Saturday, September 13, 2025
Home Blog Page 2193

AGUS SUGIHARTO RUSLI: Marketing Harus Diselami

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

agus HTCwebYang menarik dari dunia marketing adalah membangun nilai, posisi merek dan produk, sekaligus menyampaikan pesan.  Demikian diungkapkan pemilik nama lengkap Agus Sugiharto Rusli, Country Manager, Indonesia – HTC Asia Pacific, Pte Ltd (Singapore). Menurut penghobi main gadget  ini, dunia marketing harus diselami. Menurutnya,  diri kita sendiri merupakan suatu produk yang tidak terlepas dari teori marketing dalam kehidupan sehari-harinya. “Hal ini tentunya bermakna dalam kehidupan saya sehari-hari jika saya bisa memahami teori marketing itu sendiri,” kata Agus.

Penyuka wisata kuliner ini menambahkan, lewat marketing, pengalaman merek, dan kontak dengan pelanggan,  pangsa pasar menjadi lebih potensial untuk ditingkatkan. “Karena penjualan para distributor akan naik begitu pelanggan mengenal pesan dalam  produk kami dan tentunya setelah bereksperimen dengan produk kami,” jelas penyuka jajanan laut dan masakan pedas ini.

Bercerita mengenai kegiatannya di saat waktu senggang, pria kelahiran Jakarta, 23 Agustus 1971 ini mengaku selalu memanfaatkan waktu luang untuk belajar dan mempelajari apa saja yang bisa di pelajari dan juga berolah raga di akhir pekan. ”Waktu senggang pastinya selalu dimanfaatkan dengan hal-hal yang positif,” kata Agus yang menyukai Eropa sebagai destinasi wisata favoritnya.

Soal kesuksesan hidup, Agus lebih memahaminya sebagai sukses lahir dan batin. Menurutnya, kesuksesan tidak bisa di ukur dengan materi.  “Kesuksesan adalah di saat kita merasa bahagia lahir dan batin,” ujar pria yang meraih gelar Marketing Master Degree di STIE IPWI–Jakarta ini, seraya mengungkapkan bahwa keluarganya berperan sangat penting sebagai motivator  bagi dirinya. (Harry Tanoso/Majalah MARKETING)

RETNA WIDAWATI; Untung Pernah Jadi Penyiar

0
[Reading Time Estimation: 2 minutes]

TOLAK ANGINwebPengalaman menjadi seorang penyiar semasa remaja membuatnya belajar banyak hal. Salah satunya, belajar mengatur waktu. Ia kudu bangun di subuh hari. Pulang larut malam. Begitulah ritual hidup harian yang kudu ia lakoni. Ia pernah dicari oleh banyak orang—baik dari kantornya ia bekerja maupun dari pendengar setianya gara-gara dia bangun kesiangan. Sepotong pengalaman unik yang tak pernah tanggal dari memori perempuan ini.

“Pengalaman kerja pertama kali di umur 18 tahun itu sungguh tak terlupakan. Saya bisa belajar banyak bagaimana mengatur aktivitas hidup saya. Saat itu, selain sebagai penyiar saya juga pernah ambil pekerjaan sambilan sebagai pembantu penelitian dari para dosen. Ini saya lakukan sambil berbagi waktu untuk kuliah,” kata Retna Widawati, Group Product  Manager PT Sido Muncul.

Pengalaman tadi berbuah kebaikan untuk hidupnya sekarang. Ia mengaku sudah terbiasa mengatur waktu. Baik sebagai seorang perempuan karir di perusahaan jamu modern  terbesar di Indonesia itu maupun sebagai ibu rumah tangga yang kudu berbagi waktu dan kehadiran dengan buah hatinya. “Saat ini, saya harus piawai membagi waktu untuk pekerjaan, anak saya, dan juga hidup sosial saya. Apalagi sejak ditinggal mendiang suami saya. Karir dan anak saya sama-sama menuntut perhatian saya. Saya terbiasa disiplin,” kata ibu dari Daffa Hanandito Nugroho (5) ini.

Belakangan ini, ia sedang disibukkan dengan tur ke berbagai kota besar untuk meluncurkan ulang Tolak Angin Anak. Acara tur ini terselenggara dengan kerjasama salah satu stasiun televisi swasta. “Kami ingin terus membesarkan Tolak Angin Anak ini dan ingin menyusul kesuksesan Tolak Angin dewasa,” kata Widawati yang saat dihubungi sedang tur Tolak Angin Anak di Yogyakarta.

Lagi-lagi bekerja baginya adalah belajar. Ia mengaku bersyukur bekerja di Sido Muncul. Sosok Irwan Hidayat, pemilik Sido Muncul, baginya cukup inspiratif. “Pak Irwan adalah sosok pemimpin yang rajin, komit, konsisten, dan selalu memberi contoh. Lebih lagi, ia selalu mengajari kami untuk berbagi kebaikan kepada sesama. Kami punya tim kerja yang kuat. Kami selalu kompak,” cetus perempuan kelahiran Klaten, 7 Juni 1971 dan lulusan Administrasi Publik Universitas Diponegoro, Semarang  itu. (Sigit Kurniawan/Majalah MARKETING)

Punya Pamor di Pasar Global

0
[Reading Time Estimation: 5 minutes]

Cornelius Husein, Direktur Marketing PT Indah Jaya
Cornelius Husein, Direktur Marketing PT Indah Jaya

Terry Palmer melenggang kangkung di pasar ekspor handuk. Selain berkat namanya yang kebarat-baratan, kesuksesan handuk asal Tangerang ini didukung oleh kualitas berstandar internasional dan strategi membuka butik handuk di negara tujuan.

Mungkin Anda menjadi salah seorang yang terkecoh dengan merek handuk Terry Palmer dan menganggapnya sebagai merek asal Amerika Serikat atau Eropa. Ya, bila demikian, anggapan Anda memang salah. Terry Palmer merupakan merek asli handuk Indonesia yang diproduksi oleh PT Indah Jaya yang mempunyai pabrik di Tangerang, Banten. Nama Terry Palmer sudah cukup berpamor di pasar handuk Indonesia. Pamornya pun tak sebatas di Nusantara saja. Terry Palmer mempunyai nama harum sebagai handuk premium di pasar ekspor, seperti Eropa, Amerika, Australia, Jepang, Singapura, dan Malaysia.

Handuk Terry Palmer diproduksi oleh PT Indah Jaya yang sejak awal sudah berorientasi pada ekspor mulai tahun 1998. Saat itu, ekspor dilakukan ke Eropa, Jepang, dan Amerika. Orientasi ekspor ke negara maju itu yang membuat PT Indah Jaya komit sejak awal untuk mengedepankan kualitas produk. “Salah satu ciri handuk kualitas ekspor adalah lebih tebal dan lebar,” kata Cornelius Husein, Direktur Marketing PT Indah Jaya.

Tidak semua produk Indah Jaya masuk ke pasar ekspor. Awalnya, Indah Jaya memasok handuk dan diberi merek oleh perusahaan di negara tujuan. Tidak lama kemudian, Indah Jaya mulai percaya diri mengusung merek sendiri, Terry Palmer. Terry Palmer awalnya dipasarkan di tingkat lokal. Saat itu, Terry Palmer belum fokus digarap, produk ini masih dipasarkan dalam jumlah terbatas. Waktu berselang, ada negara-negara tujuan ekspor yang minta dikirimi handuk dengan merek Terry Palmer pada tahun 2000. “Justru saat krisis melanda ekonomi Indonesia pada tahun 1998, kami sedang gencar-gencarnya melakukan ekspor. Saat itu, tujuan ekspor ke Australia, Eropa, dan Amerika. Lalu pada tahun 2002, kami mulai fokus menggarap merek ini,” kata Cornelius.

Karakter pasar ekspor handuk berbeda dengan karakter pasar lokal. Konsumen di pasar lokal, menurut Cornelius, kalau membeli handuk tidak memandang kualitas. Yang penting harganya murah. Orang kalau beli handuk juga belum mempunyai tujuan khusus dan cenderung membeli secara kebetulan ketika belanja di supermarket. Kondisi ini membuahkan ide untuk membangun butik khusus handuk. Awalnya diberi nama “Depo Handuk” dan merebak di seluruh pusat perbelanjaan sekelas ITC. Tapi, produknya masih campur dengan aneka merek.

Lalu, Indah Jaya ingin masuk ke mal dengan nama yang lebih bisa diterima, yakni Terry Palmer. Sampai sekarang, ada dua butik handuk milik PT Indah Jaya, yakni Depo Handuk untuk menyasar kelas ekonomis dan Terry Palmer untuk menyasar kelas menengah atas. Uniknya, Terry Palmer gampang masuk ke pasar menengah atas karena kebanyakan mengira merek ini merupakan lisensi dari Amerika. Strategi membangun butik khusus handuk juga diterapkan untuk menggarap pasar global.

Handuk Terry Palmer dipasarkan di luar negeri dengan menyasar segmen premium. Jejak pemasaran globalnya pun unik. Sebelum krisis, dolar Amerika masih terbilang murah. Melihat kuatnya rupiah, perusahaan keluarga ini nekat memasarkan handuknya ke luar negeri. Strategi pemasarannya boleh dibilang simpel. Riset awal juga tak dilakukan. Tapi, kenekatan ini disambut antusias oleh pasar global—sebuah  blessing in disguise. Indah Jaya, menurut Cornelius, belajar tentang handuk yang berkualitas justru ketika melakukan ekspor. “Kami merasa saat itu ketinggalan jauh. Tapi, ini justru memicu semangat kami untuk meningkatkan kualitas handuk kami di pasar ekspor,” kata Cornelius.

Memasarkan produk ini memang gampang-gampang susah. Yang paling menjadi penghalang untuk pasar ekspor, menurut Cornelius, tak lain adalah standar internasional. Dengan ekspor ini pula, Indah Jaya mengklaim diri berubah menjadi perusahaan modern. Salah satu cirinya adalah sertifikasi ISO, baik soal lingkungan, keselamatan dan kesejahteraan buruh, kebersihan pabrik, dan sebagainya. “Dengan standarisasi ini, kami memasarkan produk-produk yang tidak asal dibuat. Dengan begitu, handuk yang kami pasarkan ke pasar domestik otomatis ikut standar internasional ini,” kata dia.

Selain itu, para pembeli dari negara tujuan ekspor, mempunyai tim pemantau di Indonesia yang fungsinya untuk mengontrol apakah manajemen sesuai dengan standar internasional tersebut atau tidak. “Mereka sangat sensitif dengan ini. Termasuk masalah buruh dan lingkungan hidup. Jadi, soal produksi bagi mereka tidak terlalu jadi perhatian. Bagi mereka, yang penting bahannya berkualitas dan teknologinya berstandar internasional. Nah, ini yang menjadi tantangan bagi kami,” imbuh Cornelius.

