan naik begitu pelanggan mengenal pesan dalam  produk kami dan tentunya setelah bereksperimen dengan produk kami,” jelas penyuka jajanan laut dan masakan pedas ini.

    Bercerita mengenai kegiatannya di saat waktu senggang, pria kelahiran Jakarta, 23 Agustus 1971 ini mengaku selalu memanfaatkan waktu luang untuk belajar dan mempelajari apa saja yang bisa di pelajari dan juga berolah raga di akhir pekan. ”Waktu senggang pastinya selalu dimanfaatkan dengan hal-hal yang positif,” kata Agus yang menyukai Eropa sebagai destinasi wisata favoritnya.

    Soal kesuksesan hidup, Agus lebih memahaminya sebagai sukses lahir dan batin. Menurutnya, kesuksesan tidak bisa di ukur dengan materi.  “Kesuksesan adalah di saat kita merasa bahagia lahir dan batin,” ujar pria yang meraih gelar Marketing Master Degree di STIE IPWI–Jakarta ini, seraya mengungkapkan bahwa keluarganya berperan sangat penting sebagai motivator  bagi dirinya. (Harry Tanoso/Majalah MARKETING)

    RETNA WIDAWATI; Untung Pernah Jadi Penyiar

    0
    [Reading Time Estimation: 2 minutes]

    TOLAK ANGINwebPengalaman menjadi seorang penyiar semasa remaja membuatnya belajar banyak hal. Salah satunya, belajar mengatur waktu. Ia kudu bangun di subuh hari. Pulang larut malam. Begitulah ritual hidup harian yang kudu ia lakoni. Ia pernah dicari oleh banyak orang—baik dari kantornya ia bekerja maupun dari pendengar setianya gara-gara dia bangun kesiangan. Sepotong pengalaman unik yang tak pernah tanggal dari memori perempuan ini.

    “Pengalaman kerja pertama kali di umur 18 tahun itu sungguh tak terlupakan. Saya bisa belajar banyak bagaimana mengatur aktivitas hidup saya. Saat itu, selain sebagai penyiar saya juga pernah ambil pekerjaan sambilan sebagai pembantu penelitian dari para dosen. Ini saya lakukan sambil berbagi waktu untuk kuliah,” kata Retna Widawati, Group Product  Manager PT Sido Muncul.

    Pengalaman tadi berbuah kebaikan untuk hidupnya sekarang. Ia mengaku sudah terbiasa mengatur waktu. Baik sebagai seorang perempuan karir di perusahaan jamu modern  terbesar di Indonesia itu maupun sebagai ibu rumah tangga yang kudu berbagi waktu dan kehadiran dengan buah hatinya. “Saat ini, saya harus piawai membagi waktu untuk pekerjaan, anak saya, dan juga hidup sosial saya. Apalagi sejak ditinggal mendiang suami saya. Karir dan anak saya sama-sama menuntut perhatian saya. Saya terbiasa disiplin,” kata ibu dari Daffa Hanandito Nugroho (5) ini.

    Belakangan ini, ia sedang disibukkan dengan tur ke berbagai kota besar untuk meluncurkan ulang Tolak Angin Anak. Acara tur ini terselenggara dengan kerjasama salah satu stasiun televisi swasta. “Kami ingin terus membesarkan Tolak Angin Anak ini dan ingin menyusul kesuksesan Tolak Angin dewasa,” kata Widawati yang saat dihubungi sedang tur Tolak Angin Anak di Yogyakarta.

