Sunday, September 14, 2025
Home Blog Page 2181

Aliansi? Why Not!

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Dua puluh tahun yang lalu, apabila kepada pelaku bisnis ditanyakan apakah mereka membutuhkan partnership atau aliansi, sebagian besar akan mengatakan tidak perlu. Perusahaan akan bertumbuh dengan baik tanpa harus beraliansi. Situasinya sungguh berbeda dengan hari ini dan di masa mendatang. Aliansi sangat penting dan bahkan bagi banyak perusahaan, tanpa aliansi, mereka tidak akan mampu bersaing lagi. Aliansi adalah darah dan energi baru untuk menopang pertumbuhan perusahaan. Karena itu, sungguh mengherankan apabila banyak perusahaan masih berpikir untuk tidak melakukan aliansi.

Salah satu industri yang paling jelas mengalami pergeseran dalam kebutuhan aliansi adalah industri seluler. Dua puluh lima tahun yang lalu, ketika teknologi masih berbasiskan AMPS, operator seluler tidak memerlukan aliansi yang nyata. Mereka mampu bekerja sendiri, memproduksi, dan memasarkan produknya sendiri. Yang mereka butuhkan adalah kerja sama dengan berbagai merek ponsel tetapi tidak perlu harus melakukan aliansi.

Kemudian, awal tahun 1990-an, muncullah teknologi seluler generasi kedua atau yang biasa disebut 2G. Perubahan yang dramatis kemudian muncul. Perusahaan operator harus memikirkan untuk beraliansi dengan berbagai pihak. Mereka membutuhkan perusahaan produsen ponsel untuk beraliansi agar mampu memberikan berbagai fitur baru. Demikian pula perusahaan seluler yang juga harus bekerja sama dengan perusahaan IT untuk membuat perangkat lunak agar mampu memberikan layanan baru. Mereka harus memberikan value-added service kepada para pelanggan mereka.

Ketika teknologi 3G diluncurkan, tiba-tiba saja perusahaan seluler bagai menyediakan cangkang kosong. Mereka membutuhkan ratusan dan bahkan ribuan perusahaan penyedia konten. Mereka harus melakukan aliansi dengan berbagai pihak termasuk para penyanyi. Sebuah aliansi yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Industri perbankan juga mengalami fenomena yang sama. Mereka harus beraliansi dengan perusahaan telekomunikasi untuk memberikan layanan mobile banking. Mereka juga harus beraliansi dengan asuransi atau dengan industri airline untuk membuat produk baru yang dapat menangkap peluang pertumbuhan perusahaan. Bahkan, perbankan juga membuat aliansi dengan para pesaingnya untuk menyediakan pelayanan ATM bersama. Mereka juga melakukan aliansi dengan berbagai merchant seperti restoran atau dengan toko roti sekalipun untuk mendukung pemasaran kartu kredit mereka.

Di industri otomotif, aliansi antara ATPM dan perusahaan pembiayaan sudah menjadi keharusan. Gagalnya motor-motor dari Cina untuk dipasarkan di pasar Indonesia juga salah satunya disebabkan tidak mampunya produsen motor Cina untuk beraliansi dengan perusahaan pembiayaan.

Inilah era saat aliansi sudah menjadi keharusan. Perusahaan harus menentukan bentuk aliansi yang paling pas untuk mereka. Mereka juga harus memaksimalkan keuntungan melakukan aliansi agar terus bertumbuh. Ini semuanya bisa dilakukan kalau pelaku bisnis mengubah mindset mereka terhadap pentingnya aliansi dan kemudian berupaya membangun kompetensi untuk melakukan aliansi. Untuk membentuk aliansi, diperlukan pola pikir baru dan kompetensi baru, baik di tingkat organisasi maupun pelaku bisnis secara individu.

Bentuk-bentuk Aliansi

Anda perlu memperhatikan business plan yang sudah Anda buat. Apakah telah memasukkan aliansi sebagai salah satu strategi untuk mendukung pertumbuhan perusahaan Anda? Atau sudahkah Anda melakukan kajian mendalam terhadap berbagai kemungkinan untuk melakukan aliansi dengan berbagai pihak?

Aliansi yang paling esensial adalah dengan para pelanggan. Bagi perusahaan B to B, kebutuhan akan aliansi sudah sangat dirasakan. Mereka yang memiliki pelanggan besar haruslah menjadikan pelanggan ini sebagai key account atau strategic customer. Demikian pula, para pelanggan perlu untuk melakukan aliansi dengan para supplier-nya agar mampu menciptakan nilai tambah atau menciptakan inovasi dalam jangka panjang.

Bagi perusahaan B to C, kesempatan untuk melakukan aliansi dengan para pelanggannya juga terbuka lebar. Teknologi digital telah memungkinkan perusahaan untuk berhubungan langsung dengan para konsumennya yang berjumlah jutaan. Mereka bisa melakukan co-creation bersama. Inilah topik yang saat ini sedang hot. Perusahaan bisa melakukan co-designing bersama dengan konsumennya atau melakukan co-development, atau bahkan co-delivery.

Aliansi antarperusahaan biasanya memiliki empat kemungkinan. Yang pertama adalah aliansi dalam bentuk co-marketing. Ini adalah aliansi antara dua perusahaan untuk mendapatkan keuntungan melalui aktivitas pemasaran bersama. Salah satu bentuk yang paling populer adalah co-branding. Perusahaan mengajak perusahaan lain yang kemungkinan besar memiliki produk komplemen dengan produknya untuk dipasarkan bersama. Dalam hal ini, salah satu perusahaan mendapatkan manfaat karena mendapatkan akses ke pelanggan perusahaan aliansinya. Mereka bisa juga mendapatkan keuntungan dalam hal pembangunan citra merek.

Bentuk yang kedua adalah aliansi dengan para channel atau saluran distribusinya. Dalam hal ini, perusahaan berupaya menyatukan dua keunggulan yang berbeda dalam value chain-nya. Salah satu perusahaan mungkin unggul dalam hal kualitas, dan perusahaan yang lain unggul dalam pelayanan. Atau, pihak produsen memiliki teknologi yang terdepan, tetapi tidak memiliki akses terhadap pasar. Dengan demikian, mereka perlu untuk melakukan aliansi dengan para channel untuk mendapatkan akses terhadap pasar yang mau dibidik.

Bentuk ketiga adalah kerja sama produksi atau biasa disebut dengan maklon. Perusahaan yang satu memiliki R&D dan kemampuan pengembangan produk yang baik, tetapi tidak memiliki kompetensi dalam memproduksi. Atau, perusahaan yang satu memiliki akses pasar, tetapi tidak memiliki pabrik untuk memproduksi produknya. Dengan demikian, kedua perusahaan mampu menjalin aliansi karena memang masing-masing pihak membutuhkan. Tren untuk maklon ini juga semakin meningkat dari waktu ke waktu. Perusahaan kemudian menjadi lebih kompetitif karena mereka fokus pada core competence masing-masing. Mereka masing-masing memiliki spesialisasi dalam rantai penambahan nilai.

Lihat saja ponsel merek Nexian dan TiPhone. Mereka melakukan aliansi dalam bentuk contract manufacturing dengan produsen ponsel Cina. Mereka memiliki pengetahuan pasar Indonesia dan memiliki jaringan distribusi yang kuat. Yang mereka butuhkan adalah produk yang dapat diterima oleh konsumen dengan harga murah. Aliansi ini jelas memberikan nilai tambah yang besar dan menciptakan keunggulan bersaing. Tidak mengherankan apabila beberapa merek global kemudian merasa kedodoran dan kehilangan pangsa pasarnya.

Bentuk aliansi yang keempat adalah joint-venture. Ini adalah bentuk aliansi yang melibatkan komitmen jangka panjang dan ekuitas. Kedua perusahaan kemudian menjadi sebuah entitas baru. Masing-masing pihak memiliki kompetensi yang sulit direplikasi. Oleh karena itu, dengan melakukan joint-venture, mereka berharap dapat mencapai kesuksesan yang lebih cepat dan bertahan dalam jangka panjang.