Selain Amerika dan Eropa, Terry Palmer juga sudah mengekspansi pasar Asia. Bahkan, di Singapura dan Malaysia, Terry Palmer mempunyai kantor perwakilan sendiri. Pernah juga Terry Palmer membuka kantor perwakilan selama dua tahun di Sydney, Australia. Di negara-negara tersebut, Terry Palmer juga mempunyai butik handuk sendiri yang berada di berbagai pusat perbelanjaan. “Strategi pertama seperti yang kami lakukan di pasar domestik, yakni membuka butik khusus handuk di pusat perbelanjaan. Mereka dengan tangan terbuka menyambut Terry Palmer. Citra merek ini sudah kuat di sana. Lagi-lagi, nama yang kebarat-baratan ini punya kekuatan menjual,” kata Cornelius terkekeh.

Di luar negeri, Terry Palmer hanya membuka butik saja. Meskipun ada kantor perwakilan, Terry Palmer tidak melakukan aktivitas pemasaran maupun edukasi pasar secara intensif. Orang-orang di kantor perwakilan bertugas melakukan supervisi pada distribusi Terry Palmer. Terry Palmer mampu menjadi idola di negara-negara tersebut.

Sementara itu, jangkauan distribusinya cukup luas di kota-kota besar negara bersangkutan. Urusan distribusi ini ditangani oleh orang Indah Jaya sendiri dengan tenaga operasional yang diambil dari negara setempat. Kebanyakan pembeli, khususnya dari Eropa dan Amerika, adalah departemen store yang menjadi pemasar merek Terry Palmer. “Jadi, dalam soal kompetisi, kami tidak dalam kondisi berperang antarmerek di negara tujuan. Mereka datang dan membeli serta memasarkan merek kami. Di Singapura dan Malaysia, kami malah jadi pionir dalam membuka butik handuk. Mereka tidak pernah berpikir soal ini,” kata Cornelius.

Belum lama, ada yang mengambil lisensi Terry Palmer untuk dipasarkan di Shanghai dan Beijing. Bagi Cornelius, ini peluang sangat besar mengingat Cina dikenal sebagai rajanya tekstil. Apalagi, jalur perdagangan bebas Cina dan ASEAN sudah dibuka dan populer dengan sebutan CAFTA—China ASEAN Free Trade Agreement itu. “Soal handuk, Indonesia tetap menjadi tuan rumah. Di pasaran lokal, khususnya di pasar modern, pangsa pasar kami mencapai 80 persen. Bahkan, hampir 100 persen, handuk kami mendominasi hotel-hotel bintang empat ke atas. Kesempatan masuk pasar Shangai dan Cina ini menambah kekuatan Terry Palmer sebagai produk Indonesia untuk menjajaki pasar Cina,” kata Cornelius.

Asal tahu saja, untuk menghadapi banjirnya produk Cina yang mengusung harga murah itu, Indah Jaya merilis handuk teranyarnya dengan merek Merah Putih pada awal tahun 2010. Handuk dengan slogan “Handuk Keluarga Indonesia” ini menyasar kelas ekonomi dengan jangkauan distribusi ke berbagai daerah pelosok. “Produk yang mengusung nasionalisme Indonesia ini juga dipasarkan di Singapura dan Malaysia. Bahkan, kami juga ingin membawanya seperti Terry Palmer, untuk bisa menerobos pasar Amerika dan Eropa,” kata Cornelius optimistis.

Strategi harga yang diterapkan di pasar ekspor disesuaikan dengan kondisi di tiap-tiap negara. Pada intinya, Cornelius menyebut harga yang dipatok cukup kompetitif, khususnya dengan produk-produk Amerika yang dikenal supermahal dan bermutu itu. “Uniknya, beberapa handuk dari Amerika itu sebenarnya juga dari hasil ekspor kami. Bahkan, ada yang memasarkan kembali dari Amerika ke Indonesia seolah-olah itu produk Amerika,” kata Cornelius berlanjut terkekeh.

Selain merek, kekuatan Terry Palmer ada di sistem produksi dan desain motif. Pabrik yang terbentang seluas 40 hektare di Tangerang itu mempunyai alat-alat produksi berstandar internasional. Terry Palmer juga bermain dalam desain motif. Motif untuk tiap-tiap negara berbeda. Amerika, misalnya, lebih menyukai warna meriah; Eropa lebih doyan warna-warna klasik; Jepang lebih senang warna lembut.

Pada tahun ini, Indah Jaya terus menggenjot produksi handuknya dan mengembangkan pasar di berbagai negara. “Kami bangga membawa nama Indonesia ke pasar global. Semua made in Indonesia,” pungkas Cornelius bangga. (Sigit Kurniawan/Majalah MARKETING)

Berkomunikasi Bukan Berbicara

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

komunikasiwebPernahkah Anda membayangkan seperti apa jika ada dua orang yang berbeda karakter dan menerapkan teknik komunikasi yang berbeda, berorasi di depan banyak audiens tentang teman mereka yang sudah meninggal di acara pemakamannya?

Si orang pertama berpidato tentang bagaimana saluran darah di kepala temannya tersebut mulai tersumbat, lalu menyebabkan ini, lalu menyebabkan itu, hingga menyebabkan pecahnya pembuluh darah di kepala temannya. Lalu ia menyambungnya dengan menjelaskan beberapa istilah medis, tips dan saran-saran kesehatan bagi audiens yang hadir di acara pemakaman tersebut. Si orang pertama mengira dengan membagikan ilmunya kepada seluruh audiens yang hadir, ia mungkin bisa menyelamatkan banyak nyawa.

Di lain pihak, si orang kedua menceritakan bagaimana temannya itu hanya berhasil mencetak dua angka dalam suatu pertandingan bola basket yang tak terlupakan sewaktu SMU dulu. “Saya ingat waktu itu kita sering memanggilnya si gagang es krim karena dia begitu kurus. Pada saat detik-detik terakhir pertandingan, sebuah bola umpan tiba-tiba hinggap di tangannya. Tetapi sayang ia lalu tersandung tali sepatunya sendiri dan terjatuh.”

“Walaupun demikian, sebelum terjatuh, ia masih sempat menyelamatkan bola tersebut ke temannya yang akhirnya berhasil mengegolkan bolanya. Sesaat kemudian, kepalanya lalu membentur satu benda keras di lapangan. Sepanjang hidupnya, temanku si gagang es krim memang selalu berbakat dalam menciptakan sesuatu yang dramatis. Perbuatannya selalu melebihi penampilannya. Dia memang pahlawanku.”

Kedua orang tersebut sama-sama membicarakan hal yang sama, yaitu teman mereka yang sudah meninggal. Ketika si orang pertama selesai berbicara panjang, penonton tidak memberikan ekspresi apapun. Tetapi, ketika si orang kedua selesai berbicara dengan singkat, terlihat ada beberapa penonton yang meneteskan air matanya dengan ekspresi wajah terharu, senang, dan sedih bercampur aduk. Si orang kedua rupanya lebih sukses menyentuh emosi para audiensnya.

Tak peduli di mana pun Anda berbicara—di depan umum, di acara pemakaman sampai presentasi produk di sebuah perusahaan—Anda sedang menjual diri Anda sendiri dengan berkomunikasi. Supaya bisa menjual, Anda harus “berkomunikasi” dan bukan hanya “berbicara”. Ikutilah tips-tips berikut supaya pesan yang Anda sampaikan bisa diserap dengan baik oleh audiens.

Apa yang Hendak Disampaikan

Pilihlah kata-kata yang hendak digunakan. Lima menit pertama dan lima menit terakhir adalah bagian terpenting. Anda harus membuka, menjelaskan, dan menyimpulkan. Supaya pesan Anda bisa diserap maksimal, maka buatlah kata-kata yang digunakan seminim mungkin.

Sederhanakan

Salah satu kesalahan fatal yang bisa Anda buat adalah meremehkan kepintaran audiens. Risikonya adalah kehilangan perhatian dalam sekejap. Anda tidak bisa menganggap audiens terlalu bodoh, tetapi jangan juga menganggap bahwa audiens sudah tahu atau mengerti benar akan apa yang hendak disampaikan. Sederhanakan, tetapi rincilah poin-poin penting yang akan Anda sampaikan, bahkan jika Anda menyampaikan sesuatu yang sebenarnya sudah dipahami audiens.

Hilangkan kata-kata yang tak perlu. Apa saja yang bisa dianggap tidak perlu? Apa pun yang menyimpang dari topik utama presentasi Anda dan malah bisa membingungkan atau mengundang kontroversi dari audiens. Terkadang hal yang paling sulit adalah menghilangkan kata-kata yang Anda sukai, tetapi sebenarnya tak berhubungan dengan tema utama. Jika tidak ada hubungannya dengan topik, maka lebih baik dihilangkan saja.

Berikan Penekanan

Jangan berharap apa yang Anda sampaikan bisa semuanya diserap oleh audiens. Beberapa hal, bahkan banyak hal, akan lewat begitu saja. Walaupun demikian, mereka pasti bisa mengingat apa tema atau topik utama yang hendak Anda sampaikan, jika Anda memberikan penekanan yang cukup dan tak berlebihan pada presentasi yang disampaikan. Cara terbaik melakukannya adalah dengan menyampaikan tema/topik utama tersebut dengan penekanan, pengulangan, atau disertai contoh-contoh.

Ketika Martin Luther King berbicara di depan Lincoln Memorial, ia mengulang-ulang satu kalimat, “I have a dream”. Bahkan, walaupun Anda tidak ingat lagi apa saja yang ia katakan waktu itu, Anda tetap bisa mengingat jelas tema uniknya, “I have a dream”. Perbedaan dari orang pertama dan orang kedua pada pidato di acara pemakaman di awal tadi sangatlah jelas, yaitu si orang kedua berhasil menekankan tema unik pidatonya, “Temanku si Gagang Es Krim”.

Tunjukkan, Jangan Cuma Ngomong

Kebanyakan dari kita bosan jika “diberitahu”, tetapi lebih tertarik jika “ditunjukkan atau diceritakan”. Perhatikan bahwa memberitahukan dengan detail itu berbeda dengan menceritakan dengan detail. Itulah sebabnya mengapa cerita lebih mudah diingat dan lebih tahan lama dalam ingatan kita.

Selain menceritakan, Anda juga bisa menggunakan bahasa tubuh dan demonstrasi bila perlu, agar bisa lebih efektif dalam menyampaikan pesan. Contoh, Anda hendak menyampaikan, “Awal tahun ini, penjualan kita menurun sepertiganya.” Dengan disertai gerakan tiga jari yang bergerak turun akan bisa membantu audiens untuk lebih mengingatnya.

