Monday, October 27, 2025
Home Blog Page 2222

Paul Gurita

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Rasanya tidak percaya kalau tebakan Paul gurita (sekali lagi) benar dalam laga final Piala Dunia 2010. Beberapa kali Paul memilih negara yang menang dalam pertandingan Piala Dunia, sebagian orang memang tidak memercayainya. Apalagi ketika kesebelasan yang lebih favorit seperti Jerman dan Belanda harus takluk oleh Spanyol.

Paul adalah seekor gurita kecil. Dia bukan manusia paranormal, namun dianggap memiliki kemampuan meramal yang luar biasa. Bayangkan, peramal lain banyak yang tidak terang-terangan menunjuk siapa pemenang pertandingan, dan lebih memakai bahasa-bahasa penuh arti. Namun, Paul dengan polosnya langsung menunjuk siapa pemenang sebuah pertandingan. Hasilnya? Seratus persen ramalannya dalam Piala Dunia terbukti benar!

Memang ada yang mengatakan bahwa kisah si Paul ini hanyalah sebuah game sederhana untuk memilih satu dari dua, di mana probabilitasnya masing-masing hanya 0,5. Keakuratannya mungkin berbeda jika si Paul juga harus menebak skor, yang melibatkan banyak kombinasi dan kemungkinan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita kadang memang berhadapan dengan game sederhana seperti itu: memilih satu dari dua kemungkinan. Dan pilihan yang diambil adalah “go” atau “no go”. Seperti, “Apakah kita meluncurkan produk kita atau tidak? Apakah kampanye kita mau dijalankan atau tidak? Apakah kita tetap mempertahankan produk kita yang lama atau tidak?”

Tentu saja, konsekuensi pilihan yang diambil tidak sesederhana yang pilihannya cuma dua. Investasi yang akan terbuang percuma saat Anda salah mengambil keputusan, membuat Anda akhirnya berpikir panjang. Apalagi, bagi Anda yang akan meluncurkan produk, ada rumor yang membuat bulu kuduk Anda berdiri, “70 sampai 80 persen produk baru yang diluncurkan ternyata gagal di pasaran!”

Beberapa kali Survey One (divisi riset Marketing Group) diminta untuk mengevaluasi produk yang akan diluncurkan. Beberapa kali juga kami merekomendasikan untuk tidak melucurkan produk tersebut. Alasannya, terkadang terlihat jelas dari data riset. Misalnya, dari total responden yang disurvei, ternyata kurang dari 60 persen target pasar yang mengaku tertarik terhadap konsep produk itu.

Dengan angka ketertarikan tersebut sebenarnya merupakan warning bahwa produk Anda punya peluang gagal yang cukup besar. “Tertarik terhadap produk” belum menjamin motivasi seseorang untuk membeli. Bahkan, “tertarik untuk membeli” pun tidak menjamin mereka untuk membeli. Ada banyak faktor yang menjadi hambatan konsumen untuk membeli produk. Sehingga, angka ketertarikan yang relatif kecil seharusnya membuat tanda tanya besar bagi Anda.

Hal lain yang memperkuat untuk tidak meluncurkan produk baru karena data riset menunjukkan pasar tidak bisa mengadopsi produk tersebut pada masa sekarang. Kadangkala alasannya juga karena harganya tidak mencerminkan value yang didapat konsumen. Artinya, jika harga dipatok tinggi membuat produk tersebut tidak match dengan valuenya. Namun, jika direndahkan membuat hitung-hitungan bisnisnya akhirnya tidak masuk.

Menariknya, jika ada lima perusahaan yang mendapat rekomendasi untuk tidak meluncurkan produk, tiga di antaranya ternyata tetap “ngotot” untuk meluncurkan produk tersebut. Mengapa?

Alasan yang pertama adalah terlalu banyak biaya riset yang sudah terbuang pada saat menciptakan produk tersebut. Pikiran yang sering menghantui marketer adalah: haruskah kita menyerah dengan opini konsumen, sementara kita memiliki para penjual dan pemasar tangguh yang bisa menaklukkan pasar?

Umumnya bagian R&D juga tidak mau disalahkan karena membuat produk yang tidak marketable. Bujet R&D bisa-bisa dipotong tahun-tahun mendatang, karena mereka dianggap tidak menghasilkan. Makanya lebih baik bagi mereka untuk nekat meluncurkan produk. Lagipula, kalau sudah menggelinding di pasaran, segala kemungkinan bisa dijadikan alasan untuk kegagalan produk.

Kadangkala, alasannya karena principal dari luar memaksa marketer harus menjual produk-produk lain, sekalipun produk itu tidak cocok dipasarkan. Karena takut principal-nya tidak menjadikan mereka sebagai representative lagi di Indonesia, terpaksalah mereka tetap menjual produk yang tidak menjanjikan itu.

Yang menarik juga, ada yang tetap meluncurkan produk karena keharusan untuk menjalankan strategi inovasi perusahaan. Kadang-kadang marketer sudah tahu risiko gagalnya. Namun demikian, mereka tetap menjalankannya karena alasan memperkuat product portfolio, menunjukkan dominasi di pasar atas produk mereka, atau sekadar mengganggu kompetitor.

Pada akhirnya, para pejuang merek itu pun harus menghadapi produknya terseok-seok di pasaran karena pilihan yang diambil. The show must go on, sekalipun “penontonnya” tidak ada! Anda harus menjalani konsekuensi karena pilihan yang diambil, sekalipun hanya ada dua kemungkinan.

Sama halnya ketika di pertandingan final Piala Dunia, Anda memilih Belanda dibandingkan Spanyol, sementara Paul memilih Spanyol. Mungkinkah Paul salah memprediksi hasil final, setelah 99,99 persen tebakannya benar? Apalagi, data di Piala Euro menunjukkan dua dari enam tebakan Paul salah.

Ternyata, tebakannya 100 persen benar! (Majalah MARKETING)

Outbound dan Inbound CRM

1
[Reading Time Estimation: 2 minutes]

Pertanyaan:

Sebenarnya, manakah yang paling dicari oleh pelanggan kami, pelanggan perbankan melakukan outbound atau inbound CRM, Bu? Mohon saran.

RAN, di Jakarta Barat.

 

Jawab:

Pertanyaan yang sangat menarik. Dugaan saya, selama ini banyak persahaan dan praktisi pelayanan pelanggan mempersepsikan bahwa CRM adalah kegiatan aktif, di mana perusahaan yang berinisiasi mengadakan hubungan dengan pelanggan. Jika demikian, salah satu tolok ukur kegiatan CRM adalah kegiatan outbound. Seberapa banyak telah melakukan kontak dengan pelanggan per periode, kemudian jenis kontak, dan metode kontak menjadi hal-hal yang dipentingkan agar CRM efektif.

Persoalan yang sering dihadapi, pelanggan enggan untuk dikontak. Apalagi jika sales manager atau petugas penjualan garda depan tidak pernah merelakan pelanggan-pelanggannya untuk didata oleh perusahaan dan dikontak oleh bagian pengontak. Maka, aktivitas outbound menjadi tidak efisien dan efektif.

Inbound call, biasanya, memang pelanggan sudah memiliki kebutuhan untuk mengontak, baik mencari informasi, menyampaikan keluhan, atau sekadar konfirmasi. Pada momen ini, kesempatan perusahaan untuk membina hubungan baik dan melakukan cross-selling sangat besar. Secara umum memang inbound call akan memberikan efektivitas kontak yang baik. Problemnya, bagaimana kalau jumlah inbound masih terlalu kecil?

Itulah sebabnya, dalam CRM di mana call center sebagai salah satu channel yang digunakan, diperlukan keseimbangan antara inbound dan outbound. Melalui outbound, database perusahaan dapat diperbaiki dan relationship dapat ditingkatkan. Melalui inbound, perusahaan mampu untuk melakukan cross-selling yang lebih cepat. Titik keseimbangan ini disesuaikan dengan kondisi yang ada dan sasaran yang ingin dicapai oleh perusahaan Anda. Dari sisi pelanggan, tentunya inbound call atau saat pelanggan membutuhkan perusahaan dan mengontak perusahaan itulah CRM yang sebenarnya.  Dengan persiapan infrastruktur CRM, maka pelanggan yang menghubungi perusahaan dapat segera diprofil dan di-probing sehingga tujuan cross-selling menjadi sangat efektif.  Selamat bekerja. (Majalah MARKETING)

Yang Mana Komunitas Kami?

0
[Reading Time Estimation: 2 minutes]

Pertanyaan:

Kami akan mulai menggarap komunitas pelanggan. Target kami ada beberapa: dari sisi demografi, dari segi pendapatan dan psikografi. Untuk aspek pendapatan, kami membagi menjadi tiga, yaitu pelanggan A, B, dan C. Komunitas manakah yang mesti kami garap? Mohon saran Ibu.

MKI, di Jakarta Selatan.

 

Jawab:

Komunitas pemasaran adalah tren yang semakin kuat, karena memang efektivitasnya yang sudah terbukti. Strategi dan implementasi komunitas yang baik mampu meningkatkan loyalitas pelanggan, penyebaran word of mouth yang lebih cepat, dan juga program pemasaran menjadi lebih efisien dan efektif.

Pada umumnya, perusahaan memilki banyak pilihan grup komunitas, sama seperti yang dihadapi oleh perusahaan Anda. Untuk memilih komunitas, tentunya dipertimbangkan tiga hal. Pertama, bagaimana mereka bisa terkelompokkan menjadi pelanggan yang homogen dan sesama pelanggan memiliki perilaku yang relatif homogen.  Pengelompokan didasarkan atas demografi merupakan  pilihan yang buruk. Ikatan antaranggota dalam komunitas adalah lemah. Semakin lemah ikatan anggota dalam komunitas, semakin besarlah upaya perusahaan untuk melakukan komunikasi, interaksi, maupun menyusun program komunitas. Selain tidak menghasilkan loyalitas, hal ini juga akan membuat bujet tidak efisien.

Pengelompokan berdasarkan psikografi, seperti gaya hidup, jauh lebih baik dalam hal homogenitas anggota dan kekuatan ikatan dari komunitas. Idealnya, saya sarankan, untuk membentuk grup-grup komunitas berdasarkan psikografi dan perilaku mereka. Untuk perilaku, bisa dihubungkan dengan perilaku dalam membeli atau mengonsumsi produk Anda.

Kriteria kedua adalah profit. Membentuk komunitas bertujuan untuk meningkatkan loyalitas dan menghasilkan profit. Misalnya, melalui pendekatan gaya hidup dan perilaku pembelian mereka, terdapat enam grup komunitas. Anda perlu membuat evaluasi dari berbagai pilihan komunitas ini dengan kemampuan perusahaan untuk berinteraksi dan kemungkinan untuk menjual produk ke mereka. Komunitas di mana kita bisa menghasilkan loyalitas dan profit, adalah prioritas utama.

Kriteria ketiga, life cycle komunitas tersebut. Komunitas berumur panjang dan bisa mendatangkan profit jika punya peluang langsung untuk menjadi repeat customer—karena membeli lagi, membeli lebih banyak, dan membeli produk lainnya, atau peluang tidak langsung seperti memberikan pengaruh atau rekomendasi kepada calon pelanggan lain. Selamat bekerja. (Majalah MARKETING)

Rapor Merah Merek

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Belum lama ini Unit Kerja Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menyodorkan laporan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai penilaian kinerja para anggota Kabinet Indonesia Bersatu II. Dalam laporan itu, ternyata ada tiga menteri yang dianggap kurang berhasil menjalankan tugasnya, tak memenuhi target, dan diganjar rapor merah. Mereka adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar; Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto; juga Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring.

