The Power of Fans

www.marketing.co.id – Ketika putaran kampanye Pilkada DKI berlangsung, tergelitik rasanya melihat aktivitas kampanye mereka di jejaring sosial. Kalau soal akun di Twitter, pasangan yang memiliki follower terbanyak adalah @FaisalBiem yang punya 50.000 follower di Twitter. Sementara pasangan lain dengan berbagai akun yang dibuat, secara total tidak sampai menarik 30.000 follower.

Untuk akun pribadi, Jokowi (@jokowi_do2) memiliki follower terbanyak dengan 150.000 follower, walaupun akun ini lebih banyak untuk posisi dia sebagai Walikota Solo. Hidayat Nur Wahid (@hnurwahid) memiliki 52.000 follower dan Fauzi Bowo (@bangfauzibowo) punya 25.000 follower. Akun-akun lain yang berhubungan dengan calon gubernur memiliki follower tidak lebih dari 10.000.

Memiliki banyak follower tidak selalu berkorelasi dengan kekuatan si kandidat di dunia maya. Jumlah buzz (percakapan atas sebuah merek yang terjadi di jejaring sosial) sebenarnya lebih menunjukkan seberapa kuat merek diperbincangkan di dunia maya.

Dalam hal pasangan cagub DKI ini, Jokowi-Ahok menurut survei tempo.co.id dan politicawave.com adalah pasangan yang paling banyak diperbincangkan. Posisi kedua ditempati oleh Foke-Narawi. Tentu saja posisi ini masih bisa berubah sesuai dinamika yang terjadi selama masa kampanye. Memiliki follower dan fans yang banyak di Twitter dan Facebook sering disalahartikan sebagai tujuan akhir aktivitas digital marketing. Banyak permintaan dari perusahaan agar meningkatkan jumlah orang yang memberi “like” pada fans page di Facebook atau jumlah follower di Twitter. Tujuannya tentu saja mengungguli pesaing. Sekalipun tidak menang di pasar, paling tidak menang di dunia maya.

Menurut Socialbakers.com, fans terbesar di Facebook diduduki oleh Coca-Cola, merek yang sudah sangat terkenal, dengan 43 juta fans. Di Indonesia, merek yang punya fans terbanyak adalah Surfer Girl dengan 2,3 juta fans. Merek toko pakaian di Kuta Bali ini ternyata memiliki fans jauh lebih banyak dibandingkan merek-merek terkenal lain di Indonesia.

Memiliki banyak fans atau follower memang membanggakan bagi sebuah merek. Namun, memiliki banyak anggota yang sekadar like tetapi tidak aktif juga tidak memberikan dampak apa-apa bagi merek tersebut. Sebuah penelitian pernah dilakukan terhadap beberapa akun Twitter yang memiliki sekitar 1 juta follower. Penelitian tersebut menunjukkan dari 1 juta follower, ternyata hanya sekitar 5.000 follower yang mengklik tweet yang dilemparkan. Artinya, hanya 0,5% yang aktif di akun tersebut. Sisanya hanya menjadi penonton atau bahkan tidak membaca tweet yang dilemparkan. Banyaknya akun dan fans page yang diikuti para follower membuat mereka tidak selalu menaruh perhatian terhadap akun tersebut. Sebagian dari mereka mungkin asal saja me-like sebuah fans page ketika diundang, tanpa ada emotional bonding yang kuat. Akibatnya mereka tidak pernah terlibat pada pembicaraan merek tersebut.

Beberapa pakar digital marketing mempergunakan conversation atau pembicaraan di media sosial sebagai alat untuk mengukur kekuatan merek di dunia maya. Pembicaraan yang positif secara terus-menerus menunjukkan bahwa konsumen banyak yang menyukai merek tersebut. Setiap tahun Majalah MARKETING bekerja sama dengan Media Wave melakukan pengukuran semacam ini.

Jadi, langkah selanjutnya yang harus dilakukan saat merek Anda sudah memiliki fans dan follower adalah membuat mereka terlibat aktif dalam aktivitas kampanye yang dilakukan. Kalau tidak, mereka hanya menjadi sekadar angka di profil akun Anda.

Efek viral yang para fans miliki ini seharusnya menjadi alat untuk meng-amplify (ini istilah yang sering dipakai untuk menggantikan kata “memperkuat”) kampanye Anda. Studi dari Comscore.com menunjukkan bahwa kekuatan terbesar dari like pada fans page di Facebook bukanlah eksposur merek tersebut pada sang fans, tetapi pada friends of fans yang ikut terkena dampak eksposur dari merek kita. Jumlah? Menurut studi ini bisa 130 kali lipat dari fans kita!

Akan halnya kampanye Pilkada DKI, terlihat sekali bahwa semua calon relatif tidak banyak aktif di media sosial. Mungkin mereka sadar bahwa konstituen mereka tidak banyak yang aktif di dunia maya, atau bahkan tidak punya akun di media sosial. Mungkin juga karena masa kampanye yang terlalu pendek membuat mereka terlalu sibuk untuk berfokus pada media sosial. Yang jelas, akhirnya mereka harus kembali ke model kampanye zaman “purba”, seperti baliho, spanduk, brosur, stiker, dan aksi-aksi jalanan yang membuat Jakarta menjadi kotor dan tidak senyaman janji mereka. (Rahmat Susanta)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here