Aliansi, jelas merupakan strategi masa kini dan di masa mendatang. Selain itu, aliansi juga merupakan sebuah kompetensi baru yang perlu dikembangkan oleh setiap perusahaan yang ingin sukses. Aliansi? Why Not!

Toyota Luncurkan Etios Diesel Desember 2011

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Kia Rilis Sket Picanto 2012

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

RIM: Masa Depan BlackBerry Ada di Tablet

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Penjualan Yamaha Tembus 3 Juta Unit di 2010

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Jennifer Lopez Wajah Baru L’Oreal Paris 2011

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Nissan Lepas Leaf di Jepang Rp 322 Juta

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

General Motors Berniat Ekspor Chevrolet Volt ke Jepang

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

David Ogilvy

1
[Reading Time Estimation: 5 minutes]
David Ogilvy
David Ogilvy

Bila berbicara iklan, nama David Ogilvy tentu tidak bisa dipisahkan dari industri ini. Sebagai “The Father of Advertising”, namanya diabadikan pada tahun 1962 oleh Majalah Times sebagai ahli yang paling sering dicari dalam industri periklanan. Ia sangat dikenal dalam industri dan karier yang menuntut kreativitas dan juga moral ini. “Dalam industri yang semakin modern dan maju, sangatlah mubazir jika kita berpikir kreatif dan orisinal, tetapi kita tidak bisa menjual apa yang kita ciptakan.” Begitu tuturnya.

Lahir pada 23 Juni 1911 di West Horsley, Inggris, Ogilvy mendapatkan beasiswa pada umur 13 untuk masuk ke Universitas Fettes di Edinburgh. Tahun 1929, ia kembali mendapatkan beasiswa, kali ini untuk menuju Christ Church, Oxford. Tanpa beasiswa, ia tak akan mampu masuk ke Fettes atau Oxford, karena bisnis ayahnya terkena dampak resesi pada masa pertengahan tahun 1920-an. Walaupun studinya tidak berhasil dan keluar dari Oxford, ia pergi menuju Paris di tahun 1931 untuk belajar menjadi juru masak di Majestic Hotel.

Setelah setahun, ia kembali ke Scotland dan memulai pekerjaan menjual kompor AGA secara door-to-door. Prestasinya dalam menjual menginspirasi bosnya untuk meminta Ogilvy menulis buku petunjuk atau manual tentang teori serta praktik bagaimana cara menjual Kompor AGA, untuk dibagikan kepada tenaga penjual lainnya. Tiga puluh tahun kemudian, manual tersebut masih tetap dipakai sebagai sumber tulisan oleh para editor Majalah Fortune. Mereka menyebutnya sebagai salah satu manual/petunjuk menjual paling bagus yang pernah ditulis.

Setelah melihat manual tersebut, adik Ogilvy yang bernama Francis Ogilvy, yang pernah bekerja di agensi periklanan di London bernama Mather & Crowther, memperlihatkan manual tersebut kepada manajemen perusahaan. Mather & Crowther lalu menawarkan jabatan account executive untuk Ogilvy. Sejak saat itulah kiprah Ogilvy dalam dunia periklanan dimulai. Dari karyawan hingga mempunyai agensi sendiri, warisannya yang paling jelas adalah Ogilvy & Mather Worldwide.

Ogilvy mementingkan dan memanfaatkan pelatihan untuk menyalurkan ide serta pengetahuannya tentang bagaimana menciptakan iklan dan mengembangkan orang lain. Program pelatihan yang disusun lengkap untuk setiap level di perusahaan, untuk karyawan baru, karyawan level tengah, kepala divisi, bagian kreatif, media, dan lain-lain.

Setelah melalui tingkat awal pelatihan, mereka cenderung menganggap pelatihan itu lebih sebagai hak istimewa untuk mengembangkan diri dan tidak hanya sekadar tugas atau kewajiban saja. Ogilvy menghadiri program-program pelatihan semampu mungkin tanpa harus terbang, karena ia ternyata sangat takut naik pesawat. Ia akan memilih naik kereta, bahkan untuk jarak perjalanan yang sangat jauh sekalipun.

Dalam kariernya periklanannya, Ogilvy mempunyai empat pedoman dasar utama:

  1. Riset: Ia menyadari betapa pentingnya riset dalam periklanan. Pada tahun 1952, ketika membuka agensinya sendiri, ia bahkan memposisikan dirinya sebagai direktur riset.
  2. Disiplin Profesional: “Saya lebih suka disiplin mencari ilmu pengetahuan daripada sikap masa bodoh atau asal tabrak.” Begitu katanya. Ia menyusun semua ilmu pengetahuan yang didapat ke dalam slide dan film presentasi—yang ia sebut sebagai Magic Lanterns. Selain itu, ia juga mengadakan beberapa program pelatihan bagi para profesional muda di dunia periklanan.
  3. Kecerdasan dan Kreativitas: Ia sangat menekankan pentingnya “ide besar”.
  4. Manfaat bagi Klien: Dalam industri yang semakin modern dan maju, sangatlah mubazir jika kita berpikir kreatif dan orisinal, tetapi Anda tidak bisa menjual apa yang Anda ciptakan.

Ogilvy yakin bahwa ada korelasi yang sangat kuat akan banyaknya buku yang dibaca oleh seorang copywriter dengan kualitas kerjanya. Ia menganggap orang yang cenderung mengandalkan intuisi tanpa membaca buku apa pun tentang periklanan adalah sama dengan seorang ahli bedah yang tidak pernah membaca buku apa pun tentang ilmu bedah dan hanya mengandalkan intuisi.

Keahlian lain yang sangat dihargai Ogilvy adalah menulis. Hampir semua orang di jajaran atas Ogilvy paham benar akan cara menulis—dan mereka memang bisa menulis dengan baik. Disiplin untuk menulis bahkan menjadi budaya dari perusahaannya. Ogilvy sendiri menganggap dirinya sebagai penulis periklanan, tak lebih, tak kurang. Ia membuat banyak draft hanya dengan berbekal pensil.

Semua bahan dituliskan, ditulis ulang, dan ditulis ulang lagi. Ia menelusuri keseluruhan bahan untuk memisahkan kata sifat dan kata keterangan, serta menyisakan hanya kata benda dan kata kerja supaya bahan tersebut menjadi jelas dan mudah dibaca. Ogilvy mengusahakan tulisan hanya mempunyai kalimat sependek mungkin dan paragraf sesingkat mungkin. Tak lupa ia juga selalu menghilangkan kata-kata tak penting dan pengulangan. “Semakin baik Anda menulis, semakin tinggi posisi Anda di Ogilvy & Mather.”

Ogilvy & Mather telah menciptakan periklanan senilai miliaran dolar. Kita tentu mengerti bahwa angka sebesar itu dicapai tentu bukan hanya dari satu atau dua prestasi saja. Ogilvy tentu mempunyai strategi sendiri dalam membantu setiap kliennya:

Pertama, ia sadar bahwa hasil yang bisa didapat dari setiap iklan sangat bergantung dari bagaimana Anda memposisikan produk di pasar. Apakah Anda memposisikan Schweppes sebagai soft drink atau lebih baik sebagai minuman mixer? Apakah Anda lebih baik memposisikan Dove sebagai produk untuk kulit kering atau produk yang bisa membersihkan paling bersih? Hasil yang didapat dari kampanye periklanan Anda lebih banyak bergantung dari bagaimana Anda memposisikan produk daripada cara Anda menciptakan iklan itu sendiri. Positioning harus dimantapkan sebelum iklan diciptakan. Disinilah riset bisa berperan penting.

Hal kedua yang penting setelah positioning adalah apa saja yang bisa dijanjikan agensi iklan kepada kliennya. Sebuah janji bukanlah suatu tema, slogan, atau klaim. Janji sebenarnya adalah manfaat apa saja yang bisa didapat oleh klien. Manfaat tersebut haruslah unik dan kompetitif. Iklan yang diciptakan harus bisa menyampaikan manfaat tersebut. Kebanyakan iklan tidak menjanjikan apa-apa. Jika tak punya janji dan tujuan, iklan cenderung membuat produk menjadi gagal di pasaran, walaupun iklan tersebut banyak diingat atau disukai orang.