    Lagi-lagi bekerja baginya adalah belajar. Ia mengaku bersyukur bekerja di Sido Muncul. Sosok Irwan Hidayat, pemilik Sido Muncul, baginya cukup inspiratif. “Pak Irwan adalah sosok pemimpin yang rajin, komit, konsisten, dan selalu memberi contoh. Lebih lagi, ia selalu mengajari kami untuk berbagi kebaikan kepada sesama. Kami punya tim kerja yang kuat. Kami selalu kompak,” cetus perempuan kelahiran Klaten, 7 Juni 1971 dan lulusan Administrasi Publik Universitas Diponegoro, Semarang  itu. (Sigit Kurniawan/Majalah MARKETING)

    Punya Pamor di Pasar Global

    0
    [Reading Time Estimation: 5 minutes]

    Cornelius Husein, Direktur Marketing PT Indah Jaya
    Cornelius Husein, Direktur Marketing PT Indah Jaya

    Terry Palmer melenggang kangkung di pasar ekspor handuk. Selain berkat namanya yang kebarat-baratan, kesuksesan handuk asal Tangerang ini didukung oleh kualitas berstandar internasional dan strategi membuka butik handuk di negara tujuan.

    Mungkin Anda menjadi salah seorang yang terkecoh dengan merek handuk Terry Palmer dan menganggapnya sebagai merek asal Amerika Serikat atau Eropa. Ya, bila demikian, anggapan Anda memang salah. Terry Palmer merupakan merek asli handuk Indonesia yang diproduksi oleh PT Indah Jaya yang mempunyai pabrik di Tangerang, Banten. Nama Terry Palmer sudah cukup berpamor di pasar handuk Indonesia. Pamornya pun tak sebatas di Nusantara saja. Terry Palmer mempunyai nama harum sebagai handuk premium di pasar ekspor, seperti Eropa, Amerika, Australia, Jepang, Singapura, dan Malaysia.

    Handuk Terry Palmer diproduksi oleh PT Indah Jaya yang sejak awal sudah berorientasi pada ekspor mulai tahun 1998. Saat itu, ekspor dilakukan ke Eropa, Jepang, dan Amerika. Orientasi ekspor ke negara maju itu yang membuat PT Indah Jaya komit sejak awal untuk mengedepankan kualitas produk. “Salah satu ciri handuk kualitas ekspor adalah lebih tebal dan lebar,” kata Cornelius Husein, Direktur Marketing PT Indah Jaya.

    Tidak semua produk Indah Jaya masuk ke pasar ekspor. Awalnya, Indah Jaya memasok handuk dan diberi merek oleh perusahaan di negara tujuan. Tidak lama kemudian, Indah Jaya mulai percaya diri mengusung merek sendiri, Terry Palmer. Terry Palmer awalnya dipasarkan di tingkat lokal. Saat itu, Terry Palmer belum fokus digarap, produk ini masih dipasarkan dalam jumlah terbatas. Waktu berselang, ada negara-negara tujuan ekspor yang minta dikirimi handuk dengan merek Terry Palmer pada tahun 2000. “Justru saat krisis melanda ekonomi Indonesia pada tahun 1998, kami sedang gencar-gencarnya melakukan ekspor. Saat itu, tujuan ekspor ke Australia, Eropa, dan Amerika. Lalu pada tahun 2002, kami mulai fokus menggarap merek ini,” kata Cornelius.

    Karakter pasar ekspor handuk berbeda dengan karakter pasar lokal. Konsumen di pasar lokal, menurut Cornelius, kalau membeli handuk tidak memandang kualitas. Yang penting harganya murah. Orang kalau beli handuk juga belum mempunyai tujuan khusus dan cenderung membeli secara kebetulan ketika belanja di supermarket. Kondisi ini membuahkan ide untuk membangun butik khusus handuk. Awalnya diberi nama “Depo Handuk” dan merebak di seluruh pusat perbelanjaan sekelas ITC. Tapi, produknya masih campur dengan aneka merek.

    Lalu, Indah Jaya ingin masuk ke mal dengan nama yang lebih bisa diterima, yakni Terry Palmer. Sampai sekarang, ada dua butik handuk milik PT Indah Jaya, yakni Depo Handuk untuk menyasar kelas ekonomis dan Terry Palmer untuk menyasar kelas menengah atas. Uniknya, Terry Palmer gampang masuk ke pasar menengah atas karena kebanyakan mengira merek ini merupakan lisensi dari Amerika. Strategi membangun butik khusus handuk juga diterapkan untuk menggarap pasar global.