Seperti biasa, usai pengumuman, tak butuh berhari-hari untuk memancing beragam isu spekulatif yang menyoroti masalah kebijakan presiden. Kali ini, kabar yang beredar, para menteri yang mendapat rapor merah akan diganjar kartu merah, alias di-reshuffle. Namun, kabar itu segera dibantah kalangan “istana”. Presiden bilang, tidak ada reshuffle kabinet dalam waktu dekat.

Nah, kalau kita bicara mengenai marketing, kita akan mendapatkan beberapa contoh merek yang telah diberi rapor merah oleh konsumen. Bahkan, merek yang diberi kartu merah pun banyak. Tentu saja ini terkait sengitnya situasi persaingan antarpemain dan terjadinya hukum alam: siapa yang kalah akan tersingkir dari permainan.

Adam Air, contohnya, langsung diganjar kartu merah setelah tak kunjung memberikan layanan yang baik kepada pasar penerbangan. Beberapa kali kecelakaan terekam dalam benak konsumen. Terakhir, pada hari pertama tahun 2007 silam, salah satu armada dari maskapai berwarna korporat oranye itu hilang kendali dan “nyemplung” ke perairan Majene, Sulawesi Barat.

Mungkin saja kejadian tragis itu tidak akan menimpa apabila Adam Air menerapkan manajemen penerbangan yang bagus, melayani pelanggan dengan benar, dan tidak melupakan persoalan teknis yang menjadi menu pokok di industri transportasi udara. Padahal, rapor merah telah berkali-kali dilayangkan oleh pemerintah. Karena tak menggubris, kini Adam Air benar-benar telah tiada.

Di pasar telepon seluler (ponsel), sekarang merek Siemens tak lagi ada di Indonesia. Siemens akhirnya mendapat rapor merah setelah sekian tahun berupaya menaklukkan pasar ponsel dan tidak berhasil. Siemens gagal meraih simpati karena dinilai tak cocok dengan kemauan pengguna yang butuh kepraktisan dalam hal pengoperasian ponsel.

Di pasar sepeda motor, merek-merek asal Cina seperti Jialing, Beijing, Loncin, Sanex, Qingqi, Jianshe, dan Chunlan langsung mendapat rapor merah beberapa saat setelah mereka masuk ke pasar Indonesia. Bagaimana tidak, mereka memasarkan produk dengan kualitas yang jauh lebih buruk dari merek Jepang, tak mengiringi produknya dengan jaminan layanan purnajual yang layak, dan tidak memiliki jati diri sebagai merek. Sehingga, tak butuh bertahun-tahun bagi konsumen untuk melancarkan kartu merah (setelah sebelumnya memberi rapor merah). Hal ini juga sedang terjadi pada motor Suzuki di Indonesia. Pangsa pasar mereka terus digerogoti oleh sepeda motor Honda dan Yamaha.

Kriteria Penilaian

Pada umumnya, sebuah merek akan diseleksi secara otomatis begitu masuk ke pasar. Beberapa seleksi atau penilaiannya, antara lain, mampukah merek tersebut memberikan manfaat yang benar-benar diinginkan oleh konsumen; apakah merek tersebut relevan dengan situasi saat ini (misalnya dengan kondisi dan selera); apakah harga yang ditetapkan sesuai dengan ekuitas merek atau tidak, karena kadang-kadang dalam banyak kasus terjadi over pricing, yaitu harga ditetapkan terlalu tinggi atau melebihi nilai harga yang ditoleransi oleh konsumen.

Selain itu, apakah merek tersebut sudah di-positioning-kan dengan tepat; apakah merek tersebut konsisten dengan pesan-pesannya; sejauh mana merek tersebut melakukan investasi terhadap peningkatan kinerja mereknya; seberapa jauh kekuatan inovasi dari elemen-elemen bauran pemasarannya; dan lain sebagainya.

Itulah poin-poin yang mesti diperhatikan bagi pemasar dalam memasarkan mereknya agar tak mendapat rapor merah dari konsumen. Sebab, rapor merah yang dilabelkan oleh konsumen itu benar-benar sangat berbahaya bagi sebuah merek. Bayangkan, apabila merek Anda dicap tidak baik oleh pelanggannya, merek Anda akan kehilangan konsumen yang telah didapatkan dengan susah payah.

Ibarat sebuah permainan sepakbola—yang kini masih ramai dibicarakan di seluruh dunia, pemain akan mendapat kartu merah apabila melakukan pelanggaran berulang kali dan tak bergegas berubah. Di ajang final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, Juli kemarin, seorang pemain dari Belanda, Johnny Heitinga, mendapat kartu merah setelah mendapat kartu kuning dua kali.

Begitulah juga dengan merek. Kalau tidak bermain secara total di pasar—di dunia sepakbola disebut total football—maka merek akan didepak dari area permainan oleh konsumennya sendiri. Ini sangat disayangkan, sebab kalau sudah begitu akan sangat susah untuk menghitamkan kembali rapor dari konsumen. Sebuah merek butuh waktu lama hanya untuk menghitamkan rapornya yang merah itu.

Lihatlah Mizone, minuman isotonik bernutrisi, “adik” dari air dalam kemasan merek Aqua, yang pertama kali diluncurkan di Surabaya pada 27 September 2005 dengan dua rasa (orange lime dan passion fruit). Produk ini pernah diberi rapor merah oleh konsumen di akhir tahun 2006, setelah ketahuan tidak jujur karena tidak mencantumkan kandungan bahan pengawet pada kemasannya. Mizone harus ditarik dari peredaran. Setelah berupaya bangkit kembali, ia tampak kesusahan, walaupun akhirnya berhasil juga—sesudah menghabiskan dana cukup besar untuk kampanye secara terus-menerus.

Oleh karena tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini—khususnya di dunia pemasaran, para pemasar mesti menyusun strategi secara tepat, mengelola merek sebaik mungkin, dan melayani konsumen secara baik. Jika sudah mendapat rapor merah—apalagi kartu merah, susah lagi untuk membangkitkan merek yang sama di mata konsumen. Istilahnya, kalau sudah merah, ya ke laut aja deh (seperti Adam Air). Begitu ceritanya. (www.marketing.co.id)

Lima Strategi Menjual Produk Premium

1
[Reading Time Estimation: 2 minutes]

Dengan berkembangnya key account sudah pasti terjadi—tidak bisa dielakkan lagi—perubahan mental dan mindset dari setiap jajaran penjualan. Dengan kata lain, jelas diperlukan penyesuaian tentang bagaimana memandang dunia di dalam bekerja sebagai seorang profesional, maupun cara memandang para pelanggan.

Kalau mindset mendominasi saat berbicara, berapa pun biaya yang dikeluarkan tentu tidak penting, asalkan untuk beriklan. Namun, tentunya hal ini bukan cara yang tepat juga dalam menjual produk premium.

Kita mengetahui tokoh-tokoh dunia yang sukses menjual produk relatif bukan barang murah—apalagi murahan—seperti Allan Domb, salesman nomor satu di dunia, di antara 1,8 juta salesman yang bergerak dalam produk real estate di Amerika. Kita juga tahu John Leahy, seorang salesman yang mencapai omzet miliaran dolar dan sukses berkarier di Airbus dan Marc McEver, penjual ulung lebih dari 1.000 mobil dalam setahun—jadi rata-rata menjual tiga unit per hari, atau 20 unit per minggu.

Apa saja yang mereka lakukan dari pengalaman yang begitu menggemparkan? Menurut Allan Domb, yang mereka lakukan secara konsisten adalah: pertama, selalu berkomitmen terhadap profesi yang ia digeluti. Jadi, menjual bukan sekadar hobi. Salah satu pernyataan yang selalu menjadi pemicu bagi dia adalah, ”The only difference between my self and everyone else is time and how I spend it.

Kedua, fokus pada segmen pasar dari produk yang sudah dirancang dan memusatkan perhatian pada persaingan atas produk sejenis yang ada di pasar. Sehingga, akan sangat mudah untuk menjelaskan keunggulan produk yang dijual, kelemahan produk pesaing, dan yang paling utama adalah memahami perilaku konsumen. Hal ini disebabkan sudah sangat tajam pasar yang dibidik, sehingga sangat memungkinkan memahami inside customer dengan baik. Ketiga adalah bagaimana menjalin hubungan yang berkesinambungan. Karena, menjual bukan hanya transaksi, tetapi juga menjaga hubungan baik. Yang lebih hebatnya lagi, di dalam menjaga hubungan tersebut, relasi bersedia mempekerjakan karyawan untuk membantu hal-hal yang bersifat administratif. Hal inilah yang membuat komunikasi dengan pelanggan tetap bisa berjalan secara produktif, termasuk tumbuhnya prospek-prospek baru.

Hal keempat, memahami nilai-nilai yang terkandung dalam bisnis secara lengkap, yaitu nilai-nilai perusahaan, produk, pelayanan, maupun dirinya sendiri. Salah satu nilai yang dijunjung tinggi-tinggi oleh McEver adalah kejujuran dan image. Hal itulah yang dikatakan pelanggan-pelanggan Marc McEver. Stempel jujur melekat pada dia, menjadi ikon dirinya. Dan yang kelima adalah mencari terobosan baru dalam cara menjual dengan meningkatkan layanan yang lebih baik. Salah satu hal yang menjadi unsur utama dalam pelayanan adalah memahami bahwa pelanggan tidak suka menunggu berlama-lama. Kata kunci speed menjadi kata sakti, karena kita semua menyadari bukan lagi yang besar mengalahkan yang kecil, atau yang kaya mengalahkan yang miskin, melainkan yang cepat mengalahkan yang lambat. (www.marketing.co.id)

Seratus Persen CRM

0
[Reading Time Estimation: 5 minutes]

Tulisan ini merupakan rangkuman dari seminar Frontier Marketing Club bulan yang lalu. Dalam seminar tersebut, saya ingin memberikan jawaban atas dua pertanyaan besar, kapan perusahaan harus mulai CRM? Kapan perusahaan berani menerapkan 100 persen strategi pertumbuhannya dengan CRM saja? Dua hal ini ternyata memang menjadi pertanyaan dari sebagian perusahaan yang sadar akan pentingnya menerapkan strategi CRM.

Sekadar untuk mengingatkan Anda pembaca MARKETING, prinsipnya, hanya terdapat tiga pilihan strategi bagi perusahaan untuk bertumbuh. Pertama, perusahaan harus mencari pelanggan baru untuk bertumbuh. Apalagi, untuk perusahaan baru atau perusahaan yang berada di dalam industri yang masuk dalam fase pertumbuhan, kesempatan untuk bertumbuh melalui pelanggan baru sungguh besar. Perusahaan tidak boleh kehilangan kesempatan untuk mencari pelanggan baru pada situasi seperti ini. Keterlambatan untuk mencari pelanggan baru akan menjadi biaya mahal di kemudian hari. Ini bisa dilihat dari beberapa operator seluler yang baru masuk belakangan. Mereka harus membayar mahal untuk akuisisi pelanggan baru.