Ketiga, setiap iklan harus bisa menyampaikan brand image suatu produk. Kebanyakan produk tidak mempunyai image yang konsisten dari tahun ke tahun. Iklan yang didedikasikan untuk membangun dan terus-menerus mengasah personality dan image dari suatu merek akan mampu mendapatkan market share tertinggi di pasar.

Hal keempat yang penting dalam beriklan adalah iklan tersebut haruslah tersusun dari “ide besar”. Butuh suatu ide besar agar kita bisa mengejutkan audiens dan menyadarkan mereka akan betapa bagusnya produk kita. Hal terpenting adalah supaya iklan kita bisa menggerakkan konsumen setelah melihat iklan kita. Tetapi, harus diingat bahwa ide besar biasanya bersifat simpel. Terkadang, untuk menciptakan sesuatu yang simpel, kita malah membutuhkan suatu kejeniusan.

Kelima, kita harus menyadari bahwa iklan seringkali menciptakan persepsi tentang produk, bukan sebaliknya. Jika iklan Anda jelek, konsumen akan mengira produk Anda juga jelek, dan mereka jadi tidak tertarik untuk membeli. Inovasi sangatlah penting di sini. Kita harus mampu menciptakan tren dan bukan mengikuti tren yang sudah ada. Iklan yang meniru iklan lain jarang sekali bisa sukses. Seringkali Anda juga harus menguji inovasi Anda pada konsumen, dan lihat bagaimana mereka meresponsnya.

Hal keenam yang penting, Ogilvy tidak menemukan adanya korelasi antara iklan yang memenangkan penghargaan dengan iklan yang sukses mendongkrak penjualan. Di Ogilvy & Mather, mereka hanya memberikan penghargaan tahunan bagi kampanye periklanan yang bisa memberikan kontribusi terbanyak dalam hal penjualan. Iklan yang sukses tentu mampu menjual produknya dengan menyerap perhatian konsumen kepada produknya. Produklah yang menjadi inti dari iklan, bukan iklan itu sendiri.

Ketujuh, suatu agensi iklan yang bagus tahu benar bagaimana mensegmentasikan produk menurut faktor demografis pasar—apakah produk tersebut ditujukan untuk pria, anak-anak, atau untuk para petani yang berada di daerah selatan, dan lain-lain. Ogilvy & Mather menyadari bahwa segmentasi sangat menentukan positioning suatu produk.

Kedelapan, yang tak kalah penting adalah hindari bersikap terlalu kompleks dan rumit dalam menciptakan iklan. Kebanyakan kampanye iklan itu terlalu rumit dan menyangkut daftar kepentingan pemasaran yang terlalu panjang. Si agensi dibebani oleh terlalu banyak tuntutan dari terlalu banyak eksekutif. Biasanya, jika kita terlalu banyak ingin mencapai sesuatu dalam satu langkah, akhirnya kita malah tidak mencapai apa pun. Sungguh lebih baik menyederhanakan ide dan strategi Anda hingga menghasilkan satu tujuan sederhana dalam beriklan.

David Ogilvy meninggal pada 12 Juli 1999 di rumahnya yang berlokasi di Chateau de Touffou, Bonnes, Perancis. Ogilvy tetap dikenal sebagai salah satu nama yang paling terkenal, pemikir paling dominan, dan orang yang turut membentuk dunia periklanan. Bukunya, Ogilvy on Advertising, adalah ulasan tentang periklanan secara umum, dan tidak semua iklan yang dicantumkan adalah miliknya.

Di awal tahun 2004, Majalah Adweek menempatkan David Ogilvy di urutan pertama tokoh panutan dalam dunia periklanan. Hasil yang sama juga didapat dari hasil survei pada mereka yang mempelajari periklanan. Buku bestseller-nya, Confessions of an Advertising Man, menjadi salah satu buku yang paling populer di industri periklanan. (Majalah MARKETING/Ivan Mulyadi)

Masihkah Iklan Diperlukan?

0
[Reading Time Estimation: 5 minutes]

Iklan semakin mendapat tantangan di masa mendatang. Pemilihan media, kreativitas, dan perang iklan terus menjadi isu di masa depan. Bahkan, 50 persen iklan sebenarnya tidak menghasilkan apa-apa. Edisi ini mengangkat berbagai sudut pandang soal iklan di Indonesia. Apakah iklan masih menjadi alat yang ampuh? Bagaimana pandangan para orang iklan, pengiklan, maupun pengamat brand dalam soal iklan?

coversegutwebDi sebuah mal, 20 orang sedang menghadapi briefing dari sang supervisor. Sesekali mereka meneriakkan yel-yel, dan kemudian bubar untuk segera mencari prospek dari orang-orang yang lalu-lalang di dalam mal.

Perusahaan yang menjual alat-alat kesehatan di mal tersebut hampir-hampir tidak pernah mengeluarkan iklan. Mereka lebih mengandalkan tenaga penjual mereka yang setiap hari bergerilya mencari pelanggan di mal-mal. “Daripada uangnya untuk beriklan di televisi, mending dipakai untuk sewa tempat pameran di mal,” kata direktur pemasaran perusahaan tersebut.

Benarkah iklan semakin tidak diperlukan? Benarkah direct selling dan tenaga sales lebih punya kekuatan dibandingkan iklan? Berdasarkan survei MOM yang dilakukan oleh Majalah MARKETING, tampaknya direct selling semakin disukai oleh para marketer di Indonesia. Sementara, iklan televisi semakin menunjukkan sisi pesimis untuk bisa mendorong penjualan.

Mari lihat riset yang dilakukan asosiasi periklanan di AS sana. Dari hasil survei yang dilakukan, 73 persen pengiklan ternyata melihat tidak ada adanya kenaikan penjualan karena iklan. Herannya, kebanyakan marketer sadar bahwa 50 persen uang yang dihabiskan untuk iklan sebenarnya sia-sia. Cuma masalahnya, mereka juga tidak mengetahui di media mana saja iklan tersebut menjadi sia-sia.

Ida Bagus Yudi Suryanata, Client Solutions Director, The Nielsen Company, juga melihat tantangan yang cukup besar dihadapi oleh para pengiklan. Menurut dia, ritel modern telah menggerakkan perubahan dalam perilaku pembelian. Jika sebelumnya konsumen sudah memutuskan merek sebelum masuk toko. Sekarang, konsumen sering mengubah keputusan saat masuk ke ritel. Oleh karena itu, tantangannya adalah pergeseran dari prestore communication menjad in-store communication.

Ledakan media memang menjadi akar penyebab turunnya efektivitas iklan. Iklan, bagaimanapun harus menemukan medium untuk bercokol. Kalau 30 tahun yang lalu Indonesia hanya punya satu saluran televisi, kini konsumen sudah kebanjiran program acara dari banyak saluran televisi. Kehadiran remote televisi juga semakin menambah kesulitan para pengiklan. Acara-acara favorit tidak menjamin pemirsa bisa mempertahankan atensinya terus-menerus. Toh, begitu iklan, mereka siap berpindah ke acara-acara yang lain. Oleh karenanya, jangan berharap bahwa iklan kita bisa sukses di acara yang punya rating tinggi.

Selain dari sisi jumlah, jenis media pun mengalami perkembangan. Kini, selain in-store media, mulai bermunculan internet dan mobile advertising. Ditambah majalah, koran, radio, dan billboard, maka tidak mengherankan kalau pengiklan harus semakin pintar memanfaatkan media yang ada. Apalagi sifat media modern ini banyak yang personal. Jika dulu, pengiklan cukup meletakkan merek di satu-dua stasiun televisi ataupun koran nasional. Kini, pengiklan harus melirik media-media seperti majalah yang tersegmentasi, ataupun radio dan televisi yang berskala lokal.

Apalagi, konsumen juga semakin mobile. Gerakan mereka semakin menyulitkan para marketer untuk bisa bergantung di satu media saja. Artinya, marketer harus semakin fleksibel dalam memainkan media-media yang ada.

Harris Thajeb, ketua P3I, melihat bahwa media-media tradisional seperti televisi, majalah, dan koran masih berperan besar. Di dunia sendiri, beriklan di internet porsinya masih tak lebih 5 persen dari total bujet promosi perusahaan. Apalagi, di Indonesia, media internet masih belum banyak dipakai, sekalipun pertumbuhannya juga tergolong cepat.