    Handuk Terry Palmer dipasarkan di luar negeri dengan menyasar segmen premium. Jejak pemasaran globalnya pun unik. Sebelum krisis, dolar Amerika masih terbilang murah. Melihat kuatnya rupiah, perusahaan keluarga ini nekat memasarkan handuknya ke luar negeri. Strategi pemasarannya boleh dibilang simpel. Riset awal juga tak dilakukan. Tapi, kenekatan ini disambut antusias oleh pasar global—sebuah  blessing in disguise. Indah Jaya, menurut Cornelius, belajar tentang handuk yang berkualitas justru ketika melakukan ekspor. “Kami merasa saat itu ketinggalan jauh. Tapi, ini justru memicu semangat kami untuk meningkatkan kualitas handuk kami di pasar ekspor,” kata Cornelius.

    Memasarkan produk ini memang gampang-gampang susah. Yang paling menjadi penghalang untuk pasar ekspor, menurut Cornelius, tak lain adalah standar internasional. Dengan ekspor ini pula, Indah Jaya mengklaim diri berubah menjadi perusahaan modern. Salah satu cirinya adalah sertifikasi ISO, baik soal lingkungan, keselamatan dan kesejahteraan buruh, kebersihan pabrik, dan sebagainya. “Dengan standarisasi ini, kami memasarkan produk-produk yang tidak asal dibuat. Dengan begitu, handuk yang kami pasarkan ke pasar domestik otomatis ikut standar internasional ini,” kata dia.

    Selain itu, para pembeli dari negara tujuan ekspor, mempunyai tim pemantau di Indonesia yang fungsinya untuk mengontrol apakah manajemen sesuai dengan standar internasional tersebut atau tidak. “Mereka sangat sensitif dengan ini. Termasuk masalah buruh dan lingkungan hidup. Jadi, soal produksi bagi mereka tidak terlalu jadi perhatian. Bagi mereka, yang penting bahannya berkualitas dan teknologinya berstandar internasional. Nah, ini yang menjadi tantangan bagi kami,” imbuh Cornelius.

    Selain Amerika dan Eropa, Terry Palmer juga sudah mengekspansi pasar Asia. Bahkan, di Singapura dan Malaysia, Terry Palmer mempunyai kantor perwakilan sendiri. Pernah juga Terry Palmer membuka kantor perwakilan selama dua tahun di Sydney, Australia. Di negara-negara tersebut, Terry Palmer juga mempunyai butik handuk sendiri yang berada di berbagai pusat perbelanjaan. “Strategi pertama seperti yang kami lakukan di pasar domestik, yakni membuka butik khusus handuk di pusat perbelanjaan. Mereka dengan tangan terbuka menyambut Terry Palmer. Citra merek ini sudah kuat di sana. Lagi-lagi, nama yang kebarat-baratan ini punya kekuatan menjual,” kata Cornelius terkekeh.

    Di luar negeri, Terry Palmer hanya membuka butik saja. Meskipun ada kantor perwakilan, Terry Palmer tidak melakukan aktivitas pemasaran maupun edukasi pasar secara intensif. Orang-orang di kantor perwakilan bertugas melakukan supervisi pada distribusi Terry Palmer. Terry Palmer mampu menjadi idola di negara-negara tersebut.

    Sementara itu, jangkauan distribusinya cukup luas di kota-kota besar negara bersangkutan. Urusan distribusi ini ditangani oleh orang Indah Jaya sendiri dengan tenaga operasional yang diambil dari negara setempat. Kebanyakan pembeli, khususnya dari Eropa dan Amerika, adalah departemen store yang menjadi pemasar merek Terry Palmer. “Jadi, dalam soal kompetisi, kami tidak dalam kondisi berperang antarmerek di negara tujuan. Mereka datang dan membeli serta memasarkan merek kami. Di Singapura dan Malaysia, kami malah jadi pionir dalam membuka butik handuk. Mereka tidak pernah berpikir soal ini,” kata Cornelius.

