Sunday, October 5, 2025
Home Blog Page 2208

Terus Berlari Bersama MiCoach

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

adidas-micoach1webAdidas tidak sekadar memproduksi sepatu olahraga, tapi juga menawarkan produk/alat yang dapat menjadi pelatih pribadi. Seperti apa alat itu dan bagaimana Adidas memperkenalkan alat itu?

Semua orang pasti tahu, rajin berolahraga akan membuat tubuh menjadi sehat dan kuat. Namun, berapa banyak orang yang mau melakukannya secara rutin? Padahal, salah satu penyebab kerentanan orang muda sekarang terkena penyakit adalah akibat kurang berolahraga.

Alasan orang malas melakukan aktivitas memeras keringat ini bisa bermacam-macam. Antara lain, lelah karena terlalu sibuk, dianggap kurang fun, dan kurang ada yang memotivasi.

Mungkin bakal lain ceritanya jika setiap orang memiliki pelatih pribadi yang bisa melatih kapan pun yang mereka mau, dan dengan cara yang menyenangkan.

Ya! Nampaknya harapan itu tak mustahil diwujudkan. Pasalnya, kini Adidas telah menghadirkan sebuah alat yang mampu menjadi pelatih pribadi virtual bagi mereka yang mencintai olahraga lari. Alat ini diperkenalkan dengan nama miCoach.

Menurut Brand Communication Manager Adidas Indonesia, Monica Ang, miCoach merupakan sistem pelatih pribadi yang secara virtual dapat memotivasi, menginspirasi, dan memberikan panduan kepada pelari untuk berlari dengan metode yang lebih efektif dalam mencapai target latihan, serta memberikan semangat pada saat berolahraga.

“Sebab itu selain diperuntukkan bagi para pecinta lari, alat ini juga berguna bagi para atlet lari yang ingin meningkatkan performa mereka,” jelas dia.

Cara kerja alat ini cukup mudah. MiCoach bekerja sebagai personal trainer. Cara kerjanya dengan memberikan panduan secara audible untuk menuntun pengguna menyesuaikan kinerja langkah kaki dan kapasitas jantung.

Selanjutnya miCoach akan memberikan instruksi untuk mempercepat atau memperlambat kecepatan berlari berdasarkan hasil sensor yang diterima oleh alat pelengkap yang dipasangkan di bagian dada dan kaki.

Antusiasme pelanggan Adidas di banyak negara seperti Eropa, Amerika, Australia, dan Asia, cukup tinggi menyambut produk terbaru ini. Meski tidak bisa menyebutkan angka, namun, kata Monica, hal itu terbukti dari penjualan miCoach hingga kini terus meningkat seiring kepedulian masyarakat terhdap kesehatan tubuh.

Untuk Indonesia, responsnya juga cukup baik. Namun, masih harus terus ditingkatkan. Karenanya, Adidas pun menyiapkan serangkaian kegiatan untuk brand activation miCoach.

Salah satunya dengan menggelar “adiNation of Runners Indonesia” di mana para pencinta Adidas bisa bergabung dalam komunitas pelari. Selain itu, akan ada banyak kegiatan menarik menjelang acara piala dunia tahun ini.

Sebelumnya, ketika miCoach menapak di Indonesia pada Maret 2010, upaya menggaet perhatian pelanggan telah dilangsungkan Adidas dengan cara berkomunikasi langsung kepada mereka di saat peluncuran. Kala itu, setiap pelanggan dipersilakan untuk mencoba keunggulan dari teknologi miCoach.

Bentuk komunikasi lain juga dilakoni Adidas lewat promosi di sejumlah media dan menggelar latihan bersama pelatih expertise dari Singapura di Celebrity Fitness. “Tidak menutup kemungkinan nanti kami juga bakal menggandeng atlet untuk membantu brand awareness miCoach,” ungkap Monica.

Sedangkan dari sisi komunkasi via digital, Adidas juga menyediakan program rencana latihan di miCoach.com. Pada situs web tersebut, pemakai miCoach dapat membuat rencana latihan sesuai yang diinginkan, seperti target yang mau dicapai, dan secara proaktif dapat melihat perkembangannya setiap saat.

Program miCoach meliputi enam rencana latihan, mulai dari rencana untuk dapat berlari lebih cepat dan meningkatkan waktu pribadi, hingga bagi mereka yang menginginkan penurunan berat badan.

Monica menjelaskan bahwa target alat ini tidak disegmentasikan secara khusus. Baik yang muda maupun yang tua, wanita atau pria, semua bisa menggunakan miCoach.

Di samping itu, alat ini juga tidak memiliki efek samping lantaran sebelum melahirkan micoach, pihak Adidas Innovation Team telah melakukan penelitian selama dua tahun lebih.

Bersamaan dengan itu, Adidas juga bekerja sama dengan pelatih atletik terkenal sedunia dalam menciptakan metodologi pelatihan miCoach, termasuk Mark Verstegen, penemu dan direktur Athletes’ Performance Insititute (API), sebuah tempat pelatihan dan pusat penelitian olahraga kelas atas yang berpusat di Arizona State University.

Harga yang dibanderol untuk alat ini tidak terlalu mahal, hanya sebesar Rp 1.599.000. Ke depan, ujar Monica, dirinya yakin miCoach dapat diterima di pasar Indonesia seiring meningkatnya kesadaran orang Indonesia untuk berpola hidup sehat. (Andri Darmawan/Majalah MARKETING)

Gempuran Android di Indonesia

1
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

androidwebDi tengah persaingan smartphone yang ketat ini, Android muncul sebagai sistem operasi open source. Android memasuki pasar Indonesia yang sangat dinamis dengan menggandeng enam vendor sekaligus.

Setahun terakhir ini, pasar smartphone didominasi oleh iPhone dan BlackBerry. Dua handset mutakhir ini telah sukses tampil di pasar kelas atas dan menjadi ikon gaya hidup di Indonesia. Dua handset beda pabrikan ini menawarkan layanan dan aplikasi yang lebih digandrungi oleh konsumen Indonesia. iPhone dan BlackBerry menantang para pemain lama untuk terus berinovasi.

Pasar smartphone di Indonesia mempunyai karakter yang unik. Polanya hampir tak bisa ditebak karena dinamis dan boleh dikatakan sedikit emosional. Konsumen di Indonesia sangat menggandrungi produk-produk yang akrab dengan  sentuhan gaya hidup. BlackBerry  bisa  menjadi contoh yang paling tepat. Kesuksesan BlackBerry di Indonesia disebabkan karena konsumen yang menerimanya sebagai penunjang gaya hidup dan gengsi. Walaupun fungsi optimal BlackBerry untuk kegiatan bisnis, di Indonesia diadopsi secara berbeda. Bukan fungsi teknisnya, tapi lebih pada gaya hidup.

Di tengah situasi ini, Android, sebuah sistem operasi yang dimiliki oleh Google dengan platform yang bersifat open source, menggandeng enam vendor produsen smartphone dan operator untuk menggempur pasar Indonesia. Melihat konsumen Indonesia yang sangat adaptif ini, Android optimistis bisa menggarap pasar Indonesia dan bersaing dengan para pemain lain.

Semua berawal ketika Google membeli Android di tahun 2005. Waktu itu, Google sudah merajai internet di tataran PC. Tapi, dia belum bisa memasuki pasar mobile. Padahal waktu itu, pasar mobile tumbuh dengan cepat. Buktinya, tahun 2007, pengguna mobile phone dua kali lipat lebih banyak daripada pengguna notebook.

Waktu itu, Google hanya bisa memasuki pasar mobile melalui layanan saja—tak  bisa masuk ke mobile dalam bentuk sistem operasi. Sebab itu, dengan menggandeng Android, Google masuk ke pasar mobile dengan sistem open platform. Sistem operasi ini memungkinkan orang bisa melakukan kustomisasi  pada Android sesuai dengan keinginannya, juga dengan menciptakan semua aplikasinya.

Menurut Arief Burhanuddin, penggagas komunitas www.android-indonesia.com, Android berbeda dengan dua pendahulunya, BlackBerry dan iPhone. “Dua pendahulunya ini bersifat lebih tertutup dalam pengembangannya sehingga Android yang bersifat open source bisa saja berkembang lebih pesat,” ujar Arief menjelaskan keunggulan Android.

“Pada tahun 2009, Android sudah masuk ke Indonesia. Tapi, waktu itu, respons masyarakat kurang bagus. Mereka masih merasa asing dengan Android. Pada tahun ini, Android dengan menggandeng Indosat dan enam vendor, yakni HTC, Sony Ericsson, Huawei, LG, Samsung, dan Motorola, melakukan pengenalan di pasar Indonesia lagi,” imbuh dia.

Langkah yang dilakukan oleh Android ini sangat tepat. Dengan menggandeng banyak vendor dan operator seluler, penetrasi ke pasar akan semakin mudah. Arief menambahkan kesadaran merek dari konsumen terhadap Android ini cukup tinggi. Walaupun data penjualannya masih telalu dini untuk diukur, apresiasi konsumen sangat positif  dan popularitas Android pun turut terdongkrak. Buktinya, sejak  Februari lalu, komunitas android-indonesia.com sudah mencapai 1.200 anggota.

Tak hanya itu, melalui multivendor, Android bisa memasuki berbagai segmen pasar di Indonesia. Dari segmen tingkat menengah atas sampai menengah bawah. Sehingga Android bisa lebih memperlebar sayapnya dalam melakukan penguatan merek di pasar smartphone Indonesia. Bahkan, para vendor juga menyediakan harga yang sangat variatif, dari Rp 2 juta sampai Rp 7 juta sehingga bisa dijangkau oleh semua segmen.

Segmen kelas atas didominasi oleh Sony Ericsson XPERIA X10, Google Nexus One, Motorola Milestone, dan HTC Hero untuk harga berkisar Rp 5-6 juta. Sedangkan untuk kelas menengah atas, LG GW620, Samsung I5700 Galaxy Spica, dan Huawei U8220 bertengger dengan harga berkisar Rp 3-3,5 juta. Untuk kelas menengah bawah, dimainkan oleh dua produk lokal, yaitu iMobile IE 6010 dan IMO S900 yang membanderol harga sekitar Rp 2-2,5 juta. Dengan banyaknya basis vendor ini, semakin mudah Android dikenal oleh pasar.

Arief menambahkan yang menjadi kekuatan dari smartphone Android ini  adalah akses ke internet sehingga membutuhkan paket data yang cukup besar. Apalagi konsumen Indonesia sudah menggandrungi internet mobile ini terutama untuk mengakses jejaring sosial, chatting, mengunduh data, dan berselancar di internet. “Android sangat cocok bagi konsumen di Indonesia, bukan melulu karena sistem operasi yang disediakan tapi lebih dari sisi tampilan dan layanan seperti chatting, Facebook, dan browsing karena itulah yang dibutuhkan oleh konsumen di Indonesia,” ujar Arief.

Sementara itu , Usun Pringgodigdo, General Manager Mobile Communication PT LG Electronics Indonesia mengatakan sistem operasi yang paling cocok untuk smartphone adalah sistem operasi yang bersifat open source. Saat ini, Android menjadi open source yang paling bagus untuk digunakan karena dimiliki oleh Google yang sudah menjadi pemimpin pasar di dunia internet. “Ini yang menjadi latar belakang LG untuk menggunakan Android dalam menggarap pasar smartphone,” kata Usun.

