Cermat Membaca Isu Shifting dan Penurunan Daya Beli

Di pengujung tahun ini, ekonomi Indonesia diguncang isu perubahan pola belanja konsumen dan penurunan daya beli. Di sisi lain, ekonomi digital mendapatkan momentum untuk bertumbuh. Apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan ekonomi Indonesia?

Rhenald Khasali (Foto: Lia/Mjl Marketing)

Ekonomi dan bisnis adalah dua hal yang selalu menarik dicermati setiap kali kita akan meninggalkan tahun yang lama dan memasuki tahun baru. Menurut Rhenald Kasali, pengamat ekonomi dan bisnis, tahun 2017 merupakan titik belok. Tahun yang menyentuh titik terendah, namun perlahan-lahan ekonomi akan bangkit.

Rhenald mengatakan, titik belok ini disebut juga dengan tren yang terputus (trend-break). Trend break ditandai dengan munculnya ekonomi digital yang tidak kasat mata. Sebuah fenomena ekonomi yang sebelumnya tidak pernah dipelajari di kampus. Selama ini para ekonom hanya mempelajari ekonomi yang kasat mata atau lebih dikenal sebagai ekonomi konvensional.

Ekonomi digital telah dan akan terus mengancam saluran distribusi konvensional seperti dealership, supermarket, convenience store, hipermarket, atau mal. Dalam ekonomi digital muncul molekulisasi. Molekulisasi mewujud dengan munculnya pebisnis-pebisnis berbasis digital. Berbeda dari pebisnis konvensional, mereka tidak membutuhkan gedung kantor. Mereka bekerja secara virtual sambil minum kopi di kafe.

Sebelumnya teori ekonomi hanya mengenal dua pembuluh darah dalam ekonomi, yakni arteri dan vena. Sekarang muncul pembuluh darah ketiga, yakni sistem ekonomi kapiler. Dalam ekonomi kapiler, produk/jasa dikirimkan secara langsung ke konsumen, sehingga membabat peran middleman.

“Dimulai dengan masuknya Traveloka yang menawarkan jasa wisata, konsumen tidak lagi melalui pihak ketiga. Kalau nanti Blockchains muncul, akan menghabisi ATM dan EDC. Sekarang saja kita hanya menikmati layanan perbankan, tapi tidak pernah bertemu lagi karyawan bank,” tutur pendiri Rumah Perubahan ini.

Di masa peralihan tersebut, banyak pebisnis yang berupaya mendekati regulator seraya berharap regulator akan mengamankan bisnis mereka. Sementara konsumen sudah berpihak pada ekonomi digital, karena mereka dapat menikmati harga produk/layanan yang lebih murah. Rakyat diuntungkan; bila tadinya uang Rp200.000 hanya dapat 1 baju, sekarang Rp200.000 dapat 3 baju. “Kalau ada ekonom bilang rakyat kecil dirugikan, nyatanya daya beli meningkat tiga kali lipat,” tutur Rhenald.

Dia tidak sependapat jika dikatakan sepinya mal dan pusat perbelanjaan sebagai indikator menurunnya daya beli masyarakat. Alasannya, fenomena sepinya mal dan pusat perbelanjaan hanya terjadi di kawasan Jabodetabek, dan itu pun bukan disebabkan daya beli menurun, tapi karena mereka lebih memilih berbelanja online.

“Ada ekonom yang bilang ekonomi sedang turun. Kita bilang ini shifting, banyak konsumen yang membelanjakan uang tapi tidak terlihat. Sementara ekonom konvensional hanya memantau gejala ekonomi yang terlihat,” tutur Rhenald, seraya menambahkan dirinya sudah sejak dua tahun lalu memprediksi bakal terjadi shifting pola belanja konsumen.

Shifting bukan hanya terjadi dari cara berbelanja konvensional ke digital, dari belanja kebutuhan pokok (makan dan minum) ke kebutuhan yang sifatnya leisure, namun juga dari cara konsumen dalam mengakses layanan transportasi. Hal ini terlihat dari maraknya transportasi online.