    Belum lama, ada yang mengambil lisensi Terry Palmer untuk dipasarkan di Shanghai dan Beijing. Bagi Cornelius, ini peluang sangat besar mengingat Cina dikenal sebagai rajanya tekstil. Apalagi, jalur perdagangan bebas Cina dan ASEAN sudah dibuka dan populer dengan sebutan CAFTA—China ASEAN Free Trade Agreement itu. “Soal handuk, Indonesia tetap menjadi tuan rumah. Di pasaran lokal, khususnya di pasar modern, pangsa pasar kami mencapai 80 persen. Bahkan, hampir 100 persen, handuk kami mendominasi hotel-hotel bintang empat ke atas. Kesempatan masuk pasar Shangai dan Cina ini menambah kekuatan Terry Palmer sebagai produk Indonesia untuk menjajaki pasar Cina,” kata Cornelius.

    Asal tahu saja, untuk menghadapi banjirnya produk Cina yang mengusung harga murah itu, Indah Jaya merilis handuk teranyarnya dengan merek Merah Putih pada awal tahun 2010. Handuk dengan slogan “Handuk Keluarga Indonesia” ini menyasar kelas ekonomi dengan jangkauan distribusi ke berbagai daerah pelosok. “Produk yang mengusung nasionalisme Indonesia ini juga dipasarkan di Singapura dan Malaysia. Bahkan, kami juga ingin membawanya seperti Terry Palmer, untuk bisa menerobos pasar Amerika dan Eropa,” kata Cornelius optimistis.

    Strategi harga yang diterapkan di pasar ekspor disesuaikan dengan kondisi di tiap-tiap negara. Pada intinya, Cornelius menyebut harga yang dipatok cukup kompetitif, khususnya dengan produk-produk Amerika yang dikenal supermahal dan bermutu itu. “Uniknya, beberapa handuk dari Amerika itu sebenarnya juga dari hasil ekspor kami. Bahkan, ada yang memasarkan kembali dari Amerika ke Indonesia seolah-olah itu produk Amerika,” kata Cornelius berlanjut terkekeh.

    Selain merek, kekuatan Terry Palmer ada di sistem produksi dan desain motif. Pabrik yang terbentang seluas 40 hektare di Tangerang itu mempunyai alat-alat produksi berstandar internasional. Terry Palmer juga bermain dalam desain motif. Motif untuk tiap-tiap negara berbeda. Amerika, misalnya, lebih menyukai warna meriah; Eropa lebih doyan warna-warna klasik; Jepang lebih senang warna lembut.

    Pada tahun ini, Indah Jaya terus menggenjot produksi handuknya dan mengembangkan pasar di berbagai negara. “Kami bangga membawa nama Indonesia ke pasar global. Semua made in Indonesia,” pungkas Cornelius bangga. (Sigit Kurniawan/Majalah MARKETING)

    Berkomunikasi Bukan Berbicara

    0
    [Reading Time Estimation: 4 minutes]

    komunikasiwebPernahkah Anda membayangkan seperti apa jika ada dua orang yang berbeda karakter dan menerapkan teknik komunikasi yang berbeda, berorasi di depan banyak audiens tentang teman mereka yang sudah meninggal di acara pemakamannya?

    Si orang pertama berpidato tentang bagaimana saluran darah di kepala temannya tersebut mulai tersumbat, lalu menyebabkan ini, lalu menyebabkan itu, hingga menyebabkan pecahnya pembuluh darah di kepala temannya. Lalu ia menyambungnya dengan menjelaskan beberapa istilah medis, tips dan saran-saran kesehatan bagi audiens yang hadir di acara pemakaman tersebut. Si orang pertama mengira dengan membagikan ilmunya kepada seluruh audiens yang hadir, ia mungkin bisa menyelamatkan banyak nyawa.

