Sunday, September 14, 2025
Home Blog Page 2179

Iseng

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Gayus memang tergolong terdakwa yang “bandel”. Ketika dirinya akan dicari-cari aparat, dia justru lari ke Singapura. Ketika sudah menjadi tahanan Rutan, kebiasaan menyuap tidak ditinggalkannya. Bahkan membuat dirinya bisa berjalan-jalan ke Bali, sekalipun statusnya masih menjadi tahanan.

Kenakalan Gayus ini akhirnya juga membuahkan keisengan bagi banyak orang. Kalau ada orang yang paling banyak diolok-olok di BB Group akhir-akhir ini, barangkali Gayus Tambunan menempati urutan teratas. Ketika kasus Gayus mulai terungkap, saat itu pula muncul SMS dan BBM dengan  berbagai pesan, seperti: “Selamat, Anda memenangkan hadiah Rp 1 miliar…tertanda Gayus”. Atau, pesan seperti SMS banking: “Transfer sukses Rp 2 miliar dari nomor rekening Gayus”.

Keisengan orang juga tak berhenti selama Gayus selalu menjadi newsmaker. Ketika muncul fakta baru: Gayus yang seharusnya ada di tahanan bisa jalan-jalan ke Bali. Gambar dirinya yang sedang menonton pertandingan tenis pun beredar luas. Tidak hanya foto asli, tetapi juga foto-foto yang sudah dimodifikasi, termasuk foto Gayus dengan berbagai tipe wig (rambut palsu). Foto-foto ini untuk mengomentari penampilan Gayus yang terlihat lucu dengan wig belah tengahnya!

Jahil sering menjadi kebiasaan yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia. Setiap kali ada berita-berita yang sedang hangat, biasanya fotonya langsung beredar luas. Tidak sekadar foto asli, tetapi foto yang sudah dimodifikasi atau ditambah bermacam komentar.

Biasanya, buah dari keisengan ini adalah munculnya keinginan untuk selalu melanggar aturan. Misalnya, merokok di area dilarang merokok, memacu sepeda motor di jalan saat lampu merah lalu lintas masih menyala, dan termasuk juga upaya menyuap petugas seperti dilakukan oleh Gayus Tambunan.

Dalam teori perilaku konsumen, model semacam ini merupakan bentuk dari dysfunctional customer bahavior. Perilaku konsumen yang tidak pada tempatnya ini umumnya memang menyulitkan bagi para service porvider. Mereka ini diistilahkan sebagai jaycustomers. Istilah ini diambil dari kata “jaywalker”, penyeberang jalan yang suka menyeberang tidak pada tempatnya. Perilaku jaycustomers ini membuat para frontliner merasa tidak nyaman sehingga terkadang mengganggu jalannya kegiatan operasional.

Salah satu tipe jaycustomers ini adalah the rulebreaker. Ini mungkin cocok dengan tipikal beberapa konsumen Indonesia. Mereka suka menerobos antrean, tidak tertib, merokok di tempat dilarang merokok, dan lain-lain. Ada juga tipe the belligerent. Ini adalah tipe orang yang suka adu mulut dan mudah cekcok dengan customer service. Kalau pesawat Anda tiba-tiba di-delay dan ada orang yang komplain dengan suara keras dan cenderung memprovokasi, dia adalah tipe belligerent!

Orang tipe begini, melihat sesuatu hal sebagai ketidakberesan. Mereka selalu saja mencari perkara dan mudah berargumentasi kepada frontliners. Tipe lain adalah Family Feuders yang tidak malu untuk beradu mulut dengan pelanggan lain atau keluarganya di depan pelanggan lain.

Yang parah adalah pelanggan yang vandalism. Keisengan mereka adalah merusak barang-barang yang ada atau mencoret-coret dinding dan barang yang ada. Juga ada tipe thief. Keisengan mereka adalah mencuri-curi sesuatu. Biasanya di hotel, sering ada tamu yang suka mencuri handuk dari kamar hotel atau mengambil barang yang seharusnya tidak boleh dibawa pulang. Barang-barang itu dikumpulkan untuk dikoleksi di rumah. Biasanya konsumen model begini bangga mengoleksi barang-barang curian dari hotel di kamar rumahnya.

“Tukang ngemplang” juga menjadi salah satu tipe jaycustomers. Ini tipe pelanggan yang senang membayar telat dan juga tidak mau bayar. Biasanya, alasannya macam-macam dan menyalahkan pihak service provider agar tidak membayar.

Dysfunctional customer behavior semacam ini bisa membuat mood dari frontliners menjadi tidak baik. Mereka bisa tersinggung dan marah kepada pelanggan. Menghadapi hal ini, terkadang jangan melakukan tindakan langsung di tempat. Biasanya kelompok konsumen macam ini akan mencari-cari keributan sehingga pelanggan lain terganggu. Bahkan bisa membuat pelanggan lain justru bersikap negatif terhadap Anda dibanding kepada mereka.

Yang paling baik tentunya adalah tindakan preventif. Memberi tulisan yang jelas, menjaga antrean dengan baik, memonitor kamar sebelum pelanggan keluar kamar hotel, sampai meminta pembayaran di depan atau menggunakan credit card supaya lebih aman. Biasanya, sistem kitalah yang tidak terbangun dengan baik sehingga tindakan preventif tidak bisa dilakukan.

Termasuk dalam kasus Gayus, sistem yang bisa mencegah terjadinya praktik mafia pajak tidak berjalan. Akibatnya tindakan diberikan pada saat sudah terjadi tindak kriminal. Makanya, seorang jaycustomers seperti Gayus masih bisa berbuat iseng. Buktinya, dia masih bisa iseng-iseng jalan-jalan ke Bali dari rumah tahanan! (Majalah MARKETING)

Twitter memiliki 100 juta pengguna baru di penghujung tahu 2010

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Ford Aussie Rilis Sketsa Territort Generasi II

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Jazz Masih Menjadi Produk Honda Terlaris

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

E-Mobile, Mobil Hybrid Pertama Produksi Rusia

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Ciputra Property Incar Lahan 1 Hektar di Kawasan TB Simatupang

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Honda Tampilkan Sketsa Civic 2012 Lebih Ramping

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Rem Tak Beres, Toyota Tarik Ratusan Ribu Unit Sienna

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Cukupkah Jumlah Tim Marketing Saya?

0
[Reading Time Estimation: 5 minutes]

neracawebDengan posisi Anda sebagai manajer, GM, direktur pemasaran, atau CMO, salah satu permintaan yang sering kita dapatkan dari anak buah adalah berhubungan dengan penambahan jumlah tenaga pemasaran atau penjualan. Kepala cabang beralasan bahwa salah satu kesulitan yang dihadapi untuk menaikkan penjualan adalah karena kurangnya tenaga penjual. Bagian promosi menetapkan bahwa aktivitas promosi seperti below the line, tidak banyak dapat dilakukan karena jumlah tim yang tidak memadai. Jadi, kekurangan jumlah tenaga pemasaran dan penjualan seringkali menjadi alasan terbaik kalau angka-angka penjualan tidak menggembirakan.

