Memperkecil Risiko dengan Market Intelligence

www.marketing.co.id – Semua perusahaan yang memiliki tujuan market entry dan market growth sangat disarankan untuk melakukan market intelligence sebelum mengambil keputusan bisnis dan penentuan kebijakan perusahaan.

Hal itu demi memperkecil kesalahan membaca pasar. Bahkan, pemerintah di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, Selandia Baru, Inggris, dan Uni Eropa sudah terbiasa melakukan market intelligence, baik untuk menarik penanaman modal asing, peningkatan ekspor, maupun daya saing negara tersebut.

Tanpa mencermati industri, pasar, faktor operasional, daya saing, dan konsumen dengan teliti, sering kali investasi dan langkah bisnis tidak berada di jalan yang tepat. Demikian disampaikan oleh Jeffrey Bahar, Managing Director Southeast Asia Spire Research and Consulting.

Menurut dia, market intelligence adalah aktivitas bisnis yang terdiri dari perencanaan, analisis, dan pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pasar dan industri, bertujuan meningkatkan daya saing.

Hal ini bisa dilihat dari berbagai aspek bisnis seperti potensi pasar (market feasibility, market size & market segmentation), kompetisi industri (competitor analysis), distribusi dan rantai suplai (value chain analysis), kemitraan (business partner selection & evaluation), pricing, makro (country), dan tentunya—yang sangat umum dilakukan oleh banyak perusahaan—adalah customer decision dynamic.

Langkah untuk melakukan market intelligence sangat banyak, di antaranya, untuk pelaksanaan competitor analysis bisa digunakan proses sistematis seperti berikut: assessment, counter measurements & best practices, tracking & monitoring, evaluation new competition, dan kembali ke cycle awal lagi.

Jeffrey mengungkapkan, sebagian besar perusahaan di Indonesia telah melakukan market intelligence sejak 10 tahun silam. Mulai awal tahun 2000, perusahaan Indonesia mulai melihat pentingnya aktivitas ini. Dimulai dari perusahaan berskala besar yang pengembangan dan investasi bisnisnya tidak pernah kurang dari Rp 100 miliar dan juga belajar dari pengalaman perusahaan internasional yang sudah mengerti pentingnya hal ini.

Nah, dalam lima tahun terakhir, perusahaan besar maupun skala menengah pun sudah mulai mencoba melakukan aktivitas ini dengan skala aktivitas kecil. Otomotif, perbankan, telekomunikasi, FMCG, life science, building materials, chemical and materials, bahkan industrial goods adalah industri-industri di Indonesia yang kerap melaksanakan kegiatan market intelligence.

Secara umum, kegiatan ini didominasi oleh perusahaan yang mempunyai objektif market growth, dilakukan baik secara informal maupun internal dan juga secara profesional dengan menggunakan jasa pihak ketiga.

Pada kondisi market growth, tingkat kompetisi pasar tinggi, konsumen tidak mudah untuk dimengerti, dan langkah kompetitor sulit diprediksi. Apalagi, Indonesia termasuk salah satu emerging market dalam jajaran BRIIC (Brazil, Russia, India, Indonesia, China) maupun CIVETS (Colombia, Indonesia, Vietnam, Egypt, South Africa) yang belakangan ini banyak mendapat perhatian dunia bisnis dan perusahaan global.

Oleh karena itu, kini kegiatan market intelligence tidak hanya dilakukan oleh perusahaan Indonesia saja, tetapi juga dari perusahaan asing yang melirik potensi pasar berbagai industri di Indonesia.

Biasanya informasi yang ingin mereka peroleh seperti market size in volume dan in value, dinamika industri dalam konteks regulasi, consumer usage & behaviors, rekomendasi harga jual dan channel incentives & margin, kompetitor, dan yang terpenting rekomendasi strategi bisnis serta business model dan blueprint.

Lebih lanjut Jeffrey mengatakan, meski namanya market intelligence, hal ini tidak sama dengan kegiatan spionase. Misalnya menempatkan staf tertentu di perusahaan kompetitor untuk mencari tahu aktivitas bisnis mereka. Cara ini dianggap tidak etis. Di negara maju, hal demikian dianggap sebagai sesuatu yang tabu, bahkan terdengar sudah ada lawsuits dengan implikasi denda secara finansial pada perusahaan yang tertangkap basah melakukan industri spionase.

“Sejatinya, dengan melakukan competitor analysis dan pemikiran counter measures serta tracking sudah bisa meningkatkan kesempatan untuk memenangkan persaingan,” tandas dia.

Jeffrey menjelaskan, dalam emerging market, pasar kerap kali tidak transparan, sehingga tantangan yang dihadapi adalah sulit mengukur seberapa besar market attractiveness/market size suatu produk atau industri. Ini bertolak belakang dengan negara maju seperti di Amerika Serikat. Di sana pemain industri dapat mengukur dengan jelas market attractiveness-nya.

Price sensitivity konsumen yang tinggi juga menjadi kendala sendiri, sehingga strategi memerangi persaingan kerap terfokus pada faktor harga, sedangkan hal-hal lainnya kurang mendapat perhatian.

Begitu pun dengan distribusi yang tidak efisien. Masalah infrastruktur memengaruhi distribusi dan berbagai tingkat distribusi membuat supply chain menjadi panjang, sehingga situasi ideal dalam distribusi dan supply chain tidak bisa tercapai secara maksimal. (Andri Darmawan)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.