Libatkan Audiens

Seringkali bukan “apa” yang disampaikan, tetapi lebih pada “bagaimana” Anda menyampaikannya. Libatkanlah audiens Anda. Buat mereka tertarik dengan “menarik” mereka lebih dekat pada topik utama, contohnya dengan lebih sering menggunakan kata “kita” daripada kata “saya”.

Sesekali ajukan pertanyaan kepada audiens. Walaupun tidak ada yang menjawab, mereka pasti menjawabnya dalam hati dan merasa terlibat dalam presentasi Anda. Mereka bisa turut berpikir, turut mempertimbangkan, bahkan turut merasa dihormati, jika Anda sesekali melihat langsung ke mata mereka. Maka, sebelum memulai presentasi, pastikan Anda mengenal siapa audiens Anda.

Pada contoh di awal artikel ini, si orang pertama mungkin akan bisa lebih menarik perhatian audiens, jika yang hadir adalah kebanyakan dari kalangan akademis atau kedokteran. Tetapi, yang hadir di situ adalah orang-orang yang sedang bersedih atas kematian teman mereka dan berasal dari latar belakang dan profesi yang berbeda-beda. Si orang kedua lebih berhasil menyedot perhatian karena tema yang ia sampaikan lebih bersifat “universal” dan cocok mengena di kalangan audiens yang hadir.

Latihan, Latihan, dan Latihan

Sebenarnya satu hal terburuk yang harus Anda hindari dalam berbicara adalah kegugupan. Rasa gugup merusak segalanya. Satu-satunya cara mengatasi kegugupan adalah dengan latihan, latihan, dan latihan. Anda bisa mencoba apa pun, termasuk mengatur nafas, mengepalkan tangan, minum, sampai menutupi kaki Anda yang gemetar, tetapi itu semua tidak akan banyak menolong. Latihan yang berulang-ulanglah yang bisa menghilangkan kegugupan.

Latihan membuat Anda mampu menghilangkan jeda-jeda yang tak diinginkan dalam berbicara, mengatur intonasi suara saat berbicara (kadang Anda harus berbicara keras, kadang Anda harus berbicara lembut, kadang cepat, kadang lambat). Kombinasi dari semua itu bisa membuat pidato Anda sangat menarik. Semua itu hanya bisa didapat dari “latihan”.

“Berbicara Tidaklah Sama dengan Berkomunikasi”. (Ivan Mulyadi/Majalah MARKETING)

Mendulang Rupiah dari Alas Laptop

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]
DSC_0212web
Juananda Sutan Assin

Tak terbayangkan sebelumnya oleh Juananda Sutan Assin bahwa bisnis alas laptop yang ia mulai dari rumahnya kian bersinar. Permintaannya tak hanya datang dari pasar domestik saja, tapi juga pasar mancanegara. Usaha yang bermodal awal Rp 20 juta dan dimulai pada tahun 2007 itu, kini sudah merambah pasar Singapura, Brunei, Malaysia, Mesir, dan Australia.

Sebenarnya, alas laptop ini pernah ia lihat di pasar ketika masih kuliah di Amerika Serikat. Alas laptop terbuat dari plastik itu kemudian menghilang. Di Indonesia, bareng suaminya, perempuan yang akrab disapa dengan Nana ini menghidupkan lagi produk tersebut dengan merek LapTopper.

Usaha ini awalnya terkesan coba-coba. Saat ide datang, ia menyuruh seorang tukang kayu yang kebetulan punya gawe di rumahnya untuk membuat alas laptop. Bisnis ini ia kerjakan pertama kali dari kamar tidurnya di town house sambil menunggu selesai rumahnya yang sedang dibangun. Meski masih dalam kondisi serba terbatas, usaha Nana ini tergolong terobosan anyar mengingat belum ada pemain lain yang menggarapnya saat itu. Ia jeli melihat kebutuhan konsumen pemakai komputer jinjing akan kenyamanan dalam bekerja.

Demi kenyamanan bekerja—sementara barang kian menumpuk—ia pun mulai menjadikan sebagian ruang di rumah itu sebagai tempat kerja. Barang pun semakin menyesaki ruangannya lagi. Baru pada tahun 2008, Nana membangun kantor anyar di jalan Karang tengah 1 No. 10, Jakarta Selatan—lengkap dengan sebuah bengkel kerja. Awalnya, Nana mempekerjakan dua orang sebagai tukang jahit. Sekarang, ia mempunyai total karyawan 20 orang yang bekerja di bengkel kreatif.

Tiga bulan pertama adalah masa pencarian atas bentuk alas laptop yang laku jual. Akhirnya, dirilis tiga ukuran, yakni kecil, menengah, dan besar. Usai tiga bulan itu, Nana mulai menseriusi bisnisnya. Pada Desember 2007, ia memasarkan produknya di Cilandak Town Square (Citos). “Kami pameran di sana di setiap Rabu dengan mengusung 50 biji. Ternyata ludes dan banyak yang memesan. Saat itu, seluruh tukang masih outsource. Kami yang menyediakan mereka bahan bakunya. Kami pun terus menggenjot produksi,” kata Nana.

Tak jarang, Nana sendiri yang turun ke pameran untuk mengedukasi langsung para pengunjung. Melihat respons pasar yang cukup besar, Nana pun terus mengintensifkan kegiatan pamerannya. Pesanan terus mengalir. Pada Maret 2008, Nana mencoba memamerkan produknya di Singapura. Respons yang diterima sama, positif. “Pertengahan siang di hari pertama, produk kita sudah ludes terjual. Akhirnya kami membuat daftar pesanan. Setiap bulan, kami adakan pameran di negeri itu,” kata Nana dengan paras semringah.

Selain itu, komunikasi dengan pelanggan—baik pelanggan domestik maupun mancanegara—dilakukan melalui internet. Setiap hari, kata Nana, ada sekitar 10 pesanan melalui surat elektronik. Promosi juga dilakukan dengan situs web, surel (e-mail), telepon, menyebar brosur, dan sebagainya. Media televisi yang meliput LapTopper juga menjadi sarana komunikasi mumpuni. Nana pun tak luput membidik media sosial, seperti Facebook. “Satu media komunikasi yang sangat ampuh justru melalui mulut ke mulut. Satu orang merekomendasikan kepada orang lain. Begitu seterusnya dan membuat pelanggan terus berdatangan ke gerai kami,” tandas dia.

Setelah mendapatkan kepercayaan diri, Nana memasarkan alas laptop ini ke toko-toko besar, seperti Office 2000, Gramedia, dan sebagainya. Toko-toko tersebut setiap bulannya bisa memesan 300 sampai 500 biji. Sementara, produksi sebulan rata-rata sebanyak 2.000 biji. LapTopper juga bisa dibeli putus dengan pembelian minimum 100 biji. “Sampai kini, kami terus memasok produk ini ke toko-toko tersebut dan cukup laku. LapTopper sudah mempunyai agen sendiri di Singapura, Brunei, dan Australia,” imbuh Nana.

Produk LapTopper menyasar pengguna laptop dari segala umur. Maklum, laptop, menurut Nana, sudah familier di kalangan anak SD sampai dewasa. Apalagi kebutuhan setiap keluarga akan alas laptop ini tidak cuma satu, mengingat setiap anggota keluarga juga sudah pegang laptop masing-masing. LapTopper mempunyai beberapa keunggulan, seperti ringan, desain warna-warni, punya tiga ukuran, tahan lama, dan ada layanan purnajual untuk pengisian bantalan. Desainnya pun sangat luwes. Pelanggan bisa memesan desain kesukaannya sendiri. “Bila ada produk kami yang rusak lantaran kesalahan di rumah produksi, pelanggan berhak minta tukar atau diperbaiki,” kata dia.

Kualitas produk ia kontrol sendiri. Termasuk dalam pemilihan motif, desain, serta bentuk alas laptopnya. “Desain itu terkait erat dengan selera. Ada desain yang kami ciptakan sendiri, ada yang disesuaikan dengan selera pelanggan,” cetus Nana.

Selain itu, beberapa pelanggan—khususnya pelanggan korporat—membeli alas laptop ini sebagai cinderamata maupun suvenir. Jumlah pesanannya pun tak tanggung-tanggung, mencapai ribuan biji. Itu tidak hanya perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, tapi juga di luar negeri, seperti Singapura, Brunei, Australia, dan Malaysia. Sekolah-sekolah juga mulai memesan alas ini untuk guru dan siswanya. “Alas laptop sekarang sedang menjadi tren sebagai hadiah ulang tahun juga. Jadi, LapTopper memberi sentuhan baru di hari ulang tahun tersebut,” cetus Nana.

Strategi harga yang diterapkan cukup rasional. Sebagai pebisnis, prinsip Nana, kudu bisa mendapat profit. Rentang harga LapTopper antara Rp 195 ribu sampai Rp 350 ribu. “Di Indonesia, kami sedang fokus menggarap kota Jakarta. Kami juga sudah mulai menjajaki Bandung, Samarinda, Surabaya, dan kota-kota lain,” kata dia.

Sebagai pionir, LapTopper tak luput diikuti oleh pemain lain. Nana juga menyadari adanya bahaya pemalsuan. Untungnya, kata Nana, LapTopper sudah didaftarkan sebagai hak cipta. “Munculnya pemain lain itu lumrah dalam bisnis. Kami tak boleh menutup pintu rezeki orang lain. Asalkan tidak saling menjatuhkan dan melakukan pemalsuan atau mengopi alas laptop kami. Karena kami yang pertama, merek LapTopper sudah menempel erat di benak pelanggan,” katanya.

Selain alas laptop, diproduksi juga alas untuk makan di tempat tidur dan alas buku. Jerih payah Nana pun berbuah omzet sekitar Rp 300 jutaan setiap bulannya. Tahun ini, ia bertekad mengembangkan pasar yang lebih luas lagi. Termasuk membidik kalangan ekspatriat melalui beragam pameran. “Kami terus melebarkan dan  memantau pasar sembari melakukan inovasi produk. Selain itu, bisnis ini butuh kesabaran,” tandas Nana. (Sigit Kurniawan/Majalah MARKETING)

Terus Berlari Bersama MiCoach

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

adidas-micoach1webAdidas tidak sekadar memproduksi sepatu olahraga, tapi juga menawarkan produk/alat yang dapat menjadi pelatih pribadi. Seperti apa alat itu dan bagaimana Adidas memperkenalkan alat itu?

Semua orang pasti tahu, rajin berolahraga akan membuat tubuh menjadi sehat dan kuat. Namun, berapa banyak orang yang mau melakukannya secara rutin? Padahal, salah satu penyebab kerentanan orang muda sekarang terkena penyakit adalah akibat kurang berolahraga.

Alasan orang malas melakukan aktivitas memeras keringat ini bisa bermacam-macam. Antara lain, lelah karena terlalu sibuk, dianggap kurang fun, dan kurang ada yang memotivasi.