Dengan segala tantangan ini, mau tidak mau kreativitas harus semakin maksimal dimanfaatkan. Tidak hanya soal pemilihan media, tetapi juga pesan dan “seni” yang ditampilkan dalam iklan tersebut.

Greg Stuart, pakar periklanan yang sempat mampir di Indonesia, mengatakan bahwa orang-orang di dunia periklanan bukannya kering ide. Mereka adalah orang-orang hebat yang menguasai bidangnya. Namun demikian, landscape marketing yang dihadapi kini memang mengalami perubahan. Hal ini kadang-kadang membuat para marketer seperti menjadi irasional dalam mengeluarkan bujet. Sementara, return dari iklan itu sendiri juga semakin sulit diukur.

Iklan bukanlah segala-galanya dalam dunia marketing. Ada banyak variabel yang membuat keberhasilan sebuah merek, dan hal itu tidak bisa diletakkan semuanya pada iklan. Di sisi lain, iklan dianggap mampu mempengaruhi perilaku seseorang. Maksudnya, iklan bisa menciptakan kebutuhan dari si konsumen. Dari tadinya tidak butuh menjadi butuh. Makanya, tidak mengherankan banyak marketer meletakkan segala sesuatunya pada iklan.

Mitos ini dibantah, salah satunya oleh Gerard Tellis, PhD., penulis buku Effective Advertising, yang mengatakan bahwa iklan tidaklah menciptakan consumer needs. “Semua orang sudah butuh sebuah mesin yang bisa menyimpan ratusan lagu sejak dulu. Jadi, bukan gara-gara iklan iPod kemudian membentuk habit baru di konsumen.”

Gerard pun mengingatkan bahwa efek iklan itu tidak bersifat instan. Pertama, dibutuhkan waktu bagi konsumen untuk bisa menerima iklan tersebut. Dari situ, prosesnya masih tertarik dulu, baru kemudian termotivasi untuk membeli. Artinya, ketertarikan konsumen bukan berarti membuat mereka langsung membeli. Ada hal-hal positif terlebih dahulu yang membuat mereka membeli. Misalnya, pengaruh dari orang lain, daya beli, dan lain-lain.

Makanya, iklan yang menarik tidak selalu berhasil. Marketer harus punya keahlian terlebih dulu untuk menggali motivasi apa yang membuat konsumen membeli suatu produk. Artinya, riset harus sering-sering dilakukan sebelum melakukan eksekusi iklan.

Inilah sebenarnya “dosa” terbesar marketer. Melepaskan tanggung jawab ini dan membiarkan para agensi periklanan membuat iklan yang semenarik mungkin. Sementara, si agensi iklan, agar meyakinkan dan menang pitching, merasa paham sekali soal produk klien. Padahal, memahami perilaku konsumen atas produk tersebut jauh lebih penting ketimbang produk si klien.

Marketer dan agensi iklan seharusnya menjalankan kolaborasi dengan baik. Greg Stuart mengatakan, salah satu kegagalan promosi melalui iklan adalah proses yang kurang diikuti dengan baik oleh Marketer. Mereka kurang mau terlibat dalam semua proses, apalagi jika mereka sudah merasa mengeluarkan banyak uang untuk agensi mereka. Yang diinginkan oleh para chief marketing officer (CMO) cuma hasil dari iklan tersebut, alias apakah iklan tersebut sukses atau tidak.

Unilever adalah salah satu perusahaan yang percaya pada kekuatan iklan. Namun kalau ditanya, orang-orang di dalam Unilever ini selalu menampik bahwa kekuatan bujet iklanlah yang membuat produk-produk mereka sukses di pasaran. Harus diakui pula, iklan-iklan keluaran Unilever juga selalu memukau. Simak saja iklan Pepsodent akhir-akhir ini, tentang seorang ayah yang mengajarkan anaknya untuk rajin menggosok gigi. Menakut-nakuti anak supaya mau menurut adalah budaya orang Indonesia. Namun, cara penyampaiannya dibuat humoris, karena anak sekarang pun terlihat kritis kalau ditakut-takuti oleh orang tuanya. Kreativitas ini muncul tak lain karena riset yang rajin mereka lakukan.

Salah satu perilaku-konsumen lain yang sering tidak dipahami oleh para pembuat iklan adalah bahwa orang Indonesia tidak suka yang rumit-rumit. Mengutip pernyataan Handi Irawan dalam sebuah seminar, orang Indonesia itu jangan dikasih iklan-iklan yang membuat dahi merek berkerut. Sampaikan pesan dengan mudah, jelas, dan langsung. Terlalu banyak hal yang tersembunyi dalam iklan membuat konsumen Indonesia tidak mudah menangkap pesan dari iklan tersebut.

Kelemahan lain, menurut Greg, adalah konsep operasional yang tidak dibangun pada saat menjalankan sebuah proyek periklanan. Konsep operasional menyangkut langkah-langkah eksekusi dan juga contigency plan. Selain itu, juga perlu diperjelas definisi dari kesuksesan iklan yang akan dieksekusi. Kalau ingin memperbesar awareness, frekuensi beriklan mungkin menjadi masalah pokok yang harus turut dibicarakan. Jika urusannya membuat konsumen tertarik, unsur visual dan tema iklan mungkin harus lebih kuat, dan sebagainya.

Jadi, tetap saja iklan bukanlah sesuatu yang instan bisa menghasilkan penjualan. Sama halnya dengan menaruh produk di ritel, pasti ada beberapa persen yang kembali (retur) karena tidak dibeli. Namun demikian, kita tidak bisa mengurangi secara drastis jumlah barang yang didistribusikan lewat ritel tersebut. Bagaimanapun, jumlah barang yang di-display dan jumlah stok barang (jika sewaktu-waktu habis) harus tetap ada.

Demikian halnya dengan iklan, waste itu selalu ada karena kita tidak bisa mengetahui secara tepat iklan yang mana dan di mana iklan tersebut mendapat respons positif. Yang paling mungkin adalah dengan melakukan riset terus-menerus dan mencegah supaya jangan terlalu terjadi waste dalam komunikasi.

Zespri Kiwifruit: Menjual Keunggulan Buah Kiwi

2
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Meskipun buah kiwi memiliki bentuk fisik yang tidak menarik, dengan pengemasan dan promosi yang tepat, Zespri Kiwifruit mampu menembus pasar di 70 negara.

DSCF0354web
Yuyuh Sukmana, Marketing Development Manager – Indonesia, Zespri International

Seperti diketahui, vitamin C memiliki peran penting dalam menjaga daya tahan tubuh, dan berfungsi sebagai antioksidan. Vitamin C yang tinggi dibutuhkan seluruh sel dan organ tubuh agar bisa berfungsi optimal dan menjaga tubuh dari infeksi dan penyakit. Selain itu, sebagai antioksidan, vitamin C mampu membantu mencegah kerusakan sel akibat proses oksidasi. Proses ini dapat mempercepat proses penuaan, menyebabkan penyakit kanker dan jantung—yang disebabkan oleh asap rokok, polusi yang tinggi, dan metabolisme yang rendah.

Salah satu buah yang kaya akan vitamin C adalah kiwi. Kepadatan nutrisi buah kiwi lebih  tinggi dibanding buah lainnya. Bahkan menurut USDA Nutrient Database (Maret 2010), buah kiwi memiliki kandungan vitamin C paling tinggi ketimbang pepaya, jeruk, mangga, nanas, pisang, dan apel. Dengan mengonsumsi dua buah kiwi sehari, ternyata, kebutuhan harian vitamin C untuk orang dewasa telah mampu tercukupi.

“Zespri International berkomitmen untuk terus memberikan yang terbaik melalui penyediaan buah kiwi yang berstandar tinggi—baik soal rasa maupun ukuran. Tak hanya itu, kami juga senantiasa akan memberikan informasi kesehatan dan manfaat buah kiwi berdasarkan hasil riset secara terus-menerus,” kata Yuyuh Sukmana, Marketing Development Manager – Indonesia, Zespri International—perusahaan yang memasarkan buah kiwi dengan merek Zespri.

