Sukses Setelah Repositioning

John Robert Powers Indonesia mendulang sukses setelah dua kali terpuruk. Bahkan, dua bulan lalu mereka mulai merambah ke negeri jiran Malaysia. Apa strateginya?

Kalau Anda sedang memilih sekolah kepribadian, barangkali John Robert Powers (JRP) bisa menjadi salah satu pilihan. Ya, John Robert Powers adalah sebuah sekolah kepribadian yang masuk ke Indonesia sejak tahun 1985. Artinya, boleh dibilang JRP Indonesia merupakan sekolah pertama yang mengajarkan personality development dan communications skill di negeri ini.

Saat itu JRP Jakarta diusung oleh Rayan dan Diana Wijaya dengan kantor di Cikini, Jakarta Pusat. Kemudian JRP kedua berdiri di Surabaya pada tahun 1992 di bawah pendirinya, Indayati Oetama. Dengan begitu, sudah ada dua JRP di Tanah Air. Sayangnya, tahun 2000 JRP Jakarta kolaps dan terjadi alih kepemimpinan. Nasib serupa kembali menerpa sang pengganti dua tahun kemudian.

Setelah terjadi dua kali krisis, tepatnya tahun 2003, JRP International meminta Indayati untuk membenahi JRP Jakarta sekaligus mengelola JRP-JRP lainnya. Jabatan international director pun disandangnya. Indayati berpendapat, keterpurukan JRP sebelumnya disebabkan karena leadership skill yang kurang dari para pemimpinnya. “Karena itu, saya diminta untuk mengurusi semua JRP di Indonesia, termasuk JRP Kelapa Gading yang berdiri tahun 2001,” jelasnya.

Tahukah Anda, berapa utang JRP saat itu? “Waktu itu kami mempunyai utang yang sangat besar. Untuk sekolah kepribadian, menanggung utang Rp 2 miliar itu tidak sedikit. Kalau bisnis yang barangnya kelihatan mungkin bisa dikatakan kecil. Tapi, jika intangible product, tentu orang akan bertanya, ‘kenapa bisa seperti itu?’,” terang wanita kelahiran Surabaya, 10 Desember 1956 ini.

Yang pasti, kata alumnus Program Akademi Perusahaan Universitas Widya Karya Malang ini, JRP yang dulu salah konsep dan strategi. Dan, kesalahan itu berdampak luar biasa bagi perkembangan selanjutnya. Pasalnya, dulu JRP Indonesia menitikberatkan segmen pasarnya cuma untuk kaum perempuan. Para siswa cenderung diajarkan hanya soal bobot penampilan.

Nah, sebagai satu-satunya orang Indonesia jebolan dari Corporate Training JRP International, Boston, USA, Indayati merasa tertantang untuk melakukan repositioning, kembali pada basic-nya. Ia tahu bahwa JRP Indonesia salah memahami konten sehingga awareness-nya berubah.

“Jadi, tahun pertama di Jakarta saya gunakan untuk menata di dalam. Dan, tahun kedua saya mulai menggerakkan strategi saya, yaitu mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa pakem JRP yang sebetulnya seperti ini. Hasilnya cukup surprise karena empat tahun kepemimpinan saya pemahaman orang terhadap JRP sudah berubah. Yang menakjubkan lagi, saya bisa membayar utang-utang JRP yang besar itu hanya dalam waktu empat bulan. Ini sebuah mukjizat,” katanya.

Kini orang sudah mengetahui bahwa JRP bukan sekolah yang khusus mengajarkan untuk berlenggak-lenggok ria atau identik dengan keluwesan saja. Program yang ditawarkan sekarang cukup banyak, di antaranya Personality Development, Personal Communications, Executive Program, Acting & Modeling, Corporate Training, dan Kids Program.

Apabila dilihat dari perbandingan siswa pria dan wanita, saat ini jumlahnya sudah mendekati keberimbangan. Dari jumlah siswa pria semula yang kurang dari 1%, sekarang sudah mencapai 30%. “Kalau dulu susah ditemukan siswa pria di sini karena mereka takut dikira mempunyai kelainan,” tutur Tokoh Populer Wanita Berprestasi Jawa Timur 1996 ini menambahkan.