Mungkin bakal lain ceritanya jika setiap orang memiliki pelatih pribadi yang bisa melatih kapan pun yang mereka mau, dan dengan cara yang menyenangkan.

Ya! Nampaknya harapan itu tak mustahil diwujudkan. Pasalnya, kini Adidas telah menghadirkan sebuah alat yang mampu menjadi pelatih pribadi virtual bagi mereka yang mencintai olahraga lari. Alat ini diperkenalkan dengan nama miCoach.

Menurut Brand Communication Manager Adidas Indonesia, Monica Ang, miCoach merupakan sistem pelatih pribadi yang secara virtual dapat memotivasi, menginspirasi, dan memberikan panduan kepada pelari untuk berlari dengan metode yang lebih efektif dalam mencapai target latihan, serta memberikan semangat pada saat berolahraga.

“Sebab itu selain diperuntukkan bagi para pecinta lari, alat ini juga berguna bagi para atlet lari yang ingin meningkatkan performa mereka,” jelas dia.

Cara kerja alat ini cukup mudah. MiCoach bekerja sebagai personal trainer. Cara kerjanya dengan memberikan panduan secara audible untuk menuntun pengguna menyesuaikan kinerja langkah kaki dan kapasitas jantung.

Selanjutnya miCoach akan memberikan instruksi untuk mempercepat atau memperlambat kecepatan berlari berdasarkan hasil sensor yang diterima oleh alat pelengkap yang dipasangkan di bagian dada dan kaki.

Antusiasme pelanggan Adidas di banyak negara seperti Eropa, Amerika, Australia, dan Asia, cukup tinggi menyambut produk terbaru ini. Meski tidak bisa menyebutkan angka, namun, kata Monica, hal itu terbukti dari penjualan miCoach hingga kini terus meningkat seiring kepedulian masyarakat terhdap kesehatan tubuh.

Untuk Indonesia, responsnya juga cukup baik. Namun, masih harus terus ditingkatkan. Karenanya, Adidas pun menyiapkan serangkaian kegiatan untuk brand activation miCoach.

Salah satunya dengan menggelar “adiNation of Runners Indonesia” di mana para pencinta Adidas bisa bergabung dalam komunitas pelari. Selain itu, akan ada banyak kegiatan menarik menjelang acara piala dunia tahun ini.

Sebelumnya, ketika miCoach menapak di Indonesia pada Maret 2010, upaya menggaet perhatian pelanggan telah dilangsungkan Adidas dengan cara berkomunikasi langsung kepada mereka di saat peluncuran. Kala itu, setiap pelanggan dipersilakan untuk mencoba keunggulan dari teknologi miCoach.

Bentuk komunikasi lain juga dilakoni Adidas lewat promosi di sejumlah media dan menggelar latihan bersama pelatih expertise dari Singapura di Celebrity Fitness. “Tidak menutup kemungkinan nanti kami juga bakal menggandeng atlet untuk membantu brand awareness miCoach,” ungkap Monica.

Sedangkan dari sisi komunkasi via digital, Adidas juga menyediakan program rencana latihan di miCoach.com. Pada situs web tersebut, pemakai miCoach dapat membuat rencana latihan sesuai yang diinginkan, seperti target yang mau dicapai, dan secara proaktif dapat melihat perkembangannya setiap saat.

Program miCoach meliputi enam rencana latihan, mulai dari rencana untuk dapat berlari lebih cepat dan meningkatkan waktu pribadi, hingga bagi mereka yang menginginkan penurunan berat badan.

Monica menjelaskan bahwa target alat ini tidak disegmentasikan secara khusus. Baik yang muda maupun yang tua, wanita atau pria, semua bisa menggunakan miCoach.

Di samping itu, alat ini juga tidak memiliki efek samping lantaran sebelum melahirkan micoach, pihak Adidas Innovation Team telah melakukan penelitian selama dua tahun lebih.

Bersamaan dengan itu, Adidas juga bekerja sama dengan pelatih atletik terkenal sedunia dalam menciptakan metodologi pelatihan miCoach, termasuk Mark Verstegen, penemu dan direktur Athletes’ Performance Insititute (API), sebuah tempat pelatihan dan pusat penelitian olahraga kelas atas yang berpusat di Arizona State University.

Harga yang dibanderol untuk alat ini tidak terlalu mahal, hanya sebesar Rp 1.599.000. Ke depan, ujar Monica, dirinya yakin miCoach dapat diterima di pasar Indonesia seiring meningkatnya kesadaran orang Indonesia untuk berpola hidup sehat. (Andri Darmawan/Majalah MARKETING)

Gempuran Android di Indonesia

1
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

androidwebDi tengah persaingan smartphone yang ketat ini, Android muncul sebagai sistem operasi open source. Android memasuki pasar Indonesia yang sangat dinamis dengan menggandeng enam vendor sekaligus.

Setahun terakhir ini, pasar smartphone didominasi oleh iPhone dan BlackBerry. Dua handset mutakhir ini telah sukses tampil di pasar kelas atas dan menjadi ikon gaya hidup di Indonesia. Dua handset beda pabrikan ini menawarkan layanan dan aplikasi yang lebih digandrungi oleh konsumen Indonesia. iPhone dan BlackBerry menantang para pemain lama untuk terus berinovasi.

Pasar smartphone di Indonesia mempunyai karakter yang unik. Polanya hampir tak bisa ditebak karena dinamis dan boleh dikatakan sedikit emosional. Konsumen di Indonesia sangat menggandrungi produk-produk yang akrab dengan  sentuhan gaya hidup. BlackBerry  bisa  menjadi contoh yang paling tepat. Kesuksesan BlackBerry di Indonesia disebabkan karena konsumen yang menerimanya sebagai penunjang gaya hidup dan gengsi. Walaupun fungsi optimal BlackBerry untuk kegiatan bisnis, di Indonesia diadopsi secara berbeda. Bukan fungsi teknisnya, tapi lebih pada gaya hidup.

Di tengah situasi ini, Android, sebuah sistem operasi yang dimiliki oleh Google dengan platform yang bersifat open source, menggandeng enam vendor produsen smartphone dan operator untuk menggempur pasar Indonesia. Melihat konsumen Indonesia yang sangat adaptif ini, Android optimistis bisa menggarap pasar Indonesia dan bersaing dengan para pemain lain.

Semua berawal ketika Google membeli Android di tahun 2005. Waktu itu, Google sudah merajai internet di tataran PC. Tapi, dia belum bisa memasuki pasar mobile. Padahal waktu itu, pasar mobile tumbuh dengan cepat. Buktinya, tahun 2007, pengguna mobile phone dua kali lipat lebih banyak daripada pengguna notebook.

Waktu itu, Google hanya bisa memasuki pasar mobile melalui layanan saja—tak  bisa masuk ke mobile dalam bentuk sistem operasi. Sebab itu, dengan menggandeng Android, Google masuk ke pasar mobile dengan sistem open platform. Sistem operasi ini memungkinkan orang bisa melakukan kustomisasi  pada Android sesuai dengan keinginannya, juga dengan menciptakan semua aplikasinya.

Menurut Arief Burhanuddin, penggagas komunitas www.android-indonesia.com, Android berbeda dengan dua pendahulunya, BlackBerry dan iPhone. “Dua pendahulunya ini bersifat lebih tertutup dalam pengembangannya sehingga Android yang bersifat open source bisa saja berkembang lebih pesat,” ujar Arief menjelaskan keunggulan Android.

“Pada tahun 2009, Android sudah masuk ke Indonesia. Tapi, waktu itu, respons masyarakat kurang bagus. Mereka masih merasa asing dengan Android. Pada tahun ini, Android dengan menggandeng Indosat dan enam vendor, yakni HTC, Sony Ericsson, Huawei, LG, Samsung, dan Motorola, melakukan pengenalan di pasar Indonesia lagi,” imbuh dia.

Langkah yang dilakukan oleh Android ini sangat tepat. Dengan menggandeng banyak vendor dan operator seluler, penetrasi ke pasar akan semakin mudah. Arief menambahkan kesadaran merek dari konsumen terhadap Android ini cukup tinggi. Walaupun data penjualannya masih telalu dini untuk diukur, apresiasi konsumen sangat positif  dan popularitas Android pun turut terdongkrak. Buktinya, sejak  Februari lalu, komunitas android-indonesia.com sudah mencapai 1.200 anggota.

Tak hanya itu, melalui multivendor, Android bisa memasuki berbagai segmen pasar di Indonesia. Dari segmen tingkat menengah atas sampai menengah bawah. Sehingga Android bisa lebih memperlebar sayapnya dalam melakukan penguatan merek di pasar smartphone Indonesia. Bahkan, para vendor juga menyediakan harga yang sangat variatif, dari Rp 2 juta sampai Rp 7 juta sehingga bisa dijangkau oleh semua segmen.

Segmen kelas atas didominasi oleh Sony Ericsson XPERIA X10, Google Nexus One, Motorola Milestone, dan HTC Hero untuk harga berkisar Rp 5-6 juta. Sedangkan untuk kelas menengah atas, LG GW620, Samsung I5700 Galaxy Spica, dan Huawei U8220 bertengger dengan harga berkisar Rp 3-3,5 juta. Untuk kelas menengah bawah, dimainkan oleh dua produk lokal, yaitu iMobile IE 6010 dan IMO S900 yang membanderol harga sekitar Rp 2-2,5 juta. Dengan banyaknya basis vendor ini, semakin mudah Android dikenal oleh pasar.

Arief menambahkan yang menjadi kekuatan dari smartphone Android ini  adalah akses ke internet sehingga membutuhkan paket data yang cukup besar. Apalagi konsumen Indonesia sudah menggandrungi internet mobile ini terutama untuk mengakses jejaring sosial, chatting, mengunduh data, dan berselancar di internet. “Android sangat cocok bagi konsumen di Indonesia, bukan melulu karena sistem operasi yang disediakan tapi lebih dari sisi tampilan dan layanan seperti chatting, Facebook, dan browsing karena itulah yang dibutuhkan oleh konsumen di Indonesia,” ujar Arief.

Sementara itu , Usun Pringgodigdo, General Manager Mobile Communication PT LG Electronics Indonesia mengatakan sistem operasi yang paling cocok untuk smartphone adalah sistem operasi yang bersifat open source. Saat ini, Android menjadi open source yang paling bagus untuk digunakan karena dimiliki oleh Google yang sudah menjadi pemimpin pasar di dunia internet. “Ini yang menjadi latar belakang LG untuk menggunakan Android dalam menggarap pasar smartphone,” kata Usun.

LG GW620 sudah dipasarkan di Indonesia sejak Maret lalu . LG GW620 menggunakan sistem operasi Android 1.5,  kombinasi antara layar sentuh dan qwerty, dan dilengkapi dengan kamera 5 megapiksel. Selain menggunakan Android, keunggulan lainnya terletak pada  sisi peranti lunak yang menonjolkan sisi kemudahan akses internet. LG juga melengkapi keunggulannya pada fitur handset. Olehnya, LG Android ini menjadi salah satu handset pilihan konsumen.

