Sunday, September 14, 2025
Home Blog Page 2180

KAI Gandeng 4 Bank Sediakan E-Money

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Toyota Lagi Pelajari Datangkan Liva

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Kamunitas Toyota Kampanyekan “Smart Driving”

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

How to Write a Strategic Marketing Plan

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Iklan Dove yang “Wangi”

0
[Reading Time Estimation: 5 minutes]

dove1webSiapa yang tak kenal sabun Dove? Mungkin beberapa dari Anda adalah penggemar setia sabun ini, termasuk saya. Dove cukup dikenal di luar negeri dan juga di Indonesia. Kasus yang ditulis di sini memang sudah cukup lama dan mungkin boleh dibilang jadul. Tetapi, market share dan reputasi itu memang tidak dibangun dalam semalam, melainkan perlu waktu lama, bahkan bertahun-tahun.

Kilas balik di tahun 1991, Dove meluncurkan serangan terlebih dahulu untuk mengantisipasi peluncuran produk Oil of Olay dari P&G. Senjata satu-satunya yang dimiliki Dove adalah iklan yang baru dan dramatis. Dove tidak mengembangkan produknya, tidak mengeluarkan anggaran lebih untuk beriklan, tidak ada perubahan signifikan pada anggaran promosi, sangat sedikit perubahan harga, dan juga tidak mengubah distribusinya.

Selama empat tahun berikutnya, market share Dove melompat dari 15,7 persen menjadi 23,4 persen, melampaui Ivory yang justru jatuh dari 15,2 persen menjadi 11,9 persen. Olay yang akhirnya diluncurkan tahun 1995 hanya berhasil meraih 3,5 persen setelah setahun penuh. Jergens, pesaing Dove yang lain, hanya “mentok” di angka 5 persen. Sementara, angka penjualan Dove rata-rata mengalami pertumbuhan yang cukup besar setiap tahunnya.

Semua itu diraih dengan kematangan merek yang berharga premium, bahkan di saat ekonomi sedang menunjukkan gejala kelesuan. Kampanye periklanan dimaksudkan sebagai strategi taktis untuk mendahului gempuran para pesaing, dan dengan cepat dikembangkan menjadi strategi serangan untuk jangka panjang. Strategi ini bukan hanya dilakukan untuk melawan Oil of Olay, tetapi juga berlaku terhadap produk Ivory milik P&G dan produk-produk Jergens.

Dove menjadi salah satu contoh dari kasus membangun merek yang sukses dalam sejarah Canada. Peran serta agensi Ogilvy & Mather juga tak lepas dari kesuksesan ini, dengan menyebarkan peluncuran iklan Dove ke 34 negara. Sejak diluncurkan di Canada pada tahun 1964, Dove meraih posisi yang sulit ditandingi oleh kompetitor manapun di pasar sabun.

Secara teknis, Dove mengatakan dirinya bukanlah sabun. Formula unik yang dipatenkannya adalah yang pertama kali mengunci positioning mereka, yaitu “pelembab” (moisture). Selama bertahun-tahun, Dove menyampaikan pesannya, “Kulit Anda tidak akan kering seperti halnya jika memakai sabun-sabun yang lain.” Kalimat sakti lainnya adalah, “Dove mengandung ¼ moisturizing cream.

Pada tahun 1990, Dove sudah meraih prestasi tersendiri di pasar sabun sambil bersaing lumayan ketat dengan Ivory. Sabun Dove dengan berat 100 gram dijual dengan harga hampir setara dengan kebanyakan sabun premium, dan sekitar dua kali lipat dari harga Ivory dan Jergens. Dove ternyata bisa meraih keuntungan di pasar sabun yang telah matang dan stabil. Dove bertumbuh dengan kampanye iklan di TV berbentuk testimonial dalam jangka panjang, menampilkan para wanita yang menguji sabun Dove selama tujuh hari.

Namun, serangan dari para pesaing seperti Oil of Olay sangatlah kuat. P&G dan reputasi Oil of Olay dalam bidang perawatan kulit bukanlah hal yang mudah untuk dikalahkan. Belum lagi iklan-iklan mereka yang nampaknya memang sengaja ditujukan untuk menggoyahkan para pengguna Dove. Satu-satunya strategi pertahanan Dove adalah berusaha sebaik mungkin meningkatkan market share, serta menciptakan suasana atau lingkungan yang bisa mempersulit Olay untuk merebut pelanggan Dove.