LG GW620 sudah dipasarkan di Indonesia sejak Maret lalu . LG GW620 menggunakan sistem operasi Android 1.5,  kombinasi antara layar sentuh dan qwerty, dan dilengkapi dengan kamera 5 megapiksel. Selain menggunakan Android, keunggulan lainnya terletak pada  sisi peranti lunak yang menonjolkan sisi kemudahan akses internet. LG juga melengkapi keunggulannya pada fitur handset. Olehnya, LG Android ini menjadi salah satu handset pilihan konsumen.

Menurut Usun, Android masih baru di Indonesia. Sebagai Vendor, tak efisien apabila  LG sendirian dalam mengimplementasikan strategi marketing Android. Harus ada tiga pihak yang terlibat dan berkolaborasi, yaitu vendor, operator, dan komunitas yang terdiri dari pengguna aplikasi dan pengembang aplikasi. “Itulah yang terjadi di Indonesia.  Vendor yang memproduksi handset harus turut didukung oleh operator seluler yang menyediakan layanan data. Sedangkan komunitas sangat membantu penetrasi pasar dan kesadaran merek karena mereka yang menjadi pengguna awal dari Android ini,” ujar Usun.

LG selalu mengomunikasikan pada konsumen bahwa produknya sangat mudah digunakan. Usun juga mengatakan salah satu strategi LG untuk mengenalkan Android  pada konsumen adalah menciptakan portofolio produk yang banyak sehingga bisa bermain di beberapa segmen. Pada awalnya, memang harus dipicu melalui kepemimpinan produk yang kemudian akan merembet pada kepemimpinan konsumen di mana konsumen akan mengadopsi produk ini. Android mempunyai potensi yang sangat bagus. Sebab itu, ke depannya, LG akan terus mengembangkan potensi platform open source ini.

Di lain pihak, Hioe Ankin, Head Mobile Department PT. Samsung Electronics Indonesia mengatakan hal yang serupa. Android menjadi sistem operasi yang sangat sesuai bagi konsumen Indonesia yang doyan mengakses internet.  Sebab itu, Samsung menggunakan Ansroid sebagai sistem operasi untuk Samsung I5700 Galaxy Spica. Ankin mengatakan,  “Tak ada latar belakang yang sangat spesifik dalam mengembangkan Android. Samsung ingin mengisi semua line-up sistem operasi yang ada yang sebelumnya sudah menggunakan Windows Mobile dan Symbian.”

Sama dengan pemain Android lain, Galaxy Spica baru masuk ke pasar Indonesia dan mendapatkan reaksi pasar yang cukup bagus. Selain menggunakan sistem operasi Andorid 1.5, Galaxy Spica juga mempunyai kelengkapan media dan bermain di fitur layar sentuh. Tak ayal lagi Samsung Galaxy Spica cukup digemari oleh konsumen.

Ke depannya, Samsung menargetkan penjualan lebih dari 20 ribu unit per bulan. Sebab itu, perusahaan elektronik dari Negeri Ginseng ini sangat gencar melakukan promosi baik dengan iklan di media massa maupun menggelar kegiatan dan tur bisnis ke beberapa kota. Di tengah konsumen yang sedang dilanda demam BlackBerry, Ankin mengatakan munculnya Android, pasar akan semakin ramai. Android bisa menjadi penantang baru di industri smartphone. (Leonardus Meta Noven/Majalah MARKETING)

Kaspersky; Merambah Pasar dengan DokterVirus

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

ksss12345rtnv7webBagi pecinta teknologi informasi (TI), nama Kaspersky cukup terkenal sebagai antivirus berkemampuan canggih. Kini, Kaspersky rajin membidik pasar lewat beragam media. Salah satunya lewat media internet berupa situs DokterVirus.

Keamanan penyimpanan data merupakan hal yang krusial dewasa ini. Semakin pesat perkembangan teknologi komputer, semakin rawan keamanan berkas (file) data yang kita miliki. Akibat seringnya virus menyerang berkas data, kini banyak produk yang menawarkan program antivirus untuk proteksi data. Dari sekian banyak antivirus, Kaspersky merupakan produk yang sudah sangat dikenal.

Saat ini, Kaspersky merupakan pemimpin pasar untuk produk antivirus dan internet security. Produk ini merupakan keluaran Kaspersky Lab, perusahaan asal Rusia yang bergerak dalam bidang aplikasi keamanan. Sejak awal 2008 lalu, Kaspersky Lab menunjuk PT Astrindo Starvision sebagai distributor tunggal untuk penjualan Kaspersky Consumer Product di Indonesia. Adanya distributor ini mempermudah pengguna PC dan perangkat mobile di Indonesia untuk mendapatkan program antivirus dari Kaspersky. PT Astrindo Starvision didirikan pada tahun 2006 dengan tujuan untuk membantu mengembangkan pasar teknologi informasi (TI) di Indonesia. Dengan melalui jaringan distribusi yang seluas-luasnya, diharapan teknologi informasi terdepan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat di Tanah Air.

Menurut Joni Irwanto, General Manager PT Astrindo Starvision, antivirus maupun internet security saat ini sudah menjadi perangkat lunak wajib yang harus dimiliki setiap pengguna komputer. Maraknya penggunaan internet dan kemudahan untuk mengakses data yang tersedia di internet membuat semakin tinggi pula ancaman bagi perangkat komputer untuk terinfeksi virus, spyware, malware, dan banyak lagi.

Sejak berdiri tiga tahun lalu, perkembangan PT Astrindo Starvision tergolong dinamis sesuai dengan perkembangan industri TI pada umumnya. Perusahaan ini termasuk salah satu distributor TI yang cukup berhati-hati dalam memilih produk yang berkualitas dan sesuai dengan pasar Indonesia. Sesuai pengamatan perusahaan, Kaspersky adalah produk antivirus yang terunggul selama beberapa tahun terakhir ini.

Target market dan segmen yang dibidik oleh Kaspersky adalah seluruh pengguna komputer, baik netbook, notebook, PC, maupun server. Kaspersky menjangkau seluruh kalangan masyarakat yang ada. “Pangsa pasar kami adalah konsumen yang sangat rentan terhadap virus dan ancaman lainnya. Selain itu, kami juga menargetkan segmen pelaku usaha kecil dan menengah (UKM),” ujar Joni.

Mengenai harga, produk Kaspersky cukup kompetitif dan relatif terjangkau, yaitu mulai dari harga Rp 250 ribu untuk produk yang paling mendasar. Namun demikian, hambatan yang dihadapi saat ini adalah tingkat kesadaran pengguna komputer yang masih rendah mengenai penggunaan produk antivirus berkualitas, dan juga tingkat pembajakan software yang masih tinggi.

Berbagai kelebihan dan keunggulan antivirus Kaspersky menjadi alasan masyarakat dalam memilih produk ini. Selain sangat mudah di-install dan digunakan, produk ini juga merupakan antivirus yang tercepat update-nya. Kedua faktor ini menjadikan Kaspersky sangat diminati oleh semua kalangan baik yang fasih TI maupun pengguna komputer pemula.

Untuk strategi pemasarannya, perusahaan memfokuskan pada komunikasi untuk meningkatkan brand awareness serta edukasi secara rutin melalui pelatihan dan seminar kepada mitra bisnis maupun pengguna produk. Di samping itu, yang tak kalah penting adalah perhatian pada ketersediaan produk tersebut di toko-toko komputer, sehingga mudah terjangkau oleh konsumen. “Kami menyediakan jalur distribusi yang nyaman buat pembeli, yaitu melalui mitra bisnis kami yang tersebar di seluruh Tanah Air, atau pembelian secara online melalui www.doktervirus.com,” jelas Joni.

Diakui Joni, selain inovasi dari sisi teknologi, strategi marketing dan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya penggunaan antivirus berkualitas juga menjadi faktor penting dalam membantu meningkatkan penjualan.

Untuk memperkuat penetrasi pasar, Kaspersky melakukan strategi komunikasi melalui berbagai media, baik elektronik, media cetak, maupun pameran (seperti yang dilakukan beberapa waktu lalu lewat pameran di JCC). Suara konsumen pun tak luput diperhatikan dengan serius. Perusahaan juga menerima saran, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari calon pengguna. “Saran secara langsung adalah via seminar, pelatihan atau web survey. Sementara yang tidak langsung adalah melalui komentar dari mitra bisnis kami,” kata Joni.

Meskipun banyak produk antivirus lain yang beredar di pasaran, akan tetapi tidak ada produk-produk lainnya yang berkompetisi secara langsung dengan Kaspersky. Hal ini dikarenakan tiap produk memiliki karakteristik masing-masing. Kaspersky memiliki beberapa keunggulan dibanding produk sejenis yang beredar di pasar. Di antaranya adalah jaringan support-nya yang tersebar di seluruh Indonesia. Melalui hotline, e-mail, maupun mitra bisnis PT Astrindo Starvision yang tersebar di berbagai daerah, konsumen akan merasa aman dan nyaman dalam menggunakan produk-produk Kaspersky antivirus dan internet security. Selain itu, seluruh proses yang ada di dalam Kaspersky juga diautomatisasi untuk memudahkan pengguna. Proses update, scanning, dan sebagainya dibuat otomatis untuk mengurangi interaksi pengguna. Proses update ini sangat cepat dan dilakukan hampir setiap satu jam sekali untuk mengantisipasi perkembangan virus yang sangat cepat.

Keunggulan lainnya adalah, fitur HIPS (Host Based Intrusion Prevention System) yang memaksimalkan teknologi alogaritma mutakhir untuk mencegah penyusup mengakses komputer dan teknologi virtual keyboard yang memungkinkan kita melakukan transaksi online secara aman. Kemudian fitur parental control yang juga sangat efektif mencegah efek negatif internet bagi anak-anak dengan membatasi perilaku browsing sesuai dengan umur pengguna.

Satu hal yang menjadikan  PT Astrindo Starvision berhasil memasarkan produk Kaspersky di sini adalah kekonsistenan mereka dalam mengelola tiga hal, yaitu mengembangkan produk yang bagus, pengadaan produk yang lancar, serta layanan pra dan purnajual yang sempurna. (Harry Tanoso/Majalah MARKETING)

Jemput Bola dengan Dokter Anak

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

100_3250webMead Johson Indonesia menggelar kampanye konseling para dokter anak. Selain untuk menjawab kebutuhan para ibu akan informasi pendidikan anak, program ini dimaksud untuk mendongkrak kepercayaan pelanggan pada merek susu formulanya.

Setiap orangtua, khususnya ibu, tentu ingin bisa membesarkan dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Mereka ingin agar anak-anak bisa kecukupan dalam hal pendidikan maupun asupan gizi. Tapi, tak jarang, banyak orangtua yang kurang tahu-menahu bagaimana mendidik dan membesarkan anaknya dengan baik. Hal ini bisa disebabkan lantaran kesibukan orangtua maupun keterbatasan mereka dalam mengakses informasi seputar cara mendidik anak yang ideal. Kadang mereka ingin mengakses informasi itu, tapi tak tahu ke dokter mana mereka kudu bertanya.

Melihat kebutuhan ini, PT Mead Johnson Indonesia menggelar kampanye “Ask Your Doctor” untuk beberapa waktu. Strategi jemput bola dengan media para dokter inilah yang lagi gencar dilakukan oleh Mead Johnson. Harapannya satu, meningkatkan kepercayaan pelanggan pada merek-merek keluaran perusahaan yang berkantor pusat di New Jersey, Amerika Serikat itu.

