Sony PSP Hadirkan Layanan Musik
Daihatsu Catat Rekor di November
Yaris Mobil Paling Irit di Jepang
Motorola Ikut Bikin Tablet
Gandeng Kampus, Telkom Ajak UKM Melek Internet
Komunitas Pekerja Bersepeda
Tren bersepeda kini semakin banyak peminatnya. Entah karena didorong kesadaran mengurangi polusi udara atau sekadar hobi, yang jelas, kini semakin banyak orang ingin bersepeda. Kegiatan ini tidak hanya dilakukan pada hari libur, tapi sudah banyak dari mereka yang berangkat ke kantor dengan menggoes sepeda. Dari mereka inilah lahir komunitas-komunitas pengguna sepeda, yang salah satunya adalah komunitas “Bike to Work” (B2W).
Berdasarkan wawancara oleh Spire Research & Consulting kepada narasumber dari komunitas ini, Bike to Work berdiri diawali dengan adanya sekelompok penggemar kegiatan sepeda gunung yang mempunyai harapan akan terwujudnya udara bersih di perkotaan. Ini mendorong lahirnya Komunitas Pekerja Bersepeda (Bike-to-Work Community) pada 27 Agustus 2005.
Komunitas ini tidak memerlukan iuran dari para peserta. Hal tersebut menjadi daya tarik yang cukup besar bagi para pengguna sepeda untuk masuk ke B2W. Cukup dengan memakai sepeda dalam beraktivitas sudah bisa dianggap menjadi bagian dari B2W Indonesia. Syarat ini sangat mudah dan murah untuk bergabung dalam sebuah komunitas.
Sesuai survei yang dilakukan oleh Spire Research & Consulting, alasan anggota komunitas ini bergabung dalam B2W sangat bervariasi. Alasan yang terkuat adalah hobi. Bagi para penghobi bersepeda, jelas bahwa B2W merupakan wadah yang sangat cocok untuk menyalurkan hobi mereka itu. Sementara alasan minoritas dari para anggota, sebagai sarana olahraga, hanya sejumlah 5% saja.
Banyaknya kegiatan di dalam komunitas ini menunjukkan keaktifan dari B2W. Milis yang aktif dan di-update setiap hari membuktikan antusiasme dari setiap peserta. Komunitas ini juga memperlihatkan kepedulian akan lingkungan, ditandai adanya kampanye-kampanye soal lingkungan hidup, menjadi pembicara dan peserta seminar, serta menjadi pengisi acara di berbagai media. Selain itu, hampir di setiap kesempatan yang ada, digelar pula gathering-gathering, donor darah, program kuliner, dan bakti sosial oleh para anggota komunitas ini.
Program bulanan yang sudah rutin dilakukan adalah car free day. Acara ini paling banyak diminati oleh para pencinta sepeda. Di hari khusus tersebut, kendaraan-kendaraan bermotor tidak diperbolehkan melewati jalan-jalan utama di Jakarta—terutama sepanjang jalan Sudirman–Thamrin—kecuali kendaraan umum dan Trans Jakarta.
Manfaat paling tinggi yang dirasakan oleh peserta Bike to Work adalah segi kesehatan. Banyak pengakuan dari narasumber bahwa dengan menjadikan bersepeda sebagai lifestyle, mereka merasakan dampak yang luar biasa bagi kesehatan mereka. Terbukti dengan persentase dari survei yang dilakukan, sebesar 65% dari seluruh peserta merasakan manfaat tersebut. Berbagai penelitian juga telah mengungkap bahwa kebanyakan penyakit disebabkan oleh ketidakseimbangan metabolisme. Hal ini biasanya dikarenakan perubahan kebiasaan beraktivitas. Sekarang banyak orang mengeluh tidak punyai waktu untuk berolahraga karena aktivitas yang padat. Komunitas B2W menjadi salah satu solusi yang baik untuk problem tersebut. Efisiensi waktu juga adalah salah satu manfaat yang dirasakan oleh anggota, meskipun angka hasil surveinya hanya 10%.