Dove menganggap jika mereka menunggu Olay bergerak dan baru melancarkan serangan balasan, hal tersebut akan terlalu berisiko. Selain itu, Dove juga tidak akan siap untuk menggempur balik jika Olay sudah sempat memantapkan fondasinya di pasar. Itulah sebabnya mereka memilih untuk bergerak terlebih dahulu.

Berdasarkan uji pasar yang dilakukan, Dove menduga Olay akan menetapkan harga yang setara atau seimbang dengan Dove. Tapi, apakah faktor harga patut dipertimbangkan? Dove menganggap jika mereka sampai mengurangi harga untuk menghalangi Olay, tindakan tersebut malah akan merugikan Dove sendiri, terutama dalam hal image. Dengan pemikiran yang sama, Dove juga memutuskan untuk tidak menaikkan bujet promosi.

Sementara, mengenai pengembangan produk, apakah jika Dove “mempercanggih” produknya mereka bisa menjegal Olay? Mungkin saja, tetapi mereka menganggap untuk dapat menciptakan pengembangan produk dan membawanya ke pasar, mereka perlu mengorbankan banyak biaya, waktu, dan belum lagi kehilangan timing atau peluang.

Dengan demikian, Dove memilih strategi kreatif untuk meluncurkan iklan baru yang dramatis. Keputusan untuk meluncurkan kampanye ini memerlukan pemikiran matang. Pihak agensi Ogilvy & Mather memiliki keyakinan dengan menerapkan kampanye-kampanye jangka panjang. Kampanye uji Dove dalam tujuh hari telah memantapkan posisi mereka di Kanada dan Amerika Serikat. Tetapi, itu belumlah cukup. Mereka lalu memikirkan dan menetapkan tujuan kampanye periklanannya, sebagai berikut:

  1. Memosisikan Dove sebagai sabun terbaik, untuk menarik konsumen yang belum memakainya.
  2. Menegaskan ulang keunggulan Dove bagi para pemakai lama.

Pada titik ini, mereka masih berpikir secara taktis. Mereka ingin menggoncang pasar, membangun merek Dove, serta memantapkan kampanye uji Dove selama tujuh hari, semua dalam waktu satu tahun. Tetapi untuk mencapai semua ini, mereka membutuhkan “berita”. Tanpa pengembangan produk dan tanpa sesuatu yang baru pada produk Dove, mereka menemukan satu kata untuk dikomunikasikan kepada konsumen, yaitu “kelembutan” (mildness).

Formula Dove yang unggul lebih lembut di kulit daripada sabun-sabun yang lain. Lebih jauh lagi, karena formula kelembutannya, Dove mampu memberikan demonstrasi produk yang mengagumkan, yaitu dengan menguji produknya dengan kertas litmus (kertas untuk uji asam dan basa). Sabun-sabun konvensional lain membuat kertas indikator itu berubah warna menjadi gelap karena ada kandungan zat alkalinity. Sementara dengan sabun Dove, kertas litmus tetap jernih. Ini adalah suatu terobosan yang bisa disaksikan publik lewat demo produk, bahkan tanpa pengembangan produk sekalipun.

Setelah iklan diluncurkan secara nasional di Inggris dan Perancis, dimulai dengan demo “Litmus”, pasar merespons dengan positif sehingga mereka terus menunda-nunda kembalinya versi testimoni tujuh hari uji produk. Tujuan mereka tetap untuk melancarkan serangan pendahuluan guna mendahului Oil of Olay, sambil terus memantau Ivory dan Jergens.

Seluruhnya ada lima iklan yang diputar dalam tiga fase, dengan tagline “kelembutan”. Fase satu adalah demo “Litmus”, berdurasi 30 detik, yang diputar sekitar setahun. Demo yang menunjukkan kertas indikator litmus tetap jernih setelah diuji coba dengan Dove, membuktikan bahwa produk ini adalah sabun yang paling lembut. Demo dibuat berkesan sangat soft-selling dan sangat minim dialog. Iklan ini selain diputar di televisi juga dimasukkan ke majalah berupa iklan dua halaman.

Setelah demo litmus, fase kedua diluncurkan berupa focus group bersama wanita-wanita sebenarnya. Mereka menempatkan para non-user dalam sebuah diskusi kelompok dan memfilmkan reaksi mereka terhadap uji litmus. Reaksi mereka mencerminkan respons orang-orang sebenarnya secara umum. Ketika ada satu wanita berkata “I don’t want to be a brand X girl anymore. I want to be a Dove girl now,” Dove tahu bahwa mereka telah menempuh cara yang benar. Selain itu, ada juga versi “Joe Furrier” yang memberikan testimonial sebagai seorang ahli. Joe Furrier adalah seorang ilmuwan yang membantu mengembangkan Dove pada era tahun 1950-an. Kredibilitasnya tak diragukan lagi.