“Kami ingin mendorong para orangtua agar lebih aktif mencari informasi tentang perkembangan optimal anak mereka. Program ini digelar karena banyak fakta yang menunjukkan para ibu punya banyak sekali pertanyaan seputar perkembangan anak mereka. Banyak yang tidak mendapatkan kesempatan bertanya pada dokter anak. Akibatnya, tak jarang jawaban yang mereka dapatkan kurang tepat,” kata Asianti Sukendar, Direktur Marketing PT Mead Johnson Indonesia.

Program Ask Your Doctor yang digelar sejak dua bulan silam ditujukan untuk semua ibu dari semua kalangan. Meski tak disanggah, aktivitas ini menjadi bagian dari strategi marketing perusahaan internasional dalam industri nutrisi bayi dan anak yang produknya telah hadir di Indonesia sejak tahun 1920-an tersebut. “Kami menyasar ibu-ibu secara umum. Mereka selalu ingin mengoptimalkan perkembangan anaknya. Yang sering kami dengar, mereka tidak tahu kepada siapa mereka harus bertanya. Kalaupun ada, tak jarang banyak dokter yang sibuk,” kata Asianti.

Program ini mempunyai dua sasaran, yakni para dokter dan para ibu. Kampanye yang ditujukan bagi para dokter, menurut Asianti, bertujuan agar mereka sadar bahwa ada banyak kebutuhan para ibu yang belum terpenuhi oleh dokter. Mead Johnson Indonesia membidik sekitar 450 dokter anak di seluruh Indonesia untuk terlibat dalam program ini. Untuk para dokter anak, Mead Johnson menggelar serangkaian seminar dan lokakarya. Program ini merupakan buah kemitraan antara Mead Johnson dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

“Tujuannya, memfasilitasi komunikasi dengan orangtua tentang nutrisi dan stimulasi untuk tumbuh kembang anak yang optimal. Lokakarya ini diadakan di berbagai kota,” imbuh Asianti.

Sementara itu, untuk memfasilitasi para ibu dalam proses komunikasi dengan para dokter, Mead Johnson menyediakan konsep stimulasi bernama Enfa Smart System. Konsep menyeluruh yang dibuat oleh pemilik merek susu formula dalam kemasan Enfagrow dan Enfakid ini terdiri dari lima pokok bahasan, yakni stimulasi, nutrisi, musik, bermain, dan bahasa. “Kelima pokok bahasan itu kami terjemahkan juga dalam bentuk brosur yang berisi panduan pertanyaan dan jawaban. Diharapkan, brosur ini membantu proses komunikasi antara dokter dan para ibu,” cetus Asianti.

Edukasi program Ask Your Doctor di kalangan masyarakat dilakukan dengan mengisi acara di beberapa radio dan menggelar tur Enfa Smart Adventure di tujuh kota besar. Program tur ini juga dalam rangka mengedukasi pelanggan tentang tambahan komposisi anyar dalam produk Mead Johnson, yakni Enfa A+ Formula. Komposisi tersebut ditambahkan ke susu formula kemasan Enfagrow A+ dan Enfakid A+. “Tambahan ini akan menjadi andalan kami karena ini merupakan komposisi unik Kolin, Prebiotik, dan Antioksidan berupa Vitamin C dan E. Komposisi tersebut membantu mendukung perkembangan otak dan menambah daya tahan tubuh secara alami pada anak-anak,” tukas dia.

Rencananya, nanti akan dibangun situs web di mana para ibu masih terus bisa berkonsultasi dengan para dokter secara daring (online). Program marketing ini juga diharapkan bisa membangun kepercayaan ibu-ibu kepada merek keluaran Mead Johnson. Mead Johson, aku Asianti, tidak hanya peduli pada penjualan produk. Tapi, mereka juga peduli pada anak-anak yang mengonsumsi produk mereka. “Kami memang mau meningkatkan penjualan. Tapi, besaran persennya saya tidak bisa menyebutkan berapa kisarannya,” kata dia.

Kompetisi di pasar susu formula Indonesia cukup riuh. Selain bermain di ranah kualitas, pertimbangan keterjangkauan harga juga menentukan. Program komunikasi dengan membangun relasi emosional dengan para ibu pun digelar. Model aktivitasnya beragam. “Kami melihat beberapa pemain susu yang melakukan kegiatan serupa. Cuma perlu digarisbawahi bahwa kami adalah pionir dalam menggarap program peduli seperti ini. Sebab itu, kami akan terus berinovasi atas produk dan sebagainya agar semakin berkualitas bagi anak-anak dan para ibu,” kata Asianti.

Ke depannya, Mead Johson tidak hanya akan menjadi mitra para ibu tapi juga akan terus bermitra dengan para dokter. Perusahaan ini akan kontinu memelihara relasi dengan mereka. Tujuannya agar dokter pun bisa mendukung apa yang dilakukan perusahaan. Program akan kontinu dilakukan melalui situs web yang akan ditata secara interaktif. Diharapkan situs web ini bakal menjadi ruang bebas berkomunikasi antara dokter anak dan para ibu.

“Tahun ini kami akan terus meningkatkan kesadaran merek melalui aktivitas peduli kepada para ibu dan anak-anak terkait dengan nutrisi dan stimulasi perkembangannya,” tandas Asianti. (Sigit Kurniawan/Majalah MARKETING)

Konsumen Masih Melirik Pasar Tradisional

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Untuk produk komoditas, konsumen lebih memilih pasar tradisional. Sementara, pasar modern dipilih untuk pembelian produk nonkomoditas seperti susu, vitamin, soft drink, dan lainnya.

Naiklah ke atas jembatan fly over Ciputat Raya, kemudian berhenti tepat di atasnya. Jika kita menuju ke arah jalan Dewi Sartika, tengoklah ke kanan. Tampak deretan lapak beratap plastik warna biru yang sudah koyak-koyak. Lalu, tengoklah ke arah sampingnya. Di sana, terdapat bangunan megah Mal Ciputat. Itulah sebagian wajah pasar Ciputat. Ketika melihat itu semua, kata pertama yang tepat dipilih adalah, kontras.

Jika ada waktu, cobalah untuk sekali-kali mampir ke pasar. Bagaimana keadaan sesak di sana, pasti akan dijumpai. Apalagi saat pagi hari, ketika banyak pengunjung—terutama para ibu—sibuk melakukan ritual belanja untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Kelebihan pasar tradisional di antaranya harga dapat ditawar—ini merupakan kepuasan tersendiri bagi para ibu yang biasa berbelanja. Dalam hal kelengkapan barang dagangan, sebagian besar pasar tradisional sudah lengkap menyediakan aneka keperluan sehari-hari. Mulai dari bumbu dapur, sayuran, sembako, jamu, hingga kemenyan dan bunga-bunga keperluan ziarah ke makam, ada di sana. Hal inilah yang jarang dijumpai di pasar modern, dan menjadi alasan para konsumen lebih memilih untuk sibuk di “pasar becek” ketimbang di pasar modern.

Meski ritel modern tampak terus berkembang, pasar tradisional ternyata masih menjadi pilihan konsumen untuk berbelanja—terutama untuk kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan hasil riset Nielsen di lima kota besar di Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dan Medan, pasar tradisional masih dominan sebagai tempat untuk berbelanja. Tren belanja tersebut terlihat dari frekuensi kunjungan ke channel tradisional—seperti pasar tradisional, pasar becek, dan toko sayuran—yang tetap tinggi dibandingkan frekuensi belanja di channel modern. Frekuensi kunjungan konsumen ke pasar tradisional bisa mencapai 25 kali dalam sebulan, 12 kali untuk pasar becek, dan 19 kali untuk toko sayuran. Sementara kunjungan ke channel modern tidak lebih dari 7 kali dalam sebulan.

Melihat persentase dari frekuensi kunjungan ini, beberapa perusahaan yang menggarap pasar modern pun tak mau ketinggalan. Direktur Retail dan Services Nielsen, Yongky Susilo, mengatakan pertumbuhan pasar modern tahun ini diprediksi lebih pesat dari tahun 2009 karena semua peritel besar melakukan ekspansi. Carrefour misalnya, telah menambah gerainya dari 44 menjadi 48 gerai, Giant dari 55 menjadi 61 gerai. Sementara, pertumbuhan yang paling subur memang terletak di sektor minimarket. Indomaret yang tadinya hanya membangun 3.312 gerai, kini melonjak menjadi 4.110 gerai. Disusul Alfamart yang juga tak mau kalah bersaing, dari 2.975 gerai, bertambah menjadi 3.777 gerai.

Dengan keadaan ekonomi terlihat positif pada paruh pertama tahun 2010 ini, kepercayaan konsumen naik, pertumbuhan volume belanja juga menunjukkan kenaikan positif. Nielsen Shopper Trends melaporkan bahwa tingkat belanja konsumen akan naik tahun ini. Pertumbuhan produk kelontong di Indonesia terhitung sejak Januari–Mei 2009 sampai Januari–Mei 2010 mengalami kenaikan hingga 9persen dengan nilai Rp 44,7 triliun. Apalagi pada Agustus 2010, tingkat belanja konsumen bakal merangsek naik seiring penyambutan hari raya Idul Fitri.

Dalam hal berbelanja, konsumen juga memerhatikan channel yang berbeda untuk melakukan pembelian terhadap kategori yang berbeda juga. Konsumen melakukan pembelian untuk barang komoditas seperti mi instan, minyak goreng, dan kecap pada tempat tradisional. Sedangkan lebih dari 50persen konsumen akan memburu susu, vitamin, dan produk perawatan kulit ke pasar modern.

Sementara mengenai intensitas konsumen berbelanja, mungkin akhir pekan adalah waktu yang paling disukai untuk mengunjungi hypermarket dan supermarket, dengan persentase masing-masing 34 persen dan 45 persen. Hal ini mungkin karena mereka merasa bahwa aktivitas di kedua tempat tersebut bisa dijadikan sebagai ajang rekreasi keluarga—jika melihat dari waktu kunjungan yang dilakukan pada siang hingga sore hari. Untuk minimarket, konsumen biasanya mengunjungi pada malam hari (43 persen). Untuk channel tradisional (toko-toko dan pasar tradisional), konsumen memilih untuk mengunjungi pagi hari dengan sekitar 40 persen konsumen mengunjunginya pada hari kerja.

Pasar tradisional memang masih dominan di antara kalangan raksasa ritel global. Tapi di lain sisi, Yongky menekankan, bukan berarti pasar tradisional menjadi pilihan satu-satunya. Tipe perilaku konsumen Indonesia adalah repertoire atau saling-silang. Mereka yang ke pasar tradisional juga belanja di hypermarket, supermarket, dan minimarket, tergantung urgensi kebutuhan. “Tren belanja di semua kategori tiap tahun juga naik,” ujar dia.

Nielsen juga melakukan riset mengenai kebiasaan konsumen berbelanja. Biasanya, para konsumen juga akan lebih nyaman jika berbelanja bersama orang lain. Sejumlah 45 persen konsumen memilih ke Hypermarket dengan anak, 32 persen memilih ke supermarket bersama pasangannya, sementara 67 persen lebih menyukai kesendirian saat berkunjung ke pasar tradisional.