Lantas, sebagai pimpinan, apa yang menjadi respons Anda? Well, yang paling sering dikatakan—saya duga—adalah, “…coba tim yang sudah ada, perlu dimaksimalkan. Mereka harus bekerja lebih produktif,” atau “…manajemen sudah memutuskan untuk tidak merekrut karyawan baru,” atau juga, “ehm…, coba dihitung berapa kebutuhan tenaga baru. Pokoknya, selama masih bisa meningkatkan penjualan, silakan saja untuk menambah tenaga baru.” Untuk respons yang ketiga ini, manajemen seringkali juga tidak memberikan petunjuk yang lebih jelas.

Lalu, apakah ada konsep atau petunjuk bagi manajemen untuk membuat keputusan mengenai hal ini? Tentu saja! Berbagai aspek kualitatif atau kuantitatif dapat kita gunakan untuk membantu membuat keputusan. Mempunyai jumlah tenaga pemasar dan penjualan yang terlalu sedikit, berarti perusahaan telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penjualan. Kehilangan kesempatan ini, bila kemudian diakumulasikan dalam jangka panjang, bisa membuat kerugian yang lebih besar. Perusahaan menjadi lebih sulit bertumbuh; perusahaan harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk merebut 1 persen pangsa pasar di kemudian hari; atau perusahaan harus mengeluarkan biaya yang lebih besar lagi di tahun-tahun mendatang untuk menciptakan loyalitas dan ekuitas merek yang kuat. Perusahaan juga tidak mampu meluncurkan produk atau bisnis baru yang lebih baik dan lebih cepat. Maklum, semua tim yang bekerja, sudah memiliki beban yang besar untuk mengerjakan hal-hal yang rutin.

Kelebihan tenaga pemasar dan penjual tentunya menjadi beban biaya yang langsung mengurangi keuntungan perusahaan. Kelebihan tenaga kerja ini juga membuat produktivitas tim lain menjadi lebih rendah dan mengakibatkan budaya kerja yang tidak produktif. Jadi, dari dua kondisi ekstrim ini, perusahaan pastilah ada pada posisi yang tidak optimal.

Tes Kecukupan

Ada beberapa tes yang dapat digunakan perusahaan untuk melihat jumlah tenaga pemasaran dan penjualan yang optimal. Tes pertama yang paling gampang disebut dengan customer test. Mari kita bayangkan untuk semua perusahaan distributor consumer goods yang biasanya memiliki tim tenaga penjual yang relatif besar. Mereka melayani banyak outlet atau toko-toko ritel di seluruh Indonesia.

Kalau kita memiliki tenaga penjualan yang kurang, maka komentar banyak pelanggan kita adalah keluhan bahwa tenaga penjual atau salesman kita sulit diakses. Salesman dipersepsi memberikan perhatian yang kurang dan pelanggan cenderung jarang mendapatkan info dari salesman karena kesibukan mereka yang sangat tinggi. Di sisi lain, apabila perusahaan kita memiliki terlalu banyak tenaga penjualan, maka banyak pelanggan akan cenderung menghindar untuk bertemu. Pelanggan merasa bahwa mereka terlalu banyak berhubungan dengan tenaga penjual kita. Nah, dari kondisi ini, Anda bisa melakukan observasi, manakah yang paling sering dikemukakan oleh para pelanggan Anda.

Tes yang kedua berhubungan dengan motivasi. Biasanya, bila jumlah tenaga penjualan terlalu sedikit, pekerjaan menjadi sangat banyak dan mereka harus bekerja ekstra waktu. Maka, motivasi mereka akan turun. Mereka merasa bahwa tugas yang dibebankan kepada mereka sudah terlalu banyak. Demikian juga, bila jumlah tenaga penjualan terlalu banyak, motivasi pun menurun. Mereka mulai khawatir untuk memikirkan siapa yang akan dimutasi atau dikurangi. Situasi seperti ini pastilah membuat motivasi kerja akan menurun karena adanya ketidakpastian.

Kedua tes di atas relatif sangat kualitatif dan mudah diobservasi. Walaupun demikian, tentunya bukanlah tes yang memiliki validitas yang tinggi. Kedua tes tersebut sangat baik sebagai indikasi awal mengenai kecukupan tenaga pemasaran atau penjualan sebuah perusahaan.

Tes yang ketiga adalah benchmarking test. Dalam hal ini, kita perlu untuk mencari informasi mengenai jumlah tim yang dimiliki pesaing dan dibandingkan dengan besarnya revenue, atau banyaknya pelanggan yang dilayani. Kalau kita memiliki tenaga penjual sebanyak 100 dan pesaing kita punya 200 tenaga, tetapi penjualan kita hanya 30 persen dari pesaing, ini sudah menjadi indikasi yang kuat bahwa jumlah salesman kita terlalu banyak dibandingkan dengan pesaing. Dalam konteks benchmarking, salah satu pertanyaannya adalah, “Siapa yang menjadi pesaing, yang digunakan sebagai acuan?” Yang harus Anda ambil adalah pemegang pangsa pasar tertinggi. Kalau perusahaan Anda merupakan pemimpin pasar, maka yang dipilih adalah pesaing terdekatnya.

Tes keempat, salah satu yang terbaik adalah yang disebut activity test. Melakukan benchmarking adalah hal yang baik, tetapi bagaimana kalau semua pesaing kita juga tidak optimal? Ini tentunya juga sangat berbahaya untuk membuat keputusan. Maka saya menyarankan, tes keempat ini adalah tes yang wajib dilakukan untuk mendapatkan angka paling optimal dalam hal jumlah tenaga pemasaran dan penjualan kita. Dengan menggunakan tes ini, maka perusahaan harus mulai memikirkan keseluruhan aktivitas yang akan dikerjakan oleh tenaga pemasaran.

Misalkan saja, perusahaan memiliki 10 salesman. Mereka harus melayani sebanyak 1.000 outlet. Kemudian kita bertanya, apakah 10 salesman ini merupakan jumlah yang cukup. Untuk itu, langkah pertama adalah dengan melihat aktivitas apa saja yang harus dilakukan oleh tenaga penjual. Mereka harus menghabiskan waktu untuk masalah administrasi atau persiapan sebelum menemui pelanggan. Mereka juga harus menemui pelanggan dan setiap pelanggan memiliki frekuensi kunjungan yang berbeda-beda, tergantung besar kecilnya order. Salesman juga menghabiskan waktu di jalan. Bisa jadi, mereka juga terlibat dalam pengiriman barang dan aktivitas lain. Intinya, keseluruhan aktivitas ini kemudian diperhitungkan untuk melihat kebutuhan waktu.

Misalnya saja, setiap outlet ternyata membutuhkan waktu sebanyak dua jam per bulan. Ini termasuk keseluruhan aktivitas yang membuat target bisa tercapai. Maka untuk 1.000 outlet, dibutuhkan sebanyak 2.000 jam. Total waktu kerja per salesman per hari adalah tujuh jam efektif. Bila dikalikan 20 hari kerja per bulan, maka diperoleh total waktu adalah 140 jam per bulan. Jadi, idealnya jumlah salesman yang dibutuhkan adalah 2.000 jam/140 jam=14 atau 15 salesman. Kenyataannya, perusahaan hanya memiliki 10 salesman. Dengan melihat angka-angka ini, perusahaan perlu merekrut empat atau lima tenaga salesman baru.