Pada fase ketiga, bisnis sudah mulai menunjukkan hasil dan mereka memutuskan untuk kembali ke tujuan demo, yaitu untuk membuktikan kelembutan. Kampanye yang bertema “Flex Wash” pun diluncurkan. Flex Wash adalah uji laboratorium standar untuk iritasi kulit. Uji tersebut memperlihatkan Dove melawan sabun-sabun lain, setelah digosokkan selama 60 detik langsung ke tangan dengan spons basah, tiga kali sehari selama tiga hari. Tangan yang digosokkan ke sabun biasa menunjukkan tanda kemerahan, sementara tangan yang digosokkan ke sabun Dove hampir tidak ada tanda sama sekali.

Setelah kampanye demo Litmus, Dove mulai menanjak. Dove membuktikan bahwa iklan mampu meningkatkan share dalam pasar yang matang. Keunggulan produk mampu dikomunikasikan dengan jelas kepada segmen pasar yang tepat, walaupun tanpa melakukan pengembangan produk. Semua ini tentu tidak lepas dari kerjasama antara pihak perusahaan dengan agensi iklannya, serta positioning produk yang kuat dan matang. (Majalah MARKETING/Ivan Mulyadi)


Isuzu Nikmati Kebijakan BBM Subsidi

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Aston Operasikan 13 Hotel Pada Tahun 2011

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Brand Endorser Effect

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Coba bayangkan, apa jadinya jika bintang iklan sebuah merek diambil dari sembarang orang? Iklan itu menjadi tidak menarik, mereknya pun tak dilirik para pemirsa televisi. Maka dari itu, bintang iklan atau yang sering disebut dengan endorser harus disesuaikan dengan merek yang diiklankan. Ini penting untuk menyesuaikan citra dan positioning merek.

Iklan yang tepat, baik endorser maupun kemasannya, akan mendongkrak penjualan dengan cepat. Penggunaan selebriti sebagai endorsement sudah menjadi hal biasa dalam bisnis saat ini. Banyak teori dan praktik lapangan memperlihatkan bahwa penggunaan selebriti sebagai endorsement dalam iklan akan meningkatkan perhatian dan kesukaan publik terhadap produk yang diiklankan. Yamaha, contohnya, terkenal dengan iklan berseri ala Komeng, Didi Petet, dan kawan-kawan. Sejak meluncurkan iklan itu—yang soft selling, penjualan produk merek asal Jepang tersebut langsung melejit dan tak disangka sampai mampu menggeser posisi Honda beberapa kali.

Agak melompat sedikit, Malaysia sepertinya salah satu negara yang berhasil mengemas iklan dengan baik. Diramu dengan jitu, potensi-potensi Negeri Jiran itu dipublikasikan semenarik mungkin sehingga wisatawan ingin berkunjung. Dibanding Malaysia, Indonesia kalah dalam hal jumlah wisatawan. Padahal, potensi pariwisata kita jauh lebih menggiurkan dan beragam.

Jadi, mengemas iklan—termasuk menampilkan endorser—itu bukan perkara mudah. Prinsip kehati-hatian mesti selalu dipegang dan jangan melawan arus yang dikehendaki target pasar. Semisal, apa jadinya jika Unilever terus menampilkan iklan sampo Sunsilk dengan endorser Ariel Peterpan yang diduga menjadi pemeran video porno? Bukan tidak mungkin mereknya akan terpuruk ditinggalkan konsumen. Penggunaan selebriti sebagai endorser juga banyak risikonya.

Dr. Ying Fan, pakar marketing dari University of Lincoln, Inggris, bahkan menyebutkan bahwa risiko terbesar adalah pada selebriti itu sendiri. Ada dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, kita harus melakukan analisis mengenai celebrity life cycle terhadap selebriti yang kita gunakan—apakah dia masih bertahan lama, atau sudah masuk dalam tahap penurunan? Seberapa lama lagi ia mampu mempertahankan popularitasnya? Kedua, masalah integritas artis tersebut. Kalau banyak skandal tentu akan menurunkan integritas artis tersebut. Pengendalian opini publik terhadap merek kita juga sangat penting.