Lalu bagaimanakah respons konsumen saat ditanya bagaimanakah cara mereka mengalokasikan uang ketika mereka menerima peningkatan pendapatan? Konsumen di Jakarta (74 persen) dan Semarang (53 persen) memilih menyimpannya untuk tabungan; lebih dari 60 persen konsumen di Surabaya dan Medan akan menggunakannya untuk kebutuhan rumah tangga; 52 persen konsumen di Bandung akan mengalokasikannya untuk kebutuhan dasar anak; dan 43 persen konsumen di Makassar akan memakainya untuk pendidikan anak-anak. Secara total, 52 persen konsumen di kota besar akan memasukkan dana tambahan pendapatan tersebut ke dalam tabungan dan 46 persen masih akan menggunakannya untuk kebutuhan rumah tangga. (Merliyani Pertiwi – Majalah MARKETING)

Kiat Khusus Garap Pasar Luxury

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Menggarap pasar luxury tidak boleh sembarang, mengingat pasar ini tergolong sangat unik. Orang rela membeli produk dengan merek tertentu meski harganya sungguh gila-gilaan tingginya. Bahkan, pada taraf tertentu, golongan ini mempunyai gaya hidup yang lain dari kebanyakan. Nah, apa saja yang sebenarnya orang-orang ini cari di balik merek-merek super-luxury tersebut? Bagaimana pula para pemilik merek memperlakukan para pelanggannya? Untuk menjawab pertanyaan pokok tersebut, berikut adalah nukilan wawancara Majalah MARKETING dengan Yuliana Agung, pengamat pemasaran:

Bagaimana Anda melihat pasar luxury di Indonesia?

Pasarnya di Indonesia sekarang masih bertumbuh. Di negara-negara Barat, pasarnya justru tampak sudah jenuh. Para pemilik merek luxury ini melirik pasar-pasar yang masih potensial, seperti Cina, India, maupun Indonesia. Sementara, golongan di bawahnya yang lebih massal juga membutuhkan sebuah simbol. Lalu memunculkan golongan di antara pasar kebanyakan dengan pasar luxury, yang disebut dengan masstige—kelompok massal yang butuh hal-hal untuk prestige. Louis Vuitton tergolong dalam kelompok ini meski harga lebih tinggi. Beda dari Hermes yang menjadi merek super-luxury dengan harga sampai Rp 900 jutaan.

Apa yang dicari di pasar luxury ini?

Merek luxury itu sebenarnya kebutuhan. Bukan lagi keinginan. Khususnya kebutuhan bagi kalangan high network society yang ingin membedakan diri dengan segmen di bawahnya. Kebutuhan mereka tidak lagi pada kebutuhan fungsional. Tapi, lebih pada kebutuhan akan simbol—termasuk simbol kelas sosial dan prestasi mereka. Tidak lepas juga dari gaya hidup mereka.

Apa yang menyebabkan produk disebut luxury?

Pertama-tama karena harganya memang luar biasa mahal. Dibanding dengan ongkos produksinya, harga itu bisa melonjak ratusan kali lipat. Kita tidak lagi menyebutnya dengan premium—di mana harganya mungkin cuma tiga kali lipat. Orang kalangan ini memang membeli sesuatu yang ultra abstrak. Mereka ingin merengkuh apa yang namanya sebuah pengalaman total (total experience) akan sebuah merek. Mereka bukan beli merek, tapi experience di dalamnya.

Adakah kriteria lain untuk menyebut luxury selain soal harga?

Harga memang selalu melekat erat dengan ciri luxury. Di luar harga, yang terpenting adalah total paket yang ditawarkan oleh merek-merek luxury ini. Pertama, brand recognition. Ini mengacu pada identitas merek, seperti simbol maupun logo. Ini penting sekali. Ada upaya sedemikian rupa agar merek ini tidak terlalu terlihat di pasar, tidak terlihat terlalu banyak yang memakainya, dan hanya dipakai orang-orang tertentu. Termasuk butik-butiknya tidak terlalu tersebar dengan banyak cabang dan lokasi yang sangat tertentu. Proses mengelola ini memang tidak murah. Mengingat, pemilik merek harus memilih tempat yang prime time, frontliners yang berkelas, dan sebagainya.

Ada kriteria lain lagi?

Kedua, merek itu mengusung brand personality. Identitas merek tadi diterjemahkan ke dalam pasar—terlebih ke masyarakat dan kultur—menjadi brand personality yang disertai dengan brand image maupun brand character. Ini bisa dibangun melalui logo yang kuat, sangat mudah dipahami, meski mereknya kadang-kadang memang sulit dibaca, makin berkesan mewah.

Selain logo, butuh juga namanya scarcity yang artinya merek itu terlihat, tapi tidak terjangkau secara massal. Angka terbatas ini melekat pada jumlah butik dan koleksinya. Lalu, harus ada kreativitas. Khususnya, kreativitas dalam hal estetika, mengingat merek luxury itu menjual estetika. Orang tidak sekadar menikmati simbol, tapi juga estetika. Lebih dalam dari itu, ia bisa menikmati kultur di dalam estetikanya itu. Estetika ini kemudian diterjemahkan sebagai cita rasa tinggi.

Ketiga, perlu diperhatikan sisi klasikalitasnya—pemilik merek harus mengelola komponen estetika yang tak boleh berubah, seperti pola. Gucci atau Hermes, misalnya, polanya tidak berubah. Keempat, pemilik merek harus memperhatikan desain interior dari butik-butiknya.

Dari sisi penggunanya, apakah ada klasifikasi tertentu?

Sebetulnya, para pemakainya tergolong kolektor. Ini tergolong sebagai heavy user. Sebelumnya ada golongan pemula dan medium. Heavy user cirinya tidak hanya membeli dan mengoleksi merek satu  biji saja—meski harganya mencapai ratusan juta. Mengingat, sentuhan emosional pada merek itu sudah sangat tinggi. Mereka memilikinya dalam koleksi ratusan biji. Biasanya, orang seperti ini tergolong orang kaya lama. Merek yang ia miliki sudah menjadi perengkuhan spiritual.

Untuk kelas medium, orang ini mencintai merek itu, tapi tidak sampai sentuhan emosional. Mereka juga tidak mempunyai loyalitas pada satu atau dua merek. Untuk pemula, mereka hanya memiliki satu merek saja dulu, merek bagus dengan harga masih terjangkau. Kelompok pemula ini merupakan kelompok belanja Rp 2–10 jutaan, misal kelas Louis Vuitton.

Apakah ada merek Indonesia yang sudah tergolong luxury?

Belum ada merek Indonesia yang masuk kategori ini. Semua masih dalam posisi produk massal, produk konsumer. Belum ada merek yang menonjol. Hal itu disebabkan salah satunya karena belum ada marketer yang berani merilis produknya mengingat ia harus bersaing dengan merek luar yang usianya ratusan tahun. Kendala lain, kita mempunyai country of origin yang belum bagus—kecuali nama Bali. Hal ini berbeda dengan Jepang, karena orang Jepang sangat menghargai kualitas tinggi. Contohnya, merek Kenzo yang membuka kantornya di Paris sebagai kota asal fesyen sejak zaman Renaissance.

Sebenarnya, perlukah strategi pemasaran untuk merek luxury ini?

Mereka tidak membutuhkan strategi lagi. Itulah keuntungan memiliki merek yang simbolnya sangat kuat. Simbolnya saja berharga luar biasa mahal dan riskan dipalsukan. Mereka tak lagi membutuhkan strategi pemasaran seperti merek lain. Cukup melakukan peluncuran produk dengan kemasan yang bagus dan berkelas. Merek ini mempunyai ultra ekuitas merek.

Cukup dengan komunikasi saja?

Ya, dengan aktivasi merek dan public relations. Kegiatannya, seperti mengadakan gathering, aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan, seperti membuat foundation, dan sebagainya. Termasuk berkomunikasi dengan desain interior butik. Tidak lagi promosi dan iklan. Karena tak jarang produk ini membuat antrean pembeli, pemilik butik perlu strategi cerdas mengelola antrean ini.

Apakah juga tidak membutuhkan program loyalitas pelanggan?

Semua itu drama. Menyentuh emosi pelanggan itu penting. Di butik fesyen, misalnya, ada ritual khusus bagi pelanggan. Tidak asal ambil dan sebagainya. Termasuk skenario dalam mengantar produk sampai ke pelanggan. Contoh paling jelas Louis Vuitton.

Kategori produk luxury apa saja yang diminati pelanggan Indonesia?

Pertama kali adalah kategori fesyen—termasuk pakaian dan aksesori. Kemudian kategori otomotif dengan mobil mewahnya. Lalu hotel dan resor, makanan, minuman, gadget, dan sebagainya.

Apakah ada kompetisi antarmerek luxury?

Tidak ada. Mereka lebih mengusung ego. Mereka tidak berkompetisi karena setiap merek mempunyai personalitas masing-masing. Saingannya justru terletak pada upaya memperkuat merek, sentuhan emosional, mempertajam segmen. Merek yang semakin tajam segmennya akan semakin luxury. Sebaliknya, yang semakin massal, semakin kurang tingkat luxury-nya.

Seperti apakah bentuk layanan purnajual khusus merek ini?

Layanan ini masih dibutuhkan, seperti bagaimana merek ini memberikan servis dalam perbaikan maupun perawatan produk. Pemilik merek juga perlu mengupayakan bebas pemalsuan.

Bagaimana prediksi Anda tentang prospek pasar luxury Indonesia tahun ini?

Masih berkembang bagus. Pertumbuhannya tiap tahun sekitar 20–30 persen. (Sigit Kurniawan)

Paul Gurita

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Rasanya tidak percaya kalau tebakan Paul gurita (sekali lagi) benar dalam laga final Piala Dunia 2010. Beberapa kali Paul memilih negara yang menang dalam pertandingan Piala Dunia, sebagian orang memang tidak memercayainya. Apalagi ketika kesebelasan yang lebih favorit seperti Jerman dan Belanda harus takluk oleh Spanyol.

Paul adalah seekor gurita kecil. Dia bukan manusia paranormal, namun dianggap memiliki kemampuan meramal yang luar biasa. Bayangkan, peramal lain banyak yang tidak terang-terangan menunjuk siapa pemenang pertandingan, dan lebih memakai bahasa-bahasa penuh arti. Namun, Paul dengan polosnya langsung menunjuk siapa pemenang sebuah pertandingan. Hasilnya? Seratus persen ramalannya dalam Piala Dunia terbukti benar!

Memang ada yang mengatakan bahwa kisah si Paul ini hanyalah sebuah game sederhana untuk memilih satu dari dua, di mana probabilitasnya masing-masing hanya 0,5. Keakuratannya mungkin berbeda jika si Paul juga harus menebak skor, yang melibatkan banyak kombinasi dan kemungkinan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita kadang memang berhadapan dengan game sederhana seperti itu: memilih satu dari dua kemungkinan. Dan pilihan yang diambil adalah “go” atau “no go”. Seperti, “Apakah kita meluncurkan produk kita atau tidak? Apakah kampanye kita mau dijalankan atau tidak? Apakah kita tetap mempertahankan produk kita yang lama atau tidak?”