    Di lain pihak, si orang kedua menceritakan bagaimana temannya itu hanya berhasil mencetak dua angka dalam suatu pertandingan bola basket yang tak terlupakan sewaktu SMU dulu. “Saya ingat waktu itu kita sering memanggilnya si gagang es krim karena dia begitu kurus. Pada saat detik-detik terakhir pertandingan, sebuah bola umpan tiba-tiba hinggap di tangannya. Tetapi sayang ia lalu tersandung tali sepatunya sendiri dan terjatuh.”

    “Walaupun demikian, sebelum terjatuh, ia masih sempat menyelamatkan bola tersebut ke temannya yang akhirnya berhasil mengegolkan bolanya. Sesaat kemudian, kepalanya lalu membentur satu benda keras di lapangan. Sepanjang hidupnya, temanku si gagang es krim memang selalu berbakat dalam menciptakan sesuatu yang dramatis. Perbuatannya selalu melebihi penampilannya. Dia memang pahlawanku.”

    Kedua orang tersebut sama-sama membicarakan hal yang sama, yaitu teman mereka yang sudah meninggal. Ketika si orang pertama selesai berbicara panjang, penonton tidak memberikan ekspresi apapun. Tetapi, ketika si orang kedua selesai berbicara dengan singkat, terlihat ada beberapa penonton yang meneteskan air matanya dengan ekspresi wajah terharu, senang, dan sedih bercampur aduk. Si orang kedua rupanya lebih sukses menyentuh emosi para audiensnya.

    Tak peduli di mana pun Anda berbicara—di depan umum, di acara pemakaman sampai presentasi produk di sebuah perusahaan—Anda sedang menjual diri Anda sendiri dengan berkomunikasi. Supaya bisa menjual, Anda harus “berkomunikasi” dan bukan hanya “berbicara”. Ikutilah tips-tips berikut supaya pesan yang Anda sampaikan bisa diserap dengan baik oleh audiens.

    Apa yang Hendak Disampaikan

    Pilihlah kata-kata yang hendak digunakan. Lima menit pertama dan lima menit terakhir adalah bagian terpenting. Anda harus membuka, menjelaskan, dan menyimpulkan. Supaya pesan Anda bisa diserap maksimal, maka buatlah kata-kata yang digunakan seminim mungkin.

    Sederhanakan

    Salah satu kesalahan fatal yang bisa Anda buat adalah meremehkan kepintaran audiens. Risikonya adalah kehilangan perhatian dalam sekejap. Anda tidak bisa menganggap audiens terlalu bodoh, tetapi jangan juga menganggap bahwa audiens sudah tahu atau mengerti benar akan apa yang hendak disampaikan. Sederhanakan, tetapi rincilah poin-poin penting yang akan Anda sampaikan, bahkan jika Anda menyampaikan sesuatu yang sebenarnya sudah dipahami audiens.

    Hilangkan kata-kata yang tak perlu. Apa saja yang bisa dianggap tidak perlu? Apa pun yang menyimpang dari topik utama presentasi Anda dan malah bisa membingungkan atau mengundang kontroversi dari audiens. Terkadang hal yang paling sulit adalah menghilangkan kata-kata yang Anda sukai, tetapi sebenarnya tak berhubungan dengan tema utama. Jika tidak ada hubungannya dengan topik, maka lebih baik dihilangkan saja.

    Berikan Penekanan

    Jangan berharap apa yang Anda sampaikan bisa semuanya diserap oleh audiens. Beberapa hal, bahkan banyak hal, akan lewat begitu saja. Walaupun demikian, mereka pasti bisa mengingat apa tema atau topik utama yang hendak Anda sampaikan, jika Anda memberikan penekanan yang cukup dan tak berlebihan pada presentasi yang disampaikan. Cara terbaik melakukannya adalah dengan menyampaikan tema/topik utama tersebut dengan penekanan, pengulangan, atau disertai contoh-contoh.