Kedua, perusahaan kemudian mulai melakukan retensi terhadap pelanggannya. Mereka diharapkan membeli produk atau menggunakan pelayanan kembali. Akan lebih baik bila mereka menjadi pelanggan yang lebih aktif. Artinya, mereka akan membeli produk tersebut lebih banyak lagi. Mereka diharapkan untuk menyebarkan word of mouth yang positif dan mereferensikan produk atau layanan yang mereka gunakan kepada prospek yang lain.

Pilihan ketiga adalah dengan menggunakan add-on selling, termasuk dalam hal ini adalah cross-selling. Kita bisa menjual produk B, C, dan seterusnya kepada pelanggan yang sudah sudah membeli produk A. Kita bisa menawarkan fitur baru kepada pelanggan kita. Tidak mengherankan, dalam konteks ini, perusahaan harus inovatif. Mereka perlu menciptakan fitur baru atau menciptakan produk dan layanan baru agar tidak kehilangan kesempatan untuk bertumbuh.

Dalam konteks ketiga strategi tersebut, perusahaan yang menerapkan CRM akan bertumpu pada strategi kedua dan ketiga. Mereka memilih untuk mengandalkan pertumbuhan dari pelanggan yang sudah ada. Jadi, perusahaan yang mengandalkan 100 persen strategi CRM tetap konsisten dengan strategi pertumbuhan pilihan kedua dan ketiga. Pertumbuhan dari pelanggan baru hanya bertumpu pada word of mouth dan referral dari para pelanggannya.

Dengan pengertian seperti ini, perusahaan sebenarnya dapat menerapkan strategi CRM, mulai dari 0–100 persen. Perusahaan benar-benar dikatakan tidak memiliki strategi CRM saat seluruh sumber daya manusia dan upaya difokuskan untuk mencari pelanggan baru, atau pilihan strategi yang pertama. Biasanya, saat pertumbuhan melalui strategi CRM sudah mencapai 50 persen, perusahaan sudah mulai memikirkan struktur organisasi yang memang menunjukkan arah strategi ini. Mereka mungkin memiliki manajer, GM, atau bahkan seorang direksi yang fokus kepada CRM. Mereka biasa disebut CRM manager, retention manager, account manager, atau relationship manager. Jabatan ini bisa ditingkatkan ke tingkat direksi bila CRM sudah dominan.

Tidak pelak lagi, dalam 10 tahun terakhir ini, kecepatan perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk mengadopsi strategi CRM sangat cepat. Perusahaan kemudian membuat perubahan strategi pertumbuhan dan semakin fokus pada pelanggan yang sudah ada. Industri perbankan misalnya, lebih dari 50 persen sumber daya dan alokasi resources lainnya ditujukan kepada pelanggan yang sudah ada dalam database mereka.

Bila strategi CRM masih di bawah 50 persen, perusahaan lebih memilih untuk meningkatkan kualitas produk dan layanan terlebih dahulu. Demikian juga, mereka bisa terus memulai dengan memperbaiki database yang sudah ada. Bila suatu saat CRM sudah dominan, mereka sudah memiliki kemampuan dan berada pada posisi yang siap untuk mengimplementasikannya. Jadi, intinya, persiapan CRM terutama pengembangan database, telah dapat dimulai saat perusahaan sudah mempunyai pelanggan.

Kapan 100 Persen CRM?

Lalu, untuk pertanyaan kedua, kapan perusahaan benar-benar berani memilih CRM sebagai 100 persen strategi pertumbuhan—atau paling tidak—CRM sebagai strategi yang sangat dominan untuk memacu pertumbuhan perusahaan? Ada tiga kriteria besar untuk  memberikan jawaban ini.

Pertama, perusahaan harus menjadikan CRM sebagai strategi yang dominan saat biaya untuk mencari pelanggan baru sudah sama, atau lebih besar dari nilai pelanggan baru yang diakuisisi. Ini jawaban yang bersifat kuantitatif dan perusahaan sudah benar-benar harus melakukan perhitungan. Untuk biaya akuisisi, relatif mudah. Yang dapat Anda lakukan adalah menjumlahkan semua bujet yang difokuskan untuk mencari pelanggan baru. Semua biaya promosi atau tenaga penjualan yang difokuskan untuk mencari pelanggan baru, dapat dijumlahkan. Misalnya, perusahaan dapat menjumlah semua biaya ini mulai dari Januari hingga bulan Desember, atau selama satu tahun. Setelah itu, dihitung berapa jumlah pelanggan yang diperoleh selama kurun waktu tersebut. Jumlah biaya dibagi dengan jumlah pelanggan yang diperoleh, adalah biaya akuisisi per pelanggan.

Bagaimana menghitung nilai pelanggan baru? Salah satu rumus yang sederhana adalah dengan menggunakan customer lifetime value (CLV). Pada tahun yang lalu, saya pernah berbagi, di kolom yang sama, bagaimana menghitung CLV dari nilai pelanggan baru. Salah satu formula sederhananya adalah CLV = m (r / 1 + i – r) di mana “m” adalah net margin per pelanggan untuk periode tertentu, “i” adalah discounting rate untuk memperoleh present value. CLV pada dasarnya adalah nilai pelanggan hari ini, sedangkan margin yang diperoleh oleh perusahaan adalah di masa mendatang. Jadi, diperlukan i untuk membuat perhitungan present value. Paramater r adalah retention rate, yaitu, berapa persen pelanggan yang dapat diretensi selama periode tertentu.

Misalkan saja, perusahaan Anda memiliki 100 ribu pelanggan di awal bulan Januari 2010. Kemudian, pada akhir Desember, dari 100 ribu pelanggan ini, ternyata 90 ribu yang bertahan. Artinya, nilai r atau retention rate adalah 90 persen. Asumsikan, dari perhitungan yang Anda lakukan, net margin yang diperoleh selama satu tahun untuk per pelanggan adalah Rp 100 ribu. Ini adalah semua revenue per pelanggan dikurangi semua biaya per pelanggan. Nilai i atau besarnya discouting rate, dapat dipilih antara bunga deposito atau bunga pinjaman komersial. Asumsikan saja, nilai i adalah 10 persen.

Dengan nilai-nilai di atas, maka CLV adalah = Rp 100.000 (0.9 / 1 + 0.1 – 0.9) atau Rp 450.000. Nah, kemudian bandingkan dengan biaya akuisisi. Bila biaya akuisisi ternyata sudah lebih besar dari Rp 450.000, ini merupakan sinyal yang kuat bahwa perusahaan Anda akan lebih baik untuk meningkatkan strategi CRM. Persentase strategi CRM yang dipilih tergantung dari perhitungan-perhitungan selanjutnya.

Misalnya, perusahaan sudah mulai menggunakan strategi CRM 80 persen dan akuisisi pelanggan baru 20 persen. Dalam hal ini, perusahaan sudah mulai selektif mencari pelanggan baru. Biasanya, CLV akan naik dan biaya akuisisi akan turun karena sudah mulai selektif memilih pelanggan baru. Bila ternyata perhitungan masih menunjukkan biaya akuisisi tetap lebih besar, maka sangat bijak kalau strategi CRM semakin dominan lagi. Mudah-mudahan, logika sederhana ini membantu perusahaan Anda untuk merumuskan kesimpulan strategi ini.

Kriteria kedua adalah bila biaya akuisisi lebih tinggi dari kesempatan untuk add-on selling, maka strategi CRM perlu ditingkatkan intensitasnya. Hampir sama dengan kriteria pertama, kita perlu menghitung biaya akuisisi. Yang kedua, kita menghitung berapa pertumbuhan keuntungan yang dapat diperoleh bila perusahaan melakukan add-on selling. Bila dihubungkan dengan CLV, berarti Anda harus menghitung berapa penambahan CLV sebagai akibat dari keberhasilan add-on atau cross-selling. Bila ternyata lebih besar dari biaya akuisisi, maka tampaknya pilihan untuk memperbesar intensitas CRM akan menjadi  pilihan yang lebih efektif.

Pengalaman saya sebagai konsultan dalam bidang CRM, kriteria kedua ini sering banyak tidak serius diperhatikan. Padahal, perusahaan memiliki kesempatan untuk melakukan add-on selling yang besar, tetapi kemudian tidak berhasil dilakukan karena energi dan fokusnya adalah untuk mencari pelanggan baru.

Kriteria ketiga berhubungan dengan tingkat kesiapan melakukan CRM. Dan inilah situasi yang sering dihadapi oleh perusahaan. Strategi CRM seharusnya sudah dominan. Misalnya, mencapai 80 persen, tetapi perusahaan kemudian menggeser CRM menjadi 50 persen dan sisanya tetap bertumpu pada tim penjualan untuk mencari pelanggan baru. Ini terjadi karena perusahaan tidak siap dengan sumber daya manusia, proses interaksi, dan teknologinya. Perusahaan ini terlambat mempersiapkan CRM. Apalagi, bila customer database masih sangat tidak siap, maka CRM menjadi mundur atau harus ditunda. Memang, tidak ada pilihan selain menunda intensitas CRM dalam kondisi ini.  Maka sangat bijak, pada saat perusahaan masih fokus ke pelanggan baru, persiapan CRM, seperti pengembangan customer database dan segmentasi pelanggan, haruslah sudah dimulai. CRM, karena merupakan strategi, selalu membutuhkan perspektif jangka panjang supaya berhasil dalam implementasinya.

Sikap Konsumen pada Mobil Ramah Lingkungan

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Perhatian konsumen terhadap isu ramah lingkungan semakin tinggi. Mereka semakin kritis terhadap produk-produk yang diproduksi oleh perusahaan yang memperhatikan keramahan lingkungan atau tidak. Perhatian mereka pun termasuk dalam kepemilikan mobil. Bagusnya, pihak produsen pun memberi perhatian terhadap isu lingkungan dengan memproduksi kendaraan bermotor yang ramah lingkungan. Entah karena kesadaran sendiri dari mereka atau karena kewajiban dari pihak pemerintah. Faktanya, pembuatan kendaraan bermotor yang ramah lingkungan telah menjadi tren, yaitu ditandai dengan banyaknya produsen mobil yang mengeluarkan mobil ramah lingkungan atau dikenal dengan “mobil hybrid”.

Pertanyaannya sekarang, apakah “green” sudah menjadi tren utama? Apakah daya tarik kendaraan yang ramah lingkungan bisa melampaui kekuatan dari kendaraan berbahan bakar bensin? Berkaitan dengan hal itu, Synovate mencoba mengungkap pandangan konsumen melalui riset global mereka. Apakah konsumen hanya bermimpi untuk membeli kendaraan ramah lingkungan, benar-benar membeli kendaraan ramah lingkungan, atau hanya di antaranya saja.

Jawaban tertinggi di antara seluruh 18 negara yang menjadi target survei, jika uang bukanlah masalah, 37 persen dari mereka ingin membeli kendaraan ramah lingkungan, 31 persen berkata mereka akan membeli mobil impian mereka, dan 22 persen lainnya mengatakan bahwa, “Mobil impian saya adalah mobil yang ramah lingkungan”. Ini berarti bahwa 59 persen, atau setidaknya seperenam dari responden menunjukkan keinginan untuk menuju dunia yang ramah lingkungan. Demikian hasil riset global yang dilakukan terhadap 13.200 responden perkotaan di 18 negara yang dilakukan pada tahun 2009 lalu.