Menurut Usun, Android masih baru di Indonesia. Sebagai Vendor, tak efisien apabila  LG sendirian dalam mengimplementasikan strategi marketing Android. Harus ada tiga pihak yang terlibat dan berkolaborasi, yaitu vendor, operator, dan komunitas yang terdiri dari pengguna aplikasi dan pengembang aplikasi. “Itulah yang terjadi di Indonesia.  Vendor yang memproduksi handset harus turut didukung oleh operator seluler yang menyediakan layanan data. Sedangkan komunitas sangat membantu penetrasi pasar dan kesadaran merek karena mereka yang menjadi pengguna awal dari Android ini,” ujar Usun.

LG selalu mengomunikasikan pada konsumen bahwa produknya sangat mudah digunakan. Usun juga mengatakan salah satu strategi LG untuk mengenalkan Android  pada konsumen adalah menciptakan portofolio produk yang banyak sehingga bisa bermain di beberapa segmen. Pada awalnya, memang harus dipicu melalui kepemimpinan produk yang kemudian akan merembet pada kepemimpinan konsumen di mana konsumen akan mengadopsi produk ini. Android mempunyai potensi yang sangat bagus. Sebab itu, ke depannya, LG akan terus mengembangkan potensi platform open source ini.

Di lain pihak, Hioe Ankin, Head Mobile Department PT. Samsung Electronics Indonesia mengatakan hal yang serupa. Android menjadi sistem operasi yang sangat sesuai bagi konsumen Indonesia yang doyan mengakses internet.  Sebab itu, Samsung menggunakan Ansroid sebagai sistem operasi untuk Samsung I5700 Galaxy Spica. Ankin mengatakan,  “Tak ada latar belakang yang sangat spesifik dalam mengembangkan Android. Samsung ingin mengisi semua line-up sistem operasi yang ada yang sebelumnya sudah menggunakan Windows Mobile dan Symbian.”

Sama dengan pemain Android lain, Galaxy Spica baru masuk ke pasar Indonesia dan mendapatkan reaksi pasar yang cukup bagus. Selain menggunakan sistem operasi Andorid 1.5, Galaxy Spica juga mempunyai kelengkapan media dan bermain di fitur layar sentuh. Tak ayal lagi Samsung Galaxy Spica cukup digemari oleh konsumen.

Ke depannya, Samsung menargetkan penjualan lebih dari 20 ribu unit per bulan. Sebab itu, perusahaan elektronik dari Negeri Ginseng ini sangat gencar melakukan promosi baik dengan iklan di media massa maupun menggelar kegiatan dan tur bisnis ke beberapa kota. Di tengah konsumen yang sedang dilanda demam BlackBerry, Ankin mengatakan munculnya Android, pasar akan semakin ramai. Android bisa menjadi penantang baru di industri smartphone. (Leonardus Meta Noven/Majalah MARKETING)

Kaspersky; Merambah Pasar dengan DokterVirus

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

ksss12345rtnv7webBagi pecinta teknologi informasi (TI), nama Kaspersky cukup terkenal sebagai antivirus berkemampuan canggih. Kini, Kaspersky rajin membidik pasar lewat beragam media. Salah satunya lewat media internet berupa situs DokterVirus.

Keamanan penyimpanan data merupakan hal yang krusial dewasa ini. Semakin pesat perkembangan teknologi komputer, semakin rawan keamanan berkas (file) data yang kita miliki. Akibat seringnya virus menyerang berkas data, kini banyak produk yang menawarkan program antivirus untuk proteksi data. Dari sekian banyak antivirus, Kaspersky merupakan produk yang sudah sangat dikenal.

Saat ini, Kaspersky merupakan pemimpin pasar untuk produk antivirus dan internet security. Produk ini merupakan keluaran Kaspersky Lab, perusahaan asal Rusia yang bergerak dalam bidang aplikasi keamanan. Sejak awal 2008 lalu, Kaspersky Lab menunjuk PT Astrindo Starvision sebagai distributor tunggal untuk penjualan Kaspersky Consumer Product di Indonesia. Adanya distributor ini mempermudah pengguna PC dan perangkat mobile di Indonesia untuk mendapatkan program antivirus dari Kaspersky. PT Astrindo Starvision didirikan pada tahun 2006 dengan tujuan untuk membantu mengembangkan pasar teknologi informasi (TI) di Indonesia. Dengan melalui jaringan distribusi yang seluas-luasnya, diharapan teknologi informasi terdepan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat di Tanah Air.

Menurut Joni Irwanto, General Manager PT Astrindo Starvision, antivirus maupun internet security saat ini sudah menjadi perangkat lunak wajib yang harus dimiliki setiap pengguna komputer. Maraknya penggunaan internet dan kemudahan untuk mengakses data yang tersedia di internet membuat semakin tinggi pula ancaman bagi perangkat komputer untuk terinfeksi virus, spyware, malware, dan banyak lagi.

Sejak berdiri tiga tahun lalu, perkembangan PT Astrindo Starvision tergolong dinamis sesuai dengan perkembangan industri TI pada umumnya. Perusahaan ini termasuk salah satu distributor TI yang cukup berhati-hati dalam memilih produk yang berkualitas dan sesuai dengan pasar Indonesia. Sesuai pengamatan perusahaan, Kaspersky adalah produk antivirus yang terunggul selama beberapa tahun terakhir ini.

Target market dan segmen yang dibidik oleh Kaspersky adalah seluruh pengguna komputer, baik netbook, notebook, PC, maupun server. Kaspersky menjangkau seluruh kalangan masyarakat yang ada. “Pangsa pasar kami adalah konsumen yang sangat rentan terhadap virus dan ancaman lainnya. Selain itu, kami juga menargetkan segmen pelaku usaha kecil dan menengah (UKM),” ujar Joni.

Mengenai harga, produk Kaspersky cukup kompetitif dan relatif terjangkau, yaitu mulai dari harga Rp 250 ribu untuk produk yang paling mendasar. Namun demikian, hambatan yang dihadapi saat ini adalah tingkat kesadaran pengguna komputer yang masih rendah mengenai penggunaan produk antivirus berkualitas, dan juga tingkat pembajakan software yang masih tinggi.

Berbagai kelebihan dan keunggulan antivirus Kaspersky menjadi alasan masyarakat dalam memilih produk ini. Selain sangat mudah di-install dan digunakan, produk ini juga merupakan antivirus yang tercepat update-nya. Kedua faktor ini menjadikan Kaspersky sangat diminati oleh semua kalangan baik yang fasih TI maupun pengguna komputer pemula.

Untuk strategi pemasarannya, perusahaan memfokuskan pada komunikasi untuk meningkatkan brand awareness serta edukasi secara rutin melalui pelatihan dan seminar kepada mitra bisnis maupun pengguna produk. Di samping itu, yang tak kalah penting adalah perhatian pada ketersediaan produk tersebut di toko-toko komputer, sehingga mudah terjangkau oleh konsumen. “Kami menyediakan jalur distribusi yang nyaman buat pembeli, yaitu melalui mitra bisnis kami yang tersebar di seluruh Tanah Air, atau pembelian secara online melalui www.doktervirus.com,” jelas Joni.

Diakui Joni, selain inovasi dari sisi teknologi, strategi marketing dan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya penggunaan antivirus berkualitas juga menjadi faktor penting dalam membantu meningkatkan penjualan.

Untuk memperkuat penetrasi pasar, Kaspersky melakukan strategi komunikasi melalui berbagai media, baik elektronik, media cetak, maupun pameran (seperti yang dilakukan beberapa waktu lalu lewat pameran di JCC). Suara konsumen pun tak luput diperhatikan dengan serius. Perusahaan juga menerima saran, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari calon pengguna. “Saran secara langsung adalah via seminar, pelatihan atau web survey. Sementara yang tidak langsung adalah melalui komentar dari mitra bisnis kami,” kata Joni.

Meskipun banyak produk antivirus lain yang beredar di pasaran, akan tetapi tidak ada produk-produk lainnya yang berkompetisi secara langsung dengan Kaspersky. Hal ini dikarenakan tiap produk memiliki karakteristik masing-masing. Kaspersky memiliki beberapa keunggulan dibanding produk sejenis yang beredar di pasar. Di antaranya adalah jaringan support-nya yang tersebar di seluruh Indonesia. Melalui hotline, e-mail, maupun mitra bisnis PT Astrindo Starvision yang tersebar di berbagai daerah, konsumen akan merasa aman dan nyaman dalam menggunakan produk-produk Kaspersky antivirus dan internet security. Selain itu, seluruh proses yang ada di dalam Kaspersky juga diautomatisasi untuk memudahkan pengguna. Proses update, scanning, dan sebagainya dibuat otomatis untuk mengurangi interaksi pengguna. Proses update ini sangat cepat dan dilakukan hampir setiap satu jam sekali untuk mengantisipasi perkembangan virus yang sangat cepat.

Keunggulan lainnya adalah, fitur HIPS (Host Based Intrusion Prevention System) yang memaksimalkan teknologi alogaritma mutakhir untuk mencegah penyusup mengakses komputer dan teknologi virtual keyboard yang memungkinkan kita melakukan transaksi online secara aman. Kemudian fitur parental control yang juga sangat efektif mencegah efek negatif internet bagi anak-anak dengan membatasi perilaku browsing sesuai dengan umur pengguna.

Satu hal yang menjadikan  PT Astrindo Starvision berhasil memasarkan produk Kaspersky di sini adalah kekonsistenan mereka dalam mengelola tiga hal, yaitu mengembangkan produk yang bagus, pengadaan produk yang lancar, serta layanan pra dan purnajual yang sempurna. (Harry Tanoso/Majalah MARKETING)

Jemput Bola dengan Dokter Anak

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

100_3250webMead Johson Indonesia menggelar kampanye konseling para dokter anak. Selain untuk menjawab kebutuhan para ibu akan informasi pendidikan anak, program ini dimaksud untuk mendongkrak kepercayaan pelanggan pada merek susu formulanya.

Setiap orangtua, khususnya ibu, tentu ingin bisa membesarkan dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Mereka ingin agar anak-anak bisa kecukupan dalam hal pendidikan maupun asupan gizi. Tapi, tak jarang, banyak orangtua yang kurang tahu-menahu bagaimana mendidik dan membesarkan anaknya dengan baik. Hal ini bisa disebabkan lantaran kesibukan orangtua maupun keterbatasan mereka dalam mengakses informasi seputar cara mendidik anak yang ideal. Kadang mereka ingin mengakses informasi itu, tapi tak tahu ke dokter mana mereka kudu bertanya.