    Ketika Martin Luther King berbicara di depan Lincoln Memorial, ia mengulang-ulang satu kalimat, “I have a dream”. Bahkan, walaupun Anda tidak ingat lagi apa saja yang ia katakan waktu itu, Anda tetap bisa mengingat jelas tema uniknya, “I have a dream”. Perbedaan dari orang pertama dan orang kedua pada pidato di acara pemakaman di awal tadi sangatlah jelas, yaitu si orang kedua berhasil menekankan tema unik pidatonya, “Temanku si Gagang Es Krim”.

    Tunjukkan, Jangan Cuma Ngomong

    Kebanyakan dari kita bosan jika “diberitahu”, tetapi lebih tertarik jika “ditunjukkan atau diceritakan”. Perhatikan bahwa memberitahukan dengan detail itu berbeda dengan menceritakan dengan detail. Itulah sebabnya mengapa cerita lebih mudah diingat dan lebih tahan lama dalam ingatan kita.

    Selain menceritakan, Anda juga bisa menggunakan bahasa tubuh dan demonstrasi bila perlu, agar bisa lebih efektif dalam menyampaikan pesan. Contoh, Anda hendak menyampaikan, “Awal tahun ini, penjualan kita menurun sepertiganya.” Dengan disertai gerakan tiga jari yang bergerak turun akan bisa membantu audiens untuk lebih mengingatnya.

    Libatkan Audiens

    Seringkali bukan “apa” yang disampaikan, tetapi lebih pada “bagaimana” Anda menyampaikannya. Libatkanlah audiens Anda. Buat mereka tertarik dengan “menarik” mereka lebih dekat pada topik utama, contohnya dengan lebih sering menggunakan kata “kita” daripada kata “saya”.

    Sesekali ajukan pertanyaan kepada audiens. Walaupun tidak ada yang menjawab, mereka pasti menjawabnya dalam hati dan merasa terlibat dalam presentasi Anda. Mereka bisa turut berpikir, turut mempertimbangkan, bahkan turut merasa dihormati, jika Anda sesekali melihat langsung ke mata mereka. Maka, sebelum memulai presentasi, pastikan Anda mengenal siapa audiens Anda.

    Pada contoh di awal artikel ini, si orang pertama mungkin akan bisa lebih menarik perhatian audiens, jika yang hadir adalah kebanyakan dari kalangan akademis atau kedokteran. Tetapi, yang hadir di situ adalah orang-orang yang sedang bersedih atas kematian teman mereka dan berasal dari latar belakang dan profesi yang berbeda-beda. Si orang kedua lebih berhasil menyedot perhatian karena tema yang ia sampaikan lebih bersifat “universal” dan cocok mengena di kalangan audiens yang hadir.

    Latihan, Latihan, dan Latihan

    Sebenarnya satu hal terburuk yang harus Anda hindari dalam berbicara adalah kegugupan. Rasa gugup merusak segalanya. Satu-satunya cara mengatasi kegugupan adalah dengan latihan, latihan, dan latihan. Anda bisa mencoba apa pun, termasuk mengatur nafas, mengepalkan tangan, minum, sampai menutupi kaki Anda yang gemetar, tetapi itu semua tidak akan banyak menolong. Latihan yang berulang-ulanglah yang bisa menghilangkan kegugupan.

    Latihan membuat Anda mampu menghilangkan jeda-jeda yang tak diinginkan dalam berbicara, mengatur intonasi suara saat berbicara (kadang Anda harus berbicara keras, kadang Anda harus berbicara lembut, kadang cepat, kadang lambat). Kombinasi dari semua itu bisa membuat pidato Anda sangat menarik. Semua itu hanya bisa didapat dari “latihan”.