Tentu saja, konsekuensi pilihan yang diambil tidak sesederhana yang pilihannya cuma dua. Investasi yang akan terbuang percuma saat Anda salah mengambil keputusan, membuat Anda akhirnya berpikir panjang. Apalagi, bagi Anda yang akan meluncurkan produk, ada rumor yang membuat bulu kuduk Anda berdiri, “70 sampai 80 persen produk baru yang diluncurkan ternyata gagal di pasaran!”

Beberapa kali Survey One (divisi riset Marketing Group) diminta untuk mengevaluasi produk yang akan diluncurkan. Beberapa kali juga kami merekomendasikan untuk tidak melucurkan produk tersebut. Alasannya, terkadang terlihat jelas dari data riset. Misalnya, dari total responden yang disurvei, ternyata kurang dari 60 persen target pasar yang mengaku tertarik terhadap konsep produk itu.

Dengan angka ketertarikan tersebut sebenarnya merupakan warning bahwa produk Anda punya peluang gagal yang cukup besar. “Tertarik terhadap produk” belum menjamin motivasi seseorang untuk membeli. Bahkan, “tertarik untuk membeli” pun tidak menjamin mereka untuk membeli. Ada banyak faktor yang menjadi hambatan konsumen untuk membeli produk. Sehingga, angka ketertarikan yang relatif kecil seharusnya membuat tanda tanya besar bagi Anda.

Hal lain yang memperkuat untuk tidak meluncurkan produk baru karena data riset menunjukkan pasar tidak bisa mengadopsi produk tersebut pada masa sekarang. Kadangkala alasannya juga karena harganya tidak mencerminkan value yang didapat konsumen. Artinya, jika harga dipatok tinggi membuat produk tersebut tidak match dengan valuenya. Namun, jika direndahkan membuat hitung-hitungan bisnisnya akhirnya tidak masuk.

Menariknya, jika ada lima perusahaan yang mendapat rekomendasi untuk tidak meluncurkan produk, tiga di antaranya ternyata tetap “ngotot” untuk meluncurkan produk tersebut. Mengapa?

Alasan yang pertama adalah terlalu banyak biaya riset yang sudah terbuang pada saat menciptakan produk tersebut. Pikiran yang sering menghantui marketer adalah: haruskah kita menyerah dengan opini konsumen, sementara kita memiliki para penjual dan pemasar tangguh yang bisa menaklukkan pasar?

Umumnya bagian R&D juga tidak mau disalahkan karena membuat produk yang tidak marketable. Bujet R&D bisa-bisa dipotong tahun-tahun mendatang, karena mereka dianggap tidak menghasilkan. Makanya lebih baik bagi mereka untuk nekat meluncurkan produk. Lagipula, kalau sudah menggelinding di pasaran, segala kemungkinan bisa dijadikan alasan untuk kegagalan produk.

Kadangkala, alasannya karena principal dari luar memaksa marketer harus menjual produk-produk lain, sekalipun produk itu tidak cocok dipasarkan. Karena takut principal-nya tidak menjadikan mereka sebagai representative lagi di Indonesia, terpaksalah mereka tetap menjual produk yang tidak menjanjikan itu.

Yang menarik juga, ada yang tetap meluncurkan produk karena keharusan untuk menjalankan strategi inovasi perusahaan. Kadang-kadang marketer sudah tahu risiko gagalnya. Namun demikian, mereka tetap menjalankannya karena alasan memperkuat product portfolio, menunjukkan dominasi di pasar atas produk mereka, atau sekadar mengganggu kompetitor.

Pada akhirnya, para pejuang merek itu pun harus menghadapi produknya terseok-seok di pasaran karena pilihan yang diambil. The show must go on, sekalipun “penontonnya” tidak ada! Anda harus menjalani konsekuensi karena pilihan yang diambil, sekalipun hanya ada dua kemungkinan.

Sama halnya ketika di pertandingan final Piala Dunia, Anda memilih Belanda dibandingkan Spanyol, sementara Paul memilih Spanyol. Mungkinkah Paul salah memprediksi hasil final, setelah 99,99 persen tebakannya benar? Apalagi, data di Piala Euro menunjukkan dua dari enam tebakan Paul salah.

Ternyata, tebakannya 100 persen benar! (Majalah MARKETING)

Outbound dan Inbound CRM

1
[Reading Time Estimation: 2 minutes]

Pertanyaan:

Sebenarnya, manakah yang paling dicari oleh pelanggan kami, pelanggan perbankan melakukan outbound atau inbound CRM, Bu? Mohon saran.

RAN, di Jakarta Barat.

 

Jawab:

Pertanyaan yang sangat menarik. Dugaan saya, selama ini banyak persahaan dan praktisi pelayanan pelanggan mempersepsikan bahwa CRM adalah kegiatan aktif, di mana perusahaan yang berinisiasi mengadakan hubungan dengan pelanggan. Jika demikian, salah satu tolok ukur kegiatan CRM adalah kegiatan outbound. Seberapa banyak telah melakukan kontak dengan pelanggan per periode, kemudian jenis kontak, dan metode kontak menjadi hal-hal yang dipentingkan agar CRM efektif.

Persoalan yang sering dihadapi, pelanggan enggan untuk dikontak. Apalagi jika sales manager atau petugas penjualan garda depan tidak pernah merelakan pelanggan-pelanggannya untuk didata oleh perusahaan dan dikontak oleh bagian pengontak. Maka, aktivitas outbound menjadi tidak efisien dan efektif.

Inbound call, biasanya, memang pelanggan sudah memiliki kebutuhan untuk mengontak, baik mencari informasi, menyampaikan keluhan, atau sekadar konfirmasi. Pada momen ini, kesempatan perusahaan untuk membina hubungan baik dan melakukan cross-selling sangat besar. Secara umum memang inbound call akan memberikan efektivitas kontak yang baik. Problemnya, bagaimana kalau jumlah inbound masih terlalu kecil?

Itulah sebabnya, dalam CRM di mana call center sebagai salah satu channel yang digunakan, diperlukan keseimbangan antara inbound dan outbound. Melalui outbound, database perusahaan dapat diperbaiki dan relationship dapat ditingkatkan. Melalui inbound, perusahaan mampu untuk melakukan cross-selling yang lebih cepat. Titik keseimbangan ini disesuaikan dengan kondisi yang ada dan sasaran yang ingin dicapai oleh perusahaan Anda. Dari sisi pelanggan, tentunya inbound call atau saat pelanggan membutuhkan perusahaan dan mengontak perusahaan itulah CRM yang sebenarnya.  Dengan persiapan infrastruktur CRM, maka pelanggan yang menghubungi perusahaan dapat segera diprofil dan di-probing sehingga tujuan cross-selling menjadi sangat efektif.  Selamat bekerja. (Majalah MARKETING)

Yang Mana Komunitas Kami?

0
[Reading Time Estimation: 2 minutes]

Pertanyaan:

Kami akan mulai menggarap komunitas pelanggan. Target kami ada beberapa: dari sisi demografi, dari segi pendapatan dan psikografi. Untuk aspek pendapatan, kami membagi menjadi tiga, yaitu pelanggan A, B, dan C. Komunitas manakah yang mesti kami garap? Mohon saran Ibu.

MKI, di Jakarta Selatan.

 

Jawab:

Komunitas pemasaran adalah tren yang semakin kuat, karena memang efektivitasnya yang sudah terbukti. Strategi dan implementasi komunitas yang baik mampu meningkatkan loyalitas pelanggan, penyebaran word of mouth yang lebih cepat, dan juga program pemasaran menjadi lebih efisien dan efektif.

Pada umumnya, perusahaan memilki banyak pilihan grup komunitas, sama seperti yang dihadapi oleh perusahaan Anda. Untuk memilih komunitas, tentunya dipertimbangkan tiga hal. Pertama, bagaimana mereka bisa terkelompokkan menjadi pelanggan yang homogen dan sesama pelanggan memiliki perilaku yang relatif homogen.  Pengelompokan didasarkan atas demografi merupakan  pilihan yang buruk. Ikatan antaranggota dalam komunitas adalah lemah. Semakin lemah ikatan anggota dalam komunitas, semakin besarlah upaya perusahaan untuk melakukan komunikasi, interaksi, maupun menyusun program komunitas. Selain tidak menghasilkan loyalitas, hal ini juga akan membuat bujet tidak efisien.

Pengelompokan berdasarkan psikografi, seperti gaya hidup, jauh lebih baik dalam hal homogenitas anggota dan kekuatan ikatan dari komunitas. Idealnya, saya sarankan, untuk membentuk grup-grup komunitas berdasarkan psikografi dan perilaku mereka. Untuk perilaku, bisa dihubungkan dengan perilaku dalam membeli atau mengonsumsi produk Anda.

Kriteria kedua adalah profit. Membentuk komunitas bertujuan untuk meningkatkan loyalitas dan menghasilkan profit. Misalnya, melalui pendekatan gaya hidup dan perilaku pembelian mereka, terdapat enam grup komunitas. Anda perlu membuat evaluasi dari berbagai pilihan komunitas ini dengan kemampuan perusahaan untuk berinteraksi dan kemungkinan untuk menjual produk ke mereka. Komunitas di mana kita bisa menghasilkan loyalitas dan profit, adalah prioritas utama.

Kriteria ketiga, life cycle komunitas tersebut. Komunitas berumur panjang dan bisa mendatangkan profit jika punya peluang langsung untuk menjadi repeat customer—karena membeli lagi, membeli lebih banyak, dan membeli produk lainnya, atau peluang tidak langsung seperti memberikan pengaruh atau rekomendasi kepada calon pelanggan lain. Selamat bekerja. (Majalah MARKETING)

Rapor Merah Merek

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Belum lama ini Unit Kerja Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menyodorkan laporan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai penilaian kinerja para anggota Kabinet Indonesia Bersatu II. Dalam laporan itu, ternyata ada tiga menteri yang dianggap kurang berhasil menjalankan tugasnya, tak memenuhi target, dan diganjar rapor merah. Mereka adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar; Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto; juga Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring.

Seperti biasa, usai pengumuman, tak butuh berhari-hari untuk memancing beragam isu spekulatif yang menyoroti masalah kebijakan presiden. Kali ini, kabar yang beredar, para menteri yang mendapat rapor merah akan diganjar kartu merah, alias di-reshuffle. Namun, kabar itu segera dibantah kalangan “istana”. Presiden bilang, tidak ada reshuffle kabinet dalam waktu dekat.

Nah, kalau kita bicara mengenai marketing, kita akan mendapatkan beberapa contoh merek yang telah diberi rapor merah oleh konsumen. Bahkan, merek yang diberi kartu merah pun banyak. Tentu saja ini terkait sengitnya situasi persaingan antarpemain dan terjadinya hukum alam: siapa yang kalah akan tersingkir dari permainan.

Adam Air, contohnya, langsung diganjar kartu merah setelah tak kunjung memberikan layanan yang baik kepada pasar penerbangan. Beberapa kali kecelakaan terekam dalam benak konsumen. Terakhir, pada hari pertama tahun 2007 silam, salah satu armada dari maskapai berwarna korporat oranye itu hilang kendali dan “nyemplung” ke perairan Majene, Sulawesi Barat.

Mungkin saja kejadian tragis itu tidak akan menimpa apabila Adam Air menerapkan manajemen penerbangan yang bagus, melayani pelanggan dengan benar, dan tidak melupakan persoalan teknis yang menjadi menu pokok di industri transportasi udara. Padahal, rapor merah telah berkali-kali dilayangkan oleh pemerintah. Karena tak menggubris, kini Adam Air benar-benar telah tiada.