“Para produsen mobil telah memberi banyak dan lebih banyak lagi pilihan yang akan disukai oleh kelompok orang penyuka dunia green yang tumbuh dengan pesat ini,” terang CEO Motoresearch dari Synovate, Scott Miller. Namun begitu, kita tidak bisa melupakan bahwa mobil adalah produk yang mempunyai hubungan emosional dengan pemiliknya. Apa yang Anda kendarai berbicara lebih banyak tentang Anda, lebih dari yang Anda kira. Akan selalu ada kelompok orang yang tidak mau berkompromi tentang mobil impian mereka karena alasan green (ramah lingkungan).

Terungkap bahwa 22 persen dari mereka yang menginginkan mobil sesuai dengan impian tetapi juga ramah lingkungan, adalah kunci pada masa depannya. Oleh karena itu, para produsen mobil akan memproduksi kendaraan yang sesuai dengan impian, tetapi juga ramah lingkungan. Beberapa dari hasil tertinggi untuk kendaraan ramah lingkungan (menambahkan faktor ramah lingkungan sebagai kategori dari mobil impian) adalah Thailand dengan angka 77 persen, Korea 76 persen, Cina 75 persen, dan Brazil 72 persen.

Direktur Motoresearch Synovate untuk Cina, Kelvin Gin, mengatakan itu bukanlah hasil yang mengejutkan bagi Cina. “Olimpiade tahun lalu benar-benar menggarisbawahi isu-isu yang berkenaan dengan kualitas udara bersih di Cina. Ditambah lagi, pihak pemerintah telah membuat izin/kebijakan baik untuk produsen kendaraan ramah lingkungan dan orang-orang yang memilih untuk membeli dan mengendarainya. Bahkan, angka investasi sebesar RMB 10 miliar (kira-kira setara dengan US$ 1,5 miliar) tercapai untuk memproduksi mobil-mobil yang lebih ramah lingkungan.

“Sesuai aturannya, semua mobil kini harus fleksibel dalam hal bahan bakar, di mana dengan cepat bisa membuat mobil ramah lingkungan menjadi bagian dari perilaku dan pola pikir di negara Brazil,” begitu kata Ari Gonzalis, Direktur New Business untuk Motoresearch Synovate di Brazil.

“Rakyat Brazil juga merasa bangga bahwa negaranya menjadi pemimpin dalam mengembangkan bahan bakar alternatif yang lebih murah dan tingkat polusinya lebih rendah. Dengan mewajibkan teknologi yang ramah lingkungan, pemerintah sebenarnya telah menciptakan suatu skenario di mana mobil impian orang-orang menjadi green atau ramah lingkungan.

Walaupun ada andai-andai bahwa uang bukanlah masalah, Byeong Hwan Je, Kepala Motoresearch Synovate Korea, telah membawa rakyat Korea menuju dunia ekonomi yang ramah lingkungan. “Mobil hybrid atau ramah lingkungan adalah mobil yang lebih efisien dalam hal bahan bakar, dan jika mengingat masalah polusi, isu ekonomis/penghematan ini akan menjadi faktor penentu penting mengapa rakyat Korea lebih mendahulukan green daripada mobil impian mereka.”

Salah satu negara yang langsung dan dengan mudah memilih mobil ramah lingkungan adalah Jerman, dengan 58 persen responden lebih mementingkan faktor lingkungan daripada memiliki mobil impian. Jadi, di mana kita bisa menemukan mereka yang hanya bermimpi? Secara keseluruhan, 31 persen masih tidak peduli dengan faktor ramah lingkungan, dan lebih memilih mobil yang menjadi impian mereka.

Satu hasil terbesar dari mereka yang hanya bermimpi, datang dari Afrika Selatan, di mana lebih setengah dari seluruh responden (53 persen) lebih memilih untuk memiliki mobil impian mereka. Direktur Penjualan & Marketing untuk Synovate Global Motoresearch, Richard Rice, yang berbasis di Afrika Selatan, mengatakan bahwa, “Di Afrika Selatan, mobil mungkin adalah produk yang paling mencerminkan orang yang memilikinya. Di sini, orang sangat emosional terhadap mobilnya. Orang-orang mencintai mobil mereka untuk kebebasan, untuk image, dan mencerminkan status pemiliknya.”

Maka dari itu, faktor image dianggap jauh lebih penting daripada mobil yang ramah lingkungan. Akibat hal-hal tersebut di atas, banyak pembeli mobil di Afrika Selatan adalah anggota keluarga pertama yang bahkan baru mampu untuk membeli sebuah mobil. Jadi, karena begitu senangnya, faktor lingkungan akan dilupakan begitu saja. Mereka lebih mementingkan power sebesar mungkin yang ada pada sebuah mobil.

Sama juga halnya dengan 47 persen orang India yang mengatakan mereka lebih mementingkan mobil impian daripada lingkungan di era India yang baru ini. Seperti itu penjelasan yang dikatakan Sumit Arora, kepala dari kelompok Motoresearch Synovate di India. “Pasar otomotif di India sangatlah bersemangat. Setiap tahun ada saja model mobil impian yang dirilis dan datang dari pemain-pemain besar dunia. Mobil-mobil mewah mencetak angka-angka yang tinggi”.

Faktor yang mengendalikan ambisi dan aspirasi ini adalah orang-orang kini mempunyai lebih banyak uang, lebih banyak pilihan, dan mereka bersedia mengeluarkan uangnya. Kepemilikan barang-barang mewah menjadi cerminan kesuksesan dan konsumsi yang luar biasa. Angka-angka ini akan terus menanjak.

Di Amerika Serikat, 35 persen responden lebih mementingkan mobil impian, 23 persen lebih memilih mobil ramah lingkungan, dan 19 persen mengatakan bahwa mobil impian mereka adalah mobil yang ramah lingkungan. (Majalah MARKETING)

CommCenter: Menjadi “Universitas” Pelayanan Nasabah

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]
DSC_0019web
Novi Roychani, Customer Service Departement Head

CommCenter berupaya menjadi yang terbaik di industri asuransi jiwa. Tekadnya adalah menjadi contact center pertama di industri ini yang meraih predikat excellence atau bahkan exceptional.

Commonwealth Life memiliki contact center yang tidak pernah berhenti berimprovisasi dan berbenah. Buktinya, tahun ini CommCenter mampu meraih posisi teratas di antara call center dalam kategori life insurance. Padahal, sejak digelar Call Center Award ini, CommCenter belum pernah berada di posisi teratas. Paling banter ada di posisi runner up.

Tentunya, menarik sekali mengulas setiap langkah yang mereka lakukan hingga mencapai posisi sekarang. Pertama dan utama adalah melihat dari sisi perusahaan memandang keberadaan call center miliknya. Commonwealth Life mempunyai visi untuk menjadi perusahaan asuransi terbaik dalam pelayanan terhadap pelanggan.

“Dari visi tersebut, jelas bahwa perusahaan sangat mendukung keberadaan CommCenter. Namun, perlu diketahui pula bahwa CommCenter adalah satu bagian saja dari pelayanan pelanggan. Dari situ kami terjemahkan dengan membuat CommCenter harus menjadi ujung tombak komunikasi antara nasabah dengan perusahaan,” kata Novi Roychani, Customer Service Departement Head.

Jamak terjadi di dunia asuransi jiwa bahwa nasabah lebih merasa nyaman berinteraksi dengan agen asuransinya ketimbang dengan perusahaan asuransi. Usaha untuk membuat nasabah mau berhubungan langsung dengan perusahaan inilah yang sedang dilakukan Commenwealth Life.

CommCenter berdiri tahun 2000 dengan layanan yang masih terbatas pada agen asuransi saja. Baru sejak tahun 2001 layanan ke nasabah dilakukan. Dan, pada tahun 2008 CommCenter melakukan pemutakhiran peralatan. Dari analog berubah ke digital. Investasi perubahan teknologi ini sekitar US$ 50 ribu.  Kemudian, mereka melebarkan media yang digunakan, meliputi call, short message service (SMS), website, dan IVR. Artinya, CommCenter sudah menjadi contact center. “Ruangannya pun sekarang jauh lebih lebar dibanding dua tahun lalu,” tambah Novi.

Penambahan jumlah agen di CommCenter juga bisa dijadikan tolok ukur perhatian perusahaan. Akhir tahun 2008, jumlah agen adalah 26 orang. Akibat adanya krisis finansial di tahun itu, direksi Commonwealth membuat kebijakan zero growth untuk tahun berikutnya. Namun, kebijakan untuk CommCenter ternyata berbeda. Sebabnya di tahun 2009, Novi diizinkan menambah lima orang agen baru. Sekarang ini, agen CommCenter menjadi 31 orang. Dua puluh orang di antaranya adalah agen di CommCenter yang menangani inbound, sisanya menangani outbound.

Wajah Menarik

Persyaratan menjadi agen CommCenter adalah pendidikan minimal S1 dari berbagai jurusan. Menguasai bahasa Inggris dan kemampuan berkomunikasi yang bagus. Dan, satu lagi adalah memiliki wajah yang menarik. Syarat ini terdengar cukup beda mengingat saat melayani nasabah, para agen tidak bertatap muka langsung.

Para agen ini juga diwajibkan tetap menjaga penampilan selama bekerja. Untuk itu tidak tanggung-tanggung. Novi menyediakan satu buah cermin kecil di setiap meja para agen. “Sebenarnya bukan hanya untuk bercermin saja, tapi supaya para agen melihat wajah mereka sendiri saat melayani nasabah. Dengan wajah ramah dan tersenyum selalu, para nasabah diharapkan bisa merasakan keramahan tersebut,” jelas Novi sambil tersenyum.

Para agen di CommCenter merupakan pegawai tetap di Commonwealth, setelah menjalani satu tahun masa percobaan. Meski untuk mendapatkan para agen ini dilakukan melalui vendor. Pilihan pegawai tetap ini salah satunya karena jam operasional CommCenter tidak 24 jam dan tidak tiap hari. CommCenter hanya beroperasi di hari kerja, Senin–Jumat, antara pukul delapan pagi hingga lima sore. Di sisi lain, pemilik saham sekarang ini justru memilih pegawai tetap dibanding outsource.

Walaupun sudah pegawai tetap, tapi turn over di CommCenter cukup tinggi, sekitar 25 persen setiap tahun. Namun, para agen ini keluar bukan karena bekerja di tempat lain. Kebanyakan dari mereka “diambil” oleh divisi lain yang membutuhkan kemampuan komunikasi dan pelayanan yang bagus. “Divisi saya itu, seperti universitas bagi divisi lain yang membutuhkan tenaga jadi. Sehingga, yang keluar biasanya pindah ke divisi lain. Hanya sedikit dari mereka yang benar-benar keluar dari perusahaan. Hal ini juga yang membuat saya mencari agen yang menarik wajahnya,” jelas Novi.

Novi sukses membentuk tenaga siap pakai di dunia pelayanan karena menerapkan sistem pelatihan dan pendidikan yang ketat. Selama satu tahun penuh para agen CommCenter mendapatkan pelatihan. Dimulai di bulan pertama adalah training produk. Satu minggu pertama di bulan kedua adalah trial sistem. Diikuti dengan online tandem selama seminggu. Dan, dua minggu berikutnya baru online dengan dipantau.