Berdasarkan survei Spire Research & Consulting, diketahui bahwa merek sepeda yang paling banyak dipakai adalah Polygon (50%). Hal itu dikarenakan Polygon di sini membuat kerja sama dengan B2W dalam membuat sepeda dengan merek dagang B2W itu sendiri. Pertama kali diluncurkan, sepeda Polygon dengan merek B2W langsung mendapat respons positif dari konsumen. Dalam penjualan sepeda ini, Polygon harus memberikan Rp 20.000 per satu buah sepeda kepada B2W sebagai royalti.
Tak hanya itu, hubungan mutualisme antara B2W dan Polygon terus meningkat dengan adanya masukan-masukan dari komunitas B2W. Hal tersebut ditandai dengan adanya masukan tentang acara yang menarik awam untuk bersepeda, ataupun mengenai desain sepeda. Sebagai timbal-baliknya, Polygon memberikan fasilitas kepada B2W dalam pertemuan-pertemuan internal mereka, ataupun memberikan penyuluhan tentang safety riding. Semua ini kembali didukung dengan visi yang sama antara B2W dan Polygon untuk meningkatkan jumlah pemakai sepeda di tengah masyarakat. Kontribusi komunitas ini bagi Polygon ditandai jelas dengan peningkatan yang signifikan dari penjualan sepeda Polygon yang naik 20% pada tahun 2006, dan meningkat pada tahun 2008 sebanyak 50%. Menurut narasumber, sepeda bukanlah barang yang bisa diperbesar konsumsinya dengan cara promosi lewat iklan. Tetapi, komunitas yang bisa mencerminkan kebutuhan dari anggotanya dianggap sebagai satu-satunya jalan.
Sebagian besar peserta komunitas Bike to Work mengeluhkan tentang keselamatan mereka, terbukti dengan persentase kekurangan yang ada di dalam B2W. Mereka mulai mengajukan pendapat untuk mengadakan kerja sama dengan perusahaan penyedia asuransi. Keselamatan mereka dinilai terganggu karena ketidakadaan tempat yang dikhususkan bagi pengendara sepeda.
Di dalam komunitas B2W juga terdapat banyak keluhan mengenai ketidakefektifan yang terjadi. Fasilitas juga sering dikeluhkan. Seperti aktivitas olahraga, bersepeda juga menghasilkan banyak keringat. Para pengguna sepeda pun harus kerepotan untuk bersiap-siap di kantor, sebab fasilitas untuk itu belum memadai. Keluhan lain adalah soal jarak dan waktu. Mereka mungkin terhindar dari kemacetan, tapi mereka juga bermasalah dengan waktu, karena jarak yang ditempuh telalu jauh bagi sebagian anggota.
Para anggota komunitas B2W sering kali membicarakan tentang sepeda dan aksesorinya. Peluang usaha terbuka bagi para pebisnis sepeda dan aksesorinya untuk menjadi relasi dari komunitas ini, melihat daya konsumsi mereka yang cukup tinggi. Dalam menunjukkan komunitasnya, anggota B2W memakai bike tag, pin, bag cover, jersey, t-shirt, hingga sepeda, merek Bike to Work Indonesia yang seluruh atributnya berwarna khas kuning dan hitam. Hal tersebut merupakan lahan bisnis yang potensial, mengingat besarnya konsumsi yang ada dari komunitas ini, karena jumlah pesertanya yang sangat banyak. (Majalah MARKETING)
Meningkatkan Indeks Kepuasan Pelanggan
Bu Yuliana, saya seorang service quality branch manager di salah satu bank. Dalam lima tahun terakhir ini kami secara rutin telah melakukan mystery shopping dan direct survey kepuasan pelanggan, dan kami juga secara rutin menindaklanjutinya. Pada tiga tahun pertama terjadi peningkatan yang cukup signifikan, namun pada tahun berikutnya terasa sulit sekali meningkatkan indeks kepuasan pelanggan. Kami sempat bertanya-tanya, apakah kami salah memilih metode pengukuran sehingga hasilnya tidak maksimal, atau ada hal lainnya. Mohon saran Ibu Yuliana.
