Beli Isinya, Jangan Bungkusnya

Produk menjadi mahal karena ditambahi dengan biaya packaging, iklan, dan distribusi. Motto adalah produk yang mengikis semua beban itu. Hasilnya?

Tiga-empat tahun lalu, PT Songo Geni Maju (SGM) mungkin bukan nama yang menarik untuk diketahui lebih lanjut. Tapi, sekarang, orang mulai tertarik dan mencari tahu bagaimana bisa berpartner dengan perusahaan ini. Bahkan, para pesaingnya—jika  tidak waspada—bisa jadi akan tergoyang oleh sepak terjang produsen deterjen ini.

Mengapa? Karena SGM tidak memasarkan deterjennya layaknya merek lain. Bahkan, perusahaan ini tidak benar-benar melakukan brand buliding atas produk deterjennya.

SGM tidak hanya memproduksi deterjen, tapi juga sabun cuci piring, pembersih lantai, dan lainnya. Semua produk keluaran SGM hanya diberi satu merek, yaitu Motto. “Nama ini mudah diingat siapa pun. Dan bisa diterima di hampir semua bahasa,” kata Budiono Gondosiswanto, Direktur Utama PT Songo Geni Maju.

Cara memasarkannya bagaimana? Uniknya, Budiono tidak memasarkan produknya dengan cara konvensional seperti produsen deterjen lain pada umumnya. Ia menjual dengan “sistem curah” alias kiloan. Bukan cuma deterjen, semua produk pembersih yang berbentuk cairan pun ia jual dengan cara literan.

Tentu saja ini menjadi beda, karena biasanya produk toiletris yang beredar dijual dalam kemasan—termasuk, kemasan isi ulang sekali pun. Jadi, konsumen yang akan membeli datang dengan membawa wadah masing-masing. Kalau untuk deterjen, cukup dengan plastik saja. “Buat apa saya membebani konsumen dengan biaya packaging dan iklan yang dimasukkan dalam harga jual, yang menyebabkan barang jadi mahal. Belum lagi ongkos distribusi yang bertingkat-tingkat,” tandas Budiono.

Seberapa murah dan bagaimana kualitasnya? Pertama untuk kualitas, Budiono tanpa ragu menyatakan bahwa semua produknya secara kualitas setara dengan produk bermerek atau leading brand yang  di pasaran. Misalnya, deterjen bubuk tidak kalah dengan Attack, lalu softerner setara dengan Molto dan lainnya. Lebih lagi, kata Budiono, SGM adalah produsen produk toiletris untuk pasar Amerika, Jepang, dan menjadi partner Unilever Indonesia.

Sedangkan untuk harganya, bisa sampai setengah dari harga produk-produk bermerek tersebut di atas. Sebagai perbandingan, di Carrefour yang harganya terbilang murah, Rinso 900 gram dijual Rp 12.490, sedangkan deterjen Motto 1 kg dijual Rp 8.000 ke konsumen. Dari harga jual ke konsumen itu, diler mendapat margin sekitar Rp 900 per kilogram.

Barang dari SGM menjadi murah karena berhasil memotong jalur distribusi menjadi dua tingkat saja. Yaitu, dari produsen ke distributor, dan dari distributor ke diler, istilah untuk pedagang yang mengecerkan Motto.  Tiap distributor biasanya membawahi 200-500 diler.

Kemudian, untuk melindungi para diler dan mengurangi persaingan, diterapkan sistem monopoli wilayah. Jadi, setiap orang yang ingin menjadi diler, wilayahnya akan disurvei. Bila di daerah itu sudah ada penjualnya, maka disarankan mencari tempat lain. Karena di setiap 300 kepala keluarga hanya boleh ada satu dealer. “Supaya perputaran barang di tiap diler tidak terlalu lambat. Apalagi, produk pembersih, meski dipakai tiap hari rata-rata konsumen menyetok untuk satu bulan,” ujar Budiono.

Siapa konsumen pemakai deterjen curah ini? Ternyata, beragam sekali. Bukan berarti murah karena untuk kelas menengah ke bawah. Tapi, dari kelas menengah sampai kelas atas pun menggunakannya. Banyak diler yang lokasinya justru ada di perumahan-perumahan mewah, misalnya Kelapa Gading, Kota Wisata, Rafflesia, dan lainnya. “Orang bisa menjadi golongan menengah ke atas justru karena bisa melihat segi fungsi dan kualitas, bukan sekadar cari prestise. Termasuk untuk urusan kebersihan,” tambahnya.

Model penjualan kebutuhan toiletris curah ini dimulai Budiono sejak tahun 2006. Tepatnya tiga tahun setelah SGM berdiri. Perlu waktu beberapa tahun untuk menyiapkannya, baik dari sistem hingga persiapan bahan baku.

Menurutnya, cara menjual produknya tidak sekadar curah saja. Tapi, penggabungan antara sistem multi-level marketing (MLM) dan air minum isi ulang. Model MLM digunakan untuk merekrut para diler. Sedangkan model air isi ulang adalah cara mendistribusikan produk ke para diler. “Jadi, setelah seseorang bergabung dalam jaringan penjulan Motto ia akan mendapat pasokan barang hanya dengan pesan saja, barang diantar.”

