Membaca Berita di News Aggregator Kian Diminati

Marketing – Konsultan bisnis PwC dalam laporan “Perspective from the Global Entertainment and Media Outlook 2017” menyebutkan bahwa laju global pertumbuhan koran dalam lima tahun ke depan adalah minus 8,3 persen. Ini angka terendah karena prediksi untuk media massa konvensional lainnya (majalah, radio, televisi, dan buku) juga mengalami pertumbuhan minus pada 3,4-6 persen saja. Di sisi lain, PwC memprediksi media berbasis internet tumbuh 0,5 sampai 6 persen.

Sementara, mengacu pada data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), terjadi kenaikan jumlah pengguna internet di Indonesia. Dalam 15 tahun terakhir (2002 – 2017) terjadi kenaikan pengakses internet dari 4,5 juta warganet menjadi 145 juta warganet. Ada yang menarik dari kebiasaan warganet itu dengan merujuk data APJII 2016. Yakni, motivasi warganet Indonesia dalam mengakses internet yang tertinggi ternyata bukan akses media massa daring atau berita, melainkan media sosial dan mencari hiburan.

news agreggator

Sementara dari data yang dipaparkan Reuters Institute, 51 persen responden mengaku memanfaatkan media sosial sebagai sumber berita. Dari sumber yang sama juga, terungkap bahwa anak muda merupakan generasi yang mengandalkan media sosial sebagai tempat utama memperoleh berita dibandingkan media konvensional seperti televisi.

Keberadaan media sosial tak pelak telah mengubah perilaku masyarakat dalam memperlakukan konten-konten berita. Sebuah konten berita yang menarik di media sosial bisa dengan cepat menyebar di kalangan pengguna media sosial lainnya. Hal ini terungkap dari paparan Reuters Institute yang mengungkapkan bahwa 24 persen pengguna internet membagikan konten berita di media sosial.

Shelly Tantri, Head of Business Development, BaBe mengatakan, selain media sosial, aplikasi pengumpul berita atau news aggregator juga berkembang cukup pesat sebagai wadah masyarakat memperoleh berita. Perilaku orang memperoleh informasi pun berubah. Menurut Reuters Institute, 36 persen responden mengaku membaca berita karena direkomendasikan secara otomatis oleh mesin yang bekerja di belakang platform.

Sayangnya, di Indonesia dengan tingkat literasi yang masih rendah (data dari Programme for International Student Assessment peringkat literasi Indonesia adalah nomor 64 dari 72 negara). Alhasil, kabar bohong pun dengan mudah menyebar di media sosial. Data dari DailySocial.id yang melakukan survei pada 2018 dengan responden 2.032 pengguna smartphone di berbagai penjuru Indonesia menemukan, sebagian besar responden (44,19%) tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita bohong.

“Di sinilah peran news aggregator sebagai penyaring berita bohong. Dimana, konten dari news aggregator dimoderasi dan berasal dari sumber terpercaya. Selain itu, teknologi kecerdasan buatan yang ada di belakang platform news aggregator akan mengirimkan informasi berdasarkan minat warganet sendiri. Hal ini akan memungkinkan luasnya topik dan kedalaman informasi yang dikonsumsi,” papar dia. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.