Ditambahkan Yuyuh, Zespri International adalah marketer eksklusif untuk dua buah jenis kiwi, yakni Zespri Green Kiwifruit dan Zespri Gold Kiwifruit. Perusahaan yang memiliki kantor di wilayah Eropa, Amerika Utara, Asia—termasuk Asia Tenggara dan Asia Pasifik—ini telah memasarkan buah kiwi ke lebih dari 70 negara di dunia. Selain itu, perusahaan yang dimiliki oleh para petani buah kiwi ini merupakan market leader dalam pasar buah kiwi di dunia.

“Tingginya minat konsumen di Indonesia terhadap Zespri Kiwifruit terbukti dengan peningkatan penjualan di Indonesia, sekitar dua kali lipat di tahun 2009, dibandingkan dengan tahun 2008. Hal ini mendorong Zespri International untuk mengembangkan pasar ke beberapa kota besar lainnya, seperti Surabaya, Medan, dan juga di wilayah Indonesia Timur,” imbuh Yuyuh.

Diungkapkan dia, jika dibandingkan Zespri Kiwifruit di negara lain, dilihat dari jumlah penjualan, Indonesia menempati posisi ketiga dengan kisaran 12 persen di tahun 2009. Jumlah penjualan tertinggi masih diduduki oleh Malaysia (36 persen) dan Singapura (19 persen). Dengan kondisi tersebut, Yuyuh tetap optimis bahwa tiga tahun mendatang, penjualan Zespri Kiwifruit di Indonesia akan mencapai posisi Malaysia dan Singapura tersebut.

Guna mendongkrak jumlah penjualan Zespri Kiwifruit di Indonesia, Yuyuh mengatakan, akan menggempur pasar dengan berbagai strategi. Di antaranya dengan memasang iklan di berbagai media—baik media elektronik maupun media cetak. Untuk aktivitas di lini bawah, Zespri Kiwifruit akan menggelar serangkaian kegiatan guna memperkenalkan rasa yang ditawarkan oleh Zespri Kiwifruit.

Sekadar informasi, buah kiwi diasumsikan oleh masyarakat adalah buah yang memiliki rasa asam. Padahal, tidak semua rasa buah kiwi sama. Diungkapkan Yuyuh, Zespri Kiwifruit telah memiliki standar dalam setiap proses penanaman, sehingga rasa yang dihasilkan pun tetap konsisten. Karenanya, sudah tidak ada masalah dalam hal rasa Zespri Kiwifruit. Kelebihan lainnya, Zespri Kiwifruit banyak mengandung vitamin C, vitamin E, mineral, antioksidan, fitokemikal, dan serat.

“Untuk menyukseskan kegiatan tersebut, Zespri Kiwifruit menggandeng dua distributor, yakni PT Segar Manis Mata dan PT Sewu Segar Nusantara. Selain itu, untuk mendukung sisi branding, Zespri Kiwifruit didukung oleh lima pilar, yakni merek, kesehatan, rasa, varietas baru, dan ketahanan bisnis di masa yang akan datang,” ucap dia. Dilihat dari sisi branding, sudah terlihat jelas bahwa Zespri Kiwifruit merupakan satu-satunya merek buah kiwi di New Zealand. Tentunya, ini menjadi kekuatan bagi Zespri Kiwifruit dibandingkan merek buah kiwi dari negara lain.

Jadi, lanjut Yuyuh, yang ingin diperkenalkan kepada pasar di sini bukanlah kiwi dalam bentuk fisik buah itu sendiri. Keunggulan kandungan zat dalam buah kiwilah yang ingin ditonjolkan—karena setiap jenis buah juga memiliki manfaat tersendiri. Zespri Kiwifruit menawarkan sesuatu yang beda. Buah kiwi bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan, menyegarkan, sekaligus membawa manfaat kesehatan.

“Di sini, Zespri Kiwifruit bisa menjadi contoh bagaimana sebuah inovasi dapat mengubah buah kiwi menjadi produk yang digemari oleh konsumen. Tentunya, ini dilakukan dengan metode pemasaran yang tepat. Konsumen dapat melihat bahwa buah kiwi bisa memberikan nilai dan manfaat yang besar bagi pengonsumsinya,” kata Yuyuh.

Riset tahun 2008 dengan sampel Eropa dan beberapa negara Asia, Yuyuh memaparkan, menghasilkan data mengenai alasan konsumen membeli buah kiwi: didasarkan pada rasa (19 persen), kesehatan (15 persen), tersedia di toko (13 persen), merek (13 persen), ketersediaan dan kemudahan (12 persen), siap untuk dimakan (10 persen), harga (10 persen), dan disukai anak-anak (8 persen).

“Zespri Kiwifruit memfokuskan empat faktor yang menjadi keputusan konsumen membeli kiwi, yakni merek Zespri, kesehatan, rasa yang terdiri dari kualitas produk dan konsistensi, serta varietas baru. Oleh karena itu, Zespri melakukan strategi marketing—misal mengemas buah kiwi secara menarik, bahkan dilengkapi dengan sendok khusus berwarna hijau dan kuning.”

Saat ini, Zespri Kiwifruit dapat diperoleh konsumen di seluruh pasar modern, termasuk pasar swalayan dan toko-toko buah di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bali, dan Medan. Agar konsumen Indonesia dapat menikmati buah kiwi Zespri secara maksimal, Yuyuh mengungkapkan, konsumen harus dapat memilih dengan baik.

Adapun cara yang digunakan untuk memilih adalah menekan buah kiwi secara lembut. Buah kiwi Zespri yang siap makan adalah yang tidak terlalu keras dan tidak terlalu lembut. “Terdapat dua cara berbeda untuk menekan buah kiwi. Untuk Zespri Green Kiwifruit, tekan bagian atas dan buahnya. Sementara untuk Zespri Gold Kiwifruit, cukup tekan keseluruhan buahnya,” kata Yuyuh memberi tips. (Majalah MARKETING/Fisamawati)

AHRS: Tak Henti Berinovasi

0
[Reading Time Estimation: 5 minutes]

Brand AHRS dibangun dengan kesabaran dan kerja keras, serta sikap pantang menyerah menghadapi kegagalan. Kini, nama AHRS telah berkibar bukan saja di produk spare parts dan aksesori motor, namun juga di arena balap motor.

Picture 184webAHRS adalah merek yang sudah tidak asing di dunia otomotif, khusunya sepeda motor. Bagi pecinta asesoris sepeda motor, seperti knalpot, jaket, warepack balap, racing part, dan lainnya, tentu sangat mengenal dengan merek satu ini. Selain harganya terjangkau, kualitas produknya pun tidak kalah dengan produk luar. Banyak orang menyebut AHRS, namun merek ini sebenarnya merupakan kepanjangan dari Asep Hendro Racing Sport. Asep Hendro adalah pendiri sekaligus pemimpin perusahaan AHRS Racing Product.

Menggunakan balap sebagai bahasa komunikasinya, AHRS sukses di dua dunia, bisnis dan balap. Dari pedagang keliling, Asep Hendro berevolusi menjadi pengusaha beromset milyaran dari industri racing part, spare part, variasi sampai apparel sepeda motor.
Berawal dari hobi balap motor, H. Asep Hendro, merintis usaha penjualan jaket motor sejak tahun 1997. Usaha ini dilakukan dengan berkeliling Jakarta, sambil tetap menjalankan hobi balap motornya. Dari modal awal yang hanya sekitar Rp 3,5 juta dari hasil balap motor, usaha yang ia tekuni ini berkembang seiring dengan meningkatnya permintaan jaket. Tahu usahanya mulai berkembang, kemudian Asep pun mengembangkannya dengan memproduksi knalpot. Saat itu, knalpot yang dia produksi belum ada mereknya.

Tak disangka, usaha penjualan jaket yang pertama kali dirintis berkembang pesat, sampai kemudian seorang tukang jahitnya mengusulkan nama AHRS (Asep Hendro Racing Sport) untuk produk jaket yang mereka dijual. Sejak saat itulah nama AHRS menjadi merek semua produk yang dipasarkan, seperti knalpot, baju balap, apparel, aksesori, merchandise, dan masih banyak lagi. “Lebih kurang 200 item diproduksi AHRS,” kata Asep.