Activity test ini juga merupakan tes terbaik yang digunakan untuk perusahaan B to B, yaitu perusahaan yang pelanggannnya adalah juga perusahaan. Hanya saja, aktivitas penjualan untuk jenis perusahaan ini jauh lebih kompleks, karena selain lama dan panjangnya proses, pelanggan memiliki decision making unit yang minimal terdiri dari decision maker, influencer, dan user. Manajemen perlu untuk membuat selling pipe line mulai dari aktivitas untuk mencari prospek, hingga menjadi pelanggan yang memberikan order.

Kelebihan dari tes keempat ini, manajemen dipaksa untuk memikirkan rencana ke depan. Apakah mereka akan melakukan ekspansi? Apakah akan menambah pelanggan baru? Apakah ada aktivitas tenaga penjual yang perlu ditambah atau malah dikurangi? Apakah selain salesman, ada pihak-pihak lain yang diminta untuk melakukan penjualan? Dengan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, manajer atau direktur penjualan baru akan mampu untuk membuat activity test.

Tes terakhir adalah financial test. Ini merupakan salah satu bentuk evaluasi yang melibatkan bagian keuangan. Menambah tenaga kerja di bidang pemasaran atau penjualan adalah sebuah investasi. Karena merupakan investasi, penambahan tenaga kerja hanya diperbolehkan kalau memang mencapai ROI yang ditetapkan perusahaan. Jadi, bila merekrut salesman baru membutuhkan gaji Rp 2 juta dan biaya-biaya lain sebanyak Rp 3 juta, maka total biaya per penambahan salesman adalah Rp 5 juta. Dengan begitu, angka kontribusi profit tambahan yang harus diperoleh oleh salesman baru tersebut adalah Rp 5 juta per bulan. Bila jumlahnya lebih kecil dari angka ini, berarti perusahaan akan merugi dan lebih baik untuk tidak melakukan penambahan. Kalau perusahaan menetapkan ROI sebesar 20 persen, maka minimal kontribusi profit sebelum dikurangi biaya salesman dari penambahan salesman yang baru adalah Rp 6 juta per bulan. Jadi, minimal harus diperoleh penambahan Rp 1 juta untuk setiap penambahan satu salesman.

Inilah berbagai tes yang dapat dilakukan untuk membantu perusahaan memberikan jawaban atas optimalisasi jumlah tenaga kerja di pemasaran atau di bagian penjualan. Kita bisa melihat bahwa membuat perhitungan untuk tenaga penjualan atau salesman jauh lebih mudah dibandingkan dengan tenaga lain, seperti tenaga promosi yang tidak berhubungan langsung dengan penjualan. Untuk para manajer atau direktur yang membawahi tenaga pemasaran seperti promosi, tes ketiga dan keempat adalah pilihan yang terbaik.

Bagaimana dengan jumlah tenaga pemasaran di perusahaan Anda? Bagaimana jumlah salesman Anda? Apakah terlalu banyak, atau terlalu sedikit? Mari lakukan berbagai tes di atas. Ini juga untuk menghindari kebiasaan dari anak buah yang selalu mengatakan, “…jumlah tenaga penjualan kita kurang!” Sungguhkah?

Cukup Satu Kartu Saja

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Indosat dan Telkom menggarap layanan satu kartu untuk menjawab kebutuhan akan kepraktisan dan efisiensi. Seberapa efektif?

Edy Kurnia, Vice President Public & Marketing Communication PT Telkom Indonesia Tbk
Edy Kurnia, Vice President Public & Marketing Communication PT Telkom Indonesia Tbk

Dunia sekarang cenderung menuntut kepraktisan dan kecepatan. Masyarakat mulai enggan dengan proses yang bertele-tele dan birokratis. Sebab itu, para pelaku industri pun kudu pandai-pandai menyikapi hal itu. Termasuk dalam memberikan produk dan layanan yang mengusung nilai kepraktisan dan kenyaman tersebut. Bila hal ini tidak dilakukan, ada kemungkinan konsumen akan lari kepada kompetitor yang produk dan layanannya lebih baik. Nah, kebutuhan ini sudah mulai ditangkap oleh para pemilik merek: Indosat dan PT Telkom Indonesia.

Kedua operator terkemuka ini kebetulan merilis program yang hampir sama, yakni single voucher—satu kartu untuk beberapa manfaat. Tapi, ada latar belakang yang berbeda mengapa kedua perusahaan tersebut mengeluarkan kartu tunggal ini. Indosat, misalnya, menjadikan branding sebagai salah satu alasan. “Ada dua cara memposisikan diri di depan pelanggan. Pertama, memakai merek korporat. Kedua, memakai merek produk atau sub merek. Nah, dengan satu kartu ini, kami ingin mengusung merek korporat. Mengingat juga Indosat datang dari tiga perusahaan yang merger di mana sub merek lebih dikenal saat itu,” kata Guntur S. Siboro, Direktur Marketing Indosat.

Sebelum ada voucer tunggal, sub merek lebih dikenal orang, seperti Mentari, Matrix, IM3, StarOne, maupun IM2. Masing-masing mempunyai karakter dan persepsi berbeda di benak pelanggan. “Ada empat sub merek yang bisa dilayani dalam satu kartu. Keempatnya diharapkan bisa ditautkan kepada satu merek payungnya, yakni Indosat. Baik sub merek maupun merek korporat Indosat sudah mempunyai ekuitas merek yang kuat,” imbuh Siboro.

Selain itu, kepraktisan bagi konsumen juga jadi alasan. Sebelumnya, pelanggan mengisi pulsa dengan kartu yang sesuai dengan nomor—tiap sub merek mengeluarkan nomor yang berbeda—yang dipakai. Untuk sebagian pelanggan, ini cukup merepotkan. Apalagi kalau datang ke gerai voucer dan tidak menemukan voucer yang dimaksud. Lama-lama orang akan meninggalkan merek tersebut karena keterbatasan voucer isi ulang. Sekarang, dengan satu kartu, pelanggan membeli pulsa IM3, Mentari, StarOne, dan broadband IM2.

Pelanggan, menurut Siboro, melihat isi ulang sekadar cara bayar. Sebab itu, pelanggan ingin cara bayar yang praktis. “Isi ulang bukan pendukung ekuitas merek. Itu hanya cara bayar. Wajar bila proses isi ulang kami satukan demi alasan kepraktisan. Selain itu, konsumen akan lebih mudah mendapatkannya. Voucer ini kan sebenarnya ‘uang’ dan ‘alat bayar’ ini tidak usah di-branding,” kata Siboro.

Tantangan dari proses isi ulang yang disatukan ini, menurut Siboro, masa periode aktifnya menjadi sama. Sekarang ini, 80–90 persen isi ulang yang paling besar volumenya adalah Rp 5.000 dan Rp 10.000. Siboro menangkap keunikan dalam diri konsumen Indonesia yang lebih senang membeli produk dalam kemasan kecil atau sachet. Siboro melihat ini disebabkan masyarakat Indonesia masih kurang percaya pada sistem. “Orang kita ingin meminimalisir kerugian dengan memilih format kecil. Padahal, kalau ditotal kebutuhannya sama juga dengan harga dalam kemasan besar. Secara psikologis, asalnya karena selama ini konsumen kurang diproteksi sehingga melahirkan ketidakpercayaan,” katanya.