Lalu, bulan ketiga hingga keenam—atau selama empat bulan—para agen hanya melayani nasabah saja. Baru di semester kedua mereka melayani agen asuransi. Agen yang berpengalaman memang justru ditempatkan untuk melayani agen asuransi Commonwealth Life. Karena sekali telepon, para agen asuransi bisa menanyakan 10 polis. Sedangkan nasabah tentunya hanya bertanya mengenai polisnya saja. “Agen CommCenter yang sudah berpengalaman akan bisa melayani pertanyaan yang banyak dan dalam waktu singkat,” tambah Novi.

Di Commonwealth, para agen asuransi juga merupakan nasabah yang harus dilayani. Terlebih, sekarang ini sistem peragenan adalah external customer, atau tidak terikat langsung dengan perusahaan.

Setiap harinya, CommCenter menerima sekitar 600 panggilan. Sepertiga atau 200 dari jumlah tersebut adalah call dari agen asuransi. Sisanya dari klien individu dan direct marketing, atau klien yang berasal dari kerja sama dengan lembaga perbankan. Untuk panggilan dari klien, jumlah abandon call-nya 5 persen. Target di 2010 ini adalah menekan hingga 3 persen. Nomor yang digunakan CommCenter adalah 021- 2550 1234 dan 0804 150 1234.

Pergeseran cara pandang terhadap keberadaan call center ini bisa jadi berkaitan dengan perubahan kepemilikan komposisi saham. Sebelumnya, asuransi ini bernama Astra CMG Life—merupakan perusahaan patungan antara Astra dan Commonwealth Bank of Australia (CBA). Sejak pertengahan tahun 2007, kepemilikan CBA berubah menjadi mayoritas, hingga 80 persen. Mulai itu, nama Astra CMG Life diubah menjadi Commonwealth Life. (Ign. Eko Adiwaluyo/Majalah MARKETING)

CIGNA: Hapus Agen dan Andalkan Call Center

1
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

SITI HASNAH T PAMILIH (CALL CENTRE HEAD, RETAIL BANKING)webAsuransi CIGNA sudah menghentikan pemakaian agen untuk menjaring pelanggan. Call center menggantikan peran dan menjadi ujung tombak sistem komunikasi pemasaran terpadu CIGNA.

Sebagai perusahaan penyedia layanan asuransi jiwa dan kesehatan, PT Asuransi CIGNA menyadari pentingnya membangun relasi dengan para pelanggannya. Sebab itu, call center CIGNA sangat berperan dalam upaya ini. Perusahaan yang berdiri pada tahun 1990 sebagai bagian dari CIGNA Corporation mengubah pola komunikasinya dari pola bertemu langsung dengan pelanggan (face to face) menjadi sistem komunikasi kabel. CIGNA pun sudah tidak lagi menggunakan agen asuransi pada tahun 2002 sebagai penerapan strategi bisnisnya yang baru. CIGNA mengandalkan call center.

“Awalnya, asuransi CIGNA seperti asuransi lainnya sebagai agency. Kemudian, kami pindah bisnis model di tahun 2002. Kami fokus pada aktivitas. Ini merombak strategi bisnis—dari tadinya tatap muka, sekarang tidak lagi. Dari sini, penting sekali artinya call center,” Mylene Valenzuela, Customer Service Head PT Asuransi CIGNA.

Perempuan asal Filipina ini menegaskan call center bersifat multifungsi. Ada dua fungsi utama dari call center tersebut, yakni telemarketing dan contact center. Telemarketing lebih dikhususkan untuk memprospek calon pelanggan baru. Sementara, contact center mengelola komunikasi dengan pelanggan yang sudah ada. Tapi, menurut Mylene, tak tertutup kemungkinan terjadi cross selling. “Bisnis asuransi ini sangat mengandalkan unit ini. Tujuan utamanya tak lain adalah untuk memuaskan para pelanggan,” katanya.

Mylene mengatakan ada tiga faktor yang mendukung kesuksesan kinerja call center CIGNA, yakni sistem, orang, dan teknologi. Sementara itu, call center sendiri ia bagi menjadi tiga bagian, yakni contact center, customer care, dan customer service administration. Contact center menangani urusan informatif dari panggilan pelanggan yang masuk. Customer care lebih menangani urusan komplain, program retensi, urusan polis, klaim, dan sebagainya. Sedangkan bagian administrasi mengurusi perubahan data-data pelanggan, termasuk urusan cetak dan pengiriman polis ke pelanggan.

“Call center bertujuan mendekatkan perusahaan dan pelanggan melalui komunikasi intensif dengan mereka. Termasuk mitra bisnis dan para stakeholder. Sebab itu, kami peduli dengan tim yang andal,” imbuh Mylene.

Asal tahu saja, CIGNA sekarang ini sedang fokus menggarap program afinity marketing dengan menjual produk asuransi yang inovatif dan hemat biaya. Selama ini, CIGNA bermitra dengan beberapa perusahaan perbankan, jasa keuangan, dan sebagainya. Total pemegang polis asuransi CIGNA sudah mencapai 1,5 juta orang dengan RBC (risk based capital) sebesar 269 persen—jauh melebihi ketentuan pemerintah sebesar 120 persen. Mitra bisnis terbesar CIGNA adalah perusahaan perbankan. Yang disebut dengan pelanggan di sini, tak lain adalah perusahaan tersebut sampai pelanggan dari perusahaan mitra bisnis itu.

Mengelola pelanggan sejumlah jutaan tersebut, kata Mylene, tidaklah gampang. Tiga faktor dalam call center kudu dioptimalkan perannya. Satu faktor yang sangat fundamental bagi CIGNA adalah sumber daya manusia.

Mylene cukup selektif dalam memilih para agen call center-nya. Mereka dipilih dengan syarat utama benar-bernar punya jiwa servis dan keterampilan memadahi. Mengingat tugas mereka yang langsung berhadapan dengan pelanggan. Baginya, pembangunan tim menjadi kepeduliannya sebagai pemimpin di unit ini. “Selain training, kami melakukan kegiatan-kegiatan untuk pembangunan tim. Kami pun memberi kesempatan lebar bagi mereka untuk berkembang. Sistem reward kami terapkan mengingat prestasi mereka layak dihargai,” katanya.

Sekarang ini, ada 150 orang yang bekerja di call center yang punya hotline 021- 5299-6080 dan 0804-1-808080 itu. Meski tenaga diambil secara outsource, pihak CIGNA tetap wajib membekali mereka dengan berbagai pelatihan, terkait dengan visi misi perusahaan, pengetahuan produk, dan program-program anyar yang digelar CIGNA.

Perhatian CIGNA pada orang call center terbukti dengan menyediakan jenjang karier yang terbuka bagi mereka. Di sana, ada tahapan jabatan— seperti petugas yunior, petugas senior, senior office, koordinator tim, supervisor. Bahkan, bagi mereka yang berprestasi bisa mendapat promosi untuk mengelola departemen lain—termasuk mendapat kesempatan menjadi asisten manajer, manajer, maupun manajer eksekutif, dan seterusnya.

Awak call center CIGNA bekerja pada waktu jam kerja. Tidak ada sistem shift. Hal ini dikarenakan, selama ini, tidak terlalu banyak dari para nasabah yang mengurus di atas jam kerja. Meski demikian, pihak CIGNA tetap memonitor pelanggan dengan menyediakan kanal lain, berupa voice mailbox, situs web, dan sebagainya. Rata-rata panggilan masuk per harinya sekitar 2.000 panggilan dengan tingkat panggilan tak terjawab di bawah 5 persen.

Mengingat tugas call center tidak ringan dan berpotensi menimbulkan tensi bagi pekerjanya, CIGNA menggelar aktivitas hiburan dan relaksasi. Mereka, kata Mylene, juga manusia yang membutuhkan servis yang baik sebelum menyervis pelanggan. Biasanya hal ini terkait dengan komplain pelanggan. Soal komplain, CIGNA membekali awak call center dengan manajemen komplain berdasar standar operasional yang ditentukan. Standar ini dirujuk agar penanganan komplain tak bertele-tele. “Paling cepat sekitar satu jam sudah bisa diselesaikan. Kalau membutuhkan proses investigasi lantaran kasusnya cukup rumit, kami membutuhkan waktu tiga hari,” kata Mylene.

Soal teknologi, call center CIGNA menggunakan teknologi yang berlaku secara regional. Semua informasi terekam dan terhubung dengan bagian yang dimaksud, seperti bagian keuangan dan sebagainya. CIGNA  mengusung teknologi anyar berupa PDS—preview dialing system. “Dengan sistem ini, seorang telemarketer tidak perlu lagi bekerja secara manual. Data langsung diproses. Nilai investasinya cukup besar meski tak bisa menyebutkan kisarannya,” imbuh Ignatius Hartanto, Operations and Technology Director.

Ke depannya, CIGNA bertekad secara kontinu mengoptimalkan peran call center sebagai bagian utama dalam sistem komunikasi pemasaran terpadu. “Kami sadar call center  tidak hanya menjadi dasar landasan servis. Tapi, unit layanan ini berkembang ke arah sales dan marketing mengingat respons pelanggan sangat positif. Terbukti, beberapa program yang ada di luar customer service sangat diapresiasi oleh mereka,” cetus Mylene.

Call center CIGNA berkantor di dua lokasi, Jakarta dan Serpong. Kantor Serpong diseting untuk mendukung BCP—business continuity plan. “Kami sangat sadar pentingnya database pelanggan termasuk dalam menjaga rahasia dari 33 mitra bisnis tersebut. Sistem dan infrastruktur sudah siap. Dua tempat ini memungkinkan call center tetap berfungsi bila salah satu kantor mengalami gangguan,” imbuhnya lagi.

Pada tahun 2010, CIGNA berniat memperbarui teknologi dan menambah sumber daya manusia seiring target menambah pemasukan yang sudah dicanangkan di awal tahun. (Sigit Kurniawan/Majalah MARKETING)

Call Center Blue Bird: Call Center Bagian dari Ikon Perusahaan

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Contract Centre Blue Bird
Contract Centre Blue Bird

Untuk perusahaan taksi, tidak ada yang sanggup menggoyang dominasi Blue Bird dalam hal call center. Mereka memang selalu membangun teknologi dan strategi yang tidak mudah diikuti  oleh para pesaingnya.

Call center Blue Bird Group sudah ada berbarengan dengan beroperasinya perusahaan ini—tahun 1972. Oleh karena itulah bagi perusahaan taksi Blue Bird Group, call center merupakan salah satu front liner business unit mereka. Dalam unit call center sendiri, banyak aspek yang terlibat, meliputi sumber daya manusia, sistem, dan juga teknologi.

Di Blue Bird Group, call center termasuk dalam empat ikon layanan yang diterapkan perusahaan, yaitu “ANDAL”; aman, nyaman, mudah, dan personalize. Call center ini masuk dalam salah satu ikon pelayanan mudah; mudah didapat, mudah dihubungi, dan mudah dalam hal pembayaran. Tugas call center cukup banyak. Pertama, unit layanan ini berfungsi sebagai pusat informasi tentang semua produk perusahaan taksi Blue Bird Group. Lalu, unit ini juga berfungsi sebagai penerima order. Order di sini terbagi menjadi order taksi meter untuk Blue Bird dan Silver Bird, kemudian untuk penyewaan mobil Golden Bird, serta untuk pemesanan bus Big Bird. Selain itu, call center juga menerima keluhan pelanggan—berfungsi sebagai customer care—dan juga menerima pemesanan melalui SMS atau notifikasi order melalui SMS.

