Pilkada DKI dan Ekonomi Nasional

www.marketing.co.idMungkin jika ada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) disuatu daerah bisa dianggap biasa oleh sebagian orang. Tapi, jika Pilkada itu berlangsung di ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjadi pusat bisnis, pastinya banyak sorotan dari berbagai pihak, mulai dari para pebisnis, ekonom, maupun investor.

Benarkan kegiatan lima tahun sekali ini untuk memilih seorang gebenur bisa mengangkat ekonomi nasional? Berikut paparan para ekonom mengenai masalah ini.

Perlu diketahui, DKI Jakarta mempunyai kontribusi sebesar 16,2% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan dijadikan barometer untuk masalah ini. Menurut Eric Alexander Sugandi selaku Ekonom Standart Chartered Bank mengatakan, Jakarta memilki kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Salah satu indikatornya adalah deposito perbankan terpusat di Jakarta.

Menurut Eric dengan adanya Pilkada ini, gebernur terpilih wajib membenahi Jakarta dengan meningkatkan efesiensi yang akan berpengaruh positif pada ekonomi nasional. “Dampaknya dengan Pilkada ini akan signifikan seiring besarnya kontribusi Jakarta terhadap perekonomian nasional dan menjadi pusat bisnis,” ungkapnya.

Selain itu, dari sisi investor Eric melihat Pilkada DKI merupakan test case untuk Pilpres tahun 2014 mendatang. Biasanya para investor akan melihat siapa yang menjadi gebernur di DKI ini dan sudah bukan hal di tutup-tutupi setiap gebernur yang terpilih mempunyai kebijakan yang berbeda-beda.

“Jika pasangan tertentu yang memenangkan Pilkada DKI, pasar juga akan berekspektasi soal kebijakan ekonominya,” tambah Eric.

Di samping itu menurut mantan Kepala Ekonom Bank Mandiri, M Doddy Arifianto mengungkapkan, kontribusi 16,2% ekonomi Jakarta terhadap PDB nasional, yang menjadikan alasan utama Jakarta menjadi tujuan kaum urban yang menjadi hulu kemacetan di Jakarta. Disebabkan Jakarta menjadi pusat ekonomi dan bisnis.

Siapapun yang terpilih  menjadi gebernur Jakarta harus bisa mengatasi kemacetan yang terjadi selama ini. Doddy menegaskan kemacetan Jakarta akan memberikan dampak secara nasional. Apalagi kerugian akibat kemacetan bisa mencapai triliunan rupiah.

Kemacetan merupakan salah satu konsekwensi logis dari urbanisai sehingga orang lebih banyak menghamburkan waktu di jalan yang memiliki dampak negatif baik secara psikologis maupun kesehatan. “Soal ini harus ada pembagian wewenang dan tugas secara tegas antara pemerintah pusat dan Pemda DKI,” ungkap Doddy.

Selain itu, menurut dia masalah lalu lintas menjadi masalah yang sangat pelik. Bahkan walaupun nanti The Mass Rapid Transit (MRT) dioperasikan, dia ragu akan terjadi perubahan radikal dari macet menjadi tidak macet.

Jakarta bukan hanya menampung penduduk aslinya, tapi juga menampung para commuter (orang yang pulang-pergi setiap hari untuk bekerja). Baik itu dari Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi, hingga ke Karawang sampai Serang Banten.

Untuk melihat masalah Jakarta seperti ini, Doddy memberikan masukan agar ibu kota negara dan ibu kota bisnis dipisahkan. “Di Amerika Serikat ibu kota negara berbeda dengan ibu kota bisnis dan semua perizinan sudah di sentralisasi,”katanya.

Memang seperti diketahui Jakarta sejak awal kemerdekaan sudah didesain sebagai pusat bisnis sekaligus pusat pemerintahan. Perlu rencana yang matang secara gradual dan pendelagasian atau desentralisai yang baik dan rapi agar Jakarta bisa dipisah antara pusat bisnis dan pemerintahan.

“Siapapun gebenur yang terpilih, tidak bisa berbuat banyak bagi Jakarta,” kata Doddy dengan nada pesimistis. Untuk merelokasikan ibu kota ini, butuh kebijakan secara nasional yang membedakan ibu kota sebagai kota administratif dengan ibu kota sebagai kota bisnis. (Inilah.com / HN)

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here