Di pasar telepon seluler (ponsel), sekarang merek Siemens tak lagi ada di Indonesia. Siemens akhirnya mendapat rapor merah setelah sekian tahun berupaya menaklukkan pasar ponsel dan tidak berhasil. Siemens gagal meraih simpati karena dinilai tak cocok dengan kemauan pengguna yang butuh kepraktisan dalam hal pengoperasian ponsel.

Di pasar sepeda motor, merek-merek asal Cina seperti Jialing, Beijing, Loncin, Sanex, Qingqi, Jianshe, dan Chunlan langsung mendapat rapor merah beberapa saat setelah mereka masuk ke pasar Indonesia. Bagaimana tidak, mereka memasarkan produk dengan kualitas yang jauh lebih buruk dari merek Jepang, tak mengiringi produknya dengan jaminan layanan purnajual yang layak, dan tidak memiliki jati diri sebagai merek. Sehingga, tak butuh bertahun-tahun bagi konsumen untuk melancarkan kartu merah (setelah sebelumnya memberi rapor merah). Hal ini juga sedang terjadi pada motor Suzuki di Indonesia. Pangsa pasar mereka terus digerogoti oleh sepeda motor Honda dan Yamaha.

Kriteria Penilaian

Pada umumnya, sebuah merek akan diseleksi secara otomatis begitu masuk ke pasar. Beberapa seleksi atau penilaiannya, antara lain, mampukah merek tersebut memberikan manfaat yang benar-benar diinginkan oleh konsumen; apakah merek tersebut relevan dengan situasi saat ini (misalnya dengan kondisi dan selera); apakah harga yang ditetapkan sesuai dengan ekuitas merek atau tidak, karena kadang-kadang dalam banyak kasus terjadi over pricing, yaitu harga ditetapkan terlalu tinggi atau melebihi nilai harga yang ditoleransi oleh konsumen.

Selain itu, apakah merek tersebut sudah di-positioning-kan dengan tepat; apakah merek tersebut konsisten dengan pesan-pesannya; sejauh mana merek tersebut melakukan investasi terhadap peningkatan kinerja mereknya; seberapa jauh kekuatan inovasi dari elemen-elemen bauran pemasarannya; dan lain sebagainya.

Itulah poin-poin yang mesti diperhatikan bagi pemasar dalam memasarkan mereknya agar tak mendapat rapor merah dari konsumen. Sebab, rapor merah yang dilabelkan oleh konsumen itu benar-benar sangat berbahaya bagi sebuah merek. Bayangkan, apabila merek Anda dicap tidak baik oleh pelanggannya, merek Anda akan kehilangan konsumen yang telah didapatkan dengan susah payah.

Ibarat sebuah permainan sepakbola—yang kini masih ramai dibicarakan di seluruh dunia, pemain akan mendapat kartu merah apabila melakukan pelanggaran berulang kali dan tak bergegas berubah. Di ajang final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, Juli kemarin, seorang pemain dari Belanda, Johnny Heitinga, mendapat kartu merah setelah mendapat kartu kuning dua kali.

Begitulah juga dengan merek. Kalau tidak bermain secara total di pasar—di dunia sepakbola disebut total football—maka merek akan didepak dari area permainan oleh konsumennya sendiri. Ini sangat disayangkan, sebab kalau sudah begitu akan sangat susah untuk menghitamkan kembali rapor dari konsumen. Sebuah merek butuh waktu lama hanya untuk menghitamkan rapornya yang merah itu.

Lihatlah Mizone, minuman isotonik bernutrisi, “adik” dari air dalam kemasan merek Aqua, yang pertama kali diluncurkan di Surabaya pada 27 September 2005 dengan dua rasa (orange lime dan passion fruit). Produk ini pernah diberi rapor merah oleh konsumen di akhir tahun 2006, setelah ketahuan tidak jujur karena tidak mencantumkan kandungan bahan pengawet pada kemasannya. Mizone harus ditarik dari peredaran. Setelah berupaya bangkit kembali, ia tampak kesusahan, walaupun akhirnya berhasil juga—sesudah menghabiskan dana cukup besar untuk kampanye secara terus-menerus.

Oleh karena tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini—khususnya di dunia pemasaran, para pemasar mesti menyusun strategi secara tepat, mengelola merek sebaik mungkin, dan melayani konsumen secara baik. Jika sudah mendapat rapor merah—apalagi kartu merah, susah lagi untuk membangkitkan merek yang sama di mata konsumen. Istilahnya, kalau sudah merah, ya ke laut aja deh (seperti Adam Air). Begitu ceritanya. (www.marketing.co.id)

Lima Strategi Menjual Produk Premium

1
[Reading Time Estimation: 2 minutes]

Dengan berkembangnya key account sudah pasti terjadi—tidak bisa dielakkan lagi—perubahan mental dan mindset dari setiap jajaran penjualan. Dengan kata lain, jelas diperlukan penyesuaian tentang bagaimana memandang dunia di dalam bekerja sebagai seorang profesional, maupun cara memandang para pelanggan.

Kalau mindset mendominasi saat berbicara, berapa pun biaya yang dikeluarkan tentu tidak penting, asalkan untuk beriklan. Namun, tentunya hal ini bukan cara yang tepat juga dalam menjual produk premium.

Kita mengetahui tokoh-tokoh dunia yang sukses menjual produk relatif bukan barang murah—apalagi murahan—seperti Allan Domb, salesman nomor satu di dunia, di antara 1,8 juta salesman yang bergerak dalam produk real estate di Amerika. Kita juga tahu John Leahy, seorang salesman yang mencapai omzet miliaran dolar dan sukses berkarier di Airbus dan Marc McEver, penjual ulung lebih dari 1.000 mobil dalam setahun—jadi rata-rata menjual tiga unit per hari, atau 20 unit per minggu.

Apa saja yang mereka lakukan dari pengalaman yang begitu menggemparkan? Menurut Allan Domb, yang mereka lakukan secara konsisten adalah: pertama, selalu berkomitmen terhadap profesi yang ia digeluti. Jadi, menjual bukan sekadar hobi. Salah satu pernyataan yang selalu menjadi pemicu bagi dia adalah, ”The only difference between my self and everyone else is time and how I spend it.

Kedua, fokus pada segmen pasar dari produk yang sudah dirancang dan memusatkan perhatian pada persaingan atas produk sejenis yang ada di pasar. Sehingga, akan sangat mudah untuk menjelaskan keunggulan produk yang dijual, kelemahan produk pesaing, dan yang paling utama adalah memahami perilaku konsumen. Hal ini disebabkan sudah sangat tajam pasar yang dibidik, sehingga sangat memungkinkan memahami inside customer dengan baik. Ketiga adalah bagaimana menjalin hubungan yang berkesinambungan. Karena, menjual bukan hanya transaksi, tetapi juga menjaga hubungan baik. Yang lebih hebatnya lagi, di dalam menjaga hubungan tersebut, relasi bersedia mempekerjakan karyawan untuk membantu hal-hal yang bersifat administratif. Hal inilah yang membuat komunikasi dengan pelanggan tetap bisa berjalan secara produktif, termasuk tumbuhnya prospek-prospek baru.

Hal keempat, memahami nilai-nilai yang terkandung dalam bisnis secara lengkap, yaitu nilai-nilai perusahaan, produk, pelayanan, maupun dirinya sendiri. Salah satu nilai yang dijunjung tinggi-tinggi oleh McEver adalah kejujuran dan image. Hal itulah yang dikatakan pelanggan-pelanggan Marc McEver. Stempel jujur melekat pada dia, menjadi ikon dirinya. Dan yang kelima adalah mencari terobosan baru dalam cara menjual dengan meningkatkan layanan yang lebih baik. Salah satu hal yang menjadi unsur utama dalam pelayanan adalah memahami bahwa pelanggan tidak suka menunggu berlama-lama. Kata kunci speed menjadi kata sakti, karena kita semua menyadari bukan lagi yang besar mengalahkan yang kecil, atau yang kaya mengalahkan yang miskin, melainkan yang cepat mengalahkan yang lambat. (www.marketing.co.id)

Seratus Persen CRM

0
[Reading Time Estimation: 5 minutes]

Tulisan ini merupakan rangkuman dari seminar Frontier Marketing Club bulan yang lalu. Dalam seminar tersebut, saya ingin memberikan jawaban atas dua pertanyaan besar, kapan perusahaan harus mulai CRM? Kapan perusahaan berani menerapkan 100 persen strategi pertumbuhannya dengan CRM saja? Dua hal ini ternyata memang menjadi pertanyaan dari sebagian perusahaan yang sadar akan pentingnya menerapkan strategi CRM.

Sekadar untuk mengingatkan Anda pembaca MARKETING, prinsipnya, hanya terdapat tiga pilihan strategi bagi perusahaan untuk bertumbuh. Pertama, perusahaan harus mencari pelanggan baru untuk bertumbuh. Apalagi, untuk perusahaan baru atau perusahaan yang berada di dalam industri yang masuk dalam fase pertumbuhan, kesempatan untuk bertumbuh melalui pelanggan baru sungguh besar. Perusahaan tidak boleh kehilangan kesempatan untuk mencari pelanggan baru pada situasi seperti ini. Keterlambatan untuk mencari pelanggan baru akan menjadi biaya mahal di kemudian hari. Ini bisa dilihat dari beberapa operator seluler yang baru masuk belakangan. Mereka harus membayar mahal untuk akuisisi pelanggan baru.

Kedua, perusahaan kemudian mulai melakukan retensi terhadap pelanggannya. Mereka diharapkan membeli produk atau menggunakan pelayanan kembali. Akan lebih baik bila mereka menjadi pelanggan yang lebih aktif. Artinya, mereka akan membeli produk tersebut lebih banyak lagi. Mereka diharapkan untuk menyebarkan word of mouth yang positif dan mereferensikan produk atau layanan yang mereka gunakan kepada prospek yang lain.

Pilihan ketiga adalah dengan menggunakan add-on selling, termasuk dalam hal ini adalah cross-selling. Kita bisa menjual produk B, C, dan seterusnya kepada pelanggan yang sudah sudah membeli produk A. Kita bisa menawarkan fitur baru kepada pelanggan kita. Tidak mengherankan, dalam konteks ini, perusahaan harus inovatif. Mereka perlu menciptakan fitur baru atau menciptakan produk dan layanan baru agar tidak kehilangan kesempatan untuk bertumbuh.

Dalam konteks ketiga strategi tersebut, perusahaan yang menerapkan CRM akan bertumpu pada strategi kedua dan ketiga. Mereka memilih untuk mengandalkan pertumbuhan dari pelanggan yang sudah ada. Jadi, perusahaan yang mengandalkan 100 persen strategi CRM tetap konsisten dengan strategi pertumbuhan pilihan kedua dan ketiga. Pertumbuhan dari pelanggan baru hanya bertumpu pada word of mouth dan referral dari para pelanggannya.