“Jadi, customer itu kita daftarkan nomornya dan kemudian data taksinya akan terkirim. Hal itu dilakukan secara otomatis oleh sistem. Customer tidak bayar untuk itu. Jadi, begitu taksi terkirim langsung ternotifikasi, karena customer biasanya mengecek lagi nomor taksinya,” imbuh Sigit P. Djokosoetono, Direktur Blue Bird Group.

Dikatakan Sigit, call center memang cukup penting dan menjadi ujung tombak perusahaan dalam memberi dukungan terhadap pelayanan secara keseluruhan. Call center menjadi garda depan buat hubungan dengan pelanggan. “Secara keseluruhan, Blue Bird Group tidak bisa berjalan tanpa adanya call center. Karena itu, call center sudah merupakan satu layanan terpadu yang terkait dengan sistem dan teknologi,” kata Sigit.

Di Blue Bird ada penggunaan teknologi GPS (global positioning system) yang  berfungsi untuk memetakan posisi tamu dan posisi taksi. Namun, bukan hanya GPS yang digunakan Blue Bird Group dalam sistem pendistribusian order. Ada lagi sistem yang dinamakan MDT (mobile data terminal) yang  tugasnya adalah mencarikan taksi yang memang posisinya terdekat dari lokasi pelanggan. “Nah, teknologi ini yang tidak dimiliki perusahaan taksi lain,” kata Sigit lebih lanjut.

Secara detail Sigit menjelaskan, karena call center di Blue Bird Group menggunakan sistem GPS, maka mereka akan mengetahui di mana posisi mobil terdekat, atau ke mana mobil itu pergi. Call center juga akan tahu apakah posisinya sedang bersama pelanggan, atau apakah posisinya sedang sendiri; sedang diam, atau sedang berjalan. Bahkan, bila pengemudi mengalami kesulitan, pengemudi bisa menghubungi call center, baik secara manual via radio, atau dengan tombol rahasia yang memang hanya pengemudi sendiri yang tahu. “Jadi, mereka sudah di-training, kalau mengalami kesulitan, misalnya perampokan, mereka tinggal menekan tombol itu. Kita akan tahu di monitor, dengan munculnya kode ‘merah’. Si operator call center wajib membuka hidden-mic, sehingga kita bisa mendengar semua percakapan dalam kabin. Langkah selanjutnya, kita akan coba broadcast ke semua armada terdekat untuk membantu pengemudi yang kesulitan itu,” Sigit memaparkan.

Ke depannya, sambung Sigit, dari sisi pengembangan call center di Blue Bird Group secara umum, masih ada beberapa indikator yang dapat ditingkatkan, baik dari sisi level servisnya maupun dari kualitas SDM, serta dari sisi pembagian personelnya. “Jadi secara umum, penambahan sistem GPS dalam delivery call center Blue Bird Group akan kita lakukan. Intinya, bertujuan untuk memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada pelanggan. Karena kita tahu, call center di sini berhubungan dengan cara mengirim kendaraan ke tamu dengan cepat dan nyaman,” kata Sigit.

Dalam hal investasi, menurut Sigit, biasanya setiap lima tahun sekali kita melakukan pergantian komputer atau up-grading komputer. “Tapi, selebihnya lebih banyak investasi ke operating call,” ujarnya lagi.

Dalam konteks teknologi, diakui Sigit, Blue Bird Group juga memperhatikan inovasi-inovasi teknologi terbaru. Namun, menurutnya, inovasi itu haruslah memberi kenyamanan kepada pelanggan. Diceritakannya, pada saat awal masuknya teknologi Colour ID, Blue Bird Group termasuk perusahaan taksi pertama yang menggunakannya, termasuk juga penggunaan sistem IVR (interactive voice response). “Kita tidak selalu berada di teknologi yang paling depan. Namun, kita berada di teknologi yang paling memberikan kenyamanan buat pelanggan,” kata Sigit tegas.

Adapun masalah yang paling sering muncul yang dialami konsumen adalah taksi belum terkirim atau terlambat terkirim karena kurangnya ketersediaan kendaraan. Namun demikian, Sigit memastikan 90 persen taksi terkirim dalam waktu kurang dari tiga menit. “Itu service level yang kami berikan di sini. Itu merupakan angka statistik yang kita deliver sekarang. Memang tidak 100 persen terkirim dalam waktu cepat ke lokasi pemesanan, karena jarak yang cukup jauh ke lokasi atau kondisi jalan yang macet. Namun, kita selalu berusaha membuat customer nyaman,” kata Sigit lagi.

Dalam hal komplain, Sigit mengutarakan bahwa di Blue Bird Group ada CRC (customer response center) yang bertugas untuk menerima keluhan dari pelanggan, yang kemudian dilakukan follow-up balik terhadap mereka. CRC ini juga berfungsi ke dalam, dengan memproses intern persoalan ini. Misalnya, taksi terlambat karena pengemudinya tidak tahu jalan.

Menyangkut SDM, di call center terdapat total 120 orang yang menangani area Jabodetabek. Mereka terbagi dalam tiga shift dan melayani sekitar 22 ribu panggilan per hari. “Masih kecil dibanding kelas seluler. Tapi, kalau bicara industri transportasi, itu angka yang cukup tinggi,” kata Sigit. Ditambahkannya pula bahwa setiap karyawan baru di call center minimal adalah lulusan D3. Mereka akan dites suara dan bahasa Inggris, serta psikotes terhadap emosi.

Untuk meminimalisasi tingkat turn over, pemberian bonus acapkali dilakukan bagi setiap karyawan call center yang memiliki performa baik. Selain itu, ada juga jenjang karier bagi mereka yang berprestasi bagus, misalnya menjadi supervisor atau menjadi karyawan tetap. Bahkan di perusahaan Blue Bird Group ini, untuk perubahan suasana kerja, bisa saja orang-orang call center dipindah ke bagian lain, semisal bagian manajemen, atau keuangan, sesuai latar belakang keterampilan atau pendidikan mereka. “Makanya, kita selalu melakukan monitoring. Istilahnya di sini ada buku raport karyawan,” papar Sigit lagi.

Adapun yang menjadi tantangan ke depan bagi call center Blue Bird Group adalah sisi delivery-nya. Maklum saja, di Jakarta, faktor kemacetan dirasa cukup menyulitkan. “Tantangan terberatnya adalah bisa mengirimkan taksi sesuai dengan waktu yang paling cepat yang diharapkan oleh konsumen,” ucap Sigit dengan tegas. (Harry Tanoso/Majalah MARKETING)


Halo BCA: Membuat Tim Call Center yang Tangguh

3
[Reading Time Estimation: 4 minutes]
DSC_0120web
Emmanuelle Nathalya Wani Sabu, Kepala Biro Halo BCA

Halo BCA tidak hanya ngotot dalam hal teknologi. Dalam soal pengembangan SDM pun mereka tidak main-main. Membuat cheerleaders sampai menghantar tim ke Las Vegas?

Sekarang ini, call center menjadi unit vital bagi perusahaan. Kanal ini tidak lagi dianggap sebagai unit sampingan. Mengingat perannya yang cukup besar sebagai jembatan komunikasi antara korporat dan pelanggan. Call center pun berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan pasar dan teknologi. Salah satu call center yang tampaknya terus bersolek adalah Halo BCA—call center milik BCA.

Perkembangan Halo BCA—baik dari sisi teknologi maupun servisnya—merupakan terjemahan konkret visi BCA yang menempatkan Halo BCA sebagai corong suara para nasabah (voice of customer). Halo BCA tidak hanya menjadi sumber informasi bagi para nasabah. Tapi, memungkinkan manajemen BCA mengetahui apa saja kebutuhan mereka.

Halo BCA menjadi bagian dari sistem CRM (customer relationship management) yang sedang dikembangkan BCA. CRM memungkinkan BCA mampu mengenal siapa nasabahnya secara keseluruhan. Dengan begitu, BCA bisa memberikan layanan yang tepat sasaran dan sesuai kebutuhan nasabah. “Kami terus berinovasi di CRM secara kontinu. Tahun ini, kami mengembangkan teknologi chatting mengingat animo masyarakat mengakses internet sangat besar,” kata Emmanuelle Nathalya Wani Sabu, Kepala Biro Halo BCA.

Kesuksesan Halo BCA, menurut Wani, didukung oleh beberapa faktor. Salah satunya, para awak call center atau customer cervice officer (CSO) yang memilik jiwa melayani. Termasuk dukungan sistem prosedur dan teknologi yang membuat call center mudah diakses dan penyelesaian keluhan berjalan cepat dan akurat. “Dukungan dari manajemen juga sangat menentukan,” cetus Wani.

Sebagai garda depan salah satu bank terbesar di Indonesia tersebut, manajemen tak tanggung-tanggung menaruh investasi di sana. Sekitar 30 persen dari total bujet Halo BCA digelontorkan untuk pembaruan teknologi. Halo BCA menyediakan servis SMS untuk aktivasi kartu. Sistem jawab mesin (IVR—interactive voice response), misalnya, diperbarui agar tak berbelit-belit. Mesin hanya untuk pengantar. Selebihnya ditangani CSO langsung. “Sejak tahun 2009, kami meniadakan IVR. Mengingat karakter orang Indonesia yang tidak suka bicara dengan mesin. Konsekuensinya, kami harus menambah tenaga CSO,” katanya.

Halo BCA sekarang lebih proaktif menelepon pelanggannya. “Sekarang kami ingin menerjemahkan moto korporat ‘enhance relationship and quality growth’. Halo BCA dijadikan media silaturahmi dengan nasabah,” katanya.

Selain teknologi, manajemen BCA sangat memperhatikan faktor orang dan kenyamanan bekerja bagi awak Halo BCA. Halo BCA mempunyai dua tempat operasional—di Wisma Asia 2, Slipi, Jakarta Barat dan Teras Kota, Serpong, Tangerang. Keduanya mengusung kenyamanan kerja.

Selain itu, para CSO dimanjakan oleh ruang makan dan istirahat dengan lanskap hijau di balik dinding kaca. Mereka pun difasilitasi ruang pemulihan yang sarat sarana hiburan, dari televisi, alat musik, sampai ruang dancing. Halo BCA juga mempunyai kegiatan ekstra, seperti paduan suara Voice of Halo, pemandu sorak, grup band, dan olah raga seperti futsal, boling, senam, maupun basket. Mereka tergabung pula dalam grup situs jejaring sosial Facebook dengan bendera Sahabat Halo. Grup ini terbatas untuk mereka yang pernah dan sedang menjadi CSO Halo BCA.

Semua itu disediakan BCA mengingat pentingnya kinerja para “manusia call center” tersebut. Pekerjaan mereka termasuk profesi yang mempunyai tingkat stres cukup tinggi. Total  personel Halo BCA ada sekitar 500 orang—terdiri dari CSO, quality assurance, customer care, dan system support. Mereka bekerja dalam delapan shift. Sembari menepis pandangan keliru, tandas Wani Sabu, mereka bukanlah orang-orang buangan. Sebaliknya, mereka merupakan orang-orang pilihan.

