“M” ke-5 dari Promosi

Handi_IrawanMarketing.co.id – Salah satu keputusan yang paling sulit bagi para CMO, marketing, product manager, atau brand manager adalah menentukan bujet promosi yang dianggap paling ideal. Maklum, jumlahnya sering kali besar bagi perusahaan.

Tidak jarang, jumlahnya bisa melebihi total profit yang diperoleh perusahaan dalam satu tahun. Jadi, dari jumlahnya saja, kita tahu bahwa menetapkan bujet promosi adalah keputusan yang paling berisiko bagi perusahaan dan tentunya bagi para marketer.

Risiko ini bukan hanya dari besarnya uang, tetapi juga kenyataan bahwa efektivitas dari promosi ini sering kali tidak jelas atau tidak diketahui secara pasti. Kita tahu bahwa promosi akan menciptakan awareness. Kita tahu bahwa promosi akan menciptakan citra yang positif. Kita tahu bahwa promosi juga mendorong konsumen untuk membeli. Kita tahu bahwa promosi akan membuat konsumen loyal pada merek kita.

Tetapi, apakah promosi akan memberikan return on investment yang baik? Jangan-jangan, 50% dari uang yang ditaburkan untuk promosi, hilang percuma! Jangan-jangan, promosi yang selama ini dikeluarkan, tidak berdampak terhadap penjualan. Inilah kekhawatiran yang biasanya dipikirkan oleh CEO, CMO, dan CFO.

Lalu, bagaimana marketer dapat menetapkan bujet promosi yang tepat? Inilah sebuah pemahaman yang harus dikuasai oleh perusahaan. Perusahaan bukan hanya tahu konsepnya, tetapi terus-menerus belajar dari hasil pengukuran efektivitas promosi yang akan dilakukan atau yang sudah dilakukan.

Secara umum, ada dua cara perusahaan untuk menentukan bujet promosi. Pertama adalah top-down, dan yang kedua adalah bottom-up. Cara yang pertama relatif sangat mudah dan cukup banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan kecil dan menengah.

Pemilik perusahaan atau pimpinan perusahaan biasanya sudah memiliki alokasi bujet atau menetapkan batas tertinggi yang boleh dikeluarkan. Mereka adalah pihak yang paling berpengaruh dalam menentukan bujet promosi.

Sebaliknya, untuk pendekatan bottom-up, proses penentuan bujet promosi dimulai dengan tujuan yang ingin dicapai. Bujet promosi kemudian ditentukan besarannya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Top-Down Approach

Paling tidak, terdapat empat cara yang termasuk dalam pendekatan top-down. Pertama adalah affordable method. Inilah proses penentuan bujet promosi yang paling primitif dan paling tidak peduli dengan kondisi pasar dan tujuan yang ingin dicapai. Mereka menetapkan bujet promosi berdasarkan cash flow yang mereka miliki atau sejumlah uang yang mereka anggap sebagai pengeluaran untuk promosi.

Misalnya, CMO menetapkan bahwa bujet promosi untuk tahun ini adalah Rp1 miliar, dan bagian promosi diharapkan membuat perencanaan dan implementasi dengan dana yang sudah ditetapkan. Walau terlihat sangat konvensional dan tidak memenuhi kaidah yang benar, kenyataannya memang banyak juga perusahaan yang melakukan seperti ini. Biasanya, hasil juga tidak akan memuaskan.

Cara kedua adalah menetapkan bujet promosi sebesar persentase dari penjualan. Beberapa perusahaan sudah memiliki standar. Misalnya, mereka ingin mengucurkan dana sebesar 5% dari penjualan.

Dengan demikian, bujet promosi akan bergerak naik dan turun, sesuai besarnya penjualan. Inilah metode yang paling banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Apakah ini metode yang baik?

Memang, bila dibanding dengan metode pertama, cara kedua memberi peluang efektivitas yang lebih menjanjikan. Tetapi, tetap saja tidak akan optimal. Maklum, logika prosesnya terbalik. Dalam konteks ini, penjualan justru menentukan besarnya iklan. Padahal, seharusnya besar bujet iklan yang akan menentukan besarnya penjualan.

Competitive Parity

Pendekatan ketiga yang masih termasuk dalam top-down adalah competitive parity. Besar bujet promosi ditentukan oleh besarnya bujet promosi dari para pesaing. Cara ketiga ini sudah mulai lebih kompleks dan mempertimbangkan faktor lingkungan bisnis, terutama para pesaing.

Jadi, dalam menentukan bujet promosi, mereka memerhatikan share of voice. Bila perusahaan A memiliki bujet promosi sebesar Rp10 miliar per tahun dan kemudian total pesaing mengeluarkan bujet sebesar Rp40 miliar, maka share of voice adalah 20% atau Rp10 miliar dibagi dengan Rp50 miliar dari bujet promosi perusahaan A dan perusahaan-perusahaan pesaing.