    “Berbicara Tidaklah Sama dengan Berkomunikasi”. (Ivan Mulyadi/Majalah MARKETING)

    Mendulang Rupiah dari Alas Laptop

    0
    [Reading Time Estimation: 4 minutes]
    DSC_0212web
    Juananda Sutan Assin

    Tak terbayangkan sebelumnya oleh Juananda Sutan Assin bahwa bisnis alas laptop yang ia mulai dari rumahnya kian bersinar. Permintaannya tak hanya datang dari pasar domestik saja, tapi juga pasar mancanegara. Usaha yang bermodal awal Rp 20 juta dan dimulai pada tahun 2007 itu, kini sudah merambah pasar Singapura, Brunei, Malaysia, Mesir, dan Australia.

    Sebenarnya, alas laptop ini pernah ia lihat di pasar ketika masih kuliah di Amerika Serikat. Alas laptop terbuat dari plastik itu kemudian menghilang. Di Indonesia, bareng suaminya, perempuan yang akrab disapa dengan Nana ini menghidupkan lagi produk tersebut dengan merek LapTopper.

    Usaha ini awalnya terkesan coba-coba. Saat ide datang, ia menyuruh seorang tukang kayu yang kebetulan punya gawe di rumahnya untuk membuat alas laptop. Bisnis ini ia kerjakan pertama kali dari kamar tidurnya di town house sambil menunggu selesai rumahnya yang sedang dibangun. Meski masih dalam kondisi serba terbatas, usaha Nana ini tergolong terobosan anyar mengingat belum ada pemain lain yang menggarapnya saat itu. Ia jeli melihat kebutuhan konsumen pemakai komputer jinjing akan kenyamanan dalam bekerja.

    Demi kenyamanan bekerja—sementara barang kian menumpuk—ia pun mulai menjadikan sebagian ruang di rumah itu sebagai tempat kerja. Barang pun semakin menyesaki ruangannya lagi. Baru pada tahun 2008, Nana membangun kantor anyar di jalan Karang tengah 1 No. 10, Jakarta Selatan—lengkap dengan sebuah bengkel kerja. Awalnya, Nana mempekerjakan dua orang sebagai tukang jahit. Sekarang, ia mempunyai total karyawan 20 orang yang bekerja di bengkel kreatif.

    Tiga bulan pertama adalah masa pencarian atas bentuk alas laptop yang laku jual. Akhirnya, dirilis tiga ukuran, yakni kecil, menengah, dan besar. Usai tiga bulan itu, Nana mulai menseriusi bisnisnya. Pada Desember 2007, ia memasarkan produknya di Cilandak Town Square (Citos). “Kami pameran di sana di setiap Rabu dengan mengusung 50 biji. Ternyata ludes dan banyak yang memesan. Saat itu, seluruh tukang masih outsource. Kami yang menyediakan mereka bahan bakunya. Kami pun terus menggenjot produksi,” kata Nana.

    Tak jarang, Nana sendiri yang turun ke pameran untuk mengedukasi langsung para pengunjung. Melihat respons pasar yang cukup besar, Nana pun terus mengintensifkan kegiatan pamerannya. Pesanan terus mengalir. Pada Maret 2008, Nana mencoba memamerkan produknya di Singapura. Respons yang diterima sama, positif. “Pertengahan siang di hari pertama, produk kita sudah ludes terjual. Akhirnya kami membuat daftar pesanan. Setiap bulan, kami adakan pameran di negeri itu,” kata Nana dengan paras semringah.

    Selain itu, komunikasi dengan pelanggan—baik pelanggan domestik maupun mancanegara—dilakukan melalui internet. Setiap hari, kata Nana, ada sekitar 10 pesanan melalui surat elektronik. Promosi juga dilakukan dengan situs web, surel (e-mail), telepon, menyebar brosur, dan sebagainya. Media televisi yang meliput LapTopper juga menjadi sarana komunikasi mumpuni. Nana pun tak luput membidik media sosial, seperti Facebook. “Satu media komunikasi yang sangat ampuh justru melalui mulut ke mulut. Satu orang merekomendasikan kepada orang lain. Begitu seterusnya dan membuat pelanggan terus berdatangan ke gerai kami,” tandas dia.