Langkah Unilever dengan langsung memutus penayangan iklan Sunsilk adalah satu pilihan yang benar. Endorser itu harus bisa diikuti tindak-tanduknya, termasuk menggunakan sampo. Tapi, bagaimana jika seorang bintang bertindak asusila? Masyarakat jelas tidak bersimpati kepadanya, termasuk kepada iklan yang dibintanginya jika terus ditayangkan. Kisah ini tak terkecuali melanda Sharp Electronics Indonesia dan Cut Tari, endorser-nya untuk produk pendingin ruangan.

Di Amerika Serikat, mungkin Anda masih ingat, memasuki awal tahun 2010, perusahaan telekomunikasi AT&T harus memutus kontraknya dengan Tiger Woods setelah pegolf beken itu didera skandal. Tidak hanya berdampak pada retaknya rumah tangga Woods, skandal tersebut juga berbuah pemutusan kontrak sponsor yang ia bintangi. Gatorade, Accenture, dan Gillette adalah tiga merek yang memutuskan kontrak itu.

Mbah Maridjan

Sido Muncul mungkin satu-satunya merek yang berdebar-debar ketika Gunung Merapi meletus tahun ini. Sebab, endorser-nya yang cukup terkenal dengan kata-kata “Rosa-rosa!” menjadi penunggu gunung di perbatasan Jawa Tengah dan DI Yogyakarta itu. Harus diakui, Mbah Maridjan dipilih menjadi endorser iklan minuman energi Kuku Bima karena kekuatannya menjadi kuncen (juru kunci) Merapi. Saat gunung itu meletus tahun 2004, ia malah naik mendekati puncak.

Di dalam diri Mbah Maridjan terdapat sifat kesetiaan, kekuatan, keberanian, yang kira-kira sama dengan konsumen minuman energi Kuku Bima. Namun, letusan tahun ini tak menyelamatkan Mbah Maridjan. Lantas, apa yang dilakukan Sido Muncul setelah kata-kata “Rosa-rosa!” tidak bisa muncul kembali dari mulut Mbah Maridjan?

Sido Muncul langsung membuat iklan berbeda. Seolah mengklarifikasi, iklan yang dimunculkan pascatragedi Merapi bertema “Hidup adalah Kehormatan”. Intinya, kehidupan dan kematian adalah rahasia Tuhan, dan tidak ada manusia yang mengetahuinya. Mbah Maridjan, meski rosa, hanyalah manusia biasa yang ditugasi menjaga salah satu gunung teraktif di dunia itu. Ia telah mampu mengemban tugas sampai akhir hayatnya.

Satu kisah Mbah Maridjan ini jelas berbeda dengan kasus Ariel Peterpan dan Tiger Woods. Mbah Maridjan diputus kontrak atas kuasa Tuhan, bukan karena ulahnya. Sido Muncul pun ingin menjelaskan endorser-nya itu meninggal bukan karena kurang rosa menahan gempuran wedhus gembel, tapi Tuhan yang berkehendak. Sebaliknya, andaikan Sido Muncul tidak langsung mengklarifikasi, sindiran demi sindiran akan terus beredar di masyarakat. Mungkin ada yang bilang, “Mbah Maridjan tidak benar-benar rosa”, dan lain-lain.

Langkah Tepat

Sido Muncul telah mengambil langkah tepat dengan membuat iklan yang mendapat simpati dari masyarakat. Iklan belasungkawa sekaligus “Hidup adalah Kehormatan” tak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memperluas sindiran-sindiran. Unilever juga telah membuat keputusan yang tepat setelah endorser-nya dilanda skandal seks. Bila tidak dihentikan, Unilever akan menjadi sorotan negatif target market.

Sharp Electronics Indonesia tidak kalah tepat setelah tidak meneruskan kontrak atas Cut Tari. Apa yang akan terjadi jika bintang iklan itu terus dipakai, sementara target market tidak menyukainya? Bisa saja merek Sharp ikut repot dibuatnya.  Padahal, menciptakan citra positif merek luar biasa susah, tapi menghancurkannya tidak butuh satu-dua hari. Sedetik saja pasar dikecewakan, mereka akan lari menjauhi merek itu.