Melihat kebutuhan ini, PT Mead Johnson Indonesia menggelar kampanye “Ask Your Doctor” untuk beberapa waktu. Strategi jemput bola dengan media para dokter inilah yang lagi gencar dilakukan oleh Mead Johnson. Harapannya satu, meningkatkan kepercayaan pelanggan pada merek-merek keluaran perusahaan yang berkantor pusat di New Jersey, Amerika Serikat itu.

“Kami ingin mendorong para orangtua agar lebih aktif mencari informasi tentang perkembangan optimal anak mereka. Program ini digelar karena banyak fakta yang menunjukkan para ibu punya banyak sekali pertanyaan seputar perkembangan anak mereka. Banyak yang tidak mendapatkan kesempatan bertanya pada dokter anak. Akibatnya, tak jarang jawaban yang mereka dapatkan kurang tepat,” kata Asianti Sukendar, Direktur Marketing PT Mead Johnson Indonesia.

Program Ask Your Doctor yang digelar sejak dua bulan silam ditujukan untuk semua ibu dari semua kalangan. Meski tak disanggah, aktivitas ini menjadi bagian dari strategi marketing perusahaan internasional dalam industri nutrisi bayi dan anak yang produknya telah hadir di Indonesia sejak tahun 1920-an tersebut. “Kami menyasar ibu-ibu secara umum. Mereka selalu ingin mengoptimalkan perkembangan anaknya. Yang sering kami dengar, mereka tidak tahu kepada siapa mereka harus bertanya. Kalaupun ada, tak jarang banyak dokter yang sibuk,” kata Asianti.

Program ini mempunyai dua sasaran, yakni para dokter dan para ibu. Kampanye yang ditujukan bagi para dokter, menurut Asianti, bertujuan agar mereka sadar bahwa ada banyak kebutuhan para ibu yang belum terpenuhi oleh dokter. Mead Johnson Indonesia membidik sekitar 450 dokter anak di seluruh Indonesia untuk terlibat dalam program ini. Untuk para dokter anak, Mead Johnson menggelar serangkaian seminar dan lokakarya. Program ini merupakan buah kemitraan antara Mead Johnson dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

“Tujuannya, memfasilitasi komunikasi dengan orangtua tentang nutrisi dan stimulasi untuk tumbuh kembang anak yang optimal. Lokakarya ini diadakan di berbagai kota,” imbuh Asianti.

Sementara itu, untuk memfasilitasi para ibu dalam proses komunikasi dengan para dokter, Mead Johnson menyediakan konsep stimulasi bernama Enfa Smart System. Konsep menyeluruh yang dibuat oleh pemilik merek susu formula dalam kemasan Enfagrow dan Enfakid ini terdiri dari lima pokok bahasan, yakni stimulasi, nutrisi, musik, bermain, dan bahasa. “Kelima pokok bahasan itu kami terjemahkan juga dalam bentuk brosur yang berisi panduan pertanyaan dan jawaban. Diharapkan, brosur ini membantu proses komunikasi antara dokter dan para ibu,” cetus Asianti.

Edukasi program Ask Your Doctor di kalangan masyarakat dilakukan dengan mengisi acara di beberapa radio dan menggelar tur Enfa Smart Adventure di tujuh kota besar. Program tur ini juga dalam rangka mengedukasi pelanggan tentang tambahan komposisi anyar dalam produk Mead Johnson, yakni Enfa A+ Formula. Komposisi tersebut ditambahkan ke susu formula kemasan Enfagrow A+ dan Enfakid A+. “Tambahan ini akan menjadi andalan kami karena ini merupakan komposisi unik Kolin, Prebiotik, dan Antioksidan berupa Vitamin C dan E. Komposisi tersebut membantu mendukung perkembangan otak dan menambah daya tahan tubuh secara alami pada anak-anak,” tukas dia.

Rencananya, nanti akan dibangun situs web di mana para ibu masih terus bisa berkonsultasi dengan para dokter secara daring (online). Program marketing ini juga diharapkan bisa membangun kepercayaan ibu-ibu kepada merek keluaran Mead Johnson. Mead Johson, aku Asianti, tidak hanya peduli pada penjualan produk. Tapi, mereka juga peduli pada anak-anak yang mengonsumsi produk mereka. “Kami memang mau meningkatkan penjualan. Tapi, besaran persennya saya tidak bisa menyebutkan berapa kisarannya,” kata dia.

Kompetisi di pasar susu formula Indonesia cukup riuh. Selain bermain di ranah kualitas, pertimbangan keterjangkauan harga juga menentukan. Program komunikasi dengan membangun relasi emosional dengan para ibu pun digelar. Model aktivitasnya beragam. “Kami melihat beberapa pemain susu yang melakukan kegiatan serupa. Cuma perlu digarisbawahi bahwa kami adalah pionir dalam menggarap program peduli seperti ini. Sebab itu, kami akan terus berinovasi atas produk dan sebagainya agar semakin berkualitas bagi anak-anak dan para ibu,” kata Asianti.

Ke depannya, Mead Johson tidak hanya akan menjadi mitra para ibu tapi juga akan terus bermitra dengan para dokter. Perusahaan ini akan kontinu memelihara relasi dengan mereka. Tujuannya agar dokter pun bisa mendukung apa yang dilakukan perusahaan. Program akan kontinu dilakukan melalui situs web yang akan ditata secara interaktif. Diharapkan situs web ini bakal menjadi ruang bebas berkomunikasi antara dokter anak dan para ibu.

“Tahun ini kami akan terus meningkatkan kesadaran merek melalui aktivitas peduli kepada para ibu dan anak-anak terkait dengan nutrisi dan stimulasi perkembangannya,” tandas Asianti. (Sigit Kurniawan/Majalah MARKETING)

Konsumen Masih Melirik Pasar Tradisional

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Untuk produk komoditas, konsumen lebih memilih pasar tradisional. Sementara, pasar modern dipilih untuk pembelian produk nonkomoditas seperti susu, vitamin, soft drink, dan lainnya.

Naiklah ke atas jembatan fly over Ciputat Raya, kemudian berhenti tepat di atasnya. Jika kita menuju ke arah jalan Dewi Sartika, tengoklah ke kanan. Tampak deretan lapak beratap plastik warna biru yang sudah koyak-koyak. Lalu, tengoklah ke arah sampingnya. Di sana, terdapat bangunan megah Mal Ciputat. Itulah sebagian wajah pasar Ciputat. Ketika melihat itu semua, kata pertama yang tepat dipilih adalah, kontras.

Jika ada waktu, cobalah untuk sekali-kali mampir ke pasar. Bagaimana keadaan sesak di sana, pasti akan dijumpai. Apalagi saat pagi hari, ketika banyak pengunjung—terutama para ibu—sibuk melakukan ritual belanja untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Kelebihan pasar tradisional di antaranya harga dapat ditawar—ini merupakan kepuasan tersendiri bagi para ibu yang biasa berbelanja. Dalam hal kelengkapan barang dagangan, sebagian besar pasar tradisional sudah lengkap menyediakan aneka keperluan sehari-hari. Mulai dari bumbu dapur, sayuran, sembako, jamu, hingga kemenyan dan bunga-bunga keperluan ziarah ke makam, ada di sana. Hal inilah yang jarang dijumpai di pasar modern, dan menjadi alasan para konsumen lebih memilih untuk sibuk di “pasar becek” ketimbang di pasar modern.

Meski ritel modern tampak terus berkembang, pasar tradisional ternyata masih menjadi pilihan konsumen untuk berbelanja—terutama untuk kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan hasil riset Nielsen di lima kota besar di Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dan Medan, pasar tradisional masih dominan sebagai tempat untuk berbelanja. Tren belanja tersebut terlihat dari frekuensi kunjungan ke channel tradisional—seperti pasar tradisional, pasar becek, dan toko sayuran—yang tetap tinggi dibandingkan frekuensi belanja di channel modern. Frekuensi kunjungan konsumen ke pasar tradisional bisa mencapai 25 kali dalam sebulan, 12 kali untuk pasar becek, dan 19 kali untuk toko sayuran. Sementara kunjungan ke channel modern tidak lebih dari 7 kali dalam sebulan.

Melihat persentase dari frekuensi kunjungan ini, beberapa perusahaan yang menggarap pasar modern pun tak mau ketinggalan. Direktur Retail dan Services Nielsen, Yongky Susilo, mengatakan pertumbuhan pasar modern tahun ini diprediksi lebih pesat dari tahun 2009 karena semua peritel besar melakukan ekspansi. Carrefour misalnya, telah menambah gerainya dari 44 menjadi 48 gerai, Giant dari 55 menjadi 61 gerai. Sementara, pertumbuhan yang paling subur memang terletak di sektor minimarket. Indomaret yang tadinya hanya membangun 3.312 gerai, kini melonjak menjadi 4.110 gerai. Disusul Alfamart yang juga tak mau kalah bersaing, dari 2.975 gerai, bertambah menjadi 3.777 gerai.

Dengan keadaan ekonomi terlihat positif pada paruh pertama tahun 2010 ini, kepercayaan konsumen naik, pertumbuhan volume belanja juga menunjukkan kenaikan positif. Nielsen Shopper Trends melaporkan bahwa tingkat belanja konsumen akan naik tahun ini. Pertumbuhan produk kelontong di Indonesia terhitung sejak Januari–Mei 2009 sampai Januari–Mei 2010 mengalami kenaikan hingga 9persen dengan nilai Rp 44,7 triliun. Apalagi pada Agustus 2010, tingkat belanja konsumen bakal merangsek naik seiring penyambutan hari raya Idul Fitri.

Dalam hal berbelanja, konsumen juga memerhatikan channel yang berbeda untuk melakukan pembelian terhadap kategori yang berbeda juga. Konsumen melakukan pembelian untuk barang komoditas seperti mi instan, minyak goreng, dan kecap pada tempat tradisional. Sedangkan lebih dari 50persen konsumen akan memburu susu, vitamin, dan produk perawatan kulit ke pasar modern.

Sementara mengenai intensitas konsumen berbelanja, mungkin akhir pekan adalah waktu yang paling disukai untuk mengunjungi hypermarket dan supermarket, dengan persentase masing-masing 34 persen dan 45 persen. Hal ini mungkin karena mereka merasa bahwa aktivitas di kedua tempat tersebut bisa dijadikan sebagai ajang rekreasi keluarga—jika melihat dari waktu kunjungan yang dilakukan pada siang hingga sore hari. Untuk minimarket, konsumen biasanya mengunjungi pada malam hari (43 persen). Untuk channel tradisional (toko-toko dan pasar tradisional), konsumen memilih untuk mengunjungi pagi hari dengan sekitar 40 persen konsumen mengunjunginya pada hari kerja.

