Jakarta-Akhir-akhir ini tranportasi online diramaikan dengan kasus order fiktif (Ofik) dan Fake GPS. Jika dibiarkan kasus ini akan merugikan konsumen dan perusahaan aplikasi transportasi online, sehingga akhirnya akan merusak industri online. Demikian pendapat yang mengemuka dalam diskusi “Fenomena Tuyul, Ofik, dan Nasib Transportasi Online”. Dikusi menampilkan pembicara Pratama Persadha (Pengamat Cyber Security), Muslih Zainal Asikin (Masyarakat Transportasi Indonesia), dan Bhima Yudistira (Pengamat Ekonomi INDEF).
Merebaknya kecurangan (fraud) dalam transportasi online tidak lepas dari terus meningkatnya jumlah pengemudi, terutama pengemudi ojek online. Beragam modus kecurangan yang dilakukan beberapa mitra pengemudi, diantaranya pembuatan order fiktif, penggunaan aplikasi Fake GPS untuk mencurangi sistem, dan menggunakan aplikasi tambahan untuk tidak mengambil pemesanan tanpa mengurangi performa penerimaan order dari mitra tersebut.
Istilah ‘tuyul’ sendiri digunakan untuk menyebut penumpang fiktif. Teknisnya, para driver yang curang menggunakan aplikasi Fake GPS. Jadi, seolah-olah di aplikasi ada penumpang yang diantar, padahal pengemudinya tidak bergerak kemana-mana.
Tak dapat dipungkiri, jika praktik tersebut dilakukan lantaran mitra driver mengejar insentif yang diberikan oleh penyedia jasa transportasi online.
Sejatinya, insentif diberikan sebagai bentuk penghargaan kepada mitra pengemudi. Penilaiannya dilakukan berdasar produktivitas masing-masing mitra pengemudi yang berhasil melampaui standar yang telah ditentukan. Kecurangan yang menjadi marak tersebut tentu saja merugikan perusahaan dan membuat mitra pengemudi lain menjadi kesulitan mendapatkan order.
Sedangkan dari sisi pelanggan, jika mendapatkan pengemudi yang menggunakan ‘tuyul’, mereka cenderung harus menunggu lebih lama untuk kedatangan pengemudi. Sebab jarak yang tertera di aplkasi bukan jarak yang sebenarnya. Alhasil harapan mendapat tumpangan yang cepat dan nyaman menjadi sirna.
Pratama Persadha,Pengamat Cyber Security mengatakan, kasus fraud di transportasi online tidak hanya terjadi Indonesia, namun juga di luar negeri seperti Singapura. Di Singapura kasus fraud banyak ditemukan di Grab. Pratama meminta perusahaan aplikasi seperti Gojek dan Grab tidak menganggap remeh masalah ini dan segera memperkuat keamanan aplikasinya.
Pratama mengungkapkan, aplikasi Tuyul dijual dengan harga Rp50 ribu-Rp100 ribu. Aplikasi ini secara otomatis bisa dan cepat mengambil order, tanpa pengemudi tahu kemana tujuan dan tarifnya. “Biasanya pengemudi melihat tujuan dan harganya sebelum memutuskan mengambil order,” tuturnya.
Dia menambahkan, kombinasi Fake GPS dan Aplikasi Tuyul bisa melakukan order fikti (ofik). Seolah-olah pengemudi mengambil order, padahal itu cuma tipuan melalui aplikasi. Hal ini tentu akan merugikan perusahaan, karena mereka akan memberikan bonus tanpa mendapatkan pemasukan. Pratama menyarankan perusahaan aplikasi transportasi online mengambil tindakan tegas praktik terhadap praktik fraud karena akan merusak iklim industri transportasi online.
Serap Banyak Tenaga Kerja
Industri transportasi online memang sedang mekar di Indonesia. Bhima Yudistira, Pengamat Ekonomi INDEF mengatakan, pada kuartal pertama 2018 sektor transportasi online bertumbuh 8,6% dengan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja mencapai 169 ribu pengemudi.
Dia menambahkan, berdasarkan riset INDEF sebanyak 46,5% pengemudi transportasi online mengaku pendapatan mereka hanya Rp2,5 juta per bulan sebelum bergabung ke transportasi online. Setelah bergabung ke tranportasi online, pendapatan mereka meningkat menjadi Rp2,5 juta – Rp3 juta dan bonus Rp 1 juta tiap bulannya.
Bhima mengatakan maraknya Tuyul dan ojek fiktif akan merugikan industri, baik secara material maupun system. “Saya mencatat dari pemberitaan di media massa, imbas kerugian ojek fiktif bisa mencapai miliaran rupiah. Jika tidak ada solusi yang tepat, ini akan membuat industri tidak sehat,” ungkap Bhima.
Sementara itu, Muslih Zaenal Asikin dari Masyarakat Transportasi Indonesia memandang pentingnya tindakan tegas oleh penegak hukum dalam memberantas ojek fiktif dan “Tuyul” serta kampanye dan penyadaran hukum kepada para driver bahwa tindakan Ofik dan “Tuyul” adalah tindakan melawan hukum.
“Ojek fiktif dan “Tuyul” itu masuk dalam kategori penyakit masyarakat, masuk dalam kategori pencurian dan penipuan. Kondisinya saat ini sudah masuk kategori darurat. Untuk itu perlu sinergi berbagai pihak dalam memberantas para sindikat tersebut. Karena mereka itu, diindikasikan tidak hanya dilakukan oleh perorangan, melainkan oleh jaringan sindikat,” ungkap Muslih.