Lewat AHRS, lelaki asli Garut ini memiliki visi untuk menciptakan barang-barang part racing yang betul-betul bagus dan bisa bersaing dengan produk luar. Selain itu, mantan pembalap dari tim Suzuki ini menginginkan produk-produk AHRS menjadi yang terbaik dan terdepan di pasar.

Sejak berdiri  tahun 1997 hingga sekarang, Asep mendayagunakan keluarganya untuk mengelola bagian-bagian pekerjaan di AHRS, seperti di bagian baju, spare parts, yang sampai kini semakin berkembang dengan produk-produk lain. “Alhamdullilah. Saya bersyukur bisa membantu keluarga dan teman-teman. Saat ini, AHRS telah berkembang dengan jumlah karyawan mencapai sekitar 500 orang,” kata Asep bangga.

Umumnya, produk AHRS diarahkan untuk kalangan pencinta sepeda motor. Pasarnya pun tidak hanya berkembang di dalam negeri, namun juga telah merambah ke berbagai negara, terutama negara tetangga. Untuk baju balap, AHRS sudah dipasarkan hingga ke Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura, sejak tiga tahun yang lalu. Saat ini, AHRS ingin melebarkan sayap dengan memasarkan baju balap apparel ke Eropa. Di Indonesia sendiri, Asep mengklaim hampir 90 persen menguasai pasar. Sementara di Malaysia, khusus untuk baju balap, pangsa pasarnya hampir 80 persen.

“Itu merupakan suatu kebanggaan buat saya, produk lokal bisa bersaing dengan produk luar di pasar internasional. Produk AHRS sudah berstandar internasional, dan kini sedang mengembangkan lagi dua produk baru yang kualitasnya lebih bagus,” terang Asep.

Kalau soal harga, tentu saja produk AHRS lebih murah dibanding produk luar. Baju balap produk dari luar misalnya, harga yang ditawarkan bisa mencapai Rp 20 juta. Sedangkan produk AHRS cuma seharga Rp 6 juta, namun kualitasnya mampu bersaing.

Mengenai strategi pemasaran dari produk-produk AHRS, Asep mengungkapkan bahwa AHRS mempunyai tips-tips tersendiri dalam menggarap pasar—melalui riset. Asep mengakui, kondisi sekarang, dengan sudah berlakunya pasar bebas ASEAN, kompetitor—terutama di bidang part racing—semakin banyak. Selain itu, AHRS juga punya tim balap, baik di MotoCross maupun di Road Race, yang bisa menjadi media promosi buat AHRS. “Karena, apabila produk kita betul-betul teruji di medan balap, otomatis brand image AHRS semakin meningkat,” kata ayah dari Farhan Hendro—juara nasional Grade B MotoCross, sejak empat tahun terakhir.

Sepak terjang Asep yang masih aktif di dunia balap menyebabkan dirinya tahu apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan konsumen, sehingga AHRS bisa lebih meningkatkan pelayanannya. Ditambahkan Asep, AHRS mempunyai tim research and development (R&D) serta tim desain yang bisa terus melakukan eksplorasi dan inovasi produk.

“Karena, kalau tidak melakukan eksplorasi dan inovasi produk, kita bisa ketinggalan. Maklum saja, saat ini kompetitor semakin banyak. Adanya pasar bebas cukup berpengaruh juga terhadap daya saing pasar,” jelas ayah dari crosser Farhan Hendro ini.

AHRS memiliki tim survei sendiri untuk mengenali kemauan pasar. Misalnya, kebutuhan pasar yang menjadi tren di tahun 2010 itu seperti apa? Apakah dari produk knalpot, atau dari jaket, atau aksesori lain. “Dengan adanya tim R&D, kita terus kembangkan dan ciptakan produk-produk inovatif yang akan menjadi tren di pasar,” imbuh Asep.

Lebih lanjut dijelaskan, untuk setiap jenis produk AHRS, dipatok harga yang berbeda. Sebagai contoh, dari baju balap saja, ada tipe yang high end (paling bagus), medium, dan yang termurah; mulai harga Rp 5 juta, Rp 4 jutaan, dan Rp 3,5 juta. Beragamnya harga tergantung pada kualitas bahan. Harga yang dibanderol itu dianggap masih lebih murah dibanding harga produk dari luar. Kendati murah, bukan berarti kualitasnya asal-asalan. AHRS tetap mempertahankan kualitas untuk menjaga brand image.

Di saat normal, omzet yang diraih usaha Asep bisa mencapai Rp 3 miliar per bulan. Namun, sekarang ini, sejak bulan November 2009 sampai Mei 2010, usaha sedang mengalami masa-masa sulit hingga turun mencapai sekitar 60 persen dari total omzet. Diakuinya, Undang-undang  No. 22  Tahun 2010 mengenai tingkat kebisingan kendaraan bermotor menyebabkan kelesuan di pasar knalpot. Asep merasa kebijakan itu masih belum jelas mengenai batasan desibelnya.

“Bersama teman-teman di asosiasi sepeda motor, kita bukan bermaksud melawan pemerintah. Kita ingin ikut aturan pemerintah, tapi kita butuh kejelasan. Namun, saat ini masih belum ada batasan mengenai desibelnya. Padahal, itu sangat berpengaruh ke omzet. Terus terang, omzet terbesar AHRS adalah dari penjualan produk knalpot, hampir sekitar 30 persen dari total omzet,” keluh Asep.

Seiring mulai berlakunya pasar bebas, AHRS tak gentar menghadapi semakin banyaknya kompetitor dari luar negeri. Strategi yang dilakukan AHSR adalah dengan melakukan inovasi terus-menerus. Produk yang dihasilkan bukan asal buat, tetapi melalui tahapan riset terlebih dahulu. Asep selalu mengikuti perkembangan dunia otomotif. Selain di arena balap, dia juga melakukannya dengan browsing di internet. Asep juga tak segan melihat produk-produk luar untuk bisa dikembangkan menjadi produk-produk yang unik, agar menjadi tren di masa depan.

Di dalam negeri, pemasaran AHRS sudah meluas. Usaha ini memiliki banyak agen penjualan. Ada sekitar 200 agen yang tersebar di seluruh Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke.

Diakui Asep, dalam menjalankan usahanya ini, hambatan selalu ada. “Yang namanya usaha tidak selamanya lancar. Sebagai contoh, sejak adanya UU No. 22 Tahun 2010 tentang batasan desibel kendaraan bermotor, itu sangat berpengaruh terhadap penjualan. Para agen pun menjadi macet dalam hal pembayaran,” jelas dia.

Ke depan, AHRS ingin fokus ke produk apparel, jaket harian yang betul-betul aman bagi pengendara motor. Jaket ini pun nantinya tersedia dalam tiga kategori harga, dari mulai yang termurah, sedang, dan termahal. Kini, AHRS sudah menjadi brand yang cukup kuat di pasar. Asep menyadari, ke depan persaingan bertambah ketat, terutama dengan membanjirnya produk impor sebagai dampak pasar bebas. Namun demikian, Asep optimistis bisa bersaing, karena kualitas produk AHRS tidak kalah dari yang lain. Asep tidak mau brand AHRS mutunya tidak bagus. Oleh karena itu, Asep mewajibkan semua produk AHRS melewati tes dahulu.

Mengenai kunci sukses usahanya, Asep mengatakan bahwa setiap kegagalan jadi motivasi bagi dia untuk terus berusaha. Selain itu, sikap jujur, kerja keras, dan rajin berinovasi juga menjadi faktor penentu keberhasilan. (Majalah MARKETING/Harry Tanoso)

Vaseline Men: Menjawab Kebutuhan Pria

1
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Pasar produk perawatan kulit bagi pria sudah terbentuk. Namun, produk yang ada di pasar tersebut belum tersedia secara maksimal. Karenanya, Vaseline Men mencoba merangsek masuk guna menjawab kebutuhan pasar. Apa saja strategi yang dilakukan?

