Ide Banyak, Eksekusi Nol

[Reading Time Estimation: 5 minutes]

Marketing.co.id- Beberapa tahun yang lalu saya bersama profesor Bernd Schmitt memiliki kesempatan untuk menjadi pembicara di seminar dengan topik “Radical Innovation”, banyak komentar menarik yang saya catat dari para pelaku bisnis. “Kami melahirkan ide-ide setiap melakukan brainstorming, tetapi kemudian sulit untuk membuat ide ini sebagai suatu strategi yang nyata”. Atau komentar seperti berikut: “Perusahaan kami banyak melahirkan ide-ide yang radikal.

Problemnya, setelah sekian lama, hampir tidak ada ide yang dapat diwujudkan”. Apa yang menjadi problem mereka sehingga hanya berhenti menjadi pengumpul ide?

Saya yakin, ada dua langkah besar yang belum dilalui dengan mulus oleh perusahaan-perusahaan ini. Pertama, perusahaan atau top manajemen gagal membuat ide tersebut menjadi suatu strategi yang jelas dan fokus. Kedua, perusahaan tidak memiliki leader yang tepat untuk mengeksekusi gagasan besar. Perusahaan tidak memiliki leader yang berani mengambil risiko dan memiliki komitmen untuk mewujudkan ide-ide besar ini.

Kegagalan Ide

Kegagalan membuat ide besar menjadi strategi bisa bersumber dari beberapa hal. Yang paling klasik adalah karena perusahaan tidak mempersiapkan kemampuan atau kompetensi untuk mengeksekusi strategi. Mereka tidak memiliki teknologi dan sistem yang dapat mengubah ide menjadi kesempatan atau karena kualitas manusia yang tidak memadai.

Teknologi biasanya disebut dengan “hard competencies” dan kualitas manusia disebut dengan “soft competencies”. Mari kita lihat contoh sederhana untuk dua industri yang berbeda: yang pertama, industri makanan/minuman; dan kedua, industri perbankan.

Bagi sebuah perusahaan makanan dan minuman, meluncurkan produk baru adalah hal yang sangat penting untuk menggantikan produk lama yang sudah memasuki tahap kematian dalam siklus. Perusahaan yang jarang meluncurkan produk baru tidak akan mampu bersaing dalam jangka panjang. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi perusahaan untuk mengembangkan kemampuan R&D-nya.

Saya sungguh yakin, dari pengalaman menjadi konsultan banyak perusahaan yang bergerak di industri makanan dan minuman ini selama 15 tahun, hanya perusahaan dengan kemampuan R&D yang kuat, akan bertahan dalam jangka panjang. Dalam industri ini, produk berkualitas—termasuk kualitas rasa dan tekstur—sudah menyelesaikan 50% pekerjaan dari divisi marketing. Good product is good marketing.

Sering kali, bagian pemasaran kemudian punya segudang ide. Mereka ingin meluncurkan vitamin generasi baru! Ingin membuat minuman yang lebih stabil! Ingin membuat biskuit yang lebih renyah! Ingin membuat kemasan baru dan sebagainya. Wow! Banyak ide. Kemudian, semuanya ini tidak terwujud. Sederhana, perusahaan tidak memiliki kompetensi. Mereka tidak membangun R & D yang kuat. Mereka tidak memiliki teknologi yang diperlukan atau tidak memiliki tenaga periset yang berkualitas.

Dalam hal teknologi, bukan berarti perusahaan harus melakukan investasi. Mereka memiliki pilihan untuk membangun sendiri atau membeli lisensi. Tetapi, semuanya ini membutuhkan kualitas sumber daya manusia yang memadai.

Inilah yang sering terjadi di perusahaan makanan minuman skala kecil dan menengah. Mereka tidak mampu melihat strategi yang menjadi kunci sukses dari industrinya. Mereka tidak mampu membangun kompetensi yang memadai. Pada akhirnya, cuma menjadi kolektor dari ide-ide besar.

Dalam industri perbankan, salah satu kunci sukses adalah kemampuan perbankan membangun channel delivery. Nasabah menginginkan pelayanan yang semakin cepat dan semakin nyaman.

Sebuah bank bisa memiliki puluhan ide besar untuk membuat produk atau layanan yang semakin cepat dan menyenangkan nasabahnya. Misalnya bagaimana kalau kita dapat melayani pembukaan rekening secara online, bagaimana kita bisa mengatasi komplain pelanggan dalam tempo dua jam, bagaimana kita dapat bertransaksi antarbank melalui SMS banking, dan segudang ide lainnya.

Bisa dibayangkan, ide-ide besar ini akan berhenti bila bank tidak mampu melihat strategi besar sebagai kunci sukses dan membangun teknologi dan sistem dalam channel delivery. Tidak akan ada ide yang kemudian mampu terwujud menjadi sebuah konsep layanan baru tanpa kompetensi seperti ini.

Bank yang sanggup menangkap ide dan menjadikan ide menjadi suatu gagasan strategi bila sudah memiliki kompetensi atau minimal punya kemampuan untuk membangun kompetensi dalam channel delivery. Inilah pentingnya memiliki top manajemen, baik CEO maupun CMO yang visioner, yang mampu membangun sebuah kompetensi untuk mengubah ide menjadi strategi besar perusahaan.

Hal kedua yang menjadi penghambat ide menjadi strategi yang siap dieksekusi adalah kemampuan ide tersebut untuk memberikan customer value. Ide dalam dunia bisnis bukanlah sekedar ide besar, ide gila atau ide-ide yang kelihatannya brilian.