Proses rekrutmennya pun cukup ketat. Batas umur maksimal 30 tahun, tidak menikah selama menjadi CSO, pendidikan rata-rata S1 (minimal D3), IPK minimal 3, tidak berdialek, berbahasa Inggris aktif, dan melek teknologi. “Lebih penting dari itu semua, mereka harus mempunyai jiwa melayani. Halo BCA juga menggelar pelatihan membangun kultur melayani ini. Tak ketinggalan pelatihan tentang pengetahuan produk maupun aplikasi komputer. Total lama pelatihan lima minggu. Mereka harus lulus ujian dengan nilai minimal 70,” katanya.

Halo BCA memiliki satu hotline dengan nomor 500888 yang bisa diakses dari seluruh wilayah nusantara dengan biaya lokal. Selain itu, Halo BCA menyediakan media komunikasi melalui surat elektronik, meski animonya tak sebesar telepon. Topik percakapan di balik enam digit tersebut, antara lain seputar layanan informasi yang dibutuhkan nasabah sebesar 50 persen. Ada juga layanan permintaan nasabah untuk kartu kredit, kenaikan limit, perubahan data, maupun penutupan kartu kredit sebesar 40 persen. Sisanya, 10 persen, terkait dengan penanganan komplain—baik problem perbankan maupun kartu kredit. Biasanya, rata-rata lama pembicaraan dengan penelepon sekitar empat menit per panggilan.

Saat ini, jumlah panggilan per harinya sekitar 40 ribu. Rata-rata abandon call-nya sebesar lima persen. Halo BCA beroperasi selama 24 jam sehari nonstop dalam tujuh hari seminggu. Komplain nasabah yang masuk ke Halo BCA akan tercatat dalam sistem. Lalu nasabah akan diberi nomer keluhan. Keluhan akan dicatat oleh CSO seturut kategori dan sesegera mungkin diselesaikan oleh tim back office yang didukung teknologi online. Seluruh proses penyelesaian tersistematisasi dan sudah paperless.

“Kami siap sedia kapan pun bagi pelanggan. Dua tempat Halo BCA dibangun salah satunya agar kami tetap mampu melayani nasabah bila satu di antaranya mengalami gangguan. Pengalaman konkretnya ketika Jakarta banjir atau gempa dan menganggu kinerja Halo BCA, kami masih bisa melayani dari tempat lain,” kata Wani Sabu.

Debut Halo BCA pun kian bersinar—baik di ajang kompetisi domestik maupun internasional. Pada tahun 2009, Halo BCA meraih 45 penghargaan dari Indonesia sampai Las Vegas. Pada tahun ini, Halo BCA kembali mewakili Indonesia dalam Contact Center World Award. Babak Asia Pasifik akan digelar di Australia pada Juni mendatang. Babak final diadakan pada November 2010 di Las vegas. “Yang terpenting bagi kami bukanlah piala-piala tersebut, tetapi kepuasan nasabah kami,” katanya.

Ke depannya, Halo BCA mengembangkan efektivitas dan efisiensi call center yang mendukung semakin eratnya relasi BCA dengan nasabahnya. Termasuk memusatkan seluruh urusan cabang ke call center. “Halo BCA tak lagi pasif menerima telepon dari nasabah. Kami akan aktif menelepon mereka untuk membangun dan mempererat relasi,” tandas Wani Sabu. (Sigit Kurniawan/Majalah MARKETING)

AstraWorld: Memberi Dukungan pada IMC

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

DSC_0030webAstraWorld didesain untuk menjadi call center bagi merek-merek kendaraan roda empat di bawah naungan Astra. Bisa dibayangkan betapa rumitnya pengelolaan call center di AstraWorld!

AstraWorld memandang contact center sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari semua lini perusahaan. Terlebih, AstraWorld adalah perusahaan jasa purnajual bagi semua merek yang bernaung di bawah Astra International. Lebih spesifik lagi, bagi merek-merek kendaraan roda empat yang dibeli dari jaringan Astra. Antara lain, Toyota, Daihatsu Izusu, BMW, dan Peugeot.

Sehingga, sejak berdiri pada 2 Februari 2002, call center AstraWorld terus mengalami peningkatan dan perbaikan. Mulai dari penambahan media interaksi, sumber daya, hingga teknologi yang digunakan.

“Investasi terbesar tentu saja ada di awal pendirian. Namun begitu, bukan berarti setelah itu kami tidak melakukan investasi. Setiap tahun, kami selalu melakukan penyempurnaan tool. Di samping itu, investasi besar juga ada di people, sebab tiap tahun selalu dilakukan upgrading supaya tersedia tenaga contact center yang memenuhi standar perusahaan,” kata Djoko Prabowo, Head of Customer Relationship Management AstraWorld.

Setiap tahun, dalam peningkatan kualitas contact center AstraWorld,  labour cost menyita 75 persen dari total dana yang dianggarkan. Memang, SDM merupakan salah satu instrumen penting dalam contact center. Dari tahun 2008 ke 2010, jumlah agen AstraWorld meningkat 100 persen. Tahun 2008 jumlahnya ada 40 orang, sekarang ini sudah mencapai 80 orang. Termasuk di antaranya tenaga emergency roadside assistance (ERA).

ERA merupakan layanan teknis mekanis melalui telepon yang diberikan AstraWorld bagi pelanggan yang mengalami masalah mesin. Melalui telepon, pelanggan akan diberi panduan semaksimal mungkin. Namun, bila tidak bisa terselesaikan akan dikirim tim teknis lapangan.

AstraWorld sedikit demi sedikit juga sudah mulai mengarah menjadi profit center. Selain menerima panggilan atau inbound, mereka juga melakukan outbound atau telepon keluar. Arahnya sudah menuju sales, survei, dan memberikan ucapan selamat pada pelanggan AstraWorld. “Namun, kami tidak melakukan penjualan, hanya mendukung aktivitas sales tersebut. Misalnya, ada pelanggan yang bertanya mengenai produk tertentu, kami akan arahkan untuk bertemu dengan sales officer,” jelas Djoko. Poinnya untuk memberi nilai tambah. Baik bagi pelanggan juga untuk Astra International.

Di samping itu, contact center AstraWorld juga sudah mendukung integrated marketing communication dalam batas tertentu. Setidaknya, melalui layanan ini bisa diberikan informasi mengenai sales campaign. “Tapi, dalam hal planning IMC belum sampai melibatkan AstraWorld. Namun, kami biasa diminta memberikan masukan mengenai consumer need, karena kami sering melakukan survei,” tambah Djoko.

Untuk pengembangan teknologi, sejak tahun 2006, AstraWorld mengunakan MY SAP CRM. Rencananya, dalam waktu dekat ini AstraWorld akan melakukan digitalisasi teknologi PABX. Kemudian, dilakukan integrasi antara MY SAP CRM dengan PABX. “Kami berusaha mengaktifkan sistem-sistem yang bisa dilakukan oleh teknologi tersebut tanpa campur tangan agen,” tambah Novie Marlika, E-Channel Management Head.

Perubahan juga terjadi pada nomor yang digunakan. Sejak Maret 2008, AstraWorld menggunakan nomor 500898 untuk fixed line dan 89898 via ponsel. Setiap hari rata-rata jumlah call di AstraWorld sekitar 1.500. Rata-rata pembicaraan sekitar tiga menit. Dengan jumlah abandon call sekitar 3 persen, di saat liburan biasanya terjadi kenaikan yang cukup signifikan. Di luar itu, ada incoming short message service (SMS) hingga 300 SMS.

Selain itu, AstraWorld juga sudah menggunakan jejaring sosial dalam berinteraksi dengan pelanggan. Sejak tahun 2009 lalu, mereka sudah memiliki account di Facebook. Jumlah anggotanya sekarang ini sudah mencapai 7.500 orang. Kemudian, ada juga e-mail untuk media interaksi.

Di atas disebut agen contact center AstraWorld berjumlah 80 orang. Dari jumlah tersebut, mereka dibagi untuk menangani inbound—sejumlah 30 orang— dan melakukan outbound—50 orang. “Jumlah agen di outbound memang kami porsikan lebih banyak untuk semakin memberi nilai tambah,” jelas Novie. Para agen ini dibagi dalam tiga shift per harinya dan semua layanan contact center beroperasi 24 jam.

AstraWorld membagi tiga spesifikasi dalam menentukan agennya. Untuk inbound yang menangani keluhan, info, dan request minimal lulusan D3 dari berbagai jurusan. Persyaratan lebih khusus ditujukan untuk agen service advisor ERA, yaitu harus memiliki technical knowledge yang mumpuni. Karena ketika ada orang minta petunjuk, agen harus bisa menuntun dengan benar. Untuk agen jenis ini, AstraWorld tidak pernah merekrut dari luar lingkungan Astra.

Kebanyakan dari mereka dulunya adalah orang teknik di lapangan. Tingkat pendidikannya setara dengan SMU kejuruan, namun sudah mendapat pendidikan mekanik oleh Astra dan minimal menjadi mekanik tingkat I. Ditambah lagi, setelah minimal menjadi mekanik lapangan selama kurang lebih lima tahun, mereka baru berkesempatan menjadi agen di contact center.

Agen yang digunakan di contact center AstraWorld kebanyakan tenaga outsource. Hanya yang di bagian service advisor ERA yang merupakan karyawan tetap. Sebab, kemampuan para service advisor ERA ini tidak bisa diberikan oleh para supplier agen contact center.

Tingkat stres di contact center yang menjadi salah satu pertimbangan mengapa AstraWorld memilih outsource. Bila menggunakan tenaga outsource, diharapkan semangat para agen selalu tinggi. Saat ini, tingkat turn over agen di AstraWorld mencapai 5 persen. (Ign. Eko Adiwaluyo/Majalah MARKETING)

Call Center ACC: Mendukung IMC

1
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Call Center ACC
Call Center ACC

Dengan program Service to Sales, call center ACC semakin berorientasi kepada penjualan. Cukup dengan tujuh agen saja, melayani sampai 400 call per hari.

Tak diragukan lagi, call center memegang peranan penting bagi setiap perusahaan, terutama perusahaan yang sangat mementingkan hubungannya dengan konsumen. Sebagai salah satu perusahaan pembiayaan kendaraan roda empat, Astra Credit Company (ACC) tentunya juga menempatkan hubungannya dengan konsumen sebagai posisi yang paling penting. Maka, tak heran apabila ACC mempunyai fasilitas dan layanan call center yang mumpuni.

ACC memberikan perhatian yang besar terhadap call center, karena layanan ini merupakan bentuk pengejawantahan dari salah satu value ACC, yaitu customer satisfaction. ACC membangun layanan call center sebagai media komunikasi dengan customer. Melalui call center, customer dapat dengan cepat mendapatkan layanan informasi, selain juga mendapatkan feedback terhadap layanan yang sudah diberikan selama ini. Feedback ini menjadi salah satu cara untuk melakukan perbaikan layanan secara terus-menerus.

Djony Bunarto Tjondro, President Director PT Astra Sedaya Finance, mengatakan bahwa eksistensi call center sangat bermanfaat bagi ACC. Selain memberikan layanan informasi kepada konsumen, call center pun mampu meningkatkan kerja sales. Secara tak langsung, kinerja dapat ditingkatkan setelah perusahaan leasing ini mendapatkan voice of customer (VOC) yang berguna untuk melakukan peningkatan terhadap proses kerja dan standar pelayanan. Sedangkan secara langsung, call center juga berfungsi sebagai kanal untuk penjualan melalui program service to sales (S2S).

