Paul Gurita

Rasanya tidak percaya kalau tebakan Paul gurita (sekali lagi) benar dalam laga final Piala Dunia 2010. Beberapa kali Paul memilih negara yang menang dalam pertandingan Piala Dunia, sebagian orang memang tidak memercayainya. Apalagi ketika kesebelasan yang lebih favorit seperti Jerman dan Belanda harus takluk oleh Spanyol.

Paul adalah seekor gurita kecil. Dia bukan manusia paranormal, namun dianggap memiliki kemampuan meramal yang luar biasa. Bayangkan, peramal lain banyak yang tidak terang-terangan menunjuk siapa pemenang pertandingan, dan lebih memakai bahasa-bahasa penuh arti. Namun, Paul dengan polosnya langsung menunjuk siapa pemenang sebuah pertandingan. Hasilnya? Seratus persen ramalannya dalam Piala Dunia terbukti benar!

Memang ada yang mengatakan bahwa kisah si Paul ini hanyalah sebuah game sederhana untuk memilih satu dari dua, di mana probabilitasnya masing-masing hanya 0,5. Keakuratannya mungkin berbeda jika si Paul juga harus menebak skor, yang melibatkan banyak kombinasi dan kemungkinan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita kadang memang berhadapan dengan game sederhana seperti itu: memilih satu dari dua kemungkinan. Dan pilihan yang diambil adalah “go” atau “no go”. Seperti, “Apakah kita meluncurkan produk kita atau tidak? Apakah kampanye kita mau dijalankan atau tidak? Apakah kita tetap mempertahankan produk kita yang lama atau tidak?”

Tentu saja, konsekuensi pilihan yang diambil tidak sesederhana yang pilihannya cuma dua. Investasi yang akan terbuang percuma saat Anda salah mengambil keputusan, membuat Anda akhirnya berpikir panjang. Apalagi, bagi Anda yang akan meluncurkan produk, ada rumor yang membuat bulu kuduk Anda berdiri, “70 sampai 80 persen produk baru yang diluncurkan ternyata gagal di pasaran!”

Beberapa kali Survey One (divisi riset Marketing Group) diminta untuk mengevaluasi produk yang akan diluncurkan. Beberapa kali juga kami merekomendasikan untuk tidak melucurkan produk tersebut. Alasannya, terkadang terlihat jelas dari data riset. Misalnya, dari total responden yang disurvei, ternyata kurang dari 60 persen target pasar yang mengaku tertarik terhadap konsep produk itu.

Dengan angka ketertarikan tersebut sebenarnya merupakan warning bahwa produk Anda punya peluang gagal yang cukup besar. “Tertarik terhadap produk” belum menjamin motivasi seseorang untuk membeli. Bahkan, “tertarik untuk membeli” pun tidak menjamin mereka untuk membeli. Ada banyak faktor yang menjadi hambatan konsumen untuk membeli produk. Sehingga, angka ketertarikan yang relatif kecil seharusnya membuat tanda tanya besar bagi Anda.

Hal lain yang memperkuat untuk tidak meluncurkan produk baru karena data riset menunjukkan pasar tidak bisa mengadopsi produk tersebut pada masa sekarang. Kadangkala alasannya juga karena harganya tidak mencerminkan value yang didapat konsumen. Artinya, jika harga dipatok tinggi membuat produk tersebut tidak match dengan valuenya. Namun, jika direndahkan membuat hitung-hitungan bisnisnya akhirnya tidak masuk.

Menariknya, jika ada lima perusahaan yang mendapat rekomendasi untuk tidak meluncurkan produk, tiga di antaranya ternyata tetap “ngotot” untuk meluncurkan produk tersebut. Mengapa?

Alasan yang pertama adalah terlalu banyak biaya riset yang sudah terbuang pada saat menciptakan produk tersebut. Pikiran yang sering menghantui marketer adalah: haruskah kita menyerah dengan opini konsumen, sementara kita memiliki para penjual dan pemasar tangguh yang bisa menaklukkan pasar?

Umumnya bagian R&D juga tidak mau disalahkan karena membuat produk yang tidak marketable. Bujet R&D bisa-bisa dipotong tahun-tahun mendatang, karena mereka dianggap tidak menghasilkan. Makanya lebih baik bagi mereka untuk nekat meluncurkan produk. Lagipula, kalau sudah menggelinding di pasaran, segala kemungkinan bisa dijadikan alasan untuk kegagalan produk.

Kadangkala, alasannya karena principal dari luar memaksa marketer harus menjual produk-produk lain, sekalipun produk itu tidak cocok dipasarkan. Karena takut principal-nya tidak menjadikan mereka sebagai representative lagi di Indonesia, terpaksalah mereka tetap menjual produk yang tidak menjanjikan itu.

Yang menarik juga, ada yang tetap meluncurkan produk karena keharusan untuk menjalankan strategi inovasi perusahaan. Kadang-kadang marketer sudah tahu risiko gagalnya. Namun demikian, mereka tetap menjalankannya karena alasan memperkuat product portfolio, menunjukkan dominasi di pasar atas produk mereka, atau sekadar mengganggu kompetitor.

Pada akhirnya, para pejuang merek itu pun harus menghadapi produknya terseok-seok di pasaran karena pilihan yang diambil. The show must go on, sekalipun “penontonnya” tidak ada! Anda harus menjalani konsekuensi karena pilihan yang diambil, sekalipun hanya ada dua kemungkinan.

Sama halnya ketika di pertandingan final Piala Dunia, Anda memilih Belanda dibandingkan Spanyol, sementara Paul memilih Spanyol. Mungkinkah Paul salah memprediksi hasil final, setelah 99,99 persen tebakannya benar? Apalagi, data di Piala Euro menunjukkan dua dari enam tebakan Paul salah.

Ternyata, tebakannya 100 persen benar! (Majalah MARKETING)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.