PARSLEY BAKERY Harganya Tak Semahal Rasanya

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Untuk urusan kuliner, Kota Yogya memang tidak ada matinya. Berbagai macam makanan, mulai dari yang murah hingga mahal, manis sampai pedas, yang encer hingga superpadat, ada di sini. Dan, jangan lupa, dari kota inilah pabrik gudeg bermula. Karena itu, Yogyakarta sering disebut Kota Gudeg.

Namun, di antara sekian banyak jenis masakan yang ada, bakeri termasuk yang paling menjamur dewasa ini. Apabila Anda bertamasya kemari, Anda akan melihat satu-dua toko roti (bakery) di setiap persimpangan jalan. Satu di antara sekian banyak itu adalah Parsley.

Parsley merupakan salah satu toko roti yang berada di Jalan Magelang, Yogyakarta. Toko itu berdiri pada 14 Oktober 2002, di tengah kompetisi yang sudah lumayan ketat. Beberapa toko roti besar, seperti Mirota Bakery dan Holland Bakery, hadir jauh sebelum Parsley Bakery lahir. Namun, itu tak membuat gentar para pendirinya, yakni lima orang wanita bernama Utari Rahardjo, Suzanne, Lianty Sugiarti, Anggia Murni, dan Lidya.

Parsley hadir demi sebuah alternatif rasa yang lebih enak dan kualitas roti lebih baik. Maka dari itu, hal yang dipertimbangkan pertama kali adalah tempat dan sumber daya manusia. Mencari tempat yang strategis tentu saja dimaksudkan agar mudah dijangkau oleh konsumen.

Memang, membuka sebuah toko roti bukanlah pekerjaan mudah. Parsley harus melalui jalan berliku terlebih dahulu. Apalagi, pasarnya telah diperebutkan banyak pemain. Sehingga, harus dibekali survei pasar, survei harga, dan mengenal karakteristik konsumen yang ingin dibidiknya.

Menurut Dwi Budiyanto Darmadji, General Manager Parsley, berkat perhitungan-perhitungan pemasaran yang baik, maka kelahiran Parsley disambut target market dengan bagus. Konsumen berdatangan silih berganti. Parsley pun sukses menjadi pemain baru di industri roti daerah.

Melihat antusiasme konsumen yang terus meningkat, genap satu tahun kemudian Parsley membuka gerai keduanya di Jalan Solo. Kini, roti yang dipasarkan Parsley sudah dapat dibeli juga di Jalan Kaliurang, Plaza Ambarrukmo, dan Jogja International Hospital. Jadi, totalnya sudah lima gerai.

Pertumbuhan bisnis Parsley tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun 2004, ketika membuka gerai ketiga di Jalan Kaliurang, Parsley memutuskan untuk mengembangkan lini yang lain. Tidak sekadar cake and bakery, restoran pun dimasukinya. “Dengan area yang lebih luas, Parsley membuka bakery and cake shop sekaligus restoran tematik western,” ungkap Budi.

Tema restoran semacam itu diangkat untuk membidik pasar mahasiswa ekspatriat yang terkonsentrasi di Jalan Kaliurang, seputaran Universitas Gadjah Mada. Lagi-lagi bidikan tepat sasaran. Parsley Resto, demikian nama restoran itu, yang menyediakan menu-menu Barat mampu menjaring ekspatriat yang tinggal di daerah tersebut.

Pengembangan sayap inipun tidak terhenti di cabang Jalan Kaliurang. Beberapa waktu lalu, Parsley juga memodifikasi cabangnya di Jalan Solo. Dengan menyewa tempat baru yang lebih luas dan berlantai dua, Parsley membuka restoran dengan tema oriental. Sesuai dengan temanya, resto ini menyediakan menu-menu oriental, seperti dimsum, bebek peking, dan sapi lada hitam.

Kalau sudah begitu, Parsley tidak hanya bersaing dengan toko roti, tetapi juga dengan restoran-restoran. Merek itu pun mengaku sudah mempersiapkan diri menghadapinya. “Kompetitor itu tidak dapat dicegah dan diatur. Sehingga, kami tetap bersaing dengan meningkatkan kualitas produk,” ungkap Budi menerangkan. Peningkatan kualitas itu memang mesti dilakukan secara berkesinambungan.

Bagi Budi, pesaing dianggap sebagai partner untuk belajar dan berkembang. Sebab, bagaimana pun industri roti ini membutuhkan pesaing agar lebih kreatif dan tumbuh. Pemain yang banyak akan mampu mengedukasi pasar dengan lebih cepat jika dibandingkan dengan sedikit pemain.

Dalam memasarkan roti, Budi mengaku, sebenarnya Parsley membidik pasar menengah ke atas. Rotinya dibanderol dengan harga antara Rp 3.000-Rp 6.000 per butir. Sedangkan kuenya, yang ready stock, dibanderol mulai dari Rp 75.000-Rp 120.000. Kue brownies dan muffin juga ada, harganya Rp 25.000-Rp 35.000 per kemasan.

Cita Rasa Konsumen

Meski kelihatan tak terlalu mahal, Parsley tidak mau main-main dengan kualitas. Rasa yang disuguhkan setiap produknya diklaim berkelas premium. Namun, tidak lupa pula, semua itu disesuaikan dengan daya beli dan cita rasa pasar setempat. Ini tidak bisa ditinggalkan oleh siapa pun yang menginginkan produknya di terima pasar dengan baik.

Keberhasilan Parsley juga tidak lepas dari strategi komunikasi yang digarap. Untuk diketahui, nama Parsley identik dengan daun kecil berwarna hijau yang segar dan menyehatkan. Sehingga, merek itu selalu memosisikan dirinya sebagai produk yang bersih dan sehat. Semboyan yang diusung pun tidak jauh dari perihal itu, yakni Be Fresh, Be Healthy.

Artinya, Parsley selalu menyediakan roti dan makanan lainnya yang sehat, baru, dan higienis. Positioning ini bisa tercermin dari produk dan layanannya. Bahkan, toko roti ini sangat konsen dengan kebersihan dapur dan gerainya.

Untuk membangun brand knowledge dan brand awareness konsumen, Parsley tetap mengiklankan produk dan gerai-gerainya melalui koran-koran daerah, radio, dan majalah. Tapi, senjata utama yang paling ampuh untuk menarik konsumen adalah dengan diskon harga. Selain itu, Parsley juga bekerja sama dengan komunitas-komunitas tertentu untuk membentuk kerja sama membership.

Strategi dan promosi ini tidak sia-sia. Di samping gerainya yang terus bertambah, konsumennya pun demikian. Buktinya, setiap gerai mampu menyedot pengunjung hingga 300-500 orang per hari. Jelas itu bukan jumlah yang sedikit untuk sebuah toko roti.

Ke depan, Budi menyatakan, Parsley berencana melakukan ekspansi ke wilayah selatan Yogyakarta. Alasannya, selama ini daerah itu belum dijamah sama sekali. Sampai sekarang Parsley memang masih memfokuskan diri di Yogyakarta karena kota itulah yang sudah dipahami karakteristik pasarnya. “Kunci suksesnya, Parsley mencoba fokus pada konsumen dan terus menjaga kepuasan konsumen,” tutur Budi. (Leonardus Meta Noven)