Andi, Semarang
Jawab:
Bagi perusahaan-perusahaan yang telah maju dalam pengelolaan pelanggannya, melakukan pemantauan dan pengukuran atas kinerja pelayanan pelanggan melalui survei kepuasan pelanggan atau mystery shopping sepertinya sudah menjadi sebuah tren pada saat ini. Karena voice of customers adalah umpan balik yang terbaik bagi continual improvement proses pelayanan pelanggan.
Dan kasus yang Pak Andi hadapi saat ini adalah kasus yang umum terjadi. Pada masa-masa awal menindaklanjuti hasil survei kepuasan pelanggan dan mystery shopping kita mendapatkan peningkatan indeks yang cukup signifikan. Namun, pada tahun–tahun berikutnya, kita terkadang dibuat frustasi. Berbagai usaha dilakukan, tapi hanya mampu mengangkat indeks tidak lebih dari dua poin saja. Itu pun kita masih harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya sampling dan non sampling error, sehingga peningkatan yang terjadi sebenarnya peningkatan semu.
Tidak ada yang salah dengan metode survei kepuasan pelanggan dan mystery shopping. Kedua metode ini memang sangat sesuai untuk menggali permasalahan pelanggan yang terjadi, namun hanya dari sisi pelanggan. Dari kedua metode ini kita mendapatkan gejala–gejala adanya permasalahan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan. Tetapi, meskipun hasilnya ditindaklanjuti dengan workshop, kita hanya mampu menembus sampai lapisan kulit terluar dari permasalahan yang ada. Kita hanya mampu menjawab satu “why” saja. Sehingga, analisis permasalahan yang dilakukan tidak mampu mencapai kedalaman pada akar masalah yang sesungguhnya.
Menciptakan kepuasan pelanggan sama artinya dengan mengembangkan budaya pelayanan pelanggan di dalam seluruh aspek dan tingkatan organisasi. Ini berarti perusahaan harus berfokus pada penerapan dan pengembangan “5 PILLARS CUSTOMER CENTRIC COMPANY” yaitu SERVICE LEADERSHIP, SERVICE STRATEGY, ORGANIZATION STRUCTURE, HUMAN RESOURCES DIMENSION dan SERVICE INFRASTRUCTURE. Apabila kelima pilar tersebut didefinisikan melalui sistem dan diterapkan secara konsisten, akan tercipta PROCESS EXCELLENCE, PEOPLE EXCELLENCE, dan PERFORMANCE EXCELLENCE yang pada gilirannya akan meningkatkan indeks kepuasan pelanggan. Perbaikan yang dilakukan pada “lima pilar perusahaan yang berfokus pada pelanggan” akan lebih bersifat fundamental dan sistemik, sehingga hasilnya akan lebih mampu meningkatkan kepuasan pelanggan secara permanen dan berkesinambungan.
Ini berarti perusahaan sebaiknya memiliki multiple angle dalam melakukan analisis permasalahan ketidakpuasan pelanggan. Selain melakukan eksplorasi dari sisi pelanggan, perusahaan juga harus melakukan eksplorasi dari sisi kapabilitas dan kematangan organisasi menuju CUSTOMER CENTRIC COMPANY. Perusahaan harus melakukan audit terhadap 5 PILLARS CUSTOMER CENTRIC COMPANY. Mengapa audit? Karena metodologi ini akan menelusuri permasalahan sampai ke akar masalah yang sebenarnya, sehingga usaha-usaha meningkatkan indeks kepuasan tidak lagi tertuju hanya pada aktivitas program, tetapi lebih ditujukan pada pembangunan sistem, proses, dan pengembangan kemampuan karyawan yang terpadu menuju budaya pelayanan pelanggan. (www.marketing.co.id)
Definisi Service Excellence bagi Back Office
Saya seorang kepala teknisi sebuah pelayanan reparasi perusahaan elektronik. Saya sangat tertarik dengan konsep pelayanan service excellence yang sering Ibu kemukakan, seperti senyum, ramah, dan tegur sapa. Tetapi, rasanya jauh keterkaitannya dengan kami sebagai back office yang sehari-hari tidak bertemu langsung dengan pelanggan. Kira-kira, apakah ada sesuatu yang bisa saya lakukan untuk meningkatkan pelayanan kami?
Terima kasih.