Asumsi dari pendekatan ini adalah bahwa promosi sangat menentukan pangsa pasar. Jadi, share of voice akan menentukan besarnya pangsa pasar di kemudian hari.

BudgetMisalnya, perusahaan A memiliki pangsa pasar 20% dan dia ingin mempertahankan pangsa pasarnya, maka perusahaan akan menetapkan bujet promosi dengan share of voice sebesar 20%. Tetapi, bila perusahaan ingin pangsa pasarnya harus naik dari 20%, bujet promosi pun dibuat lebih tinggi sehingga total share of voice-nya lebih dari 20%.

Sebaliknya, bisa juga perusahaan diserang oleh pesaing dan menyadari bahwa posisinya akan sulit untuk bertahan. Bila demikian, maka perusahaan akan mengurangi bujet promosi dan kemudian mencari segmen-segmen baru yang relatif bisa dijangkau dengan biaya promosi yang lebih murah.

Pendekatan ini sudah mempertimbangkan strategi, pasar, dan tujuan perusahaan secara umum. Dibandingkan dua metode sebelumnya, jelas metode ini memberi peluang yang lebih baik dalam mencapai efektivitas promosi.

Hanya saja, perusahaan bisa terjebak dalam situasi perang promosi. Bila terdapat 2 atau 3 perusahaan yang juga mempunyai pendekatan sama dan kemudian masing-masing ingin meningkatkan share of voice, yang akan terjadi adalah perang promosi.

Walau bujet promosi dinaikkan, share of voice dari perusahaan atau merek yang dipromosikan tidak akan mengalami kenaikan. Semua perusahaan atau merek yang berpromosi akhirnya mengalami penurunan efektivitas promosi yang bersamaan.

Qualitative Judgment

Masih termasuk dalam top-down approach adalah metode qualitative judgment. Top management atau CMO dengan pengalamannya kemudian mencoba menentukan bujet promosi dengan berbagai pertanyaan yang biasa dikenal sebagai “Five Question Method”. Pertanyaan ini adalah antara besarnya bujet promosi dan penjualan yang akan terjadi.

Kelima pertanyaan tersebut adalah:

  1. Bagaimana tingkat penjualan bila perusahaan sama sekali tidak promosi?
  2. Bagaimana tingkat penjualan bila perusahaan hanya menggunakan 50% dari bujet promosi?
  3. Berapakah tingkat penjualan bila perusahaan meneruskan bujet promosi yang sudah mereka keluarkan selama ini?
  4. Berapakah tingkat penjualan bila bujet promosi dinaikkan sebesar 50%?
  5. Berapa tingkat penjualan bila perusahaan mengeluarkan bujet promosi sebesar mungkin?

Jawaban dari kelima pertanyaan tersebut akhirnya menghasilkan sebuah kurva antara bujet promosi dan dampak penjualan. Dalam hal ini, CMO perlu mempertimbangkan banyak faktor untuk benar-benar mampu melakukan estimasi tingkat penjualan dari berbagai besaran bujet promosi.

Siapa yang menjadi target pasar; di manakah sebaran konsumen; bagaimana kualitas produk; bagaimanakah sistem distribusi; dan berbagai faktor lainnya. Hanya CMO atau manajer pemasaran yang sudah sangat berpengalaman menguasai industri dengan mengenal konsumen dan strategi para pesaingnya yang akan mampu melakukan hal ini dengan tingkat akurasi yang dapat diterima.

Cara penetapan bujet ini membutuhkan kreativitas yang tinggi. Proses pengabulan keputusan yang tidak sistematis membuat perusahaan tidak akan mampu mengajarkan kepada para marketer muda yang ada di perusahaan. Mereka harus belajar sendiri dan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk mencapai level seperti ini. Metode yang baik, tetapi tidak akan menciptakan proses sistematis.

Metode terbaik adalah bottom-up. Inilah proses yang dimulai dengan penetapan tujuan dari komunikasi. Setelah itu, pembuatan strategi untuk mencapai tujuan, dan kemudian penetapan jumlah bujet yang dibutuhkan. Inilah proses yang konseptual dan sistematis. Dalam proses komunikasi, menentukan bujet promosi adalah “M” ke-5.

“M” pertama adalah market atau siapa yang menjadi target pasarnya. M kedua adalah mission atau tujuan yang ingin dicapai. M ketiga adalah message atau strategi positioning dan pesan yang ingin disampaikan kepada konsumen. Setelah itu, marketer akan menentukan M4, yaitu media yang akan mereka gunakan. M5 adalah money atau bujet, dan M6 ditutup dengan measurement.

Melihat proses komunikasi ini, semestinya penentuan bujet adalah sebuah keputusan yang harus berorientasi pada tujuan dan goal dari komunikasi. Tujuan ini juga akan tergantung dari perilaku konsumen serta media yang digunakan.

Sebuah proses yang sistematis dan memberi peluang terciptanya efektivitas yang lebih baik. Saya ingin men-sharing pendekatan bottom-up yang juga dikenal dengan task-objective oriented di edisi berikutnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.