Dari proses pengisian ulang pulsa, sekitar 80 persen adalah pengisian elektronik. Bahkan, di perkotaan sudah mencapai 90 persen. Lagi-lagi tuntutan kepraktisan. “Kami sendiri malah mendorong pengisian elektronik. Hal ini juga meminimalisir kecurian voucer. Tapi, tetap ada voucer fisik untuk memenuhi kebutuhan cadangan pulsa bagi mereka yang suka bepergian,” kata dia.

Selain itu, Indosat belakangan ini sedang mencoba membuat satu kartu perdana untuk beberapa merek. Uji coba sudah dilakukan di Luar Jawa. Dengan kartu perdana ini, selain bebas memilih merek, pelanggan juga bisa bebas memilih nomor kartu perdana yang ia kehendaki. “Semua proses aktivasi berjalan interaktif dengan kirim pesan singkat ke nomor tertentu. Ini menjadi inovasi baru dari kami. Ini pasti akan mengubah perilaku konsumen dalam memilih nomor perdana,” tandas Siboro.

Pengalaman Telkom

PT Telkom Indonesia Tbk juga meluncurkan program seperti Indosat yang dikenal dengan “Telkom Voucher”. Voucer ini merupakan produk kartu prabayar yang dapat digunakan untuk melakukan pengisian pulsa Telkom Flexi, membeli paket Yes TV, mengakses Telkom Hotspot, maupun isi ulang Speedy Prepaid. Rencananya, produk ini bakal dikembangkan lagi untuk seluruh produk layanan Grup Telkom.

Menurut Vice President Public & Marketing Communication PT Telkom, Edy Kurnia, terdapat sejumlah manfaat yang bisa didapat pelanggan jika menggunakan Telkom Voucher.

Pertama, pelanggan akan semakin mudah untuk membayar tagihan produk Telkom. Kedua, pelanggan bisa terbantu mengontrol keuangannya. Dengan Telkom Voucher, pelanggan bisa mengisi pulsa sesuai kebutuhan. Saat ini, Telkom Voucher memiliki sejumlah denominasi, mulai dari Rp 10 ribu sampai dengan Rp 100 ribu. Penggunaan voucer ini sangat mudah. Contohnya, jika mau melakukan pembelian voucer Yes TV melalui mekanisme potong pulsa Flexi pelanggan melalui HP Flexi, cukup ketik Yes TV*kode_smartcard*kode_paket. Sedangkan untuk Speedy Prepaid, ketik vspeedy*nominal*nomor_akun, lalu kirim ke 9147. Adapun untuk melakukan Telkom Hotspot tinggal mengikuti petunjuk top up hot spot melalui welcome page Telkom Hotspot.

Bagi Telkom, strategi bundling seperti ini turut memberi sejumlah keuntungan. Antara lain, efisiensi biaya dan memacu percepatan jumlah pelanggan nantinya. Terutama untuk ketiga produk yang masuk ke dalam bundling Telkom Voucher, yakni Speedy, Flexi, dan Yes TV.

Sekarang, jumlah pelanggan Speedy telah mencapai 1,4 juta dan diharapkan menjadi 1,8 juta pelanggan sampai akhir tahun ini. Sedangkan untuk Flexi, kini pelanggannya sudah mencapai 15,5 juta dan ditargetkan bisa menembus angka 18 juta di tahun 2010.

Untuk Yes TV yang total pelanggannya 230 ribu, diharapkan bisa menggaet sampai 330 ribu pelanggan. “Boleh dibilang, ini salah satu langkah Telkom dalam menerapkan prinsip low budget high impact,” tutur Edy.

Dengan kehadiran Telkom Voucher, diharapkan persepsi calon pelanggan terhadap produk Telkom semakin baik—seperti dinilai mudah, efisien, dan murah. Jika itu sudah tertanam di benak mereka, kemungkinan untuk menjadikan mereka sebagai pelanggan baru Telkom akan lebih besar.

Edy mengatakan Telkom Voucher sudah bisa diperoleh di seluruh wilayah Indonesia. Memang, dari segi penetrasi baru mencapai 70 persen sekarang. Namun, sampai akhir tahun 2010, dipastikan sudah mencapai 100 persen.

Sementara itu, distribusi voucer ini dilakukan melalui jaringan distribusi milik Telkom sendiri, seperti Plasa Telkom dan agen-agen Telkom resmi lainnya, serta melalui ritel modern, seperti Carrefour dan Alfamart.

Ke depan, perusahaan pelat merah ini juga berencana untuk mengembangkan kanal distribusinya guna meningkatkan penetrasi Telkom Voucher. Edy mengatakan sampai akhir tahun 2010, pihaknya menargetkan penjualan Telkom Voucher bisa menembus angka 80–100 ribu kartu. Boleh dibilang ini masih relatif sedikit bila dibanding dengan total pelanggan yang dimiliki oleh ketiga produk Telkom tersebut. Sebab itu, perlu adanya edukasi lebih intensif lagi ke pelanggan perihal produk bundling ini.

Posisi Telkom Voucher sangat jelas, yakni sebagai sarana alternatif untuk memudahkan pelanggan. Produk ini menjadi salah satu pilihan bagi pelanggan yang ingin memperoleh kemudahan dalam membayar tagihan produk-produk Telkom.

“Jadi, kalau masih ada pelanggan yang mau membayar dengan cara konvensional, tetap dipersilakan. Kami tetap akan melayani keduanya,” ujar dia. (Majalah MARKETING/Sigit Kurniawan dan Andri Darmawana)

Tampil Baru dengan Empat Kemewahan

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Honda Prospect Motor menghadirkan kembali MPV premium yang sudah lama tidak terdengar di Indonesia. Apa saja isi terbaru dari All New Odyssey ini?

Honda Odyssey
Honda Odyssey

Bagi Anda penggemar berat Honda Odyssey, tentulah bergembira setelah menerima kabar kehadiran kembali multi purpose vehicle (MPV) mewah ini di Indonesia. Bulan Mei lalu, Honda Prospect Motor (HPM) resmi meluncurkan kembali All New Odyssey. Dan, tentu saja banyak sekali perubahan dibanding seri sebelumnya.

Peluncuran ini sebenarnya sudah direncanakan lama. Tapi, sempat tertunda setahun akibat krisis yang melanda Indonesia. Bila dipaksakan diluncurkan tahun lalu, harga di Indonesia akan terlalu jauh lebih mahal dibanding harga di luar.

“Kami harus realistis melihat harga pasar di luar dan membandingkannya bila dikonversikan ke rupiah, karena nilainya bisa mencapai Rp 700–800 juta per unit. Bila dipaksakan, tentunya tidak adil bagi konsumen di negara kita. Dan, tentu saja secara bisnis kurang menguntungkan bila diluncurkan tahun lalu,” kata Jonfis Fandy, Marketing & Aftersales Service Director PT Honda Prospect Motor.

Jonfis manambahkan, sejak kuartal pertama 2009 hingga tahun ini, permintaan mobil terus meningkat. Diperkirakan, tahun ini pasar mobil akan mencapai sekitar 700 ribu unit. Optimisme pasar ini juga menjadi alasan All New Odyssey diluncurkan saat ini.