Dengan pengertian seperti ini, perusahaan sebenarnya dapat menerapkan strategi CRM, mulai dari 0–100 persen. Perusahaan benar-benar dikatakan tidak memiliki strategi CRM saat seluruh sumber daya manusia dan upaya difokuskan untuk mencari pelanggan baru, atau pilihan strategi yang pertama. Biasanya, saat pertumbuhan melalui strategi CRM sudah mencapai 50 persen, perusahaan sudah mulai memikirkan struktur organisasi yang memang menunjukkan arah strategi ini. Mereka mungkin memiliki manajer, GM, atau bahkan seorang direksi yang fokus kepada CRM. Mereka biasa disebut CRM manager, retention manager, account manager, atau relationship manager. Jabatan ini bisa ditingkatkan ke tingkat direksi bila CRM sudah dominan.

Tidak pelak lagi, dalam 10 tahun terakhir ini, kecepatan perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk mengadopsi strategi CRM sangat cepat. Perusahaan kemudian membuat perubahan strategi pertumbuhan dan semakin fokus pada pelanggan yang sudah ada. Industri perbankan misalnya, lebih dari 50 persen sumber daya dan alokasi resources lainnya ditujukan kepada pelanggan yang sudah ada dalam database mereka.

Bila strategi CRM masih di bawah 50 persen, perusahaan lebih memilih untuk meningkatkan kualitas produk dan layanan terlebih dahulu. Demikian juga, mereka bisa terus memulai dengan memperbaiki database yang sudah ada. Bila suatu saat CRM sudah dominan, mereka sudah memiliki kemampuan dan berada pada posisi yang siap untuk mengimplementasikannya. Jadi, intinya, persiapan CRM terutama pengembangan database, telah dapat dimulai saat perusahaan sudah mempunyai pelanggan.

Kapan 100 Persen CRM?

Lalu, untuk pertanyaan kedua, kapan perusahaan benar-benar berani memilih CRM sebagai 100 persen strategi pertumbuhan—atau paling tidak—CRM sebagai strategi yang sangat dominan untuk memacu pertumbuhan perusahaan? Ada tiga kriteria besar untuk  memberikan jawaban ini.

Pertama, perusahaan harus menjadikan CRM sebagai strategi yang dominan saat biaya untuk mencari pelanggan baru sudah sama, atau lebih besar dari nilai pelanggan baru yang diakuisisi. Ini jawaban yang bersifat kuantitatif dan perusahaan sudah benar-benar harus melakukan perhitungan. Untuk biaya akuisisi, relatif mudah. Yang dapat Anda lakukan adalah menjumlahkan semua bujet yang difokuskan untuk mencari pelanggan baru. Semua biaya promosi atau tenaga penjualan yang difokuskan untuk mencari pelanggan baru, dapat dijumlahkan. Misalnya, perusahaan dapat menjumlah semua biaya ini mulai dari Januari hingga bulan Desember, atau selama satu tahun. Setelah itu, dihitung berapa jumlah pelanggan yang diperoleh selama kurun waktu tersebut. Jumlah biaya dibagi dengan jumlah pelanggan yang diperoleh, adalah biaya akuisisi per pelanggan.

Bagaimana menghitung nilai pelanggan baru? Salah satu rumus yang sederhana adalah dengan menggunakan customer lifetime value (CLV). Pada tahun yang lalu, saya pernah berbagi, di kolom yang sama, bagaimana menghitung CLV dari nilai pelanggan baru. Salah satu formula sederhananya adalah CLV = m (r / 1 + i – r) di mana “m” adalah net margin per pelanggan untuk periode tertentu, “i” adalah discounting rate untuk memperoleh present value. CLV pada dasarnya adalah nilai pelanggan hari ini, sedangkan margin yang diperoleh oleh perusahaan adalah di masa mendatang. Jadi, diperlukan i untuk membuat perhitungan present value. Paramater r adalah retention rate, yaitu, berapa persen pelanggan yang dapat diretensi selama periode tertentu.

Misalkan saja, perusahaan Anda memiliki 100 ribu pelanggan di awal bulan Januari 2010. Kemudian, pada akhir Desember, dari 100 ribu pelanggan ini, ternyata 90 ribu yang bertahan. Artinya, nilai r atau retention rate adalah 90 persen. Asumsikan, dari perhitungan yang Anda lakukan, net margin yang diperoleh selama satu tahun untuk per pelanggan adalah Rp 100 ribu. Ini adalah semua revenue per pelanggan dikurangi semua biaya per pelanggan. Nilai i atau besarnya discouting rate, dapat dipilih antara bunga deposito atau bunga pinjaman komersial. Asumsikan saja, nilai i adalah 10 persen.

Dengan nilai-nilai di atas, maka CLV adalah = Rp 100.000 (0.9 / 1 + 0.1 – 0.9) atau Rp 450.000. Nah, kemudian bandingkan dengan biaya akuisisi. Bila biaya akuisisi ternyata sudah lebih besar dari Rp 450.000, ini merupakan sinyal yang kuat bahwa perusahaan Anda akan lebih baik untuk meningkatkan strategi CRM. Persentase strategi CRM yang dipilih tergantung dari perhitungan-perhitungan selanjutnya.

Misalnya, perusahaan sudah mulai menggunakan strategi CRM 80 persen dan akuisisi pelanggan baru 20 persen. Dalam hal ini, perusahaan sudah mulai selektif mencari pelanggan baru. Biasanya, CLV akan naik dan biaya akuisisi akan turun karena sudah mulai selektif memilih pelanggan baru. Bila ternyata perhitungan masih menunjukkan biaya akuisisi tetap lebih besar, maka sangat bijak kalau strategi CRM semakin dominan lagi. Mudah-mudahan, logika sederhana ini membantu perusahaan Anda untuk merumuskan kesimpulan strategi ini.

Kriteria kedua adalah bila biaya akuisisi lebih tinggi dari kesempatan untuk add-on selling, maka strategi CRM perlu ditingkatkan intensitasnya. Hampir sama dengan kriteria pertama, kita perlu menghitung biaya akuisisi. Yang kedua, kita menghitung berapa pertumbuhan keuntungan yang dapat diperoleh bila perusahaan melakukan add-on selling. Bila dihubungkan dengan CLV, berarti Anda harus menghitung berapa penambahan CLV sebagai akibat dari keberhasilan add-on atau cross-selling. Bila ternyata lebih besar dari biaya akuisisi, maka tampaknya pilihan untuk memperbesar intensitas CRM akan menjadi  pilihan yang lebih efektif.

Pengalaman saya sebagai konsultan dalam bidang CRM, kriteria kedua ini sering banyak tidak serius diperhatikan. Padahal, perusahaan memiliki kesempatan untuk melakukan add-on selling yang besar, tetapi kemudian tidak berhasil dilakukan karena energi dan fokusnya adalah untuk mencari pelanggan baru.

Kriteria ketiga berhubungan dengan tingkat kesiapan melakukan CRM. Dan inilah situasi yang sering dihadapi oleh perusahaan. Strategi CRM seharusnya sudah dominan. Misalnya, mencapai 80 persen, tetapi perusahaan kemudian menggeser CRM menjadi 50 persen dan sisanya tetap bertumpu pada tim penjualan untuk mencari pelanggan baru. Ini terjadi karena perusahaan tidak siap dengan sumber daya manusia, proses interaksi, dan teknologinya. Perusahaan ini terlambat mempersiapkan CRM. Apalagi, bila customer database masih sangat tidak siap, maka CRM menjadi mundur atau harus ditunda. Memang, tidak ada pilihan selain menunda intensitas CRM dalam kondisi ini.  Maka sangat bijak, pada saat perusahaan masih fokus ke pelanggan baru, persiapan CRM, seperti pengembangan customer database dan segmentasi pelanggan, haruslah sudah dimulai. CRM, karena merupakan strategi, selalu membutuhkan perspektif jangka panjang supaya berhasil dalam implementasinya.

Sikap Konsumen pada Mobil Ramah Lingkungan

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Perhatian konsumen terhadap isu ramah lingkungan semakin tinggi. Mereka semakin kritis terhadap produk-produk yang diproduksi oleh perusahaan yang memperhatikan keramahan lingkungan atau tidak. Perhatian mereka pun termasuk dalam kepemilikan mobil. Bagusnya, pihak produsen pun memberi perhatian terhadap isu lingkungan dengan memproduksi kendaraan bermotor yang ramah lingkungan. Entah karena kesadaran sendiri dari mereka atau karena kewajiban dari pihak pemerintah. Faktanya, pembuatan kendaraan bermotor yang ramah lingkungan telah menjadi tren, yaitu ditandai dengan banyaknya produsen mobil yang mengeluarkan mobil ramah lingkungan atau dikenal dengan “mobil hybrid”.

Pertanyaannya sekarang, apakah “green” sudah menjadi tren utama? Apakah daya tarik kendaraan yang ramah lingkungan bisa melampaui kekuatan dari kendaraan berbahan bakar bensin? Berkaitan dengan hal itu, Synovate mencoba mengungkap pandangan konsumen melalui riset global mereka. Apakah konsumen hanya bermimpi untuk membeli kendaraan ramah lingkungan, benar-benar membeli kendaraan ramah lingkungan, atau hanya di antaranya saja.

Jawaban tertinggi di antara seluruh 18 negara yang menjadi target survei, jika uang bukanlah masalah, 37 persen dari mereka ingin membeli kendaraan ramah lingkungan, 31 persen berkata mereka akan membeli mobil impian mereka, dan 22 persen lainnya mengatakan bahwa, “Mobil impian saya adalah mobil yang ramah lingkungan”. Ini berarti bahwa 59 persen, atau setidaknya seperenam dari responden menunjukkan keinginan untuk menuju dunia yang ramah lingkungan. Demikian hasil riset global yang dilakukan terhadap 13.200 responden perkotaan di 18 negara yang dilakukan pada tahun 2009 lalu.

“Para produsen mobil telah memberi banyak dan lebih banyak lagi pilihan yang akan disukai oleh kelompok orang penyuka dunia green yang tumbuh dengan pesat ini,” terang CEO Motoresearch dari Synovate, Scott Miller. Namun begitu, kita tidak bisa melupakan bahwa mobil adalah produk yang mempunyai hubungan emosional dengan pemiliknya. Apa yang Anda kendarai berbicara lebih banyak tentang Anda, lebih dari yang Anda kira. Akan selalu ada kelompok orang yang tidak mau berkompromi tentang mobil impian mereka karena alasan green (ramah lingkungan).

Terungkap bahwa 22 persen dari mereka yang menginginkan mobil sesuai dengan impian tetapi juga ramah lingkungan, adalah kunci pada masa depannya. Oleh karena itu, para produsen mobil akan memproduksi kendaraan yang sesuai dengan impian, tetapi juga ramah lingkungan. Beberapa dari hasil tertinggi untuk kendaraan ramah lingkungan (menambahkan faktor ramah lingkungan sebagai kategori dari mobil impian) adalah Thailand dengan angka 77 persen, Korea 76 persen, Cina 75 persen, dan Brazil 72 persen.

Direktur Motoresearch Synovate untuk Cina, Kelvin Gin, mengatakan itu bukanlah hasil yang mengejutkan bagi Cina. “Olimpiade tahun lalu benar-benar menggarisbawahi isu-isu yang berkenaan dengan kualitas udara bersih di Cina. Ditambah lagi, pihak pemerintah telah membuat izin/kebijakan baik untuk produsen kendaraan ramah lingkungan dan orang-orang yang memilih untuk membeli dan mengendarainya. Bahkan, angka investasi sebesar RMB 10 miliar (kira-kira setara dengan US$ 1,5 miliar) tercapai untuk memproduksi mobil-mobil yang lebih ramah lingkungan.