Jadi, jelas bahwa memang efek dari penggunaan endorser merek memang cukup membantu dalam meningkatkan penjualan. Namun, yang jauh lebih penting adalah bukan soal penggunaan selebriti, tetapi penciptaan brand platform yang efektif seperti konsep brand vision, brand mission, core value, dan scope of competence dari merek tersebut. Jangan sampai kita terjebak bahwa hanya selebritilah yang bisa membuat  penjualan dan pangsa pasar kita dapat meningkat. (www.marketing.co.id)

Bos Teknisi Game iPhone Hengkang Dari Apple

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Toyota Takkan Ubah Secara Drastis Wajah Avanza

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Gigi Dinosaurus dan Batu Meteor Dandani iPhone 4

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Android Honeycomb Demo di Tablet Motorola

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Jajaran Penjualan Berkekuatan “Prinsip”

0
[Reading Time Estimation: 2 minutes]

Seperempat abad sudah penulis terjun dalam dunia penjualan. Mulai dari sebagai pelaku utama ujung tombak perusahaan, manajer madia, bahkan beberapa tahun menduduki pimpinan puncak, hingga sebagai konsultan membantu berbagai perusahaan. Dunia bisnis dan penjualan selalu disemarakkan oleh gegap gempitanya berbagai produk pelatihan pengembangan potensi, peningkatan pengetahuan, mempertajam keterampilan, hingga mengasah kompetensi. Itu semua ternyata hasilnya sangat bervariasi.

Berbagai teori selalu bermunculan. Produk-produk pelatihan yang menjanjikan dipublikasikan bagai konser dengan sepuluh diva. Janji-janji hasilnya pun dengan gamblang diekspos besar-besaran, ibarat selesai ikut seminar dunia langsung berubah bagaikan The Master alias magic. Padahal, kalau dengan kepala dingin kita meresapi dan terus mencermati, ternyata magic performance yang heboh sekalipun bisa memukau banyak penonton dan berhasil atas triknya. Itu semua  merupakan rangkaian proses yang harus dilewati secara konsisten, akurat, dan berkesinambungan.

Demikian pula, setiap keberhasilan jajaran penjual baik ujung tombak maupun  kesuksesan para pimpinannya perlu dipahami bahwa kunci sukses tersebut  berada pada “prinsip”. Ini harus dipahami secara mendalam dengan ujian-ujian  yang memakan waktu cukup lama serta keyakinan prinsip untuk dipercayai seutuhnya seperti kita memercayai Tuhan kita masing-masing tanpa catatan.

Karakteristik para jajaran penjualan yang berkekuatan prinsip itu akan berlaku hakiki dalam berbagai kehidupan—kehidupan pada umumnya, kehidupan di segi bisnis, atau kehidupan dalam bidang olahraga. Oleh karena itu, prinsip-prinsip tersebut akan selalu bersertanya, kita semua dapat melakukan uji perkembangan pribadi dengan secara terus-menerus mengamati dan menumbuhkembangkan sikap kita, yaitu:

  • Energi positif. Energi ini akan memancarkan aura yang menyenangkan setiap saat, di mana pun kita berada. Energi ini akan memberikan daya pikat dan daya tarik yang luar biasa kepada setiap orang saat kita berinteraksi dengan mereka. Energi positif ini selalu memberikan pengaruh positif pada lawan kita maupun diri kita, sehingga antusiasme muncul tanpa sadar karena energi positif ini.
  • Terus belajar (continuous learning). Jajaran penjual sejati akan menempatkan dirinya sebagai pembelajar sejati. Dalam arti bahwa setiap kurun waktu tertentu akan dijadikannya sebagai periode pendidikan—apakah itu pendidikan bersifat formal maupun informal, jadi kutu buku atau penjelajah seminar, hingga pelancong ilmu pengetahuan yang up to date.
  • Budaya pelayanan dan menjual (selling & service culture). Roh yang ada dari jajaran penjualan mengenai budaya sebenarnya lebih dititikberatkan pada visi dan misi kehidupan seutuhnya daripada sekadar karier. Kepuasannya akan terasa sebagai suatu kemenangan tertinggi manakala berhasil memberikan solusi dan menolong para pelanggannya menjadi bahagia dan mencapai objektif. Jadi, dengan kata lain, mental untuk selalu ingin memberikan kontribusi terbaik kepada setiap pelanggan.
  • Sinergi. Kepuasan yang didapat dikarenakan penjual memiliki kepercayaan yang diberikan oleh para pelanggannya. Sehingga, menaruh kepercayaan kepada orang lain merupakan cara yang akan dipegang secara teguh dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Dengan kata lain, kekuatan memberdayakan serta melakukan delegasi adalah modal yang sangat berharga pada proses sinergi ini. Kepercayaan yang diterima dibungkus dengan ketulusan hati berlandaskan komitmen, keberhasilan pun pastilah selalu berada di genggaman tangan kita. (www.marketing.co.id)