Ika Paramita, Brand Manager Vaseline PT Unilever Indonesia Tbk
Ika Paramita, Brand Manager Vaseline PT Unilever Indonesia Tbk

Pria pada umumnya—termasuk pria Indonesia—mengalami perubahan gaya hidup yang cukup signifikan dalam beberapa dekade ini. Gaya hidup pria dalam menjaga dan merawat kesehatan kulit terus berkembang. Pasar produk perawatan pria di segmen pembersih dan perawatan kulit di Indonesia mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Di tahun 2009 angka pertumbuhannya mencapai 46,5 persen untuk produk perawatan kulit pria dan 32,9 persen untuk produk pembersih kulit pria.

Fakta lain juga menunjukkan bahwa secara genetik dan fisiologis, kulit pria 25 persen lebih tebal dan berminyak dibandingkan dengan kulit perempuan. Oleh karena itu, pria pun membutuhkan perawatan yang tepat. Hal inilah yang mendorong Vaseline untuk meluncurkan varian khusus bagi pria, yakni Vaseline Men.

Berdasarkan riset yang dilakukan Vaseline bersama lembaga penelitian di Indonesia mengenai penyebaran produk perawatan khusus pria, terungkap bahwa setiap bulannya 1 juta pria di negara ini mengakui membeli serta menggunakan produk perawatan kulit. Artinya, hal ini menandakan adanya pergeseran pandangan mengenai perawatan kulit pria.

“Kami memahami bahwa kini pria perlu lebih merawat diri untuk menghadapi segala tantangan. Dan didukung hasil riset, terungkap bahwa ternyata saat ini, pria Indonesia baru menggunakan beberapa jenis rangkaian perawatan kulit tubuh. Maka, Vaseline Men memperkenalkan rangkaian produk yang diharapkan bisa membantu pria dalam menjaga kesehatan kulitnya,” kata Ika Paramita, Brand Manager Vaseline PT Unilever Indonesia Tbk.

Ditambahkannya, fakta lain menunjukkan terdapat satu dari dua pria menginginkan kulit lebih cerah, lembab, dan sehat. Sebanyak 68 persen dari 400 pria tersebut juga berpendapat bahwa pria dengan kulit yang lebih cerah mempunyai kesempatan untuk memenangkan perhatian dari lingkungan sosialnya. Dan, lanjut Ika, 348 pria (87 persen) dari 400 pria berpendapat bahwa pria yang memiliki kulit cerah akan lebih mempunyai kesempatan untuk memenangkan perhatian dari kaum perempuan.

Menjawab keinginan itu, rangkaian produk Vaseline Men terdiri dari face wash, body wash, dan body lotion, hadir dengan dua platform, yakni rangkaian seri whitening dan rangkaian seri fresh hydrating. Rangkaian Vaseline Men Whitening mengandung Vitamin B3, antioksidan, dan soft beads yang membantu memelihara dan mempertahankan kesehatan kulit pria. Sedangkan rangkaian Vaseline Men Fresh Hydrating mengandung Vitamin E dan pelembab kulit yang membantu memelihara kesehatan kulit pria sehingga terasa lembut, sehat, dan terawat.

Adapun jenis rangkaian facial foam yakni Vaseline Men Whitening Deep Clean Face Wash, Vaseline Men Whitening Deep Clean Face Scrub, dan Vaseline Men Refreshing Oil Face Wash. Untuk rangkaian body wash, produk perawatan terdiri dari Vaseline Men Whitening Body Wash dan Vaseline Men Fresh Hydrating Body Wash. Sedangkan rangkaian hand & body lotion berupa Vaseline Men UV Whitening Body Lotion dan Vaseline Men Fresh Hydrating Body Lotion.

“Untuk facial foam, tersedia kemasan 50 ml dan 100 ml; body wash tersedia dalam kemasan botol 220 ml dan isi ulang 220 ml; sedangkan hand & body lotion tersedia dalam ukuran botol 200 ml dan isi ulang 100 ml. Dari sisi harga, Vaseline Men cukup terjangkau, berkisar antara Rp 10 ribu hingga Rp 20 ribu,” jelas Ika.

Untuk memperkenalkan produk ke kalangan masyarakat—khususnya pria, Vaseline Men menggunakan brosur, spanduk, banner, dan beberapa media lainnya. Vaseline Men juga menginformasikan produk tersebut melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Bahkan, untuk TVC-nya, Vaseline Men mempunyai beberapa versi yang ditayangkan dalam kurun waktu yang bersamaan, materi iklan ada yang mengangkat produk ataupun program yang akan digelar.

Tak hanya itu, Vaseline Men juga menggunakan brand ambassador Darius Sinathrya untuk mewakili target market mereka. Vaseline Men sendiri membidik segmen pria yang berusia 20 tahun ke atas. Umumnya, pria dalam rentang usia tersebut memiliki kepribadian yang dinamis, aktif, serta peduli terhadap kesehatan kulit. Sedangkan untuk positioning, Vaseline Men mengusung “Keeping Men’s Skin Amazing”.

Ika menambahkan, kini pria lebih memahami bahwa merawat diri adalah salah satu strategi penting yang harus dijalankan. Karenanya, untuk menarik minat konsumen, Vaseline Men mengadakan program Vaseline Men Amazing Journey. Program ini bisa diakses melalui situs www.vaselinemen.com—sebagai fasilitas edukasi dan tantangan fisik untuk pria.

Selain itu, diungkapkannya, keunggulan Vaseline Men antara lain mampu mencerahkan kulit dan menghilangkan bintik hitam atau noda pada kulit dalam waktu 14 hari. Ini berarti 50 persen lebih cepat dibandingkan produk pemutih kulit pria lainnya. Secara ilmiah terbukti 30 kali lebih efektif dalam menjadikan kulit pria bertambah cerah dibandingkan dengan produk pemutih kulit pria lainnya.

Situs Vaseline Men Amazing Journey dapat diakses semua pria untuk memperkaya pengetahuan tentang bagaimana merawat serta menjaga kesehatan kulit, dan menguji ketangguhan pria dalam menghadapi tantangan melalui games interaktif. Pria memang cenderung menyukai tantangan dan harus selalu siap menghadapinya untuk meraih kemenangan.

Nah, uniknya lagi, bagi pria yang dapat membuktikan ketangguhannya dalam menjawab tantangan, Vaseline Men akan memberikan penghargaan kepada empat pria untuk menyaksikan ajang sepak bola terbesar pada 2010 di Afrika,” kata Ika mengakhiri pembicaraan. (Majalah MARKETING/Fisamawati)

Sriwijaya Air: Jurus Anak Kampung Membidik Pasar Premium

1
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Menjadi pemain utama di pasar premium merupakan prestasi tersendiri bagi  setiap maskapai penerbangan. CItra  maskapai penerbangan tersebut pun terdongkrak.

Chandra Lie, Presiden Direktur Sriwijaya Air
Chandra Lie, Presiden Direktur Sriwijaya Air

Sejak berdiri tujuh tahun lalu, tepatnya 10 November 2003,  Sriwijaya Air telah berkembang menjadi salah satu maskapai nasional yang kondang di mata masyarakat. Menurut Chandra Lie, Presiden Direktur Sriwijaya Air, maskapai memiliki sekitar 27 pesawat dan menjangkau 35 kota di dalam negeri dan dua kota di luar negeri dengan 170 penerbangan perharinya. Pada 2009, Sriwijaya Air mengangkut sekitar enam juta penumpang.

Pada tahun ini, Sriwijaya Air mulai mendatangkan beberapa pesawat. Pada  Maret lalu, satu pesawat anyar tiba. Pada tahun ini, Sriwijaya Air berharap bisa menambah 35 unit pesawat. Infrastruktur telah disiapkan. Mengingat salah satu yang menjadi kendalanya adalah kekurangan pilot beserta krunya, Sriwijaya Air berusaha membina lulusan dari seluruh Indonesia untuk berkerja di sana. Ada  sekitar 50 kru yang telah lulus sekolah pilot sesuai peraturan departemen perhubungan.

“Kami mengembangkan usaha dengan melakukan penambahan pesawat. Kedua, OTP (on time performance) harus kita tingkatkan. Ketiga,  infrastruktur Sriwijaya Air kami persiapkan,” kata Chandra Lie seraya menegaskan bahwa ketiga hal ini merupakan pondasi utama yang penting diperhatikan perusahaan penerbangan.

