Mengais Insentif dari Kemacetan Masif

asnan furintoKemacetan di kota-kota besar, khususnya di Jakarta, makin hari semakin parah. Pertumbuhan penduduk yang pesat, tetapi tidak diimbangi sistem transportasi massal, mengakibatkan masyarakat banyak menggunakan kendaraan pribadi untuk pergerakan sehari-hari dan hasilnya adalah kemacetan masif. Studi Bappenas dan JICA tahun 2013 memperkirakan Jakarta mengalami kerugian hingga Rp65 triliun per tahun jika tidak bisa mengurai kemacetan pada tahun 2020.

Laporan dari Reuters menunjukkan situasi Jabotabek jika dibandingkan kota-kota lain dalam kepadatan lalu lintas (lihat tabel). Populasi penduduk di Jabotabek mencapai 26,7 juta orang, di atas Seoul (22,9 juta), Manila (21,2 juta), bahkan di atas New York-New Jersey (20,7 juta). Populasi Jabotabek hanya kalah dari Tokyo-Yokohama (37,2 juta). Kontrasnya, Jabotabek belum punya sistem transportasi massal sementara kota-kota lain sudah memilikinya sejak lama.

Karena kurangnya sarana transportasi massal, jumlah pengguna angkutan umum di Jakarta masih rendah (menurut data Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) hanya 14%, sisanya menggunakan kendaraan pribadi). Seoul sudah 60%, Hong Kong 90%, dan Taipei 50%. Meski jalan sudah penuh sesak dengan kendaraan, dari sudut pandang pelaku bisnis otomotif, potensi pasar kendaraan Indonesia masih besar. Laporan Reuters menunjukkan bahwa jumlah kendaraan di Indonesia per 1.000 penduduk masih 60 unit, di bawah Malaysia (361 unit), Thailand (157 unit), dan Singapura (149 unit). Karena potensi pasar yang masih terbuka lebar, produsen kendaraan terus meluncurkan produknya.

Bagi pelaku bisnis, semakin besar penjualan kendaraan tentu akan meningkatkan pertumbuhan dan ujungnya memberikan laba lebih besar. Industri kendaraan memang tugasnya memproduksi kendaraan. Tidak bisa mereka diminta mengurangi produksi. Pemerintahlah yang seharusnya mengatur melalui kebijakan yang membuat industri dengan sukarela mengurangi produksinya dan melalui penyediaan sistem transportasi massal bagi masyarakat.

Karena jumlah kendaraan terus bertambah, kebutuhan BBM ikut meningkat. Miliaran dolar dihabiskan untuk impor BBM setiap bulan. Dalam jangka panjang, pasar kendaraan yang bertumbuh ini seharusnya dibarengi dengan pengembangan energi alternatif. Data Ditjen Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM menunjukkan Indonesia punya 56 komoditas penghasil biodiesel dan bioetanol yang bisa dicampur dengan BBM, seperti kapuk, biji tembakau, kelapa sawit, aren, nipah. Tapi, lagi-lagi butuh waktu lama sebelum proses konversi energi ini bisa direalisasikan.

Dari diskusi dengan pengurus ikatan alumni Teknik Mesin ITB, mengemuka sebuah inisiatif yang disebut IndonesianisMe. Inisiatif ini mendorong masyarakat untuk memprioritaskan produk yang lebih memberi kontribusi ke Indonesia. Di tengah serbuan produk impor, harus diupayakan tetap memberi kesempatan kepada para teknisi lokal untuk berinovasi. Agar bisa berinovasi diperlukan fasilitas R&D dan pabrik yang memadai. Karena itu diperlukan skala prioritas pemilihan produk.

Prioritas pertama adalah memakai produk buatan produsen nasional. Dalam konteks pemilihan produk kendaraan, prioritas pertama saat ini tidak tersedia karena belum ada perusahaan otomotif nasional seperti Timor dan Perkasa di masa lalu. Prioritas kedua, menggunakan produk asing tapi dirancang bangun dan diproduksi di Indonesia (didesain dan diproduksi untuk pasar Indonesia). Prioritas ketiga, menggunakan produk asing tapi diproduksi di Indonesia (produk dengan kandungan lokal [TKDN] paling tinggi), dan prioritas keempat adalah menggunakan produk asing yang dirakit di Indonesia (oleh perusahaan assembling lokal).

Jadi, karena kemacetan merupakan masalah kronis yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat, sementara produsen terus saja menggenjot produksinya, sedangkan pemerintah masih perlu waktu untuk membangun sistem transportasi massal, dan di saat yang sama harga kendaraan semakin terjangkau, maka upaya defensif yang bisa dilakukan adalah memprioritaskan pemilihan produk kendaraan.

Mungkin upaya ini tidak membantu mengurangi kemacetan, mungkin juga mobil nasional belum akan muncul, dan mungkin impor BBM masih tetap tinggi. Tapi, paling tidak masih ada insentif yang tersisa dari kemacetan masif sebagai kontribusi untuk pengembangan inovasi teknisi nasional dan pembukaan lapangan kerja. Semangat IndonesianisMe ini tentunya bisa diperluas ke konteks pemilihan produk di sektor-sektor lainnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.