Brand Religion

Sebuah perdebatan hangat yang sempat terjadi di Indonesia sampai dengan pertengahan tahun 2007 adalah debat poligami. Ada saja pemicu yang membuat timbulnya pro dan kontra soal Poligami. Bahkan Presiden pun sampai turun tangan. Namun, semuanya menjadi debat kusir. Mereka yang pro merasa benar. Apalagi mereka yang kontra. Sekali lagi, debat poligami memang sudah masuk ke area keyakinan. Apa pun motif seseorang melakukan poligami, jika sudah menjadi  keyakinan memang sulit digoyang. Melihat debat-debat antara pihak yang pro poligami dan tidak, mungkin bagi mereka yang menentang merasa “panas”  mendengar jawaban mereka yang pro. Soalnya mereka seakan seperti “batu” alias tidak bisa dikasih tahu. Tapi itulah keyakinan. Apa yang benar bagi mereka, mungkin tidak masuk akal bagi yang kontra. Sama seperti apa yang benar bagi pihak yang kontra menjadi tidak masuk akal bagi yang pro.

Betapa enak rasanya jika merek kita sudah menjadi seperti sebuah keyakinan atau agama. Merek mana yang tidak mau mencapai “kebahagiaan” seperti ini? Merek mana yang tidak ingin menjadi “poligami” (bukan dipoligami)? Ketika orang mengatakan bahwa tidak masuk akal seseorang mengkonsumsi produk kita, maka si “pengikut” merek kita seperti batu. Susah digerakkan oleh argumen yang paling masuk akal sekalipun. Ketika berbicara tentang brand religion, orang pasti melihat ke Harley Davidson. Merek ini dianggap sudah menjadi “agama” bagi para loyalisnya. Padahal sebenarnya di Amerika Serikat (AS) banyak merek yang telah menjadi “agama” bagi para loyalisnya dan itu timbul dari dunia entertainment.

Di AS ada kelompok komunitas Klingon. Mereka adalah pencinta film Star Trek dan Klingon ini adalah salah satu suku bangsa yang terkenal di film itu. Saking kuatnya film Star Trek mengakar dalam komunitas, sampai-sampai mereka memiliki bahasa Klingon yang menjadi bahasa pengantar di kalangan tersebut. Mereka juga sampai mengeluarkan kamus bahasa klingon yang menerjemahkan hampir semua kata dan istilah dalam bahasa Inggris.

Namun yang lebih hebat adalah kelompok pencinta film Star Wars di AS yang mendesak parlemen untuk mengesahkan “The Force” sebagai agama mereka! “The Force” adalah kekuatan tertinggi di jagad raya yang ada di film Star Wars. Betapa  percayanya mereka dengan agama baru ini sampai mereka mengganti salam “may the God be with you” menjadi “may the Force be with you”. Makanya tidak mengherankan jika para rohaniawan Kristen di sana menentang munculnya agama baru yang muncul dari film ini. Uniknya, meskipun berasal dari film, namun agama The Force ini seperti punya ritual yang dijalani semua anggotanya.

Memang agak keterlaluan jika ada kelompok yang ingin benar-benar menjadikan sebuah produk atau merek menjadi agama resmi mereka. Di Indonesia jelas sesuatu yang hampir tidak mungkin. Sekalipun keran kebebasan masuknya agama baru  mulai terbuka, namun tidak ada tempat di luar agama-agama besar di Indonesia. Apalagi jika agama itu menjadikan “The Force” sebagai Tuhannya.

Akan tetapi, dari sini kita bisa belajar bahwa merek yang menjadi brand religion adalah merek yang sudah mengalir dalam denyut jantung pelanggannya. Merek tersebut sudah menjadi identitas diri pelanggan di mana pun mereka berada. Para pencinta merek tersebut sudah menjadi evangelis yang siap mengabarkan kehebatan merek tersebut kepada orang lain. Mereka menjadi manusia “batu” yang sulit digoyangkan oleh argumen apa pun. Bahkan menjadi “gila” dan menyembah merek. Diskusi dengan mereka seperti menjadi debat kusir, karena semua kebenaran ada di dalam merek tersebut.

Walaupun ada keinginan dalam pemilik merek untuk menjadikan brand religion, tapi rasanya kok tidak perlu takabur membuat merek kita menjadi brand religion. Justru menjadi brand religion terkadang menciptakan efek negatif di masyarakat, kalau tidak menyebut “meresahkan”. Pengendara Harley di Jakarta sering meresahkan sebagian masyarakat. Kalau sedang pawai seolah mereka yang punya jalan. Beberapa surat pembaca di koran maupun milis ada yang mulai menyoalkan perilaku “sok” mereka.

Lagi pula, apakah merek yang menjadi brand religion bisa menjadi market leader? Tidak ada korelasi kuat di keduanya. Bahkan merek-merek market leader pun hampir tidak ada yang dijadikan brand religion oleh konsumennya.

Merek yang ingin menjadikan dirinya sebagai brand religion biasanya bersifat lebih segmented dan ingin menjaga “pasar kecil”-nya lebih berdaya tahan panjang. Belum lagi, sungguh repot untuk bias menjadi brand religion karena perlu ada history yang panjang dan dikenal turunmenurun sehingga berakar kuat di masyarakat. Hanya sedikit konsumen yang bisa bertahan  dari serangan komunikasi bertubi-tubi dari merek lain. Pada akhirnya kelompok yang mengusung merek sebagai agama hanyalah kelompok kecil dari kebanyakan konsumen. Mereka justru menjadikan keeksklusifan mereka sebagai sesuatu yang membanggakan. Sama halnya dengan poligami. Kalau kebanyakan orang Indonesia berpoligami, tidak ada kelompok kecil yang begitu gencarnya membanggakan poligami. (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.