“Sesuai aturannya, semua mobil kini harus fleksibel dalam hal bahan bakar, di mana dengan cepat bisa membuat mobil ramah lingkungan menjadi bagian dari perilaku dan pola pikir di negara Brazil,” begitu kata Ari Gonzalis, Direktur New Business untuk Motoresearch Synovate di Brazil.

“Rakyat Brazil juga merasa bangga bahwa negaranya menjadi pemimpin dalam mengembangkan bahan bakar alternatif yang lebih murah dan tingkat polusinya lebih rendah. Dengan mewajibkan teknologi yang ramah lingkungan, pemerintah sebenarnya telah menciptakan suatu skenario di mana mobil impian orang-orang menjadi green atau ramah lingkungan.

Walaupun ada andai-andai bahwa uang bukanlah masalah, Byeong Hwan Je, Kepala Motoresearch Synovate Korea, telah membawa rakyat Korea menuju dunia ekonomi yang ramah lingkungan. “Mobil hybrid atau ramah lingkungan adalah mobil yang lebih efisien dalam hal bahan bakar, dan jika mengingat masalah polusi, isu ekonomis/penghematan ini akan menjadi faktor penentu penting mengapa rakyat Korea lebih mendahulukan green daripada mobil impian mereka.”

Salah satu negara yang langsung dan dengan mudah memilih mobil ramah lingkungan adalah Jerman, dengan 58 persen responden lebih mementingkan faktor lingkungan daripada memiliki mobil impian. Jadi, di mana kita bisa menemukan mereka yang hanya bermimpi? Secara keseluruhan, 31 persen masih tidak peduli dengan faktor ramah lingkungan, dan lebih memilih mobil yang menjadi impian mereka.

Satu hasil terbesar dari mereka yang hanya bermimpi, datang dari Afrika Selatan, di mana lebih setengah dari seluruh responden (53 persen) lebih memilih untuk memiliki mobil impian mereka. Direktur Penjualan & Marketing untuk Synovate Global Motoresearch, Richard Rice, yang berbasis di Afrika Selatan, mengatakan bahwa, “Di Afrika Selatan, mobil mungkin adalah produk yang paling mencerminkan orang yang memilikinya. Di sini, orang sangat emosional terhadap mobilnya. Orang-orang mencintai mobil mereka untuk kebebasan, untuk image, dan mencerminkan status pemiliknya.”

Maka dari itu, faktor image dianggap jauh lebih penting daripada mobil yang ramah lingkungan. Akibat hal-hal tersebut di atas, banyak pembeli mobil di Afrika Selatan adalah anggota keluarga pertama yang bahkan baru mampu untuk membeli sebuah mobil. Jadi, karena begitu senangnya, faktor lingkungan akan dilupakan begitu saja. Mereka lebih mementingkan power sebesar mungkin yang ada pada sebuah mobil.

Sama juga halnya dengan 47 persen orang India yang mengatakan mereka lebih mementingkan mobil impian daripada lingkungan di era India yang baru ini. Seperti itu penjelasan yang dikatakan Sumit Arora, kepala dari kelompok Motoresearch Synovate di India. “Pasar otomotif di India sangatlah bersemangat. Setiap tahun ada saja model mobil impian yang dirilis dan datang dari pemain-pemain besar dunia. Mobil-mobil mewah mencetak angka-angka yang tinggi”.

Faktor yang mengendalikan ambisi dan aspirasi ini adalah orang-orang kini mempunyai lebih banyak uang, lebih banyak pilihan, dan mereka bersedia mengeluarkan uangnya. Kepemilikan barang-barang mewah menjadi cerminan kesuksesan dan konsumsi yang luar biasa. Angka-angka ini akan terus menanjak.

Di Amerika Serikat, 35 persen responden lebih mementingkan mobil impian, 23 persen lebih memilih mobil ramah lingkungan, dan 19 persen mengatakan bahwa mobil impian mereka adalah mobil yang ramah lingkungan. (Majalah MARKETING)

CommCenter: Menjadi “Universitas” Pelayanan Nasabah

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]
DSC_0019web
Novi Roychani, Customer Service Departement Head

CommCenter berupaya menjadi yang terbaik di industri asuransi jiwa. Tekadnya adalah menjadi contact center pertama di industri ini yang meraih predikat excellence atau bahkan exceptional.

Commonwealth Life memiliki contact center yang tidak pernah berhenti berimprovisasi dan berbenah. Buktinya, tahun ini CommCenter mampu meraih posisi teratas di antara call center dalam kategori life insurance. Padahal, sejak digelar Call Center Award ini, CommCenter belum pernah berada di posisi teratas. Paling banter ada di posisi runner up.

Tentunya, menarik sekali mengulas setiap langkah yang mereka lakukan hingga mencapai posisi sekarang. Pertama dan utama adalah melihat dari sisi perusahaan memandang keberadaan call center miliknya. Commonwealth Life mempunyai visi untuk menjadi perusahaan asuransi terbaik dalam pelayanan terhadap pelanggan.

“Dari visi tersebut, jelas bahwa perusahaan sangat mendukung keberadaan CommCenter. Namun, perlu diketahui pula bahwa CommCenter adalah satu bagian saja dari pelayanan pelanggan. Dari situ kami terjemahkan dengan membuat CommCenter harus menjadi ujung tombak komunikasi antara nasabah dengan perusahaan,” kata Novi Roychani, Customer Service Departement Head.

Jamak terjadi di dunia asuransi jiwa bahwa nasabah lebih merasa nyaman berinteraksi dengan agen asuransinya ketimbang dengan perusahaan asuransi. Usaha untuk membuat nasabah mau berhubungan langsung dengan perusahaan inilah yang sedang dilakukan Commenwealth Life.

CommCenter berdiri tahun 2000 dengan layanan yang masih terbatas pada agen asuransi saja. Baru sejak tahun 2001 layanan ke nasabah dilakukan. Dan, pada tahun 2008 CommCenter melakukan pemutakhiran peralatan. Dari analog berubah ke digital. Investasi perubahan teknologi ini sekitar US$ 50 ribu.  Kemudian, mereka melebarkan media yang digunakan, meliputi call, short message service (SMS), website, dan IVR. Artinya, CommCenter sudah menjadi contact center. “Ruangannya pun sekarang jauh lebih lebar dibanding dua tahun lalu,” tambah Novi.

Penambahan jumlah agen di CommCenter juga bisa dijadikan tolok ukur perhatian perusahaan. Akhir tahun 2008, jumlah agen adalah 26 orang. Akibat adanya krisis finansial di tahun itu, direksi Commonwealth membuat kebijakan zero growth untuk tahun berikutnya. Namun, kebijakan untuk CommCenter ternyata berbeda. Sebabnya di tahun 2009, Novi diizinkan menambah lima orang agen baru. Sekarang ini, agen CommCenter menjadi 31 orang. Dua puluh orang di antaranya adalah agen di CommCenter yang menangani inbound, sisanya menangani outbound.

Wajah Menarik

Persyaratan menjadi agen CommCenter adalah pendidikan minimal S1 dari berbagai jurusan. Menguasai bahasa Inggris dan kemampuan berkomunikasi yang bagus. Dan, satu lagi adalah memiliki wajah yang menarik. Syarat ini terdengar cukup beda mengingat saat melayani nasabah, para agen tidak bertatap muka langsung.

Para agen ini juga diwajibkan tetap menjaga penampilan selama bekerja. Untuk itu tidak tanggung-tanggung. Novi menyediakan satu buah cermin kecil di setiap meja para agen. “Sebenarnya bukan hanya untuk bercermin saja, tapi supaya para agen melihat wajah mereka sendiri saat melayani nasabah. Dengan wajah ramah dan tersenyum selalu, para nasabah diharapkan bisa merasakan keramahan tersebut,” jelas Novi sambil tersenyum.

Para agen di CommCenter merupakan pegawai tetap di Commonwealth, setelah menjalani satu tahun masa percobaan. Meski untuk mendapatkan para agen ini dilakukan melalui vendor. Pilihan pegawai tetap ini salah satunya karena jam operasional CommCenter tidak 24 jam dan tidak tiap hari. CommCenter hanya beroperasi di hari kerja, Senin–Jumat, antara pukul delapan pagi hingga lima sore. Di sisi lain, pemilik saham sekarang ini justru memilih pegawai tetap dibanding outsource.

Walaupun sudah pegawai tetap, tapi turn over di CommCenter cukup tinggi, sekitar 25 persen setiap tahun. Namun, para agen ini keluar bukan karena bekerja di tempat lain. Kebanyakan dari mereka “diambil” oleh divisi lain yang membutuhkan kemampuan komunikasi dan pelayanan yang bagus. “Divisi saya itu, seperti universitas bagi divisi lain yang membutuhkan tenaga jadi. Sehingga, yang keluar biasanya pindah ke divisi lain. Hanya sedikit dari mereka yang benar-benar keluar dari perusahaan. Hal ini juga yang membuat saya mencari agen yang menarik wajahnya,” jelas Novi.

Novi sukses membentuk tenaga siap pakai di dunia pelayanan karena menerapkan sistem pelatihan dan pendidikan yang ketat. Selama satu tahun penuh para agen CommCenter mendapatkan pelatihan. Dimulai di bulan pertama adalah training produk. Satu minggu pertama di bulan kedua adalah trial sistem. Diikuti dengan online tandem selama seminggu. Dan, dua minggu berikutnya baru online dengan dipantau.

Lalu, bulan ketiga hingga keenam—atau selama empat bulan—para agen hanya melayani nasabah saja. Baru di semester kedua mereka melayani agen asuransi. Agen yang berpengalaman memang justru ditempatkan untuk melayani agen asuransi Commonwealth Life. Karena sekali telepon, para agen asuransi bisa menanyakan 10 polis. Sedangkan nasabah tentunya hanya bertanya mengenai polisnya saja. “Agen CommCenter yang sudah berpengalaman akan bisa melayani pertanyaan yang banyak dan dalam waktu singkat,” tambah Novi.

Di Commonwealth, para agen asuransi juga merupakan nasabah yang harus dilayani. Terlebih, sekarang ini sistem peragenan adalah external customer, atau tidak terikat langsung dengan perusahaan.

Setiap harinya, CommCenter menerima sekitar 600 panggilan. Sepertiga atau 200 dari jumlah tersebut adalah call dari agen asuransi. Sisanya dari klien individu dan direct marketing, atau klien yang berasal dari kerja sama dengan lembaga perbankan. Untuk panggilan dari klien, jumlah abandon call-nya 5 persen. Target di 2010 ini adalah menekan hingga 3 persen. Nomor yang digunakan CommCenter adalah 021- 2550 1234 dan 0804 150 1234.

Pergeseran cara pandang terhadap keberadaan call center ini bisa jadi berkaitan dengan perubahan kepemilikan komposisi saham. Sebelumnya, asuransi ini bernama Astra CMG Life—merupakan perusahaan patungan antara Astra dan Commonwealth Bank of Australia (CBA). Sejak pertengahan tahun 2007, kepemilikan CBA berubah menjadi mayoritas, hingga 80 persen. Mulai itu, nama Astra CMG Life diubah menjadi Commonwealth Life. (Ign. Eko Adiwaluyo/Majalah MARKETING)