Inovasi Tak Harus Radikal

 “Jika Anda selalu fokus pada profit dan keuntungan, Anda akan mengurangi kualitas produk. Namun, jika Anda fokus untuk menghasilkan produk yang luar biasa, maka profit dan keuntungan akan mengikuti.” (Steve Jobs, Pendiri Apple).

(Dari kiri ke kanan)  Prihadiyanto, Managing Director Accenture Indonesia; Utoyo S. Nurtanio, Chief Innovation Officer PT Trakindo Utama; Agus Wicaksono, Ketua iCIO Community
(Dari kiri ke kanan) Prihadiyanto, Managing Director Accenture Indonesia; Utoyo S. Nurtanio, Chief Innovation Officer PT Trakindo Utama; Agus Wicaksono, Ketua iCIO Community

Perusahaan yang terlalu asyik menjual tanpa melakukan inovasi, bersiap-siaplah ditinggalkan konsumen. Kasus Sony Walkman, Nokia, Kodak, dan Blackberry memberi pelajaran pada kita agar jangan berhenti melakukan inovasi. Produk-produk tersebut pernah merasakan masa-masa kejayaan, namun akhirnya tenggelam karena kompetitor menawarkan produk yang lebih inovatif.

Pemasaran dan inovasi, seperti dua sisi mata uang. Ini bukanlah hal baru. Konsep ini sudah diajukan Peter F. Drucker pada pertengahan tahun 1950-an dalam bukunya The Practice of Management. Maha guru manajemen itu mengatakan, ”Segala perusahaan bisnis hanya punya dua fungsi dasar: pemasaran dan inovasi.”

Terkait fungsi inovasi Drucker mengatakan, tidak cukup bagi bisnis hanya menyediakan barang dan jasa ekonomis. Bisnis harus menyediakan barang dan jasa yang lebih baik. Tidaklah perlu bagi bisnis bertumbuh lebih besar, yang perlu adalah bertumbuh dengan lebih baik dan konstan.

Drucker menambahkan, inovasi tercermin dari harga yang lebih murah atau produk yang lebih baik (meskipun harganya lebih tinggi). Inovasi juga bisa diartikan sebagai kemudahan baru atau penciptaan keinginan baru. Wujud inovasi bisa pula dalam bentuk menemukan kegunaan baru pada produk lama.

Inovasi memang bermakna luas, tidak dibatasi pada penemuan-penemuan besar atau radikal saja. Pandangan ini mengemuka dalam Bincang PERSpektif Trakindo, beberapa waktu lalu, di Jakarta. Dialog tersebut menghadirkan tiga pembicara; Utoyo S. Nurtanio (Chief Innovation Officer PT Trakindo Utama), Agus Wicaksono (Ketua iCIO Community), dan Prihadiyanto (Managing Director Accenture Indonesia).

Prihadiyanto mengatakan, inovasi selain harus bermanfaat juga mengandung spirit cara untuk bertahan hidup. “Dalam konteks perusahaan, bagaimana bisa bertumbuh dan bersaing. Jika inovasi berhenti perusahaan akan mati, contoh Kodak dan Nokia,” tutur pria yang akrab disapa Pri ini.

Pri menambahkan, inovasi tidak harus pada produk, namun juga menyangkut model bisnis, layanan, rantai pasok, platform, saluran distribusi, branding dan marketing, serta pengalaman pelanggan (customer experiences).

Sementara Agus menyoroti posisi Indonesia di Global Innovation Index 2016 yang masih rendah. Indonesia berada di peringkat ke-88 dari 128 negara yang disurvei. Negara-negara yang masuk dalam 10 Global Innovation Index 2016 mulai dari urutan teratas yaitu Swiss, Swedia, Inggris, AS, Finlandia, Singapura, Irlandia, Denmark, Belanda, dan Jerman. “Negara-negara yang Global Innovation Index-nya tinggi rata-rata GNP-nya (gross national produk) tinggi, kecuali negara kaya minyak seperti Qatar dan Uni Emirat Arab,” tutur Agus.

Menurut Agus, masih rendahnya Global Innovation Index Indonesia antara lain dikarenakan keterbatasan akses informasi. Banyak investor yang belum mengetahui temuan-temuan inovasi di berbagai perguruan tinggi. Kendala lain adalah soal akses dana. Para inovator di Indonesia menemui kesulitan mencari dana untuk mengembangkan temuan inovasi mereka.

“Namun, saya optimistis kita bisa mengembangkan ekosistem inovasi yang lebih baik, bertumpu pada sumber daya manusia Indonesia yang kreatif, dan memanfaatkan potensi market yang terbuka luas. Inovasi dengan basis teknologi digital saat ini tumbuh pesat di berbagai sektor,” jelas Agus.

Dia menambahkan, untuk membangun ekosistem inovasi yang kuat dibutuhkan perubahan kultur. Masyarakat katanya perlu bersikap terbuka dan menghargai hal-hal baru. Selain itu, harus ada trust, karena bagaimana pun inovasi mengandung risiko. ”Ada risiko gagal, sebagai contoh eksplorasi di perminyakan, rasio keberhasilannya hanya 40%,” ungkap dia.

Innovation Day

Membangun kultur inovasi memang perlu keseriusan dan dukungan BOD (board of director). Tahap-tahap awal biasanya akan menimbulkan resistensi di kalangan karyawan. Hal ini juga dirasakan Trakindo, penyedia solusi alat berat Caterpillar. ”Kita sudah terbiasa dengan cara-cara lama, tapi kondisi ini tidak sesuai dengan perkembangan zaman,” jelas Utoyo.

Dukungan BOD di Trakindo terhadap inovasi dibuktikan dengan dibentuknya Divisi Inovasi. Dukungan BOD diperlukan untuk menentukan arah kebijakan inovasi Trakindo. Kebijakan inovasi Trakindo berorientasi ke dalam dan ke luar (market oriented). Ke dalam, kebijakan inovasi Trakindo sejalan dengan arah kebijakan korporasi dan pengembangan SDM (sumber daya manusia Trakindo). Ke luar, inovasi dirancang menciptakan value baru bagi Trakindo dan customer.

Untuk mendorong karyawan berani berinovasi, Trakindo menggelar “Innovation Day” sejak tahun 2013. Kategori yang dilombakan mencakup “Service Tool, Product, Process, dan System & Technology”. Tiap tahun karya inovasi yang masuk meningkat. Kalau pada tahun 2013 baru ada 10 karya inovasi yang berpartisipasi, tahun 2014 dan 2015 meningkat menjadi 75 inovasi dan 90 inovasi.

Yang menarik, ternyata peserta tidak menempatkan hadiah uang sebagai alasan utama mengikuti lomba inovasi. Menurut Utoyo, hadiah uang hanya menempati urutan keempat. “Urutan pertama publikasi, urutan kedua berdialog langsung dengan BOD,” tutur dia.

Manfaat inovasi harus dilihat secara kuantitatif dan kualitatif. Namun, yang terpenting katanya inovasi harus mendatangkan business value bagi Trakindo. Satu lagi yang patut diapresiasi yakni hasil inovasi karyawan Trakindo diakui oleh prinsipal. “Semua inovasi di-share ke prinsipal, sebagian diadopsi untuk pengembangan produk Caterpillar secara global,” ungkap Utoyo.

Tony Burhanudin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here