Perbedaan Marketing Politik dengan Marketing dalam Bisnis

Marketing.co.id – Berita Marketing | Saat bangsa Indonesia masih bergulat dengan pandemi Covid-19, isu Pilkada serentak menyeruak ke permukaan. Sampai saat ini Pemerintah dan beberapa partai politik masih kekeuh untuk tetap menggelar hajatan pilkada serentak pada 9 Desember 2020 mendatang. Di sisi lain, sikap pemerintah ini ditentang banyak kalangan, yang meminta pemerintah agar menunda pilkada serentak, dengan alasan  berbagai tahapan pilkada akan menimbulkan kerumunan yang berpotensi menimbulkan cluster baru penyebaran Covid-19.

Sejak reformasi bergulir di tahun 1998, dunia politik memang menarik perhatian banyak kalangan, termasuk rakyat awam. Hadirnya media sosial membuat masyarakat semakin berani menyampaikan opini atau menyuarakan aspirasi politik. Ketertarikan masyarakat pada dunia politik sebenarnya tak lepas partai politik dan para politisi yang menerapkan strategi marketing politik.

Marketing Politik
Gibran Rakabuming Raka, Calon Wali Kota Solo (CNN Indonesia/Hesti Rika)

Menurut Firmanzah, semua usaha marketing dimaksudkan untuk meyakinkan konsumen, bahwa produk yang “dijual” memang memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan yang dijajakan pesaing. Metode dan pendekatan yang terdapat dalam ilmu marketing dapat membantu institusi politik untuk membawa partai politik kepada konstituen dan masyarakat luas. Institusi politik dapat menggunakan metode marketing dalam penyusunan produk politik, distribusi produk politik kepada publik dan meyakinkan, bahwa produk politiknya lebih unggul dibandingkan dengan pesaing.

Baca juga: Dukung Pilkada Serentak, Herborist Gelar Aksi “Jaga Kebersihan, Lawan Corona”

Penggunaan metode marketing dalam bidang politik dikenal dengan istilah marketing politik (politcal marketing). Dalam marketing politik, yang ditekankan adalah penggunaan pendekatan dan metode marketing untuk membantu politikus dan partai politik agar lebih efisien serta efektif dalam membangun hubungan dua arah dengan konstituen dan masyarakat. Hubungan ini diartikan secara luas, dari kontak fisik selama periode kampanye sampai dengan komunikasi tidak langsung melalui pemberitaan di media massa.

Baca juga: Dukung Pilkada, Secret Clean Pastikan Kebersihan Tangan Tetap Aman

Meski sama-sama menggunakan strategi marketing, terdapat beberapa perbedaan karakteristik mendasar antara marketing politik dengan marketing dalam dunia bisnis. Menurut Lock dan Harris (1996) perbedaan karakteristik ini berasal dari kenyataan bahwa kondisi pemilihan umum (Pemilu) memang berbeda dengan konteks dunia usaha pada umumnya.  Keduanya sepakat ada 7 perbedaan karakteristik antara marketing politik dengan marketing dalam dunia bisnis, yaitu:

1. Pada setiap pemilu semua pemilih memutuskan siapa yang mereka pada hari yang sama. Hampir tidak ada perilaku pembelian produk dan jasa dalam dunia usaha seperti yang terjadi dalam pemilu.

2. Meskipun beberapa pihak berargumen tentang adanya biaya individu dalam jangka panjang atau penyesalan (dalam bahasa ekonomi) sebagai akibat keputusan yang diambil ketika melaksanakan pencoblosan dalam pemilu, pada kenyataanya tidak ada harga langsung ataupun tidak langsung yang terkait dengan pencoblosan. Hal inilah yang paling membedakan konsep pembelian (purchase) dalam politik dibandingkan pembelian yang terdapat dalam bisnis.

3. Meskipun tidak ada harga spesifik yang terkait dengan pencoblosan yang dilakukan, pemilih harus hidup dalam pilihan kolektif, meskipun kandidat atau partai yang memenangkan pemilu bukan pilihan mereka. Hal ini membedakan pilihan politik dengan proses pembelian yang terjadi dalam pasar ekonomi. Dalam proses pembelian di pasar ekonomi, produk dan jasa yang dikonsumsi adalah yang mereka beli. Pembeli dapat menolak konsumsi atas barang-barang yang tidak disukai. Sedangkan dalam politik, ketika partai atau kandidat mereka kalah, pihak yang kalah harus hidup dan menelan kenyataan atas berkuasanya kandidat serta partai yang memenangkan pemilu.

4. Produk politik atau kandidat individu adalah produk tidak nyata (intangible) yang sangat kompleks, tidak mungkin dianalisis secara keseluruhan. Sebagai konsekuensinya, kebanyakan pemilih menggunakan judgment terhadap keseluruhan konsep dan pesan yang diterima.

5. Meskipun terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengubah arah atau platform partai politik, kemungkinan untuk meluncurkan brand politik yang baru sangatlah sulit. Soalnya, brand dan image politik pada umumnya sudah melekat dengan keberadaan partai tersebut.

6. Pemenang pemilu akan mendominasi dan memopoli proses pembuatan kebijakan politik. Pemenang pemilu akan mendapatkan hak dan legitimasi untuk melakukan semua hal yang mengatur keteraturan sosial dalam masyarakat.

7. Dalam kasus marketing di dunia bisnis, brand yang memimpin pasar cenderung untuk tetap menjadi pemimpin dalam pasar. Sedangkan dalam politik, pihak yang berkuasa akan dapat dengan mudah jatuh menjadi partai yang tidak populer ketika mengeluarkan kebijakan publik yang tidak populer seperti menaikkan pajak dan menaikkan harga bahan bakar minyak. Reputasi partai politik dapat meroket dan dengan cepat jatuh tenggelam hingga ke dasar paling dalam.

Sumber: Firmanzah dalam bukunya Marketing Politik Antara Pemahan dan Realitas

Marketing.co.id: Portal Berita Marketing & Berita Bisnis

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.