Armand, Jakarta
Jawab:
Terima kasih Pak Armand atas pertanyaan yang sangat proaktif. Memang kalau berbicara mengenai konsep pelayanan prima atau service excellence pada 10 tahun yang lalu, kita masih bergerak dalam tataran TLC (tender, loving, care) atau biasanya sering dibahasa-indonesiakan menjadi senyum, salam, dan sapa. Bagi para teknisi atau para back office yang tidak secara langsung bertemu dengan para pelanggannya, TLC ini tidak bisa langsung diaplikasikan. Paling jauh diaplikasikan pada para rekan sekerja sesama back office atau teman-teman frontliner yang memang memiliki keterkaitan—meskipun di beberapa tempat, teknisi zaman sekarang juga sudah diposisikan sebagai frontliner yang bertemu langsung dengan pelanggan. Sehingga, back office memang jarang diperkenalkan dengan konsep pelayanan prima. Karena ada anggapan bahwa pelayanan prima yang bersifat TLC hanya untuk para frontliner dan customer service. Memang pemikiran tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar.
Pelayanan kepada pelanggan pada saat ini sudah seharusnya bersifat solusi. TLC sebagai salah satu komponen pelayanan memang sudah harus menjadi bagian bagi seluruh karyawan, termasuk karyawan di back office. Namun, unsur pelayanan prima yang paling penting bagi back office adalah bagaimana memberikan pelayanan yang cepat dan akurat kepada next process-nya, atau kepada pelanggan langsung sebagai bagian dari solusi kepada pelanggan.
Jadi, sebagai teknisi atau kepala teknisi yang bertanggung jawab memperbaiki barang-barang elektronik milik pelanggan, ukuran keberhasilan pelayanannya tidak sekadar senyum dan sapa, tetapi bagaimana memberikan informasi awal yang akurat mengenai kerusakan-kerusakan yang terjadi, prediksi biaya dan waktu perbaikan, keakurasian terhadap prediksi dan respons perbaikan, serta kualitas hasil setelah diperbaiki.
Bagi pelanggan, lebih penting mendapatkan solusi atas permasalahannya dibandingkan dengan pelayanan yang ramah, tetapi tidak ada solusi. Untuk itu, bagi para teknisi, meningkatkan product knowledge dan skill untuk meningkatkan kecepatan dan keakuratan dalam mereparasi barang-barang konsumen berarti berperan aktif dalam peningkatan kualitas layanan. Dan sudah barang tentu juga tidak melupakan TLC.
Semoga sukses dan selamat bekerja melayani pelanggan. (www.marketing.co.id)
Carrefour Malaysia dan Singapura Batal Dijual
Ritel Lokal Diprediksi akan Dikuasai Asing Semua
Avanza dan 4 komunitas Toyota Raih Penghargaan
Penjualan Naik, Honda Revo Matik Mulai Dilirik
ASI dan Formula
Selama bertahun-tahun, pemerintah dan pemasar susu formula memang seperti melakukan campaign war. Berbeda dengan perang tarif antar-operator seluler yang bersifat terbuka, biasanya “serangan” antarkeduanya tidak terlihat di mata konsumen.
Coba Anda perhatikan, saat Anda mengantar isteri Anda yang hamil ke dokter, di mana-mana Anda akan menemui poster berisi himbauan untuk memberikan ASI eksklusif pada bayi Anda. Namun, pada saat bayi Anda lahir, tawaran untuk memakai merek susu formula bayi ternyata jauh lebih banyak daripada poster yang Anda lihat sebelumnya!
Susu formula sering kali menjadi pihak pertama di luar keluarga dan rumah sakit yang sangat memperhatikan kelahiran bayi Anda. Buktinya, pada surat lahir bayi Anda sudah ada tempelan merek susu tertentu. Demikian pula tas bayi Anda dan semua pernak-pernik kelahiran, sudah ada tempelan mereknya.
Sampai Anda keluar dari rumah persalinan, oleh-oleh dari rumah sakit biasanya juga merupakan pemberian merek tertentu. Demikian pula pada saat Anda memeriksakan bayi Anda, dokter Anda sering kali sudah memberikan rekomendasi merek susu tertentu. Kalaupun tidak, Anda sendiri yang secara aktif sudah menanyakan, “Susu formula yang cocok buat anak saya apa, Dok?”
