Ini Curhatan Dirut Telkomsel Soal Tuduhan Monopoli

Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah akhirnya buka mulut soal tudingan monopoli. Seperti diberitakan beberapa media, Indosat Ooredoo mengeluhkan terjadinya monopoli di pasar seluler di luar Pulau Jawa, yang secara tak langsung ditujukan kepada Telkomsel.

Indosat mensinyalir Telkomsel menguasai 80% pangsa pasar di luar Jawa. Menurut aturan persaingan usaha, jika terjadi penguasaan lebih dari 50%, maka patut dianggap sebagai praktik monopoli sehingga negara harus turun tangan.
“Selama ini saya diam karena mau konsentrasi puasa dulu,” tandas Ririek dalam acara buka bersama dengan para jurnalis di Telkomsel Smart Office, kemarin (27/06).

Dirut Tsel-Ririek

Sebelumnya Vice President Corporate Communications Telkomsel, Adita Irawati pernah melakukan sanggahan terkait tuduhan Indosat. Menurut Adita Irawati penguasaan pasar Telkomsel di luar Pulau Jawa diraih melalui sebuah proses yang panjang dan jatuh bangun sejak Telkomsel berdiri di tahun 1995.

Dalam kesempatan tersebut Ririek membeberkan beberapa alasan untuk menegaskan bahwa tuduhan monopoli itu tidak tepat. Lisensi bisnis Telkomsel katanya mencakup nasional, sehingga penguasaan pasarnya juga harus dilihat secara nasional.
“Kalau dilihat secara nasional market share kita tidak ada 50%, dilihat dari customer base, mungkin mendekat angka 50%,” jelas Ruriek.

Bahkan, katanya di beberapa area di luar Jawa market share Telkomsel tidak mencapai 50%. Namun dia tidak menyanggah Telkomsel memang sangat kuat di beberapa kota di luar Jawa, namun hal ini lebih disebabkan ketidakhadiran operator lain.
“Jadi dominasi Telkomsel diperoleh bukan karena kemauan Telkomsel, tapi karena kerja keras kita terus membangun BTS di manapun,” imbuh Ruriek.

Hingga saat ini, Telkomsel total sudah membangun 116 ribu BTS. Ruriek menegaskan, ada tiga kategori BTS (Base Transceiver Station) yang dibangun Telkomsel. Pertama, BTS reguler yang dibangun atas dasar perhitungan bisnis (untung-rugi). Kedua, BTS Merah Putih. BTS ini ketika dibangun hitung-hitungannya rugi, namun suatu saat nanti diprediksi akan untung karena perkembangan ekonomi suatu kawasan.

Ketiga, BTS USO (Universal Service Obligation). BTS kategori ini secara bisnis tidak akan pernah untung, karena dibangun di daerah perbatasan dan pulau terpencil. BTS USO merupakan proyek pemerintah, namun pencairan dananya sering tidak lancar sehingga menjadi tanggungan Telkomsel.

Ririek mengatakan, Telkomsel tidak mungkin mematikan BTS USO meskipun dananya tidak ada atau lamban karena menyangkut hak rakyat untuk menikmati teknologi komunikasi.

“Bayangkan, orang sudah beli ponsel, sudah terbiasa pakai ponsel, sudah ada yang jualan pulsa, tiba-tiba tidak ada sinyal. Apa yang terjadi mereka akan komplain. Mereka juga saudara kita, punya hak untuk menikmati layanan seluler yang sama dengan yang lain,” ungkap Ririek.

Dalam kesempatan tersebut Ruriek juga menjelaskan dampak negatif bagi industri selular jika penetapan biaya interkoneksi tidak berbasis cost. “Ada risiko operator tidak bersemangat lagi membangun (BTS), ngapain membangun jika cukup pakai interkoneksi saja,” jelas Ririek.

Sekadar informasi, biaya interkoneksi adalah biaya yang harus dibayar oleh suatu operator kepada operator lain yang menjadi tujuan panggilan. Tarif interkoneksi merupakan salah satu komponen yang vital dalam penghitungan biaya sambungan jika menelpon lintas operator.

Dia menjelaskan, biaya interkoneksi biasanya ditinjau 2-3 tahun sekali melalui Peraturan Menteri (Permen). Besaran interkoneksi di Telkomsel bisa divalidasi karena berbasis cost, yakni Capex (capital expenditure) dan Opex (operational expenture). “Gampanya begini, jika ada operator yang cuma punya 10 BTS dengan operator yang punya 100 BTS pasti cost nya berbeda,” tegasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here