Selain menyasar konsumen Freed yang ingin naik kelas, HPM tidak melupakan existing customer merek ini. Mereka adalah para pengguna Odyssey model lama. Populasi total Odyssey di Indonesia saat ini sekitar 800 unit. “Para pemilik Odyssey sebelumnya memang menjadi target kami. Tapi, kami juga akan terus menggali pasar potensial lainnya,” tambah Jonfis. Bagi HPM, All New Odyssey juga dimaksudkan untuk membuka segmen baru bagi mobil keluarga yang lebih mewah.

Pilihan gender yang disasar utamanya adalah pria dengan kisaran umur antara 31–45 tahun. Kebanyakan adalah para pengusaha sukses yang berkantong tebal.

Melihat bahwa yang disasar adalah niche market, All New Odyssey ditarget dengan penjualan di angka 250 unit. Jonfis menambahkan bahwa pasar MPV premium dengan harga Rp 400–Rp 800 juta pada tahun ini berada di angka 2.500 unit. All New Odyssey hanya menyasar 10 persen dari segmen MPV premium tersebut. Saat ini, mayoritas pasar mobil nasional masih didominasi oleh low MPV yang mencapai lebih dari 50 persen. “Meski bagi Honda jumlahnya tidak banyak—kurang dari 1 persen, tapi penting bagi konsumen yang ingin naik kelas mobilnya, namun harga masih di bawah Rp 1 miliar,” tambah dia.

Patokan harga untuk “Odyssey Reborn” adalah Rp 536 juta on the road DKI Jakarta. Pada level harga ini, All New Odyssey tidak punya pesaing langsung, baik dalam segi kapasitas mesin, bentuk, maupun harga jual.

Meski sudah berusaha mencari waktu peluncuran yang tepat supaya harga bisa rasional, harga di sini masih lebih mahal dibanding harga di Amerika. Di negara Paman Sam, Odyssey dipatok mulai USD 26.850 atau sekitar Rp 240 jutaan dengan kapasitas mesin 3.471 cc—separuh harga di Indonesia yang kapasitas mesinnya 2.354 cc.

Menurut Jonfis, salah satu penyebabnya adalah pajak di Indonesia yang paling mahal kedua di dunia. Mulai dari bea masuk, PPN barang mewah, serta biaya balik nama. Ia menambahkan bahwa bea masuk All New Odyssey saja sudah mencapai 75 persen. Belum lagi pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen, serta biaya balik nama yang juga mencapai 10 persen. “Namun begitu, kami tetap optimistis bahwa mobil ini akan laku. Karena, dengan harga itu konsumen akan mendapat berbagai fitur inovatif berteknologi tinggi, kenyamanan, keamanan, sekaligus kemewahan,” tegas dia.

Sejak diluncurkan, Honda Odyssey diklaim telah menjadi trendsetter dalam desain dan teknologi untuk sebuah MPV. Dan, All New Odyssey ini merupakan generasi keempat dari Odyssey sejak diluncurkan tahun 1994, 1999, dan terakhir di tahun 2003. Alasan ini juga yang menjadikan HPM yakin dan menargetkan penjualan di angka 250 unit pada tahun ini. Konsep yang diusung oleh All New Odyssey ada empat hal. Yaitu, premium & sporty design, premium & sporty performance, premium safety & ecology, serta premium & luxury  comfortTagline-nya “Sophisticated Luxury”.

Konsep desainnya meniru lekuk tubuh manusia yang dinamis dan menonjolkan kekuatan. Pada konsep ramah lingkungannya, diklaim bahwa 90 persen eksterior dan interiornya bisa didaur ulang dan mesin yang digunakan berstandar EURO 4. Dalam performa mesin, All New Odyssey tetap menggunakan mesin i-VTEC DOHC berkapasitas 2.354 cc yang mampu menghasilkan tenaga maksimal 180 ps pada 6500 rpm dan torsi maksimum 22,2 kgm pada 4500 rpm. Tenaga ini naik 20 ps dibandingkan model sebelumnya. Dengan transmisi 5 percepatan otomatis, Drive by Wire, Shift Hold System, dan Grade Logic Control, All New Odyssey tersedia dalam empat pilihan warna, premium white pearl, crystal black pearl, polished metal metallic, dan alabaster silver metallic.

Layanan purnajual yang diberikan adalah garansi selama tiga tahun. Bila sudah habis masa garansi dan pemilik mobil mengganti spare parts di bengkel resmi Honda, garansi akan diperpanjang satu tahun. Terdapat juga layanan 24 jam untuk kondisi darurat. Fokus distribusi All New Odyssey merata di seluruh wilayah Indonesia. Tapi, biasa tesentral di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan lainnya.

Total penjualan Honda hingga April 2010 telah mencapai 18.519 unit dengan market share sekitar 7,7 persen. Dari penjualan total Honda ini, All New Odyssey sudah menyumbang 25 unit. Penyumbang terbanyak adalah Honda Jazz dengan penjualan 7.035 unit, disusul oleh Honda CR-V di angka 4.685 unit. Sementara, Honda Freed mampu meraih pangsa pasar 13 persen di kelas MPV dengan penjualan total di angka 4.331 unit. (Majalah MARKETING/Ign. Eko Adiwaluyo)

Apa Pun Alat Beratnya, AllMakes Suku Cadangnya

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Melalui AllMakes, United Tractors, salah satu raksasa dalam bisnis heavy equipment, semakin serius menggarap pasar spare parts alat berat.

Hasan J. Satyana, President Director PT Andalan Multi Kencana
Hasan J. Satyana, President Director PT Andalan Multi Kencana

Umumnya, pebisnis yang masuk ke dunia otomotif mesti mengembangkan bisnis “2S” lainnya selain sales, yakni service dan spare parts. Namun, mengembangkan bisnis spare parts genuine bukannya tanpa halangan. Persepsi orang terhadap spare parts genuine selalu saja mahal, sekalipun kualitasnya terjamin.

Di industri alat berat, banyak pengguna alat berat akhirnya membeli spare parts (suku cadang) di pasar sekunder, mencari suku cadang kelas dua dan non-genuine. Biasanya ini dilakukan mereka setelah masa maintenance habis. Dengan cara ini, mereka berharap bisa mendapat suku cadang dengan harga yang murah.

Namun demikian, pada akhirnya banyak pengguna alat berat merasa kecewa karena suku cadang yang mereka beli cepat sekali aus atau rusak. Padahal, produktivitas harus jalan terus.

Berangkat dari hal ini, suku cadang yang berkualitas namun terjangkau pun menjadi kebutuhan pengguna alat berat. Inilah salah satu sebab UT masuk ke industri yang satu ini.

“AllMakes merupakan cikal bakal kita masuk ke bisnis komoditas dan part development. Itu dimulai sejak tahun 2002, dari satu bentuk departemen, lalu divisi spare parts, sampai menjadi perusahaan sendiri seperti sekarang, dengan nama PT Andalan Multi Kencana,” kata Hasan J. Satyana, President Director PT Andalan Multi Kencana (AllMakes).