    Setelah mendapatkan kepercayaan diri, Nana memasarkan alas laptop ini ke toko-toko besar, seperti Office 2000, Gramedia, dan sebagainya. Toko-toko tersebut setiap bulannya bisa memesan 300 sampai 500 biji. Sementara, produksi sebulan rata-rata sebanyak 2.000 biji. LapTopper juga bisa dibeli putus dengan pembelian minimum 100 biji. “Sampai kini, kami terus memasok produk ini ke toko-toko tersebut dan cukup laku. LapTopper sudah mempunyai agen sendiri di Singapura, Brunei, dan Australia,” imbuh Nana.

    Produk LapTopper menyasar pengguna laptop dari segala umur. Maklum, laptop, menurut Nana, sudah familier di kalangan anak SD sampai dewasa. Apalagi kebutuhan setiap keluarga akan alas laptop ini tidak cuma satu, mengingat setiap anggota keluarga juga sudah pegang laptop masing-masing. LapTopper mempunyai beberapa keunggulan, seperti ringan, desain warna-warni, punya tiga ukuran, tahan lama, dan ada layanan purnajual untuk pengisian bantalan. Desainnya pun sangat luwes. Pelanggan bisa memesan desain kesukaannya sendiri. “Bila ada produk kami yang rusak lantaran kesalahan di rumah produksi, pelanggan berhak minta tukar atau diperbaiki,” kata dia.

    Kualitas produk ia kontrol sendiri. Termasuk dalam pemilihan motif, desain, serta bentuk alas laptopnya. “Desain itu terkait erat dengan selera. Ada desain yang kami ciptakan sendiri, ada yang disesuaikan dengan selera pelanggan,” cetus Nana.

    Selain itu, beberapa pelanggan—khususnya pelanggan korporat—membeli alas laptop ini sebagai cinderamata maupun suvenir. Jumlah pesanannya pun tak tanggung-tanggung, mencapai ribuan biji. Itu tidak hanya perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, tapi juga di luar negeri, seperti Singapura, Brunei, Australia, dan Malaysia. Sekolah-sekolah juga mulai memesan alas ini untuk guru dan siswanya. “Alas laptop sekarang sedang menjadi tren sebagai hadiah ulang tahun juga. Jadi, LapTopper memberi sentuhan baru di hari ulang tahun tersebut,” cetus Nana.

    Strategi harga yang diterapkan cukup rasional. Sebagai pebisnis, prinsip Nana, kudu bisa mendapat profit. Rentang harga LapTopper antara Rp 195 ribu sampai Rp 350 ribu. “Di Indonesia, kami sedang fokus menggarap kota Jakarta. Kami juga sudah mulai menjajaki Bandung, Samarinda, Surabaya, dan kota-kota lain,” kata dia.

    Sebagai pionir, LapTopper tak luput diikuti oleh pemain lain. Nana juga menyadari adanya bahaya pemalsuan. Untungnya, kata Nana, LapTopper sudah didaftarkan sebagai hak cipta. “Munculnya pemain lain itu lumrah dalam bisnis. Kami tak boleh menutup pintu rezeki orang lain. Asalkan tidak saling menjatuhkan dan melakukan pemalsuan atau mengopi alas laptop kami. Karena kami yang pertama, merek LapTopper sudah menempel erat di benak pelanggan,” katanya.

    Selain alas laptop, diproduksi juga alas untuk makan di tempat tidur dan alas buku. Jerih payah Nana pun berbuah omzet sekitar Rp 300 jutaan setiap bulannya. Tahun ini, ia bertekad mengembangkan pasar yang lebih luas lagi. Termasuk membidik kalangan ekspatriat melalui beragam pameran. “Kami terus melebarkan dan  memantau pasar sembari melakukan inovasi produk. Selain itu, bisnis ini butuh kesabaran,” tandas Nana. (Sigit Kurniawan/Majalah MARKETING)