Awalnya ia merekrut 7 diler. Dalam setahun bisa melonjak beratus-ratus kali lipat, menjadi 1.500 diler. Lokasinya tersebar di sekitar Jabodetabek, Bandung, Sukabumi, Jambi, dan Surabaya.

Sebenarnya ada dua pilihan lagi bagi tiap diler saat akan bergabung. Yaitu, menjadi diler aktif atau mencari downline, satu lagi cukup menjadi diler pasif atau hanya menjual Motto saja. Bila menjadi diler aktif akan mendapat potongan harga hingga sekitar 20%.

Setiap diler juga bisa memilih paket produk yang akan dijual. Paket Rp 2 juta, Rp. 1.900.000, dan Rp 1.750.000. Semua paket mendapatkan jumlah dan volume produk sama. Masing-masing 18 item, dari shampo, deterjen, pemutih pakaian, hingga deterjen dengan volume 20 kg atau 20 liter per item-nya.

Tahun 2008 ini, Budiono menargetkan sekitar 100 ribu diler dapat terjaring. Kemudian, mendirikan pabrik baru di Jakarta dan Makasar dan kota lainnya untuk menjaga supply. Ia begitu yakin akan usaha ini karena kondisi sekarang ini membuat masyarakat mencari yang murah dan bagus. Bahkan, dalam keadaan ekonomi yang mapan, hukum murah dan bagus akan tetap berlangsung.

Freddy Rangkuti, Direktur Frai Marketing, mengamini pendapat itu, menurutnya potensi model curah untuk Indonesia dengan jumlah penduduk 236,4 juta jiwa (2008) sangat besar. Setidaknya terdapat  sekitar 42,6% yang tergolong kelompok bawah, berarti ada 100, 7 juta orang yang potensial menjadi target market.

Kekuatan penjualan secara curah adalah bermain di harga murah. Kekuatan ini sangat sulit disaingi oleh para pesaing yang menggunakan kemasan sebab ada harga kemasan yang harus dibayar oleh konsumen. Agar strategi menjual dengan harga lebih murah berjalan secara efektif, sistem distribusi produk menjadi tulang punggung yang sangat menentukan. Maka, SGM memilih menerapkan model MLM. Dan sepanjang penerapan sistem MLM dengan produk yang jelas dan sistem yang bagus, masyarakat pasti akan menerimanya dengan baik.

Apakah model ini mampu menggeser penjualan deterjen bermerek bila kualitasnya setara? Apabila PT SGM secara konsisten terus meningkatkan kualitasnya. Lalu, menjaring sebanyak mungkin diler ke pelosok-pelosok Indonesia dengan distribusi yang baik. Tak lupa pula mengelola komunikasi kepada pelanggannya secara positif, maka penjualan deterjen merek akan tergerogoti. “Menurut saya nanti akan terbentuk segmen-segmen pasar baru, sehingga masing-masing merek akan memiliki segmentasinya sendiri-sendiri,” kata Freddy.

Menurut Freddy, merek-merek besar harus waspada dengan model curah ini. Artinya pemilik merek besar harus dapat menguasai cara berpikir sistem curah ini, yaitu menggunakan jaringan sosial (social networking) atau lebih dikenal dengan nama MLM. Bila dikelola dengan baik, MLM bisa menggurita. Apalagi produknya murah, berkualitas, dan bisa menjadi bisnis buat masyarakat.

Di sisi lain, adopsi sistem MLM harus dijalankan dengan berhati–hati. Perlu dibuat distribution plan yang jelas sebagai pedoman yang dapat dipelajari konsumen yang tertarik dalam mendistribusikan produk ini. Kalau distribution plan-nya tidak jelas, akan terjadi keributan dan ujung-ujungnya akan merugikan reputasi perusahaan.

Kekuatan sistem ini adalah komunikasi akan berjalan dari mulut ke mulut dan otomatis perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk biaya promosi. Pada umummnya, rekomendasi dari teman atau saudara jauh lebih efektif dibandingkan dengan iklan. “Namun, berdasarkan berbagai penelitian, dibutuhkan pemahaman yang lebih mendalam untuk menerapkan strategi mulut ke mulut ini. Tidak semua produk dapat berhasil menggunakan strategi ini,” imbuh Freddy.

Syaratnya adalah harus bisa menciptakan pengalaman yang menyenangkan apabila menggunakan produk ini. Berdasarkan pengalaman ini akan terbentuk sikap positif sehingga pelanggan tersebut akan menjadi “influencer” yang akan bercerita kepada orang lain untuk menggunakan produk yang dia gunakan. Perusahaan dalam hal ini perlu memfasilitasi knowledge sharing dan kegiatan persuasi yang terjadi sehingga tidak menimbulkan sikap negatif.

Aktivitas distribusi sistem ini menjadi tulang punggung yang sangat penting. Namun demikian, perusahaan harus bisa memantau penyimpangan yang terjadi di lapangan. Artinya, jangan sampai akibat mengejar bonus tertentu, konsumen melakukan kegiatan penimbunan stok dalam jumlah besar. Dari kacamata produsen, produk kelihatannya terjual habis; tetapi dari sisi konsumen, ternyata produk berhenti karena disimpan. Jadi, hati-hati dengan fenomena “fat tail”, yaitu ada sebagian persentase tertentu (sekitar  20-40%) dari produk yang dibeli statusnya tidak jelas alias “bad stock”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.