Kebutuhan akan suku cadang tentunya seiring dengan pertumbuhan jumlah alat berat itu sendiri. Diperkirakan tahun ini, bisnis alat berat akan meningkat cukup tinggi—hingga 67 persen—setelah dilanda kelesuan di tahun 2009 lalu. Pasar suku cadang kendaraan alat berat pun diperkirakan mengalami kenaikan 100 persen dibanding tahun sebelumnya. Bila dilihat dari nilai rupiah, pasar suku cadang alat berat mencapai puluhan triliun rupiah.

Hasan sendiri melihat bahwa potensi pasar ini teramat besar. “Saya tidak hanya melihat produk yang dikelola UT saja, tetapi juga alat berat lainnya,” kata Hasan. Pangsa pasar yang digarap UT saja baru 15 persen. Pemainnya pun termasuk banyak, mulai dari pemain di Asam Reges (sentra suku cadang di Jakarta), sampai pemain besar dari Singapura.

Ditambahkan oleh Supriyadi, Business & Management Development General Manager AllMakes, ke depannya AllMakes akan memilki peran dalam empat hal, yakni alternative part provider, material management provider, supply chain management, dan maintenance serta service provider. Pada akhirnya, AllMakes memang tidak sekadar jualan suku cadang, tetapi berkembang pula ke banyak hal. Salah satunya dengan membuka gerai ritel dan memberikan layanan maintenance.

Servis atau pelayanan memang sudah jagonya anak-anak perusahaan Astra. Demikian halnya dengan kualitas. Makanya, AllMakes terlihat percaya diri untuk masuk ke industri ini. Sekarang, tinggal bagaimana strategi menjual harga yang murah kepada end-user.

Tapi, Hasan tidak takut dalam soal yang satu ini. Jaringan luas yang dimiliki oleh AllMakes membuat perusahaan ini memiliki sourcing capability yang kuat. “Sekarang, kebanyakan customer itu sudah berorientasi pada direct to distributor besar atau manufacture. Nah, yang penting buat kita adalah bagaimana bisa menguatkan sourcing capability kita. Sehingga, barang-barang kita selalu dari sourcing direct to manufacturer. Otomatis harga kita bisa lebih kompetitif,” kata Hasan. Selain itu, dalam hal distribusi, AllMakes mempunyai lima depo besar yang ada di Pekanbaru, Banjarmasin, Balikpapan, Samarinda, dan Surabaya. Kemudian di bawah depo, mereka memiliki storage location, yang ditempelkan di network-nya UT, atau setiap cabang dari UT.

Supriyadi pun optimistis bahwa bisnis All Makes bisa berjalan dengan baik. “Asalkan ada pertambangan dan konstruksi, bisnis ini pasti berjalan baik. Nah, dalam konteks ini, UT sebenarnya sudah cukup mendominasi pasar. Selain itu, kebutuhan alat kan jalan terus dan selalu ada life cycle,” imbuh Supriyadi.

Bambang Agung Muljanto, Manager Business Development AllMakes, rupanya punya hitung-hitungan sendiri soal bisnis AllMakes. Bambang menyatakan bahwa AllMakes Channel saat ini memiliki 17 ribu line product yang siap menyuplai bermacam jenis suku cadang dari berbagai merek alat berat. Di antaranya, baterai, oli, hydrolic house, dan lainnya. Meski yang dijual meliputi banyak jenis, semua suku cadang tersebut masih masuk kategori common parts atau suku cadang umum yang bisa disubstitusi dengan non-OEM. “Tapi, beberapa merek yang ada di AllMakes juga ada yang merupakan OEM di berbagai merek alat berat,” tambah Bambang.

Tidak tertarik masuk ke ranah consumer market? Bambang mengatakan bahwa keinginan itu tidak tertutup kemungkinannya. “Kalau andal dipakai mesin alat berat, sudah pasti akan andal dipakai di mobil pribadi,” kata Bambang. Dia mencontohkan semprotan anti karat yang dimiliki AllMakes. Ternyata, alat tersebut ampuh juga dipakai untuk membersihkan karat di besi pagar. Juga radiator treatment-nya, tergolong tokcer untuk kendaraan pribadi.

Namun demikian, fokus ke B to B saja sudah cukup besar pasarnya. Ingat, yang dijual oleh AllMakes ini bukan hanya suku cadang untuk merek Komatsu saja—merek yang dikeluarkan UT, tetapi untuk banyak alat berat, seperti Caterpilar, Hitachi, Kobelco, dan lain-lain. Artinya, AllMakes sudah menjadi solusi total suku cadang untuk semua jenis merek. (Majalah MAEKETING/Ign. Eko Adiwaluyo dan Andri Darmawan)

Menawarkan Out Door Venue untuk Pernikahan

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Ancol yang dikenal sebagai destinasi untuk rekreasi bagi keluarga mulai melebarkan sayap ke bisnis lain, yakni tempat untuk out door weeding. Mereka menangkap peluang dari tren yang berkembang saat ini.

Winarto, Direktur PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk
Winarto, Direktur PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk

Banyak cara yang ditempuh orang untuk membuat pesta pernikahan mereka agar terlihat berkesan. Di antaranya dengan menggelar pesta resepsi di luar ruangan (outdoor). Konsepnya bisa bermacam-macam, ada yang dilakukan di taman, tepi pantai, bahkan di pinggir tebing, seperti di Bali.

Tujuannya tak lain untuk membuat momen tersebut menjadi saat terindah yang tak pernah terlupakan seumur hidup. Melihat trennya sekarang, memang kebutuhan orang untuk menggelar pesta nikah di luar ruangan kian tinggi. Terutama dari kalangan atas. Tentunya, tren ini dilihat oleh banyak pihak sebagai peluang bisnis baru. Salah satu di antaranya adalah Ancol.

Kini, taman hiburan milik Jaya Grup tersebut tak hanya menyediakan sarana untuk berekreasi, tapi juga tempat untuk resepsi. Pasalnya, Ancol sudah memiliki inovasi layanan terbaru bernama “Banquet Ancol”, yakni sebuah outdoor weeding venue dengan beragam pilihan fasilitas dan lokasi di luar ruangan yang ada di sekitar Taman Impian Jaya Ancol.

Ada 15 lokasi yang ditawarkan. Antara lain Dunia Fantasi, Gelanggang Samudera, Atlantis Water Adventure, Pasar Seni, Putri Duyung, Ancol Outboundholic Adventure Park, serta restoran-restoran ternama di kawasan Ancol, seperti Bandar Jakarta, Segarra, Le Bridge, Dermaga One, Back Stage, Jimbaran, dan lain-lain.

“Yang jelas, setiap titik memiliki keistimewaan tersendiri. Misalnya di Le Bridge. Di sana, pengantin dan seluruh undangan bisa menikmati indahnya sunset saat sore hari. Begitu juga untuk lokasi lainnya,” ujar Winarto, Direktur PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk.

Ke depan, tidak hanya lokasi itu saja yang disajikan. Pasangan yang menikah di tahun 2011 akan menikmati fasilitas lain berupa wedding capel, yakni tempat pemberkatan atau ijab kabul yang berlokasi di tengah laut. “Sekarang masih dalam tahap pembangunan dan baru bisa digunakan kira-kira tahun depan,” ujar Winarto.

