Misleading Mystery Shopping

www.marketing.co.id – Pengukuran rutin memang sangat berpengaruh untuk membentuk sikap dan perilaku frontliner, apalagi jika hasilnya digunakan sebagai KPI (key performance indicator) yang berpengaruh terhadap insentif dan promosi mereka. Pada umumnya, perusahaan menggunakan metode Mystery Guest atau Mystery Shopping untuk memonitor perilaku frontliner.

Mystery Guest atau Mystery Shopping merupakan sebuah metodologi pengukuran yang murni bersifat kualitatif. Karena hanya bersifat checking tanpa boleh membawa kuesioner, maka hasil pemantauan murni bergantung pada daya ingat mystery shopper. Oleh sebab itu, daftar pertanyaan sering kali dibuat sesingkat mungkin dan semudah mungkin, di mana mystery shopper hanya diminta menjawab ”ya” dan ”tidak” secepatnya setelah kunjungan diselesaikan.

Perkembangan teknologi terakhir memungkinkan mystery shopper mengadakan rekaman peristiwa yang dijumpai ketika berkunjung dan berinteraksi dengan frontliner tanpa diketahui oleh yang bersangkutan. Layaknya sebagai seorang ”mata-mata”, mystery shopper secara sengaja mencari ketidaksesuaian yang diperkirakan bakal terjadi dalam interaksi dengan pelanggan. Penggunaan berlebihan akan membuat frontliner serba was-was dan ketakutan akan kedatangan mystery guest. Positifnya, secara cepat mereka cenderung patuh pada standar layanan.

Tantangannya adalah apakah standar layanan yang dibuat didasarkan atas kebutuhan dan keinginan pelanggan? Yakni, apakah berdasarkan suatu riset pelanggan atau paling tidak sebelum diimplementasi sudah pernah diuji ke pelanggan dan disesuaikan dengan kenyataan yang terjadi dalam interaksi sehari-hari dengan pelanggan?  Jika tidak, maka akan terjadi kejanggalan.

Penggunaan Mystery Shopping semestinya sangat terbatas pada kebutuhan quality assurance dan quality control tingkat pelayanan, tidak dimaksudkan untuk menakut-nakuti frontliner apalagi sampai menghukum. Karena bersifat kualitatif, maka data yang dipotret dari Mystery Shopping tidak merepresentasikan prestasi seseorang secara kuantitatif.

Ketidakwajaran yang terjadi dengan perilaku yang terjadi pada frontliner yang menunjukkan telah terjadi ketakutan berlebihan dan berujung pada kekakuan yang sama sekali tidak sesuai dengan tujuan diberlakukannnya standar pelayanan. (Yuliana Agung, MBA.)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.