Anda boleh punya ide besar dengan membuat sebuah obat tablet yang ukurannya hanya 10% dari yang sekarang sudah beredar. Problemnya, apakah ada konsumen yang menginginkan? Apakah ukuran yang kecil ini akan memberikan customer value atau justru menciptakan masalah baru bagi konsumen?

Sebuah ATM dapat diberikan fasilitas lagu. Jadi, saat nasabah menarik uang tunai, dia bisa mendengarkan lagu kegemarannya. Sepintas masuk akal. Nasabah akan merasa senang karena mendapatkan tambahan layanan.

Apakah nasabah benar-benar menginginkan? Bukankah mereka yang ke ATM biasanya tidak punya banyak waktu untuk menunggu? Bukankah nasabah yang mendengarkan lagu di depan ATM kemudian akan membuat antrian yang semakin panjang dan membuat nasabah lain merasa tidak puas? Sebuah ide yang masuk akal, tetapi belum tentu menciptakan customer value.

Sebuah ide atau gagasan tidak dapat menjadi strategi besar perusahaan juga karena tidak adanya ekosistem, terutama customer base, yang memadai. Tidak mengherankan, banyak perusahaan kecil yang memiliki segudang ide besar tidak mampu mewujudkan ide mereka. Penghambatnya sederhana, yaitu karena mereka tidak memiliki pasar untuk melempar produk yang akan diproduksi atau layanan yang diciptakan.

Pelanggan loyal yang berjumlah banyak adalah sebuah ekosistem yang paling efektif untuk menyerap gagasan besar. Sekali lagi, inilah bagian dari dimensi bahwa pelanggan adalah ekuitas bagi perusahaan yang sangat besar dan sering kali jauh melebihi dari aset yang tercantum dalam nilai buku perusahaan.

Teknologi Location Based Service (LBS) adalah teknologi masa mendatang yang melekat di industri seluler. Anda bisa melihat teknologi ini banyak dipakai dalam film James Bond terbaru, Quantum of Solace. Dengan teknologi ini, melacak seseorang atau benda yang bergerak bisa menjadi sangat mudah. Aplikasinya sangatlah luas. Ada puluhan ide besar yang bisa diciptakan oleh para operator seluler di masa mendatang.

Telkomsel, Telkom, Indosat, dan Excelcomindo sebagai operator terbesar, akan memiliki peluang lebih besar untuk menangkap peluang ini. Operator kecil, yang memiliki pelanggan tidak lebih dari satu juta, akan sulit mewujudkan gagasan ini.

Dengan penjelasan di atas, Anda mudah menyadari mengapa ratusan ide akhirnya sulit diwujudkan. Mereka tersandung saat ide besar ini akan diwujudkan menjadi strategi besar. Strategi besar tidak dapat diartikulasikan karena perusahaan tidak memiliki kompetensi, tidak ada potensi untuk menjadi customer value atau tidak adanya pasar yang cukup untuk menyerap produk dari gagasan besar tersebut.

Tidak mengherankan, bagi perusahaan kecil, mewujudkan gagasan besar menjadi pekerjaan yang tidak mudah. Mereka menghadapi batu besar yang siap untuk memfilter ide-ide yang sudah dilontarkan.

Bagi perusahaan kecil, pilihannya ada dua. Pertama, mereka tetap berpikir besar. Perusahaan ini perlu menjalin hubungan kemitraan (networking) dengan sumber-sumber yang dapat membantu mereka untuk mewujudkan ide-ide besar. Strategi seperti co-branding atau berbagai bentuk aliansi dapat menjadi model yang tepat bagi terwujudnya sebuah ide besar.

Pilihan kedua adalah dengan membatasi ide besar untuk pasar yang relatif spesifik. Dengan demikian, akan memudahkan mereka untuk membentuk kompetensi yang spesifik pula.

Peran Leader

Kegagalan atau keberhasilan ide untuk diubah menjadi strategi dan selanjutnya dapat dieksekusi berada di tangan para CEO dan jajaran direksinya. Tidak ada ide besar yang terwujud bila perusahaan tidak memiliki pimpinan yang memiliki “gut” dalam mengambil risiko. Para leader ini sadar bahwa sebuah gagasan besar pastilah memiliki risiko yang lebih besar pula. Walau demikian, mereka berani menjalaninya. Inilah ciri pertama dari leader yang mampu mewujudkan ide besar menjadi kenyataan.

Kedua, untuk meminimalkan risiko yang besar, para leader ini akan memiliki passion dan komitmen yang sangat tinggi. Mereka punya daya tahan tinggi untuk mencoba mewujudkan ide ini. Mereka akan terus memberi dukungan kepada tim agar bersama-sama membuat gagasan itu terwujud. Leader akan sangat menjiwai dan menguasai banyak detail dari strategi dan eksekusi dari ide besar.

Inilah dua ciri dari leader yang sangat krikal untuk mewujudkan ide-ide besar di sebuah perusahaan. Walaupun tampak sederhana, ternyata tidak mudah menjumpai leader yang memiliki hal ini. Sebagian besar leader hanya memiliki salah satu ciri atau bahkan tidak keduanya.

Banyak leader yang memilih mencari posisi yang sudah mapan atau lebih memilih melakukan hal-hal yang sudah terbukti memberikan hasil. Semoga di tahun 2009 dan tahun-tahun mendatang, kita akan melihat lebih banyak leader yang siap mewujudkan ide besar menjadi sebuah produk atau layanan yang memberi hasil spektakuler.

 

Ditulis oleh Handi Irawan D, Chairman Frontier Consulting Group

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here