Menurut dia, Banquet akan menjadikan Taman Impian Jaya Ancol sebagai tempat utama wedding outdoor terbesar di DKI Jakarta. Untuk itu, dalam beberapa tahun ke depan Banquet akan dikembangkan terus, baik dari sisi layanan maupun fasilitasnya.

“Jadi, jangan heran jika nanti Anda akan melihat acara pemberkatan bukan hanya terjadi di wedding capel, melainkan juga di wahana Dufan seperti di Bianglala. Kejadian itu bisa saja terlaksana. Namanya juga pengembangan,” jelas Winarto sembari bergurau.

Arief Budhy Bhirawa, Banquet Manager F&B PT Taman Impian Jaya Ancol, menjelaskan sebagai pemain baru, pihaknya menyadari bahwa Banquet memerlukan upaya khusus untuk bisa merangsek ke dalam pasar. Sebab itu, sebagai langkah awal Banquet akan fokus pada strategi jemput bola. Caranya dengan aktif mengikuti berbagai pameran wedding, terutama yang sering diikuti oleh mitra-mitra Banquet. Selain itu, Banquet juga bakal mendirikan stan di mal-mal, dan menggenjot aktivitas promosi via ATL maupun BTL.

Untuk mempercepat penetrasi, Banquet akan meminta pada 54 mitra yang dimilikinya sekarang untuk membantu mereferensikan Banquet ke relasi-relasi mereka. Mitra yang menjadi rekanan Banquet antara lain Joy Catering, Chez Inggrid Catering, Alphabet Catering, dan Puspa Catering, Lily Vicky, Janur Kuning, Evelyn Decoration dan Gresida Decoration, TJ Photography, dan lain-lain.

Menurut Arief, semua mitra Banquet adalah mitra yang berpengalaman menangani pernikahan outdoor. Dipilih demikian lantaran menggelar pernikahan outdoor memiliki sejumlah tantangan yang lebih besar ketimbang pernikahan indoor. Terutama untuk soal cuaca. Jika tak mampu menanganinya, maka bisa berakibat fatal bagi pesta yang digelar.

Selain didukung oleh mitra yang cukup andal, Ancol juga telah menyiapkan sistem keamanan yang bisa mengatasi semua masalah yang sering terjadi, umumnya pada pernikahan outdoor.

“Sehingga, dijamin bahwa pernikahan Anda akan berlangsung hikmat, ceria dan meriah, serta aman tentunya,” ujar Arief.

Lebih lanjut, Arief mengatakan bahwa servis yang melebihi harapan pelanggan adalah kunci strategi Banquet untuk bergerilya di pasar. Konkretnya, seperti memberikan bonus unit gubuk-gubukan secara cuma-cuma dan memberikan tiket wisata gratis bagi pasangan yang ingin berbulan madu di Pulau Bidadari.

Mengenai target, diakui pihaknya tidak muluk-muluk untuk menetapkan target. Cukup merengkuh 25 pasangan di tahun pertama bisnis bisa berjalan. Bila dibandingkan dengan wedding outdoor lain, Banquet memiliki kelebihan tersendiri, yakni lokasinya yang rata-rata berada di pinggiran pantai. Sehingga, setiap pasangan yang menikah bisa melihat keindahan pemandangan laut dan menikmati sunset di sore hari.

Bagusnya lagi, mereka juga bisa memilih lokasi sesuka hati dengan satu harga. Artinya, andaikan nanti ada pasangan yang ternyata tidak jadi memilih tempat di Segara untuk resepsi dan kemudian meminta pindah lokasi ke pasar seni, itu bisa dilakukan, tanpa dikenakan tambahan biaya apa pun.

Mungkin ada yang bertanya soal masuk ke dalam Ancol, apakah setiap tamu resepsi diharuskan membayar tiket masuk? Untuk ini, kata Arief, para undangan tidak perlu membayar tiket masuk untuk datang ke tempat resepsi. Cukup menunjukkan kartu undangan kepada pertugas tiket, mereka bisa langsung masuk ke dalam Ancol.

Terdapat tiga paket wedding yang ditawarkan Banquet: paket Sea Sky seharga Rp 80.500.000 untuk 400 orang; Light Ocean, Rp 91.800.000 untuk 500 orang; dan White Sands Rp 119.000.000 untuk 700 orang.

Harga tersebut tidak mengikat, artinya hal itu bisa diatur mengikuti kebutuhan. Jadi, bila ternyata jumlah undangan hanya 100 atau 200 orang—di luar dari ketentuan harga paket—maka itu tidak masalah.

Dalam praktiknya, Banquet tidak hanya menyediakan paket untuk wedding, tetapi juga jenis pesta lainnya, seperti gathering, ulang tahun, perayaan kelulusan, dan lain-lain.

Terkait potensi bisnis, Arief memaparkan bahwa usaha wedding outdoor sudah menjadi tren masa kini, namun kebanyakan masih dikonsumsi oleh masyarakat kalangan atas. Harga yang mahal menjadi pemicu mengapa wedding outdoor hanya bisa dinikmati orang-orang kaya.

Karenanya, Ancol melihat ini sebagai peluang. Jika mereka bisa menurunkan sedikit grade dari kelas atas ke kalangan menengah, pasar wedding outdoor akan semakin terbuka lebar. ”Oleh karenanya, kami yakin bahwa wedding outdoor Banquet Ancol akan menjadi lokasi primadona bagi setiap pasangan yang memimpikan wedding outdoor dengan harga terjangkau,” kata Arief. (Majalah MARKETING/Andri Darmawan)

Keindahan Craft di Tangan Seorang Akuntan

2
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Ashley Craft sudah tidak asing di telinga konsumen, khususnya segmen kelas atas. Bisnis yang diawali dari sekadar hobi, kini telah berkembang menjadi usaha yang beromzet miliaran rupiah.

Lanny Harjani, pemilik dari Ashley Crafts
Lanny Harjani, pemilik dari Ashley Crafts

Berawal dari hobi mengutak-atik kain menjadi sejumlah craft (kerajinan tangan) di waktu luang, kini Lanny Harjani, pemilik dari Ashley Crafts, berhasil membangun bisnis craft sendiri dengan omzet puluhan, bahkan sampai ratusan juta rupiah sebulan. Dia mengaku, mulanya tidak menyangka hobi yang ia lakoni sejak SD ini bisa menjadi lahan bisnis yang menguntungkan seperti sekarang.

“Sejak kecil, saya memang suka sekali dengan kegiatan kerajinan tangan. Maka tidak heran, setelah dewasa, saya sering diminta teman-teman membuatkan aksesori atau cinderamata untuk pernikahan mereka,” tutur dia.

Kendati sering menerima order waktu itu, Lanny masih belum berpikir untuk membisniskan hobinya. Sampai tiba saat ia berhenti bekerja sebagai akuntan 10 tahun lalu, sedikit tebersit keinginan di hatinya untuk menjadikan hobi dia selama ini, sebagai ceruk baru yang mendatangkan uang. Tepatnya, niatan itu muncul sesudah enam tahun ia berhenti bekerja.

