Problem Solving dalam Organisasi Penjualan

Marketing.co.id- “Tidak ada benarnya”. Itulah mindset yang tercipta di sebagian jajaran penjual. Alam pikiran ini terus menjadi momok kehidupan mereka sehingga membuat segala sesuatu tidak pernah baik, apalagi untuk berprestasi unggul. Kenapa ini bisa terjadi? Serangkaian kalimat sakti serta budaya mencari-cari kesalahan, itulah yang menciptakan sebab-akibat ledakan emosi! Kendati sudah betul-betul berusaha dan dapat melampaui target yang sudah ditentukan, masih ada jurus pamungkas dari sang atasan, yaitu: ”kebenaran saja lagi hoki” atau “itu sih salah targetnya, kekecilan!” Hal inilah sebetulnya yang menciptakan situasi kurang kondusif di dalam organisasi penjualan, sehingga motivasi untuk melakukan yang terbaik pun menjadi tersumbat. Kalau sudah begitu, masalah siapa? Jawabnya, ya, sudah pasti organisasi penjualan yang paling dirugikan.

Sebab-Akibat

Dari pemaparan dan telaah selama ini, ternyata ada beberapa penyebab “ledakan emosi” terjadi, antara lain:

Pertama, beban kerja yang sangat berbeda antara pekerjaan lapangan dan pekerjaaan administrasi kantor. Tugas seorang karyawan kantoran dapat dihitung atas dasar jam masuk dan jam pulang. Begitu pula bila tugas tidak terselesaikan, dapat dilakukan lembur atau pekerjaan rumah. Sedangkan pekerjaan lapangan lebih ditentukan pada berakhirnya tugas seorang penjual, yaitu tercapainya target hari tersebut. Belum lagi situasi yang begitu keras, baik dari segi tekanan, kekurangnyamanan maupun polusi dan gangguan.

Kedua, apresiasi. Perusahaan terkadang memberikan imbal jasa dalam bentuk insentif yang terkadang kurang seimbang dengan tingkat beban kerja maupun tingkat kesulitan pekerjaan yang dilakukan. Belum lagi situasi kekhawatiran yang begitu tinggi akan status kepegawaian yang kurang terjamin akibat kinerjanya.

Ketiga, nilai dan citra perusahaan. Jangan terlalu banyak memberikan harapan terhadap pelanggan (mulai dari kualitas produk, pelayanan, pengiriman, informasi dan program pemasaran). Ini semua merupakan hal yang perlu dipahami dan dikomunikasikan ke jajaran penjual. Karena merekalah ujung tombak perusahaan yang perlu banyak tahu dan menanggung risiko atas setiap janji perusahaan yang dikomunikasikan.

Keempat, pengawasan/kontrol. Lantaran tugasnya tidak berada di dalam lokasi kantor, akibatnya mereka selalu mendapatkan pengawasan yang relatif cukup berlapis. Mulai dari perencanaan kunjungan, rencana penjualan, rencana penagihan, laporan hasil penjualan, analisis pasar hingga aktivitas lapangan di pantau oleh para pemimpin lewat kontrol administrasi, kontrol lapangan, kontrol melalui telepon hingga electronic control.

Kelima, keadilan. Tempat kerja yang bersahabat dan tidak saling curiga itu merupakan contoh konkrit rasa hormat perusahaan terhadap karyawannya. Namun, jika hal ini sudah terabaikan dan terjadi ketidaksesuaian di tubuh manajemen, maka saling tidak percaya yang merupakan bibit emosi ketidakadilan akan terjadi.

2 Cara Mengatasi Masalah

Banyak organisasi menilai bahwa hal ini terjadi karena masalah personalia. Padahal situasi  ledakan emosi yang berkelanjutan itu sebenarnya adalah masalah manajemen strategis. Produktivitas yang turun/rendah disebabkan oleh over capacity, workload yang melebihi tingkat optimal, kurang efektifnya sistem pengembangan SDM, termasuk dalam melakukan pengawasan yang tidak proporsional dan kondusif. Akibatnya, fenomena yang muncul—di mana emosinya terkadang meledak-ledak—disinyalir menjadi masalah pribadi yang kurang kompeten, tidak kooperatif atau sedang sakit mental.

Jika memahami hal ini, maka sebenarnya tanggung jawab perusahaan perlu ditingkatkan. Wujudnya berupa mempelajari sistem dan mekanisme kerja, mencari konseling dan konsultan untuk menyelesaikannya. Sebab, bila didiamkan, maka kerugian bagi perusahaan pun tak dapat dielakkan lagi.

Untuk mengatasi hal tersebut yang perlu dilakukan adalah melakukan pendekatan pribadi dalam krisis manajemen penjualan. Adapun langkah yang dapat diambil adalah pendekatan pribadi, kemudian dilanjutkan menjadi proyek tim/kelompok dan semua itu berporos pada sasaran organisasi. Tindakan selanjutnya adalah mengatasi dampak yang terkait dengan pokok persoalan di mana hasil akhir dari problem solving ini adalah suatu proses.

Oleh: Mindiarto Djugorahardjo

Managing Partner, Force One – Selling & Distribution Consultant

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.