Pemerintah memang tidak mudah menghadapi orang-orang marketing yang lebih agresif, kreatif, dan punya bujet lebih besar untuk berkampanye. Sekalipun sudah menggunakan kata-kata bahwa “ASI harus diutamakan terlebih dahulu”, bahasa iklan yang dipakai oleh merek susu formula ternyata lebih menggerakkan para ibu untuk memakai susu formula.
ASI adalah “susu formula” alami yang dihasilkan dari tubuh manusia. ASI mampu memberikan kekebalan tubuh kepada si bayi sehingga tidak mudah sakit dan berisiko terhadap kematian. Selain itu, ASI juga mengandung gizi yang cukup sehingga mencegah risiko kekurangan gizi bagi anak di masa mendatang.
Menurut data survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, hanya sekitar 20% bayi yang mendapatkan ASI eksklusif sesuai program pemerintah (enam bulan). Sementara rata-rata bayi di Indonesia hanya mendapatkan ASI eksklusif tak lebih dari dua bulan. Apalagi dengan semakin banyaknya wanita yang bekerja membuat waktu penggunaan ASI eksklusif pada bayi juga mempunyai kecenderungan memendek.
Belum tercapainya keinginan pemerintah untuk menekan angka kematian bayi memang membuat rendahnya penggunaan ASI eksklusif sebagai salah satu “biang kerok”. Angka kematian balita di Indonesia yang menjadi salah satu indikator keberhasilan kampanye ASI eksklusif ternyata masih 44 anak per 1.000 kelahiran. Memang cuma 0,044, tapi nyawa manusia memang tidak bisa dihitung-hitung secara persentase.
Susu formula sendiri sudah memiliki kandungan yang bisa menggantikan ASI. Bahkan, formula-formula tambahan yang ada bisa menjadi asupan ekstra buat bayi. Itulah sebabnya para pemasar susu formula semakin yakin untuk saling bersaing. Apalagi pasarnya yang diperkirakan sebesar 6–7 triliun dan bertumbuh 20–30% per tahun memang menggiurkan. Itulah sebabnya, geser-menggeser loyalitas ibu terhadap merek tertentu sering terjadi. Kalaupun rumah sakit dan dokter gagal merekomendasikan mereknya, pasukan SPG pun diterjunkan di tempat-tempat belanja untuk meyakinkan ibu-ibu berpindah merek. Akibatnya, sang ibu jadi lupa anjuran pemerintah.
Melihat bahwa kampanye ASI-nya semakin terdesak oleh peperangan para pemain susu formula, akhirnya pemerintah pun harus mengeluarkan senjata pamungkas, yakni regulasi.
Dalam kesempatan terakhir, menteri kesehatan sudah mengingatkan kembali bahwa tahun 2011 iklan susu formula untuk anak usia di bawah satu tahun akan dilarang. Selain itu, kabarnya, hubungan antara produsen susu dengan instansi kesehatan seperti rumah sakit dan rumah bersalin juga akan diperketat.
Memang harus dibuat aturan yang tepat untuk memilah mana yang menjadi hak pemerintah untuk berkampanye dan mana yang menjadi hak para marketer untuk berkampanye. Kalau tidak, program pemerintah akan selalu kalah oleh gempuran para marketer. Aturan yang dibuat sebenarnya tidak akan membatasi gerak para pemain susu formula, karena toh setiap marketer akan selalu menemukan caranya sendiri untuk berkomunikasi.
Soalnya, di negara mana pun, anjuran pemerintah memang tidak lebih manjur dari bahasa iklan. Anjuran dari menteri tidak mempan ketimbang omongan artis atau model di iklan. Berbeda dengan iklan layanan masyarakat, iklan dari produk susu formula cenderung lebih emosional dan menyentuh. Sementara, iklan dari pemerintah cenderung dikerjakan seadanya dan kadang-kadang malah terlihat seperti kampanye sang menteri itu sendiri untuk menaikkan pamor. (Majalah MARKETING)