Ada sejumlah alasan bagi Lanny mengapa akhirnya dia berani untuk terjun ke bisnis craft. Pertama, peluang pasar craft yang terbuka lebar; kedua, kegiatan ini dinilai tidak mengganggu perannya sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus anak dan suami; dan ketiga, dorongan semangat dari seorang pelanggan.

Ceritanya, suatu hari, ada seorang pelanggan yang menceletuk kepada dia. Dikatakan oleh pelanggan itu, daripada sekadar iseng, mengapa Lanny tidak sekalian saja membesarkan bisnis craft-nya. Lantas, Lanny bertanya balik, apa dia bisa melakukannya. Si pelanggan pun menjawab, mengapa Lanny tidak mencobanya saja. Pelanggan itu ternyata sudah melakukan survei ke beberapa tempat. Menurut dia, craft yang dimiliki Lanny sangat personalize dan kualitasnya tidak kalah dengan craft lain yang bahkan harganya jauh lebih mahal.

Usai mendengar itu, Lanny berpikir bahwa omongan si pelanggan ada benarnya juga. Lalu, atas inisiatif bersama sang suami, Lanny pun mencoba serius menjalankan bisnis craft. Nama “Ashley” dipilih sebagai merek dagang lantaran dinilai terdengar cukup unik. “Tidak ada sejarah yang menarik terkait pengambilan nama ‘Ashley’ sebagai merek dagang,” kata Lanny.

Nama tersebut sepintas muncul begitu saja di kepala, dan setelah dipikir-pikir, ternyata cukup enak terdengar, lalu segera diambil sebagai merek dagang craft yang dia jual. Begitu menurut cerita Lanny.

Belakangan, setelah berjalan beberapa saat, sang suami, Daniel Irwanto pun memutuskan untuk membantu penuh usahanya dengan menangani bagian pemasaran. Kemudian, ibu kandung Lanny sendiri juga menyatakan diri ingin ikut membantu di bagian produksi dari Ashley Crafts.

Tak disangka, hanya dalam waktu singkat, Ashley telah berkembang pesat. Pelanggannya ada dimana-mana dan terdiri dari beragam golongan, mulai dari individu sampai pelaku usaha. Misalnya, Holland Bakery, Keris Galeri, dan lain-lain. Bahkan, kategori produknya pun kian bertambah.

Kalau dulu, yang dijual hanya berkisar dua kategori. Kini, sudah mencapai empat ketegori craft yang dijual Ashley. Antara lain, untuk ulang tahun, perlengkapan bayi, pernikahan, kebutuhan rumah tangga, dan satu lagi yang saat ini tengah dikembangkan adalah cotton.

Menurut Lanny, bisnis craft itu sangat manis. Sebab, dia akui, craft itu fleksibel dan mudah di-customize untuk kebutuhan apa saja. Misalkan, untuk perlengkapan bayi, craft dapat didesain sebagai parcel yang bisa diisi perlengkapan bayi.

Mengenai urusan pemasaran produk, Lanny mengaku dirinya tidak terlalu banyak tahu tentang itu. Yang mengerti benar soal ini adalah suaminya. Namun yang jelas, tonggak kuat Ashley ada di jaringan distribusi yang sudah menyebar hingga ke daerah-daerah. Setidaknya, kini ada 50 distributor yang menjadi mitra Ashley. Lokasinya menyebar hingga ke beberapa wilayah, seperti Jakarta, Jambi, Jember, dan Surabaya.

Dalam hal berpromosi, Lanny mengaku tidak begitu gencar melakukan promosi seperti kebanyakan pelaku usaha craft lainnya. Semua pelanggan yang datang mengetahui informasi yang mereka dapat dari mulut ke mulut saja. Orang bisa kenal Ashley rata-rata dari dua sumber: iklan Ashley di Facebook dan ketemu di pameran-pameran. Promosi lain, seperti membuat katalog, brosur, atau beriklan di media massa, belum dilakoni.

Di Indonesia, pemain craft bukannya tidak banyak. Kalau mau dihitung, jumlahnya bisa mencapai ratusan. Maka itu, meski pasar craft terus tumbuh, kondisi pasar saat ini diselimuti oleh ketatnya persaingan. Untuk berkompetisi di pasar, Lanny menegaskan dia tidak memiliki kiat khusus untuk mengembangkan pasarnya. Satu hal yang dia andalkan hanyalah menjaga kualitas produk dan hubungan dengan pelanggan.

“Dalam berbisnis, saya tidak pernah takut disaingi, apalagi ditiru. Sebab, saya percaya setiap orang sudah ada rezekinya sendiri-sendiri. Kalau untuk meniru pun, saya rasa juga susah. Sebab, jika ada yang meniru satu model dari Ashley, saya bisa membuat seribu model lain yang berbeda,” tegas dia.

Satu lagi yang membuatnya percaya diri ialah target market Ashley yang lebih menyasar ke segmen atas. Rata-rata yang menjadi pelanggan Ashley adalah kaum berduit, seperti ibu-ibu pejabat dan isteri duta besar. Lanny mematok harga sedikit lebih mahal ketimbang craft lain yang ada di pasaran. Pasalnya, selain karena segmen kelas atas yang dia bidik, bahan baku craft Ashley juga kebanyakan berasal dari luar negeri, seperti Jepang, Singapura, dan Amerika Serikat.

Misalnya aksesori wedding, yang termurah harganya Rp 10 ribu per unit. Sedangkan untuk bingkisan perlengkapan bayi—belum termasuk isi—dibanderol seharga Rp 1 juta. Sebab, harga bahan baku, semisal kain, pun cukup mahal. Satu meter kain ada yang seharga mulai dari jutaan hingga puluhan juta rupiah.

Ketika disinggung soal omzet, Lanny enggan memberitahu. Namun, dia mengungkapkan, omzet bisa naik belipat-lipat saat menjelang musim nikah, hari raya, dan libur anak sekolah. Nominalnya bisa mencapai ratusan juta, bahkan miliaran rupiah.

Dalam melayani pelanggan, Lanny mengaku dirinya tidak pernah mengeluh andaikan ada pelanggan yang jenis permintaannya bermacam-macam dan agak sedikit aneh. ”Apa pun yang mereka minta, sebisa mungkin akan saya kerjakan dan layani dengan baik,” tegas dia.  Menurut pengalamannya, setiap pelanggan memiliki karakter sendiri-sendiri, menurut kelas ekonominya. Seperti konsumen kategori high class, mereka rata-rata menyukai desain craft bergaya Victorian, yakni bentuk craft yang terkesan anggun dengan selimut gambar bunga-bunga, namun tanpa disertai banyak aksesori di luarnya. Sedangkan bagi pelanggan yang menengah, kebanyakan dari mereka menyukai craft yang didesain penuh corak dan aksesori.

Melihat bisnisnya yang tumbuh seperti sekarang, Lanny mengaku dirinya sudah cukup puas. Namun demikian, yang namanya keinginan pasti selalu ada. “Ke depan, saya ingin Ashley punya galeri sendiri untuk memajang sejumlah craft yang ada. Entah kapan itu terwujud, kita lihat saja nanti. Yang jelas, itu masih sebatas keinginan, dan belum ada rencana diwujudkan dalam waktu dekat,” kata Lanny mengakhiri wawancara. (Majalah MARKETING/Andri Darmawan)