Restorasi Gambut Kunci Penurunan Risiko Kematian

Marketing – Katadata bekerja sama dengan Harvard dan Columbia University mengadakan diskusi membahas dampak kesehatan dari kebakaran hutan dan gambut pada 2015 di Indonesia, Malaysia dan Singapura.

Diskusi ini dihadiri Budi Wardhana Deputi Perencanaan dan Kerja Sama Badan Restorasi Gambut (BRG), Dedi Hariri Advisor Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) Program Kebakaran Hutan dan Lahan, Muh. Teguh Surya Executive Director Madani Berkelanjutan serta peneliti dari Harvard University, Tianjia Liu.

Bencana kebakaran hutan dan gambut pada September-Oktober 2015, telah melepas emisi karbon dioksida setara dengan emisi bahan bakar fosil yang dilepaskan Jepang atau India selama setahun. Kebakaran membuat lebih dari 69 juta orang menderita infeksi saluran pernapasan akut karena udara yang tercemar. Menurut perhitungan World Bank, bencana tersebut juga menyebabkan kerugian materil lebih US$ 16 miliar.Tim peneliti gabungan dari Harvard University dan Columbia University dalam artikel jurnal “Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Framework to Maximize Health Benefits from Peatland Restoration,” melakukan permodelan dengan skenario Business as Usual (BAU) dari skenario Land Use dan Land Use Change (LULC).

Hasilnya, jika pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak berjalan maksimal, dalam jangka panjang, kematian dini yang ditimbulkan dapat mencapai angka 36 ribu jiwa per tahun di seluruh wilayah terdampak selama periode 2020 hingga 2030.

Dari angka itu, 92% kasus kematian dini diperkirakan akan terjadi di wilayah Indonesia, 7% di Malaysia, dan 1% di Singapura.

Pemulihan lahan gambut di Indonesia menjadi prioritas penting karena mampu menyimpan 57 gigaton atau 20 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan hutan hujan tropis biasa atau tanah yang bermineral.

Pasca kebakaran 2015, pemerintah membentuk BRG untuk mengoordinasi restorasi ekosistem gambut di tujuh provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.

Dari total target yang dikerjakan BRG sekitar 892.248 hektare, hingga 2018 sudah dilakukan pembasahan awal seluas 679.901 hektare. Dengan demikian capaian di luar konsesi sepanjang 2016-2018 sebesar 76%.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan perubahan paradigma menangani kebakaran hutan, dari penanggulangan ke pengendalian. KLHK menegakkan hukum multidoors bagi pelaku penyebab kebakaran hutan dan lahan, dengan langkah hukum pidana, perdata dan administrasi.

Langkah hukum yang dilakukan tidak hanya menyasar perorangan, tapi juga korporasi. Dalam kurun waktu 2015-2018 hampir 550 kasus dibawa ke pengadilan. Sebanyak 500 perusahaan dikenakan sanksi administratif terkait pelanggaran yang dilakukan, bahkan ada yang dicabut izinnya.

Tim peneliti Harvard dan Columbia University merekomendasikan strategi komprehensif untuk mengurangi kebakaran dengan penekanan di lahan gambut. Menghentikan kebakaran di seluruh lahan gambut, akan mengurangi 65% emisi akibat kebakaran dan menekan angka kematian dini di Indonesia sebesar 65%, 73% kematian dini di Malaysia dan 70% kematian dini di Singapura.

Tim peneliti mengembangkan aplikasi daring https://smokepolicytool.users.earthengine.app/view/smoke‐policy‐tool untuk memberi kajian dampak sebaran asap pada lima lokasi prioritas wilayah kerja  BRG yang paling berdampak bagi kesehatan masyarakat.

Menurut Budi Wardhana, aplikasi yang dikembangkan para pakar lintas keilmuan Harvard dan Columbia University akan digunakan BRG  dalam menetapkan area prioritas restorasi gambut. Sebelumnya, penetapan wilayah prioritas restorasi gambut hanya dengan menghitung titik api paling banyak.

Melalui aplikasi ini, BRG akan menambahkan parameter dampak beban kesehatan masyarakat dalam menetapkan wilayah mana saja yang akan menjadi prioritas restorasi gambut berikutnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here