ACC terus mengembangkan layanan call center secara optimal, seperti menyinergikan teknologi dan SDM. Menurut Djony, penggunaan teknologi ditujukan untuk efisiensi proses kerja. Sedangkan penekanan pada aspek SDM lebih bertujuan pada kualitas dari layanan yang diberikan. Tak hanya itu, Djony juga menambahkan, “Teknologi dan SDM berfungsi sebagai pendukung agar Call Center ACC dikembangkan tidak hanya sebagai service center, namun juga menjadi profit center dengan memaksimalkan dan meningkatkan program S2S.”

Dalam perkembangannya, ACC ingin call center ini bisa menjadi salah satu media komunikasi yang mendukung integrated marketing communication (IMC). Karena sampai saat ini, call center menjadi momen nyata bagi interaksi antara ACC dengan customer. ”Proses dan pelayanan yang dilakukan oleh teleservice officer menjadi perwujudan nyata dari tagline ACC ’memberi kemudahan’ bagi customer,” ungkap Djony.

Selama membangun call center-nya, ACC menghabiskan investasi sebesar kurang lebih Rp 3,5 miliar. Untuk menangani investasi sebesar itu, sampai saat ini ACC melakukan pengelolaan sendiri call center-nya. Dengan mengelola sendiri, ACC bisa melakukan penyesuaian terhadap  bentuk call center yang diharapkan. Selain itu, melalui penanganan sendiri akan lebih mudah bagi call center untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

Berbicara mengenai teknologi, ACC membangun call center system berbasis web yang dinamakan CRS (customer response system). Sistem ini berfungsi untuk membantu proses efisiensi layanan kepada konsumen. Dengan adanya CRS, semua telepon dari konsumen akan mendapatkan respons dengan baik. Selain itu, ACC juga menggunakan teknologi VOIP, IVR (interactive voice response), Voice Logger, dan Fax On Demand. Semua teknologi ini diimplementasikan oleh ACC untuk mengembangkan layanan call center-nya.

Tak hanya teknologi, para karyawan call center pun harus mempunyai keterampilan khusus dan terlatih. Untuk bekerja di call center ACC, seseorang harus bisa memenuhi beberapa syarat khusus, antara lain adalah harus memiliki interpersonal skill baik, comunication skill, dan helpfull. ACC sendiri juga memberikan training kepada para calon karyawan dalam bentuk  Voice That Care dan Personality Plus.

Djony mengatakan bahwa saat ini ACC mempunyai tujuh teleservice officer dengan satu koordinator. Tidak ada pembagian shift, semua bertugas sesuai jam kerja normal. Untuk hari Senin sampai Jumat, teleservice officer bertugas pada pukul 08:00–16:00. Sedangkan untuk hari Sabtu, layanan ini hanya beroperasi dari pukul 08:00–13:00. Dari hasil analisis, masih belum diperlukan shifting petugas teleservice officer karena panggilan dapat dilayani oleh layanan mesin IVR. “Layanan mesin IVR beroperasi selama 24 jam sehari; tujuh hari seminggu,” tutur Djony.

Apabila customer mengajukan komplain terhadap ACC, ada penanganan yang dilakukan dengan konsep “one stop service”. Dengan konsep ini, setiap komplain akan dijawab oleh teleservice officer sampai mereka mendapatkan solusi yang memuaskan. Tetapi, bila permasalahan di luar wewenang teleservice officer, maka permasalahan customer ini akan ditangani oleh petugas dengan jenjang yang lebih tinggi, atau pihak yang lebih kompeten.

Djony juga menambahkan ada banyak kendala yang dihadapi oleh ACC selama membangun layanan call center. Salah satu kendala dalam mengelola call center adalah menjaga konsistensi kualitas layanan agar tetap prima. Dari sisi teknik, tantangannya adalah mengatur kapasitas yang sesuai dengan prediksi call in yang diterima. Karena, biasanya terjadi fluktuasi jumlah call in pada saat-saat tertentu. Sedangkan dari sisi people, tantangan terbesar adalah menjaga konsistensi standar layanan dari seluruh teleservice officer di setiap waktu.

Di tahun 2010 ini, call center ACC akan lebih fokus pada peningkatan kualitas pelayanan dan customer satisfaction index, serta peningkatan program S2S. Sampai saat ini, rata-rata incoming call per hari sekitar 350-400 telepon, dan abandon call berkisar 3,5 persen. Untuk ke depan, ACC berusaha lebih berorientasi pada pelanggan dan bisa mengakomodasi semua telepon yang masuk. (Leonardus Meta Noven/Majalah MARKETING)

Merakyatkan Merek

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Tanpa sengaja, awal April lalu saya bertemu dengan begawan jamu, Irwan Hidayat, di ruang tunggu bandara Soekarno-Hatta. Ternyata saya satu pesawat Garuda Indonesia dengannya menuju Surabaya. Dalam masa kurang lebih satu jam menunggu take off, beliau bercerita panjang lebar mengenai filosofis bisnis dan pandangan hidupnya.

Betul, Irwan tidak omong kosong. Perusahaannya telah menyabet beberapa gelar—dua di antaranya Top Brand Award dan Indonesia’s Most Admired Companies (IMAC). Ini jelas bukan permainan yang bisa diatur skornya seperti pertandingan sepak bola (kadang-kadang) atau klaim yang dibuat sesukanya. Ini adalah pengakuan penting bahwa produk-produk yang dipasarkan Sido Muncul paling diakui oleh para konsumen.

Dan tentu itu bukan pujian yang dilontarkan Irwan sendiri. Sosok yang sederhana dan rendah hati tersebut tidak mungkin melakukan hal yang tak berharga seperti itu. Yang dilakukan Irwan ialah mengubah citra jamu yang dulunya dianggap kuno, ndeso, kampungan, menjadi minuman obat modern pilihan banyak orang. Ia pun membalikkan anggapan jamu yang pahit menjadi manis dan disukai banyak orang.

Sebagai contoh, Anda jelas tahu slogan “Orang pintar minum Tolak Angin”. Kalau mendengar slogan itu, pikiran Anda pasti langsung tertuju pada obat herbal kemasan cair yang rasanya manis agak semriwing (mint). Untuk memasyarakatkan slogan tersebut, Irwan menggandeng artis dan tokoh terkenal seperti grup band Dewa, Sophia Latjuba, Renald Khasali, Lula Kamal, Ikang Fauzy, dan lain sebagainya sebagai endorser.

Kepiawaian Irwan juga ditunjukkan ketika produk baru Kuku Bima Ener-G diluncurkan. Minuman yang merupakan turunan dari merek jamu kuat Kuku Bima itu diposisikan sebagai suplemen energi. Dalam mengomunikasikan produk tersebut, Irwan tergolong berani karena menggandeng endorser iklan yang bisa dikatakan tidak dikenal sama sekali sebelumnya. Mbah Marijan, misalnya, digandeng hanya sesaat setelah Gunung Merapi meletus. Juru kunci gunung api di Jawa Tengah itu dipilih lantaran ia menolak turut mengungsi ketika Gunung Merapi hendak meletus.

Dalam benak Irwan, tokoh seperti itulah yang pas dijadikan ikon Kuku Bima Ener-G, karena Mbah Marijan mencerminkan kekuatan. Karena itu, “Rosa! Rosa!” menjadi slogan yang lucu dan menggemaskan, namun tetap menunjukkan citra yang diinginkan. Minuman suplemen bertarget pasar kelas menengah bawah yang dipadupadankan dengan kekuatan Mbah Marijan, yang notabene adalah panutan masyarakat setempat, amat tepat.

Kasus Sido Muncul memberikan gambaran bagaimana membangun brand strength melalui brand relevance (relevansi merek) dan brand resonance (resonansi merek). Kedua komponen tersebut sangat penting dalam pembangunan merek. Membangun merek harus “relevan”, berarti harus sesuai dengan kebutuhan, keinginan, dan ekspektasi konsumen, serta mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi di pasar, terutama memahami perubahan perilaku membeli dari pelanggan. Agensi periklanan Young and Rubican (Y&R) mengembangkan suatu model ekuitas merek yang terkenal dengan nama brand asset valuator (BAV). Mereka meriset sekitar 200 ribu konsumen di 40 negara, dan satu dari empat pilar komponen kunci ekuitas merek adalah relevance. Pengukuran relevansi merek dilakukan untuk mengetahui seberapa luas daya tarik sebuah merek.

Konsultan riset pemasaran Millward Brown dan WPP telah menyusun model kekuatan merek BRANDZ. Dalam model BRANDZ tersebut, pengukuran relevansi merek lebih menitikberatkan kepada  seberapa berarti tawaran perusahaan bagi konsumen. Dalam hal relevansi merek, Sido Muncul selalu berusaha memperluas mereknya, dan tawarannya selalu berhasil membuat konsumen membeli. Kita bisa lihat perluasan aneka ragam rasa dari Kuku Bima Ener-G, atau misalnya memperluas merek Tolak Angin sehingga kita mengenal adanya Tolak Angin Flu, Batuk, dan Tolak Angin untuk anak-anak. Bahkan sampai merambah ke industri permen. Penggunaan endorser yang sangat merakyat juga merupakan salah satu kelihaian mereka yang tidak sempat dipikirkan oleh lawan-lawannya. Pandangan hidupnya seperti membela yang lemah dan dalam hidup harus selalu mencari keseimbangan diterjemahkan dalam langkah bisnsinya.

Komponen kedua dalam pembangunan merek yang harus diperhatikan adalah brand resonance (resonansi merek). Kotler mengatakan bahwa resonansi merek biasanya selalu dimulai dengan melakukan identifikasi merek terhadap pelanggan dan asosiasi merek dalam benak konsumen. Kemudian membangun kokoh arti totalitas merek ke dalam pikiran pelanggan dengan strategi mengaitkan banyak asosiasi merek berwujud dan tak berwujud, serta melihat respons konsumen dan menciptakan loyalitas yang kuat dengan pelanggan. Intinya, harus ada penekanan pada dualisme merek, yaitu menyusun rute rasional dan rute emosional. Lihat saja strategi komunikasi yang dikembangkan oleh Sido Muncul, selalu berasakan pada penyusunan rute emosional dan rute rasional.

Pesan iklannya sangat rasional dan jelas, tetapi kita selalu merasakan adanya emosi pada janji merek mereka. Program-programnya selalu didasarkan pada program merakyat yang selalu membuat ikatan emosional terbentuk. Pelanggan selalu merasa “sejalan” dengan merek-merek Sido Muncul, seperti Tolak Angin dan Kuku Bima Ener-G.

Menerjemahkan sejarah keberhasilan Sido Muncul lewat model relevansi merek dan resonansi merek hanya salah satu contoh keberhasilan dari perusahaan yang menjalankan program merakyatkan merek. Setidaknya, Irwan telah berhasil mengusung merek dengan melibatkan masyarakat luas yang menjadi target marketnya. Ingat, nama tanpa gagasan, sekalipun diguyur oleh bermiliar-miliar nilai iklan, bukanlah sebuah merek. Ia hanya nama dan nama tanpa pesan. Jadi, cobalah merakyatkan merek Anda”, maka kesuksesan pasti datang. (Majalah MARKETING)