SALES FORCE P&G: Pusing Dengan Sales Promo Yang Berubah-ubahERUBAH-UBAH?

Sales Force – Case Study

 

Kegiatan sales promotion P&G di AS memang dahsyat. Dalam sehari mereka bisa menetapkan 55 kali perubahan harga di berbagai tempat. Apa jadinya kalau mereka tidak dilengkapi dengan sistem informasi yang canggih?

Seperti kebanyakan perusahaan consumer goods lainnya, Perusahaan Procter & Gamble (P&G) menganut micromarketing – suatu strategi menyesuaikan produk dan marketing secara lokal dan mengacu pada daerah tertentu (kota atau desa), yang biasanya diterapkan oleh perusahaan kecil dan menengah.

P&G mengembangkan teknologi untuk melakukan pemesanan atau order antar sesama pelanggan-pelanggannya. Mereka sudah memiliki sistem pesanan, penagihan (billing) dan juga pengirimannya. Tetapi seiring masuknya raksasa-raksasa ritel besar seperti Wal-Mart dan adanya penggabungan kekuatan-kekuatan ritel lainnya membuat sekitar 40.000 toko kecil dan menengah gulung tikar. Akibatnya  penjualan P&G mengalami penurunan.

Untuk mengatasi masalah ini, P&G terus mengeluarkan produk-produk baru supaya pelanggannya bisa mempunyai lebih banyak pilihan di ritel modern. Mereka mengembangkan program marketing supaya bisa terus menyalurkan produk-produknya ke pelanggan melalui channel-channel ritel. Selain itu mereka juga mengembangkan sistem informasi yang bisa melacak atau memantau proses produksi, pergudangan, pengiriman dan ratusan promosi harga.

Kehebatan P&G adalah mengembangkan program sales promo yang sangat fleksibel. P&G memanfaatkan sistem teknologi informasi untuk mengumpulkan dan menganalisa data penjualan ritel dan menggunakan informasi tersebut untuk menyusun dan menyesuaikan kampanye-kampanye promosinya. Misalnya dengan menganalisa data penjualan yang berhubungan dengan pola cuaca daerah tertentu, P&G bisa mengukur bagaimana hubungan akibat musim penyakit flu dan batuk terhadap penjualan produk Vicks Formula 44 dan obat flu Nyquil-nya. Setelah itu barulah dikembangkan program untuk merespons kondisi tersebut, seperti misalnya penjualan/diskon khusus atau menyebarkan kupon di daerah-daerah dimana terdapat banyak penderita flu.

Agar bisa menyukseskan semua produk baru ke ritel, P&G memang mengembangkan bermacam-macam bentuk promosi yang berbeda mulai dari bonus paket (dua produk dikemas dalam satu kemasan), program diskon, bagi-bagi gimmick dan lain-lain. P&G bahkan bisa mengubah harga sebanyak 55 kali dalam sehari pada 110 produknya dan menawarkan program promosi harga sampai 440 kali dalam setahun!

Di sisi sales force P&G menekan para sales force untuk menyalurkan produk, apa pun risikonya. Penjualan sales force sudah dianggap berhasil jika produk sudah dikirim keluar dari gudang P&G dan bukan ketika ritel melakukan pemesanan. Sistem pesanan, pengiriman dan penagihan secara konsisten memantau dan melacak berapa banyak produk yang sudah dikirimkan dari gudang-gudang P&G.

Masalahnya, dengan begitu banyaknya program promosi dan pricing yang dijalankan  membuat komputer yang canggih dan teliti sekali pun sulit untuk memantau proses pesanan serta penjualan agar tetap berjalan lancar. Kesalahan umum yang terjadi misalnya para peritel memesan produk pada sales force dengan harga 100 dolar per produk, tetapi P&G mengirimkannya dengan harga 125 dolar per produk. Untuk mengatasi hal itu, P&G memiliki tim khusus yang terdiri dari ratusan tenaga ahli yang ditempatkan di Cincinnati, dimana mereka mengoreksi sekitar 27.000 pesanan per bulannya. Untuk itu mereka mengeluarkan biaya 35 dolar sampai 75 dolar per pesanan.

Strategi sales force P&G juga termasuk mengurangi dan memangkas sales force full-time-nya. Mereka hanya memakai tenaga penjual part-time atau telemarketing. Setelah itu, semua pengambilan keputusan penjualan harus melalui kantor pusat. Ini adalah cara P&G untuk merespon berubahnya cara atau sistem pengambilan keputusan dari para peritel karena pengambilan keputusan para peritel kini juga sudah dilakukan melalui kantor pusat.

Perwakilan sales force di toko-toko kecil sudah mulai dikurangi karena aktivitas yang memerlukan pengambilan keputusan memang sudah tidak terlalu banyak lagi dan semuanya sudah bisa berjalan dengan sendirinya. Ditambah lagi dengan teknologi yang semakin berkembang, sales force dituntut untuk bisa semakin canggih, serta tidak perlu memakai banyak tenaga penjual. Semua kegiatan dan aktivitas di level toko akan semakin di-otomatis-kan, dimana semuanya akan dijadikan sistem yang bisa berjalan dengan sendirinya dan bersifat rutin.

Sales force juga dilengkapi dengan komputer laptop untuk mengirimkan laporan yang berisi data penjualan dan perubahan kebiasaan membeli pelanggan ke kantor pusat setiap hari. Dari sini juga bisa diketahui atau dicari tahu alasan mengapa terjadi perubahan kebiasaan membeli tersebut. Di kantor pusat ini juga sales force dan marketer berkumpul untuk meneliti data, lalu dengan cepat menyesuaikan jadwal produksi berdasarkan data demand dan pembelian yang aktual.

P&G juga mempunyai program untuk saling berbagi data dengan para pelanggan ritel supaya bisa turut mengembangkan profit para mitranya ini. Ada kalanya dalam beberapa kasus, beberapa produk P&G harus ditarik dari ritel karena performa penjualannya kurang bagus. Tetapi secara keseluruhan, P&G percaya bahwa dengan membagi informasi antar sesama mitra dan mengoptimalkan profit mereka adalah salah satu cara untuk membangun loyalty dan agar tetap up-to-date dengan apa yang sebenarnya terjadi di pasar.

P&G bergeser dari brand dan product oriented menjadi customer oriented dengan menugaskan satu tenaga perwakilan sales ke suatu toko untuk mengurusi penjualan. Untuk memastikan supaya pelanggan bisa selalu menemukan produk yang diinginkan di rak toko, P&G bahkan membangun sistem yang bisa men-trigger pengiriman, hanya jika pelanggan benar-benar melakukan pembelian. Cara ini membuat sales force P&G disusun dan dirancang sesuai dengan kebiasaan membeli dan kebutuhan konsumen, dan bukan berdasarkan produk atau brand lagi.

 

Ivan Mulyadi (dari berbagai sumber)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here