Marketing.co.id – Berita Digital | Memasuki tahun 2026, dunia bisnis di Asia Pasifik (APAC) diprediksi akan menghadapi satu tantangan klasik yang tetap relevan yaitu manusia sebagai titik lemah utama dalam pertahanan siber. Meski perusahaan telah menggelontorkan investasi besar untuk teknologi keamanan mutakhir, kesalahan sederhana seperti menggunakan ulang kata sandi atau terkecoh email phishing masih menjadi penyebab utama serangan.
“Perilaku manusia adalah risiko terbesar dalam keamanan siber, baik di Jepang maupun di kawasan APAC. Satu klik saja pada tautan yang salah bisa meruntuhkan reputasi yang dibangun bertahun-tahun,” ujar Takanori Nishiyama, SVP APAC dan Japan Country Manager, Keeper Security.
Ancaman yang Berevolusi: Manusia vs AI
Jika dulu hacker mengandalkan email phishing sederhana, kini mereka dibantu kecerdasan buatan (AI). Deepfake, rekayasa sosial berbasis AI, hingga kampanye phishing otomatis menjadikan serangan makin sulit dibedakan dari komunikasi resmi.
Bagi industri seperti otomotif dan semikonduktor—yang menjadi tulang punggung ekspor Jepang—risikonya berlipat ganda. Kompleksitas rantai pasok membuat setiap celah manusia bisa menjadi pintu masuk yang berujung pada gangguan besar di level global.
Dalam konteks pemasaran, ini bukan sekadar isu IT. Sebab, sekali data pelanggan atau mitra bisnis bocor, merek akan kehilangan trust capital—modal kepercayaan yang menjadi pondasi loyalitas pelanggan.
Pertahanan Ramah Pengguna: Keamanan Tanpa Friksi
Menurut Nishiyama, strategi keamanan ke depan harus lebih dari sekadar memberi peringatan. Solusi yang ramah pengguna justru akan menghilangkan kebiasaan berisiko sejak awal. Teknologi seperti password manager, passkey, passwordless authentication, dan privileged access management akan semakin penting.
Inovasi ini bukan hanya mengurangi risiko human error, tetapi juga menghadirkan customer experience yang mulus. Di era digital, konsumen menuntut keamanan yang tidak mengorbankan kenyamanan. Itulah mengapa di mata brand, keamanan kini menjadi bagian dari value proposition.
AI Senjata Ganda dalam Pertahanan Siber
Meski AI dimanfaatkan penjahat siber untuk menyerang, AI juga menjadi kunci pertahanan. Teknologi ini mampu memantau perilaku pengguna, kondisi perangkat, hingga konteks aktivitas secara real time. Bahkan, solusi agentic AI dapat langsung menghentikan sesi berbahaya tanpa menunggu manusia mengambil keputusan.
“Ketika dikombinasikan dengan pengawasan manusia, AI bukan hanya meningkatkan proteksi, tapi juga menghemat biaya, mengurangi beban kerja, dan menjaga agility operasional,” jelas Nishiyama.
Bagi para pemimpin bisnis dan brand manager, adopsi AI dalam keamanan siber bukan lagi isu teknis semata. Ini adalah bagian dari strategi brand resilience—kemampuan merek untuk tetap dipercaya dan relevan di tengah ketidakpastian digital.
Tantangan Budaya: Antara Teknologi dan Kebiasaan
Namun, di Jepang dan sebagian APAC, adopsi teknologi passwordless masih terkendala faktor budaya. Ada keraguan meninggalkan sistem lama yang dianggap lebih “aman karena familiar”. Padahal, sikap ini justru memperlambat kesiapan menghadapi ancaman modern.
Di sinilah peran leadership menjadi krusial untuk membangun budaya keamanan yang kuat, mendidik karyawan, dan memastikan seluruh lapisan organisasi memahami bahwa keamanan siber bukan tanggung jawab IT saja, melainkan bagian dari reputasi brand.
Dari Risiko Menjadi Diferensiasi Brand
Outlook 2026 menunjukkan bahwa masa depan keamanan siber bukanlah pertarungan manusia melawan mesin. Justru, masa depan ditentukan oleh kolaborasi manusia yang bekerja berdampingan dengan AI untuk menutup celah antara niat dan eksekusi. Strategi ini bagi brand bukan hanya soal bertahan dari serangan, tetapi juga soal diferensiasi. Di mata konsumen, brand yang mampu menjamin keamanan data akan semakin dihargai, sementara yang lengah berisiko kehilangan kepercayaan yang tak ternilai.