Marketing.co.id – Berita Marketing | Social commerce, yang mencakup aktivitas jual beli barang dan jasa melalui platform media sosial seperti WhatsApp dan TikTok, kini menjadi tulang punggung ekonomi jutaan pengusaha mikro di Indonesia. Namun, pertumbuhan masif ini tidak dibarengi dengan perlindungan dan dukungan yang memadai, terutama bagi perempuan, yang merupakan pelaku paling aktif di sektor ini.
Menurut riset terbaru dari MicroSave Consulting (MSC) Southeast Asia, mayoritas pelaku usaha social commerce, yang umumnya informal, masih berjalan tanpa akses memadai terhadap perlindungan, pelatihan bisnis, maupun pembiayaan formal.
“Saya baru tahu fitur katalog di WhatsApp Business dari wawancara ini. Saya harap ada pelatihan supaya bisa menggunakannya dengan efektif,” ujar Jumiyah, seorang pengusaha kuliner di Balikpapan, yang ceritanya mencerminkan tantangan literasi digital yang dihadapi ribuan pelaku usaha serupa.
Riset MSC berjudul “The Landscape and Financial Access of Social Commerce Sellers in Indonesia” yang dilakukan di tujuh provinsi menyoroti bahwa berbeda dengan e-commerce formal, social commerce dikelola sederhana dan sangat berbasis jaringan pribadi. Ini membuatnya rentan terhadap risiko, sulit tercatat, dan transaksi masih banyak yang manual karena kurangnya integrasi fitur end-to-end (katalog, pembayaran, logistik).
Temuan kunci riset MSC mengungkapkan, fakta yang mencolok, sebanyak 74% pelaku social commerce masih mengandalkan dana pribadi sebagai modal usaha, dengan akses kredit formal yang sangat minim. Perempuan, meski lebih aktif berjualan via media sosial, cenderung memilih skema informal seperti arisan daripada pinjaman bank, didasari faktor kepercayaan. Kemudian, hanya 5,8% pelaku usaha yang pernah mengikuti pelatihan bisnis, menyoroti kebutuhan mendesak akan edukasi yang fleksibel dan sesuai dengan platform yang mereka gunakan sehari-hari.
Ratna, pengusaha kerajinan dari Jawa Barat, memberikan contoh nyata. “Saya tidak terbiasa dengan sistem perbankan, saya percaya pada orang-orang yang saya kenal,” katanya, menjelaskan preferensinya pada arisan komunitas dibanding pembayaran digital.
Temuan ini menegaskan pentingnya membangun ekosistem digital yang tidak hanya aman tetapi juga sederhana dan ramah pengguna bagi pengusaha mikro, yang menurut PP No. 7 Tahun 2021 didefinisikan sebagai usaha dengan modal maksimal Rp1 miliar atau omzet tahunan hingga Rp2 miliar.
Grace Retnowati, Direktur MSC Southeast Asia, menekankan bahwa social commerce telah menjadi ruang penting bagi perempuan untuk berwirausaha sambil tetap mengurus keluarga. “Sudah saatnya mereka didukung dengan sistem yang mendorong partisipasi formal. Ketika perempuan dan pengusaha mikro memiliki akses setara pada pembiayaan, pelatihan, dan perlindungan digital, mereka tidak hanya mampu bertahan—tetapi juga tumbuh, berinovasi, dan mendorong perubahan di era ekonomi digital Indonesia,” ujar Grace.
Pemerintah melalui Kementerian UMKM menyambut baik temuan ini. Riza Adha Damanik, Deputi Usaha Mikro Kementerian UMKM, menegaskan bahwa kebijakan penguatan kapasitas UMKM harus selaras dengan keragaman karakteristik mereka agar efektif.
“Kehadiran social commerce seharusnya memberi proteksi bagi UMKM, membuka akses pasar lebih luas, dan tetap perlu didampingi serta diawasi agar tantangan seperti banjir produk impor bisa diantisipasi,” tegas Riza, merujuk pada Permendag No. 31 Tahun 2023 yang bertujuan melindungi UMKM lokal.