Merek Hitam

Diakui atau tidak, belakangan ini semua indera kita tertuju pada PT Pertamina (Persero). Masyarakat bawah menganggap perusahaan milik pemerintah ini tidak bisa mengurusi penyediaan gas dengan benar, sehingga terjadi ledakan di mana-mana. Hingga kini, hampir 100 kasus tak bisa dihindari dan telah memakan begitu banyak korban.

Sementara, masyarakat kelas menengah atas, yang notabene memiliki mobil, menganggap Pertamina sedang “meneror” mereka dengan mendistribusikan bahan bakar premium tak layak konsumsi. Akibatnya, pompa bahan bakar (fuel pump) ribuan kendaraan, khususnya di Jabodetabek, rusak. Pemilik mobil pribadi mengeluh, pengusaha taksi rugi ratusan juta rupiah.

Dua masalah besar itu tak satu pun beranjak dari Pertamina sampai sekarang. Terhadap kasus pertama, yakni meledaknya gas di berbagai daerah, perusahaan pelat merah ini tidak mau disalahkan dengan alasan tabung yang disuplainya sudah layak edar dan lain sebagainya. Begitu pula dengan kasus kedua, soal buruknya bahan bakar premium, lagi-lagi perusahaan ini tidak mau disudutkan dengan dalih kualitasnya tak seburuk yang dituduhkan.

“Pertamina oh Pertamina…,” tiga kata yang mungkin belum beranjak dari benak masyarakat luas sampai saat ini. Dan kalau melihat kasus ini, kita seolah-olah kembali ke masa ketika merek-merek besar seperti Ajinomoto, Mizone, dan lain sebagainya disibukkan dengan kampanye negatif (black campaign) merek.

Memang kampanye negatif pada dasarnya bisa terjadi akibat dari kelalaian kita sebagai pemasar, bisa pula disebabkan kesengajaan yang diciptakan kompetitor. Maraknya kasus fuel pump sejak dua bulan lalu sempat memunculkan isu bahwa itu diluncurkan oleh kompetitor (kompetitor Pertamina di Indonesia hanya ada dua, Shell dan Petronas) untuk mengalihkan pelanggan dari Pertamina.

Kompetitor tidak menanggapi isu itu sama sekali. Justru Pertamina bereaksi cepat dengan menyatakan pihaknya tidak bersalah karena telah memenuhi standar kualitas bahan bakar. Lantas, Pertamina setengah menuduh stasiun-stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU)-lah yang perlu disorot karena tangki penampungannya kemungkinan kotor, sehingga menimbulkan sumbatan di fuel pump kendaraan.

Himpunan Wiraswasta Minyak dan Gas (Hiswana) sebagai asosiasi pengelola SPBU kontan membantah. Mereka mengatakan selalu melakukan kontrol kualitas selama penerimaan dan pengelolaan. Perang dingin pun berlangsung. Pertamina menyalahkan SPBU, pengelola SPBU tidak mau dipersalahkan dan berujung blunder. Tapi, bayangkan jika Pertamina sejak awal mengatakan, “Baik, kami akan segera melakukan pengujian terhadap bahan bakar kami, sehingga kita semua akan mengetahui bagaimana kualitas bahan bakar yang kami impor dari luar negeri. Kalau memang betul penyebabnya adalah jeleknya kualitas premium, kami siap membatalkan kontrak impor dari luar negeri tersebut.”

Ini persoalan komunikasi. Ingat, seorang pemasar harus paham benar bahwa membangun merek itu bukan sekadar menempeli produk dengan nama sesukanya. Merek itu merupakan kumpulan dari product, price, place, promotion atau yang sering disebut 4P dan atribut-atribut merek lainnya. Oleh karena itu, melahirkan merek hanya membutuhkan waktu satu hari, tapi membangun merek memerlukan perjuangan sepanjang masa. Kesalahan mengomunikasikan merek, termasuk menanggapi komplain pelanggan, tak ubahnya membunuh merek itu sendiri.

Cepat dan Tepat

Menanggapi komplain pelanggan tentu menjadi kewajiban pemilik merek. Karena itu, hampir semua merek sekarang ini dilengkapi dengan layanan pelanggan lengkap dengan call center-nya. Jika tidak, merek itu sama juga mati saat masih menjadi kecambah. Kalau sudah begitu, untuk apa memasarkan merek (produk), toh tak serius menjalaninya.

Pertamina sebaiknya belajar dari sahabatnya, PT Garuda Indonesia, dalam mengatasi krisis merek. Masih ingat kejadian Boeing 737 Garuda Indonesia jurusan Mataram-Yogyakarta-Jakarta yang mendarat darurat di sungai Bengawan Solo pada 16 Januari 2002? Bagi Garuda, itu merupakan masalah besar dan sudah menjadi hal wajar jika para penumpang menyalahkannya. Tapi, ternyata kondisinya berbalik, para penumpang malah bersimpati pada Garuda Indonesia.

Saat itu pesawat sedang dihadang badai dan hal tersebut memaksa pilot melakukan pendaratan darurat. Pilot betul-betul mendapat ujian berat, apalagi mesin dalam keadaan mati. Tapi beruntung, di samping kru, 54 penumpangnya selamat, termasuk lima warga negara asing. Manajemen Garuda Indonesia langsung merespons kejadian itu dengan membuka pusat informasi secara periodik, di samping melakukan evakuasi para penumpang secara cepat. Kepada media, manajemen secara sengaja menceritakan kisah sang pilot dalam mengatasi masalahnya. Alhasil, kecelakaan itu berbuah simpati.

Jadi, strategi komunikasi yang tepat sangat membantu kita dalam mengatasi komplain pelanggan. Jangan segan-segan melibatkan pihak ketiga, baik konsultan, para ahli, regulator, dan lain sebagainya, dalam menjawab berbagai persoalan yang terjadi, karena itu akan sangat membantu. Kuncinya, jangan langsung bilang “tidak” jika Anda tak ingin melihat merek Anda mati suri atau mati selamanya. Berhati-hatilah, kesalahan komunikasi hanya akan mengantarkan merek Anda menjadi hitam dan sulit memutih kembali. (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.