Dalam artikel ini Anda akan menemukan tujuh (7) teknologi pertahanan siber utama yang perlu diprioritaskan oleh pemerintah dan bisnis menurut Check Point Software

Marketing.co.id – Berita Digital | Serangan siber di kawasan Asia Tenggara melonjak tajam. Menurut laporan Check Point Research, setiap organisasi di kawasan ini rata-rata menghadapi lebih dari 3.800 serangan siber per minggu, jauh di atas rata-rata Asia sebesar 2.800 serangan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pertahanan siber berbasis kecerdasan buatan (AI) kini menjadi kebutuhan mendesak bagi pemerintah dan sektor swasta.

Baca Juga: Prediksi Lanskap Keamanan Siber di Tengah Tingginya Adopsi AI

Menurut Abhishek Singh, Security Engineering Manager di Check Point Software, negara dan bisnis di ASEAN perlu beralih dari strategi reaktif menjadi prevention-first security — yaitu sistem yang mampu memprediksi dan mencegah ancaman sebelum terjadi. “Ancaman siber hari ini sudah setingkat dengan ancaman nasional. Negara dan perusahaan harus siap menghadapi cyber warfare dengan teknologi berbasis AI dan otomasi,” tegasnya.

Berikut 7 teknologi pertahanan siber utama yang perlu diprioritaskan oleh pemerintah dan bisnis pada tahun 2025 menurut Check Point Software:

1. Autonomous AI Agents

Teknologi AI otonom di pusat operasi keamanan (Security Operations Center/SOC) memungkinkan sistem mendeteksi dan merespons ancaman secara otomatis. Dengan dukungan reinforcement learning dan large language models (LLM), agen ini mampu melakukan triase, analisis pola serangan, dan tindakan pencegahan tanpa menunggu intervensi manusia. Manfaat: Deteksi ancaman real-time dan respons otomatis 24 jam nonstop.

2. Advanced Malware Analysis Pipelines

Malware kini semakin sulit dideteksi karena teknik penyamaran dan enkripsi yang semakin canggih. Pipeline analisis malware berbasis machine learning dan hypervisor introspection membantu menganalisis kode berbahaya secara mendalam, termasuk membongkar malware yang disembunyikan atau diobfusikasi. Manfaat: Identifikasi cepat malware baru dan perlindungan proaktif sebelum menyebar luas.

3. Continuous Threat Exposure Management (CTEM)

Bukan sekadar audit tahunan, CTEM memungkinkan perusahaan memantau dan mengevaluasi ancaman secara berkelanjutan. Pendekatan ini menggabungkan pemetaan aset digital, simulasi serangan, dan validasi keamanan berbasis framework MITRE ATT&CK atau MITRE D3FEND. Manfaat: Evaluasi risiko real-time dan peningkatan kesiapan keamanan secara terus-menerus.

4. AI-Augmented Threat Hunting

Teknologi ini menggabungkan data dari berbagai sumber seperti Endpoint Detection and Response (EDR), DNS, dan cloud logs untuk menemukan pola anomali. Dengan bantuan Graph Neural Networks (GNN), sistem dapat melacak pergerakan lateral penyerang dan mendeteksi serangan tersembunyi. Manfaat: Menemukan ancaman tersembunyi dan mencegah eskalasi serangan sebelum berdampak luas.

5. Zero-Trust + Quantum-Resilient Mesh

Model Zero-Trust menegaskan bahwa tidak ada pengguna atau perangkat yang otomatis dipercaya. Singh menekankan bahwa kini perlu dikombinasikan dengan Quantum-Resilient Mesh, sistem keamanan yang tahan terhadap ancaman komputasi kuantum menggunakan standar NIST Post-Quantum Cryptography (ML-KEM, ML-DSA). Manfaat: Perlindungan identitas dan data terhadap ancaman kuantum di masa depan.

6. LLM/AI Workload Protection

Dengan meningkatnya penggunaan AI di bisnis, muncul ancaman baru seperti prompt injection, data poisoning, dan kebocoran informasi. Teknologi AI Workload Protection melindungi model AI dari manipulasi eksternal dan memastikan integritas dataset. Manfaat: Keamanan penuh untuk sistem AI generatif dan model bisnis berbasis kecerdasan buatan.

7. Identity & Credential Intelligence

Kebocoran kredensial dan pencurian identitas masih menjadi pintu masuk utama serangan ransomware. Sistem Identity & Credential Intelligence memantau dark web, mendeteksi pembajakan sesi, dan mencegah MFA fatigue attacks. Manfaat: Mencegah akses tidak sah dan menjaga keamanan data pengguna.

Menuju Pertahanan Siber Berbasis AI dan Kolaborasi

Menurut Singh, teknologi tanpa strategi dan manusia yang terlatih tidak akan cukup. “Pertahanan siber masa depan adalah kolaborasi antara manusia, AI, dan kebijakan. Investasi dalam pelatihan siber dan simulasi serangan harus menjadi prioritas nasional,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antarnegara di ASEAN dalam membangun ketahanan siber kolektif. Dengan meningkatnya keterhubungan digital di kawasan ini, serangan pada satu negara dapat berdampak sistemik terhadap seluruh jaringan ekonomi regional.

Baca Juga: 90% Karyawan Keamanan Siber dan TI Alami Burnout dan Kelelahan

Di era digital yang semakin terhubung dan berisiko tinggi, pertahanan siber bukan lagi sekadar urusan IT, tetapi bagian dari strategi nasional dan kelangsungan bisnis. Dengan mengadopsi tujuh teknologi utama di atas — mulai dari AI otonom, CTEM, hingga sistem tahan kuantum — pemerintah dan perusahaan dapat membangun pertahanan yang lebih tangguh terhadap ancaman masa depan.