Atham Toys, Dari Tidak Ada Pembeli Sampai Kebanjiran Order

Dari Tidak Ada Pembeli Sampai Kebanjiran OrderKejelian Thamrin menyingkap peluang di balik musibah yang menimpanya ternyata membawa kesuksesan pada usaha mainan kayu yang dia rintis. Bahkan kini, cakupan distribusinya sudah berskala nasional dengan omzet mencapai Rp400 juta per bulan. Seperti apa kisahnya?

Dihantam cobaan pemutusan hubungan kerja (PHK) mungkin jadi neraka bagi kebanyakan orang. Apalagi bila masa kerja sudah mencapai belasan tahun. Demikian yang dialami Thamrin saat terpaksa dirumahkan oleh perusahaan tempatnya bekerja tahun 2008 silam. Masa bakti selama 15 tahun sebagai senior account executive perusahaan swasta ternama di Jakarta seolah tak mampu membawanya keluar dari masalah.

Akhirnya ia pun sampai pada titik memutuskan berhenti sebagai karyawan dan menjadi wirausaha. Kala itu ide berdagang mainan anak didapatnya dari pengalaman pribadi. Ayah dua anak ini bertutur, kala itu ia sangat sulit mencari mainan anak berbahan dasar kayu yang aman dan variatif bagi anaknya. Yang ditemui di pasar kebanyakan adalah mainan plastik impor dari China.

Merasa ada peluang dari pasar mainan anak ini, ia pun memutuskan menjadi sales agen dari sebuah pabrik mainan anak. Thamrin mengambil beberapa stok mainan untuk dijual berkeliling dengan sepeda motor di area publik, sekolahan, dan pasar. Barang dagangannya ini laris-manis diserbu penjual.

Sukses satu tahun menjadi agen, ia mencoba peruntungan untuk memproduksi mainan sendiri pada tahun 2009. Sejak awal Thamrin memang berkonsentrasi pada mainan kayu. Menurutnya, bahan dasar kayu memiliki banyak kelebihan ketimbang mainan plastik, seperti lebih awet, lebih aman, dan lebih edukatif.

Bermodal uang pesangon dari kantor lamanya, Thamrin membuka pabrik pertama di bilangan Tangerang. Keseluruhan proses produksi mulai dari rancang produk, fungsi, sampai finishing berada di bawah pengawasan Thamrin. Pria yang mengaku tidak punya latar belakang seni arsitektur ini belajar secara otodidak lewat buku dan artikel di internet.

Ia memilih nama kecilnya, “Atham” sebagai brand besutannya. Distribusi awal ia lakukan secara manual, berkeliling dari toko ke toko. Meski sulit, proses tersebut ia jalani dengan gigih. Di sisi lain, Thamrin mengoptimalkan peran internet lewat website pribadi Atham Toys.

Ia membangun sendiri sebuah website yang diberi alamat “mainankayu.com” berisi review produk, ulasan tentang parenting, dan online order. Saat itu memang belum banyak pengusaha yang memanfaatkan kanal digital. Responsnya juga masih sangat minim.
“Jangankan pembeli. Sudah ada yang mampir dan memberi komentar ke situs kami pun rasanya sudah senang sekali,” ujar Thamrin.
Sambil menunggu agresi dari online shop, ia dan kru tetap setia memproduksi mainan dan berkeliling menjualnya. Lambat laun, tepatnya pada tahun 2011-an, booming online shop mulai melanda Indonesia. Beruntung infrastruktur digital mainankayu.com terhitung sudah siap. Order pun mulai banyak berdatangan mulai dari ritel sampai proyek kelas kakap, order pribadi sampai skala BUMN.

Sebanyak 260 varian mainan kayu telah ia produksi setiap harinya. Rentang usia user produk mainannya sangat luas, mulai dari toddler sampai usia 8 tahun. Harganya pun bervariasi, mulai dari Rp15.000 sampai jutaan rupiah. Semua produk tersebut telah meraih sertifikat SNI dan ISO. Ia juga menjamin semua mainan kayu karyanya merupakan produk berkualitas dengan cat dan vernis bersertifikat serta memiliki kandungan non toxic dengan campuran air.

Omzet yang diraih Thamrin dari tahun ke tahun semakin mengokohkan portofolio bisnis mainan kayunya. Ia juga mendapat kepercayaan dari pihak bank dalam pemberian pinjaman. Modal dari bank tersebut ia investasikan dengan menambah jumlah workshop. Hingga kini, Atham Toys sudah memiliki 7 cabang dan 2 pabrik di Tangerang dan Semarang.

“Pinjaman pertama dari bank saya buat pabrik pertama di Tangerang dengan luas cuma 90 meter persegi. Dari situ produksi makin banyak, jumlah workshop pun saya perbanyak,” tuturnya.

Thamrin mengaku, kebanyakan ekspansi pabrik ia serahkan kepada pegawainya. Beberapa pegawai yang dinilai ahli akan ia beri modal dan diminta untuk menangani sebuah cabang pabrik Atham Toys. Nantinya semua hasil produksi tersebut hanya akan dijual kepada Thamrin. Distribusi keagenan dengan sistem dropship yang diberi nama “plasma” pun ia terapkan. Hingga kini Thamrin telah memiliki 13 workshop plasma, dengan kemampuan produksi 10 ribu buah per bulan tiap 1 showroom.

Meningkatnya jumlah pabrik diimbangi dengan inovasi produk. Thamrin juga memperluas segmennya ke arah yang lebih premium dengan membuat sub-brand “Nobie Toys”. Sasaran Nobie Toys ini nantinya adalah modern market dan pameran berskala internasional.

Kian lama bergelut di dunia mainan anak edukatif, Thamrin justru makin larut. Kreativitasnya tidak terbendung hanya sebatas kayu. Baru-baru ini ia mengeksplor produk lain seperti buku kain, furnitur, boneka, dan alat musik tradisional.

“Ini strategi branding saya. Nama Nobie Toys ternyata lebih mudah masuk di mal-mal bergengsi dan proyek besar. Targetnya adalah menyamakan angka penjualan Nobie Toys serta produk mainan lain seperti Atham Toys,” pungkas Thamrin.

Angelina Merlyana Ladjar/Foto: Lilyanti

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here