Pasar tradisional memang masih dominan di antara kalangan raksasa ritel global. Tapi di lain sisi, Yongky menekankan, bukan berarti pasar tradisional menjadi pilihan satu-satunya. Tipe perilaku konsumen Indonesia adalah repertoire atau saling-silang. Mereka yang ke pasar tradisional juga belanja di hypermarket, supermarket, dan minimarket, tergantung urgensi kebutuhan. “Tren belanja di semua kategori tiap tahun juga naik,” ujar dia.

Nielsen juga melakukan riset mengenai kebiasaan konsumen berbelanja. Biasanya, para konsumen juga akan lebih nyaman jika berbelanja bersama orang lain. Sejumlah 45 persen konsumen memilih ke Hypermarket dengan anak, 32 persen memilih ke supermarket bersama pasangannya, sementara 67 persen lebih menyukai kesendirian saat berkunjung ke pasar tradisional.

Lalu bagaimanakah respons konsumen saat ditanya bagaimanakah cara mereka mengalokasikan uang ketika mereka menerima peningkatan pendapatan? Konsumen di Jakarta (74 persen) dan Semarang (53 persen) memilih menyimpannya untuk tabungan; lebih dari 60 persen konsumen di Surabaya dan Medan akan menggunakannya untuk kebutuhan rumah tangga; 52 persen konsumen di Bandung akan mengalokasikannya untuk kebutuhan dasar anak; dan 43 persen konsumen di Makassar akan memakainya untuk pendidikan anak-anak. Secara total, 52 persen konsumen di kota besar akan memasukkan dana tambahan pendapatan tersebut ke dalam tabungan dan 46 persen masih akan menggunakannya untuk kebutuhan rumah tangga. (Merliyani Pertiwi – Majalah MARKETING)

Kiat Khusus Garap Pasar Luxury

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Menggarap pasar luxury tidak boleh sembarang, mengingat pasar ini tergolong sangat unik. Orang rela membeli produk dengan merek tertentu meski harganya sungguh gila-gilaan tingginya. Bahkan, pada taraf tertentu, golongan ini mempunyai gaya hidup yang lain dari kebanyakan. Nah, apa saja yang sebenarnya orang-orang ini cari di balik merek-merek super-luxury tersebut? Bagaimana pula para pemilik merek memperlakukan para pelanggannya? Untuk menjawab pertanyaan pokok tersebut, berikut adalah nukilan wawancara Majalah MARKETING dengan Yuliana Agung, pengamat pemasaran:

Bagaimana Anda melihat pasar luxury di Indonesia?

Pasarnya di Indonesia sekarang masih bertumbuh. Di negara-negara Barat, pasarnya justru tampak sudah jenuh. Para pemilik merek luxury ini melirik pasar-pasar yang masih potensial, seperti Cina, India, maupun Indonesia. Sementara, golongan di bawahnya yang lebih massal juga membutuhkan sebuah simbol. Lalu memunculkan golongan di antara pasar kebanyakan dengan pasar luxury, yang disebut dengan masstige—kelompok massal yang butuh hal-hal untuk prestige. Louis Vuitton tergolong dalam kelompok ini meski harga lebih tinggi. Beda dari Hermes yang menjadi merek super-luxury dengan harga sampai Rp 900 jutaan.

Apa yang dicari di pasar luxury ini?

Merek luxury itu sebenarnya kebutuhan. Bukan lagi keinginan. Khususnya kebutuhan bagi kalangan high network society yang ingin membedakan diri dengan segmen di bawahnya. Kebutuhan mereka tidak lagi pada kebutuhan fungsional. Tapi, lebih pada kebutuhan akan simbol—termasuk simbol kelas sosial dan prestasi mereka. Tidak lepas juga dari gaya hidup mereka.

Apa yang menyebabkan produk disebut luxury?

Pertama-tama karena harganya memang luar biasa mahal. Dibanding dengan ongkos produksinya, harga itu bisa melonjak ratusan kali lipat. Kita tidak lagi menyebutnya dengan premium—di mana harganya mungkin cuma tiga kali lipat. Orang kalangan ini memang membeli sesuatu yang ultra abstrak. Mereka ingin merengkuh apa yang namanya sebuah pengalaman total (total experience) akan sebuah merek. Mereka bukan beli merek, tapi experience di dalamnya.

Adakah kriteria lain untuk menyebut luxury selain soal harga?

Harga memang selalu melekat erat dengan ciri luxury. Di luar harga, yang terpenting adalah total paket yang ditawarkan oleh merek-merek luxury ini. Pertama, brand recognition. Ini mengacu pada identitas merek, seperti simbol maupun logo. Ini penting sekali. Ada upaya sedemikian rupa agar merek ini tidak terlalu terlihat di pasar, tidak terlihat terlalu banyak yang memakainya, dan hanya dipakai orang-orang tertentu. Termasuk butik-butiknya tidak terlalu tersebar dengan banyak cabang dan lokasi yang sangat tertentu. Proses mengelola ini memang tidak murah. Mengingat, pemilik merek harus memilih tempat yang prime time, frontliners yang berkelas, dan sebagainya.

Ada kriteria lain lagi?

Kedua, merek itu mengusung brand personality. Identitas merek tadi diterjemahkan ke dalam pasar—terlebih ke masyarakat dan kultur—menjadi brand personality yang disertai dengan brand image maupun brand character. Ini bisa dibangun melalui logo yang kuat, sangat mudah dipahami, meski mereknya kadang-kadang memang sulit dibaca, makin berkesan mewah.

Selain logo, butuh juga namanya scarcity yang artinya merek itu terlihat, tapi tidak terjangkau secara massal. Angka terbatas ini melekat pada jumlah butik dan koleksinya. Lalu, harus ada kreativitas. Khususnya, kreativitas dalam hal estetika, mengingat merek luxury itu menjual estetika. Orang tidak sekadar menikmati simbol, tapi juga estetika. Lebih dalam dari itu, ia bisa menikmati kultur di dalam estetikanya itu. Estetika ini kemudian diterjemahkan sebagai cita rasa tinggi.

Ketiga, perlu diperhatikan sisi klasikalitasnya—pemilik merek harus mengelola komponen estetika yang tak boleh berubah, seperti pola. Gucci atau Hermes, misalnya, polanya tidak berubah. Keempat, pemilik merek harus memperhatikan desain interior dari butik-butiknya.

Dari sisi penggunanya, apakah ada klasifikasi tertentu?

Sebetulnya, para pemakainya tergolong kolektor. Ini tergolong sebagai heavy user. Sebelumnya ada golongan pemula dan medium. Heavy user cirinya tidak hanya membeli dan mengoleksi merek satu  biji saja—meski harganya mencapai ratusan juta. Mengingat, sentuhan emosional pada merek itu sudah sangat tinggi. Mereka memilikinya dalam koleksi ratusan biji. Biasanya, orang seperti ini tergolong orang kaya lama. Merek yang ia miliki sudah menjadi perengkuhan spiritual.

Untuk kelas medium, orang ini mencintai merek itu, tapi tidak sampai sentuhan emosional. Mereka juga tidak mempunyai loyalitas pada satu atau dua merek. Untuk pemula, mereka hanya memiliki satu merek saja dulu, merek bagus dengan harga masih terjangkau. Kelompok pemula ini merupakan kelompok belanja Rp 2–10 jutaan, misal kelas Louis Vuitton.

Apakah ada merek Indonesia yang sudah tergolong luxury?

Belum ada merek Indonesia yang masuk kategori ini. Semua masih dalam posisi produk massal, produk konsumer. Belum ada merek yang menonjol. Hal itu disebabkan salah satunya karena belum ada marketer yang berani merilis produknya mengingat ia harus bersaing dengan merek luar yang usianya ratusan tahun. Kendala lain, kita mempunyai country of origin yang belum bagus—kecuali nama Bali. Hal ini berbeda dengan Jepang, karena orang Jepang sangat menghargai kualitas tinggi. Contohnya, merek Kenzo yang membuka kantornya di Paris sebagai kota asal fesyen sejak zaman Renaissance.

Sebenarnya, perlukah strategi pemasaran untuk merek luxury ini?

Mereka tidak membutuhkan strategi lagi. Itulah keuntungan memiliki merek yang simbolnya sangat kuat. Simbolnya saja berharga luar biasa mahal dan riskan dipalsukan. Mereka tak lagi membutuhkan strategi pemasaran seperti merek lain. Cukup melakukan peluncuran produk dengan kemasan yang bagus dan berkelas. Merek ini mempunyai ultra ekuitas merek.

Cukup dengan komunikasi saja?

Ya, dengan aktivasi merek dan public relations. Kegiatannya, seperti mengadakan gathering, aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan, seperti membuat foundation, dan sebagainya. Termasuk berkomunikasi dengan desain interior butik. Tidak lagi promosi dan iklan. Karena tak jarang produk ini membuat antrean pembeli, pemilik butik perlu strategi cerdas mengelola antrean ini.

Apakah juga tidak membutuhkan program loyalitas pelanggan?

Semua itu drama. Menyentuh emosi pelanggan itu penting. Di butik fesyen, misalnya, ada ritual khusus bagi pelanggan. Tidak asal ambil dan sebagainya. Termasuk skenario dalam mengantar produk sampai ke pelanggan. Contoh paling jelas Louis Vuitton.

Kategori produk luxury apa saja yang diminati pelanggan Indonesia?

Pertama kali adalah kategori fesyen—termasuk pakaian dan aksesori. Kemudian kategori otomotif dengan mobil mewahnya. Lalu hotel dan resor, makanan, minuman, gadget, dan sebagainya.

Apakah ada kompetisi antarmerek luxury?

Tidak ada. Mereka lebih mengusung ego. Mereka tidak berkompetisi karena setiap merek mempunyai personalitas masing-masing. Saingannya justru terletak pada upaya memperkuat merek, sentuhan emosional, mempertajam segmen. Merek yang semakin tajam segmennya akan semakin luxury. Sebaliknya, yang semakin massal, semakin kurang tingkat luxury-nya.

Seperti apakah bentuk layanan purnajual khusus merek ini?

Layanan ini masih dibutuhkan, seperti bagaimana merek ini memberikan servis dalam perbaikan maupun perawatan produk. Pemilik merek juga perlu mengupayakan bebas pemalsuan.

Bagaimana prediksi Anda tentang prospek pasar luxury Indonesia tahun ini?

Masih berkembang bagus. Pertumbuhannya tiap tahun sekitar 20–30 persen. (Sigit Kurniawan)

Paul Gurita

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Rasanya tidak percaya kalau tebakan Paul gurita (sekali lagi) benar dalam laga final Piala Dunia 2010. Beberapa kali Paul memilih negara yang menang dalam pertandingan Piala Dunia, sebagian orang memang tidak memercayainya. Apalagi ketika kesebelasan yang lebih favorit seperti Jerman dan Belanda harus takluk oleh Spanyol.