Dijelaskan Chandra Lie, khusus di bidang infrastruktur, selain  sudah membangun sekolah penerbangan di Bangka-Belitung yang soft launching-nya sudah digelar sejak bulan lalu. Sriwijaya Air juga membuka simulator penerbangan pesawat yang ada di M1-Tangerang.  “Jadi, kami sangat serius dalam bisnis penerbangan ini. Bisa saya katakan, ini program jangka menengah yang kita lakukan. Saya bisa artikan program jangka pendek dalam bisnis penerbangan itu adalah kurun waktu 1-5 tahun, program jangka menengah 6-10 tahun, dan program jangka panjang 11-15 tahun,” paparnya.

Artinya, sambung Chandra Lie, Sriwijaya Air telah masuk ke program jangka menengah. Masih ada kesempatan tiga  tahun lagi untuk membangun Sriwijaya Air. Dalam program jangka menengah ini, sudah tiga hal yang dikerjakan dan merupakan pondasi penting bagi perusahaan penerbangan. “Jadi, kita tidak keluar dari rel atau pakem bisnis dunia penerbangan,” ujarnya.

Dalam hal positioning, Sriwijaya Air saat ini, ditegaskan Chandra Lie, tidak ingin mendahului Garuda Indonesia sebagai maskapai nasional yang menjadi kebanggaan Bangsa Indonesia. Namun, dari sisi jumlah penumpang, saat ini,  Sriwijaya Air berada di bawah Garuda Indonesia. “Posisi nomor dua ini bisa kita capai dengan didukung kerja keras seluruh karyawan dan juga masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Strategi pemasaran yang dilakukan Sriwijaya Air adalah bermitra dengan korporasi lain seperti yang jamak dilakukan oleh maskapai pada umumnya.  Selain itu, Sriwijaya Air terus mengembangkan  dan  menawarkan berbagai produk kemudahan dan pelayanan bagi para calon dan pelanggan Sriwijaya Air. Khususnya, dalam memeriahkan berbagai acara nasional dan internasional. Sebab itu, Sriwijaya Air sering menggandeng berbagai departemen dan korporasi nasional dan internasional dalam melakukan co-branding.  Sriwijaya Air juga menawarkan kerjasama promosi bersama dengan berbagai potongan harga 5-10 persen kepada pelanggan yang membeli tiket Pergi-Pulang (P/P). Kerjasama dengan berbagai bank dan penerbit kartu kredit serta merchant juga terus dikembangkan untuk mempercepat peningkatan pencitraan Sriwijaya Air.

Namun , Chandra Lie dengan bangga menyebut ‘strategi anak kampung’, sebagai kunci sukses Sriwijaya Air. Mengenai strategi anak kampung ini, Chandra Lie menjelaskan bahwa kepada setiap agen perjalanan, diperlakukan sebagai mitra kerja. Pihaknya selalu menggunakan strategi  pengenalan, pendekatan, dann penjualan.  Dengan penerapan strategi ini, Sriwijaya Air berhasil mencapai posisi seperti sekarang ini. “Namun, saya selalu menekankan kepada setiap karyawan dan staf Sriwijaya Air untuk jangan pernah menyerah, dan jangan pernah merasa puas. Itu saja intinya,” ungkap Chandra Lie tegas.

Sejak awal, segmen yang di bidik Sriwijaya Air adalah segmen menengah atas. Untuk itu, kini Sriwijaya Air mulai membidik pasar premium. Latar belakang utama adalah ingin menjadikan Sriwijaya Air sebagai maskapai nasional swasta nomor satu di Indonesia di samping Garuda Indonesia.  Alasan kedua adalah dalam perkembangan industri penerbangan dunia dan nasional khususnya, sebagian besar  penumpang menginginkan adanya pelayanan berupa kenyamanan dan kemudahan. Dengan tingkat pelayanan yang dimiliki oleh Sriwijaya Air saat ini, yaitu kelas menengah, tidak sulit untuk meningkatkan dan membidik pasar premium (full flight service) dalam waktu yang tidak lama lagi. Alasan ketiga, tuntutan percepatan perkembangan dan peningkatan maskapai nasional Indonesia dalam menjawab tantangan yang timbul dari kebijakan  ”open sky”.

Chandra Lie menambahkan ada delapan poin untuk pengembangan dan peningkatan kinerja Sriwijaya Air. Pertama, meningkatkan pelayanan kepada seluruh pelanggan dengan menerapkan servis sebagai yang utama. Kedua, ketepatan waktu.  Ketiga, menyediakan kelas bisnis. Keempat, tiket elektronik. Kelima, penambahan bagasi 10 Kg. Keenam, memberlakukan sistem online check-in di bandara. Ketujuh, city check-in. Kedelapan,  “automatic boarding” ketika pesawat sudah dinyatakan siap terbang.

Menurut Chandra Lie, dengan membidik pasar premium, sebenarnya pihaknya telah melakukan investasi. Saat ini, semua pesawat Sriwijaya Air menggunakan kelas ekonomi. Tapi, secara bertahap, pihaknya mengubah pesawat kelas ekonomi tadi menjadi  kelas bisnis dengan mendesain  ulang interiornya, penyejuk udaranya, lampu bacanya, serta  melaporkan ke Dirjen Perhubungan untuk mendapat lisensi mengingat pesawat harus ditimbang ulang.

“Secara bertahap, setiap bulan, kami masukan satu sampai dua pesawat untuk diubah interiornya menjadi seperti kelas bisnis. Diperkirakan dalam waktu satu tahun ke depan,  Sriwijaya Air telah siap sepenuhnya masuk di pasar premium,” ungkap pengusaha asal Bangka-Belitung ini. Chandra Lie menambahkan bahwa yang ditawarkan kepada konsumen untuk kelas premium ini diperkirakan akan meningkat  sebesar 10 persen dari harga yang ada saat ini.

Lebih lanjut, Chandra Lie mengatakan untuk mendukung program ini, Sriwijaya Air melakukan berbagai peningkatan komunikasi secara internal dan eksternal terutama di bidang promosi di media cetak dan elektronik. Untuk komunikasi internal dikembangkan komunikasi via internet dan majalah cetak. Fungsi komunikasi internal ini adalah untuk selalu mensosialisasikan seluruh program perusahaan ke berbagai departemen, sehingga sinergi dapat terbentuk. Untuk komunikasi keluar, Sriwijaya Air terus meningkatkan dan memperluas jaringan melalui berbagai kerjasama di bidang sosial (CSR), pemberitaan-pemberitaan mengenai perkembangan dan rencana-rencana kerja ke depan, dan lain-lain.

Tantangan utama Sriwijaya Air ke depan adalah lebih kepada internal perusahaan, yaitu bagaimana memperbaiki kinerja SDM  dan memperbaiki infrastruktur Sriwijaya Air supaya tidak keluar dari pakem bisnis penerbangan. Membuka sekolah penerbangan dan membuka simulator penerbangan merupakan upaya untuk menjawab tantangan tersebut. Namun, yang paling penting adalah membuka lapangan kerja baru yang bisa menyejahterakan masyarakat dan mampu meningkatkan pendapatan per kapita nasional.

Saat ini, Sriwijaya Air tidak hanya melayani rute domestik, namun sudah terbang ke Singapura dan Penang dengan pesawat Boeing 737-400. Ke depan, Sriwijaya Air akan mengembangkan rute ke Indonesia bagian Timur, terutama Papua (Sorong, Manokwari, Jayapura) dan regional (Cina, Perth-Australia, Timur Tengah, Pnomh Pen, serta Ho Chi Min). Untuk pengembangan bisnis tahun 2010 dan 2011 ini, Sriwijaya Air sudah memesan 20 pesawat Boeing NG-800.

“Kemampuan untuk terbang adalah hal yang utama. Fondasi seperti Itu selalu kami  tanamkan kuat-kuat. Jadi, penambahan pesawat adalah salah satu solusinya, sehingga bisa mengangkat nama Sriwijaya Air di masa yang akan datang,” kata Chandra lagi. (Majalah MARKETING/Harry Tanoso)