Akan tetapi, wanita yang juga menjabat Internasional Director of IMTA (New York) for Indonesia ini menyatakan, pihaknya tidak menghitung jumlah siswa yang dianggap terlalu konvensional. Ia memilih berangkat dari revenue gross-nya. Sedangkan kalau bicara siswa reguler, JRP Jakarta WTC memiliki siswa rata-rata 700 orang setahun dan Kelapa Gading 60%-nya.

Selanjutnya, setelah mengubah kepemimpinan, Indayati menggeser segmentasi dari wanita dewasa ke para mahasiswa. Alasannya, mereka mempunyai kendala paling besar di dalam mencari dunia kerja pascakuliah. Mereka memang pintar untuk urusan ilmu pengetahuan, namun belum tentu untuk urusan lain. Segmen itu ada terus dan menjadi peluang bagi JRP.

Dari sisi diferensiasi, JRP tidak mengajarkan secara sepotong-sepotong. Sekolah ini mengajarkan agar seseorang bisa tampil total, mulai dari beauty, behaviour, hingga brain (3B). Sayangnya, biaya yang harus dibayar siswa tak terlalu murah untuk ukuran mereka yang belum bekerja. Yaitu antara Rp 6,5 juta sampai Rp 20 juta per program dengan waktu 2-3 jam per sesi, 2 kali seminggu selama dua bulan.

Siswa yang mengambil paket Rp 20 juta, lanjut Dessy Arnas, General Manager JRP Jakarta WTC, adalah siswa life time. Maksudnya life time, ia boleh bolak-balik ke JRP untuk sekadar refresh pengetahuan atau mengetahui program-program baru tanpa batasan waktu. Siswa diajarkan oleh praktisi yang semuanya mempunyai background pendidikan sesuai kepraktisannya. Pengangkatan staf pengajar atau instrukturnya pun dilakukan dengan selektif. Instruktur seluruh JRP di Indonesia digabung menjadi satu agar lebih efektif dan efisien.

Karena mengikuti sekolah kepribadian bukan sebuah keharusan, maka untuk menjaring siswa JRP harus menyusun siasat. Di samping mengubah positioning dan segmentation, JRP juga gencar berpromosi. Konsep promosinya dibuat secara jelas dan berkesinambungan.

Sepi ataupun tidak, harus ada hubungan dua arah antara masyarakat dan JRP dengan segala cara. Bisa melalui media, one-to-one, personal brand, atau lainnya. Jadi, kegiatan public relations-nya jalan terus. Menurut Indayati, itu yang tidak dimiliki sekolah lain. Dana promosinya bisa sampai 20% dari gross. Gross JRP di seluruh Indonesia per tahun Rp 15 miliar. Maka, anggaran promosinya mencapai Rp 3 miliar per tahun.

Berkat komunikasi yang intensif itu, pertumbuhan JRP di Indonesia cukup pesat. Setidaknya kini JRP sudah bisa ditemui di Jakarta WTC Sudirman, Kelapa Gading, Surabaya, Denpasar, dan Medan. Bahkan, Indayati mulai merambah ke Asia Pasifik. “Tujuannya agar saya tidak dibilang jago kandang,” katanya. Pada 8 September 2007 lalu JRP Indonesia membuka JRP baru di Kuala Lumpur, Malaysia.

“Orang Malaysia itu seperti orang Indonesia yang suka menganggap ‘rumput tetangga lebih hijau’, padahal sebetulnya tidak. Ini sebuah tantangan dan peluang bagi JRP. Jadi, bad habit good opportunity,” tandasnya sambil tersenyum. Setelah Kuala Lumpur, Indayati mengincar Shanghai, China.

Targetnya, ke depan sebelum masuk ke dunia kerja semua orang harus “di-JRP-kan” terlebih dahulu. Pasalnya, kebiasaan orang kalau sudah frustrasi karena melamar kerja di mana-mana ditolak, baru masuk JRP. Sekarang dibalik, masuk JRP dulu baru mencari kerja. “Sehingga, sebaiknya mereka ‘di-JRP-kan’ sejak sedini mungkin,” ungkap Indayati optimistis.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.