Paul adalah seekor gurita kecil. Dia bukan manusia paranormal, namun dianggap memiliki kemampuan meramal yang luar biasa. Bayangkan, peramal lain banyak yang tidak terang-terangan menunjuk siapa pemenang pertandingan, dan lebih memakai bahasa-bahasa penuh arti. Namun, Paul dengan polosnya langsung menunjuk siapa pemenang sebuah pertandingan. Hasilnya? Seratus persen ramalannya dalam Piala Dunia terbukti benar!

Memang ada yang mengatakan bahwa kisah si Paul ini hanyalah sebuah game sederhana untuk memilih satu dari dua, di mana probabilitasnya masing-masing hanya 0,5. Keakuratannya mungkin berbeda jika si Paul juga harus menebak skor, yang melibatkan banyak kombinasi dan kemungkinan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita kadang memang berhadapan dengan game sederhana seperti itu: memilih satu dari dua kemungkinan. Dan pilihan yang diambil adalah “go” atau “no go”. Seperti, “Apakah kita meluncurkan produk kita atau tidak? Apakah kampanye kita mau dijalankan atau tidak? Apakah kita tetap mempertahankan produk kita yang lama atau tidak?”

Tentu saja, konsekuensi pilihan yang diambil tidak sesederhana yang pilihannya cuma dua. Investasi yang akan terbuang percuma saat Anda salah mengambil keputusan, membuat Anda akhirnya berpikir panjang. Apalagi, bagi Anda yang akan meluncurkan produk, ada rumor yang membuat bulu kuduk Anda berdiri, “70 sampai 80 persen produk baru yang diluncurkan ternyata gagal di pasaran!”

Beberapa kali Survey One (divisi riset Marketing Group) diminta untuk mengevaluasi produk yang akan diluncurkan. Beberapa kali juga kami merekomendasikan untuk tidak melucurkan produk tersebut. Alasannya, terkadang terlihat jelas dari data riset. Misalnya, dari total responden yang disurvei, ternyata kurang dari 60 persen target pasar yang mengaku tertarik terhadap konsep produk itu.

Dengan angka ketertarikan tersebut sebenarnya merupakan warning bahwa produk Anda punya peluang gagal yang cukup besar. “Tertarik terhadap produk” belum menjamin motivasi seseorang untuk membeli. Bahkan, “tertarik untuk membeli” pun tidak menjamin mereka untuk membeli. Ada banyak faktor yang menjadi hambatan konsumen untuk membeli produk. Sehingga, angka ketertarikan yang relatif kecil seharusnya membuat tanda tanya besar bagi Anda.

Hal lain yang memperkuat untuk tidak meluncurkan produk baru karena data riset menunjukkan pasar tidak bisa mengadopsi produk tersebut pada masa sekarang. Kadangkala alasannya juga karena harganya tidak mencerminkan value yang didapat konsumen. Artinya, jika harga dipatok tinggi membuat produk tersebut tidak match dengan valuenya. Namun, jika direndahkan membuat hitung-hitungan bisnisnya akhirnya tidak masuk.

Menariknya, jika ada lima perusahaan yang mendapat rekomendasi untuk tidak meluncurkan produk, tiga di antaranya ternyata tetap “ngotot” untuk meluncurkan produk tersebut. Mengapa?

Alasan yang pertama adalah terlalu banyak biaya riset yang sudah terbuang pada saat menciptakan produk tersebut. Pikiran yang sering menghantui marketer adalah: haruskah kita menyerah dengan opini konsumen, sementara kita memiliki para penjual dan pemasar tangguh yang bisa menaklukkan pasar?

Umumnya bagian R&D juga tidak mau disalahkan karena membuat produk yang tidak marketable. Bujet R&D bisa-bisa dipotong tahun-tahun mendatang, karena mereka dianggap tidak menghasilkan. Makanya lebih baik bagi mereka untuk nekat meluncurkan produk. Lagipula, kalau sudah menggelinding di pasaran, segala kemungkinan bisa dijadikan alasan untuk kegagalan produk.

Kadangkala, alasannya karena principal dari luar memaksa marketer harus menjual produk-produk lain, sekalipun produk itu tidak cocok dipasarkan. Karena takut principal-nya tidak menjadikan mereka sebagai representative lagi di Indonesia, terpaksalah mereka tetap menjual produk yang tidak menjanjikan itu.

Yang menarik juga, ada yang tetap meluncurkan produk karena keharusan untuk menjalankan strategi inovasi perusahaan. Kadang-kadang marketer sudah tahu risiko gagalnya. Namun demikian, mereka tetap menjalankannya karena alasan memperkuat product portfolio, menunjukkan dominasi di pasar atas produk mereka, atau sekadar mengganggu kompetitor.

Pada akhirnya, para pejuang merek itu pun harus menghadapi produknya terseok-seok di pasaran karena pilihan yang diambil. The show must go on, sekalipun “penontonnya” tidak ada! Anda harus menjalani konsekuensi karena pilihan yang diambil, sekalipun hanya ada dua kemungkinan.

Sama halnya ketika di pertandingan final Piala Dunia, Anda memilih Belanda dibandingkan Spanyol, sementara Paul memilih Spanyol. Mungkinkah Paul salah memprediksi hasil final, setelah 99,99 persen tebakannya benar? Apalagi, data di Piala Euro menunjukkan dua dari enam tebakan Paul salah.

Ternyata, tebakannya 100 persen benar! (Majalah MARKETING)

Outbound dan Inbound CRM

1
[Reading Time Estimation: 2 minutes]

Pertanyaan:

Sebenarnya, manakah yang paling dicari oleh pelanggan kami, pelanggan perbankan melakukan outbound atau inbound CRM, Bu? Mohon saran.

RAN, di Jakarta Barat.

 

Jawab:

Pertanyaan yang sangat menarik. Dugaan saya, selama ini banyak persahaan dan praktisi pelayanan pelanggan mempersepsikan bahwa CRM adalah kegiatan aktif, di mana perusahaan yang berinisiasi mengadakan hubungan dengan pelanggan. Jika demikian, salah satu tolok ukur kegiatan CRM adalah kegiatan outbound. Seberapa banyak telah melakukan kontak dengan pelanggan per periode, kemudian jenis kontak, dan metode kontak menjadi hal-hal yang dipentingkan agar CRM efektif.

Persoalan yang sering dihadapi, pelanggan enggan untuk dikontak. Apalagi jika sales manager atau petugas penjualan garda depan tidak pernah merelakan pelanggan-pelanggannya untuk didata oleh perusahaan dan dikontak oleh bagian pengontak. Maka, aktivitas outbound menjadi tidak efisien dan efektif.

Inbound call, biasanya, memang pelanggan sudah memiliki kebutuhan untuk mengontak, baik mencari informasi, menyampaikan keluhan, atau sekadar konfirmasi. Pada momen ini, kesempatan perusahaan untuk membina hubungan baik dan melakukan cross-selling sangat besar. Secara umum memang inbound call akan memberikan efektivitas kontak yang baik. Problemnya, bagaimana kalau jumlah inbound masih terlalu kecil?

Itulah sebabnya, dalam CRM di mana call center sebagai salah satu channel yang digunakan, diperlukan keseimbangan antara inbound dan outbound. Melalui outbound, database perusahaan dapat diperbaiki dan relationship dapat ditingkatkan. Melalui inbound, perusahaan mampu untuk melakukan cross-selling yang lebih cepat. Titik keseimbangan ini disesuaikan dengan kondisi yang ada dan sasaran yang ingin dicapai oleh perusahaan Anda. Dari sisi pelanggan, tentunya inbound call atau saat pelanggan membutuhkan perusahaan dan mengontak perusahaan itulah CRM yang sebenarnya.  Dengan persiapan infrastruktur CRM, maka pelanggan yang menghubungi perusahaan dapat segera diprofil dan di-probing sehingga tujuan cross-selling menjadi sangat efektif.  Selamat bekerja. (Majalah MARKETING)

Yang Mana Komunitas Kami?

0
[Reading Time Estimation: 2 minutes]

Pertanyaan:

Kami akan mulai menggarap komunitas pelanggan. Target kami ada beberapa: dari sisi demografi, dari segi pendapatan dan psikografi. Untuk aspek pendapatan, kami membagi menjadi tiga, yaitu pelanggan A, B, dan C. Komunitas manakah yang mesti kami garap? Mohon saran Ibu.

MKI, di Jakarta Selatan.

 

Jawab:

Komunitas pemasaran adalah tren yang semakin kuat, karena memang efektivitasnya yang sudah terbukti. Strategi dan implementasi komunitas yang baik mampu meningkatkan loyalitas pelanggan, penyebaran word of mouth yang lebih cepat, dan juga program pemasaran menjadi lebih efisien dan efektif.

Pada umumnya, perusahaan memilki banyak pilihan grup komunitas, sama seperti yang dihadapi oleh perusahaan Anda. Untuk memilih komunitas, tentunya dipertimbangkan tiga hal. Pertama, bagaimana mereka bisa terkelompokkan menjadi pelanggan yang homogen dan sesama pelanggan memiliki perilaku yang relatif homogen.  Pengelompokan didasarkan atas demografi merupakan  pilihan yang buruk. Ikatan antaranggota dalam komunitas adalah lemah. Semakin lemah ikatan anggota dalam komunitas, semakin besarlah upaya perusahaan untuk melakukan komunikasi, interaksi, maupun menyusun program komunitas. Selain tidak menghasilkan loyalitas, hal ini juga akan membuat bujet tidak efisien.

Pengelompokan berdasarkan psikografi, seperti gaya hidup, jauh lebih baik dalam hal homogenitas anggota dan kekuatan ikatan dari komunitas. Idealnya, saya sarankan, untuk membentuk grup-grup komunitas berdasarkan psikografi dan perilaku mereka. Untuk perilaku, bisa dihubungkan dengan perilaku dalam membeli atau mengonsumsi produk Anda.

Kriteria kedua adalah profit. Membentuk komunitas bertujuan untuk meningkatkan loyalitas dan menghasilkan profit. Misalnya, melalui pendekatan gaya hidup dan perilaku pembelian mereka, terdapat enam grup komunitas. Anda perlu membuat evaluasi dari berbagai pilihan komunitas ini dengan kemampuan perusahaan untuk berinteraksi dan kemungkinan untuk menjual produk ke mereka. Komunitas di mana kita bisa menghasilkan loyalitas dan profit, adalah prioritas utama.

Kriteria ketiga, life cycle komunitas tersebut. Komunitas berumur panjang dan bisa mendatangkan profit jika punya peluang langsung untuk menjadi repeat customer—karena membeli lagi, membeli lebih banyak, dan membeli produk lainnya, atau peluang tidak langsung seperti memberikan pengaruh atau rekomendasi kepada calon pelanggan lain. Selamat bekerja. (Majalah MARKETING)