Transportasi online menguntungkan dua pihak, konsumen dan masyarakat yang menjadi mitra penyedia aplikasi. Di satu sisi, konsumen bisa menikmati angkutan ojek dan taksi yang lebih murah daripada ojek dan taksi konvensional. Di sisi lain, mitra pengemudi bisa memonetisasi kendaraan mereka yang menganggur (idle).

“Setiap orang bisa menjadi pengemudi taksi online dengan mobil sendiri, sehingga terjadi peningkatan pendapatan untuk keluarga mereka Rp6 juta–Rp7 juta per bulan. Bagi taksi konvensional, pendapatan segitu dihitung rugi, karena harus bayar depresiasi sebulan Rp6 juta–Rp7 juta,” ungkap Rhenald.

Harga produk/layanan yang lebih murah di era digital sangat menguntungkan segmen konsumen menengah-bawah. Segmen ini bisa membeli harga baju yang lebih murah, mampu membayar tarif taksi online yang lebih murah, dan bisa plesiran dengan tiket pesawat serta hotel murah yang banyak ditawarkan di situs-situs travel. Perlu diketahui, segmen ini sebelumnya kurang mendapat perhatian perusahaan, karena mereka lebih suka menggarap segmen menengah-atas.

Rhenald menuturkan, ilmu marketing yang lama mengajari kita untuk membidik segmen menengah-atas. Karena dengan menyasar segmen atas, mereka bisa menikmati margin besar. Hal yang sama tidak bisa didapat ketika menggarap segmen menengah-bawah, karena berlaku prinsip semakin banyak quantity, harga akan semakin murah. Sehingga dalam marketing gaya lama, yang muncul branding. “Banyak yang melakukan branding. Bank menggenjot layanan prioritas, orangnya sedikit tapi duitnya banyak. Garuda Indonesia membidik first class,” paparnya.

Fenomena di perdesaan sedikit berbeda dari di perkotaan. Digitalisasi ekonomi di daerah rural belum semasif di perkotaan. Di kota-kota lapis kedua atau ketiga, pusat perbelanjaan dan kantor cabang bank masih ramai dikunjungi. Rhenald menyarankan, jika peritel ingin berekspansi, bukalah gerai di kota-kota tersebut.

“Di Jakarta kantor bank sepi. Tapi kalau Anda pergi ke BRI di Manado masih ramai. Kalau mau bilang daya beli turun di pedesaan, jangan alasannya mal sepi. Tapi, misalnya konsumsi pupuk turun, penjualan ikan di pasar Beringharjo turun, atau angka gizi buruk naik,” kilah Rhenald.

 

Tahun Politik Ekonomi Bergairah

Rhenald melihat tahun depan, perusahaan konvensional berpeluang bangkit dengan melakukan selfdisruption. Namun self disruption tidak mudah dilakukan karena akan menimbulkan kanibalisme. Di sisi lain, selfdisruption juga rawan menimbulkan konflik internal, antara orang baru yang pro ekonomi digital dan orang lama yang masih keukeuh ekonomi konvensional.

Rhenald tidak mengkhawatirkan kondisi ekonomi tahun 2018 yang disebut sebagai tahun politik, karena tahun berikutnya akan ada Pilpres. Seperti sebelumnya, tahun politik akan berdampak positif pada ekonomi, karena banyak uang digelontorkan untuk aktivitas politik. “Banyak uang panas akan keluar untuk kampanye, dan mulai mengalirnya awal tahun depan, termasuk dana yang disimpan di luar negeri,” tuturnya.

Faktor lain yang membuat ekonomi tahun depan bergairah adalah proyek infrastruktur yang digenjot pemerintahan Jokowi sudah ada yang rampung. Infrastruktur akan membuat ekonomi semakin efisien. Soal kemampuan daya beli masyarakat di perdesaan juga tidak perlu diragukan. Daya belinya akan tertolong dengan Program Dana Desa senilai Rp60 triliun, di mana satu desa akan menerima Rp1 miliar.

Rhenald memprediksi semua sektor bisnis berpeluang untuk tumbuh di tahun 2018, sepanjang bisnis tersebut mampu mengoptimalkan peran teknologi informasi. Untuk strategi komunikasi, dia menyarankan perusahaan meninggalkan gaya komunikasi pemasaran yang sifatnya textual thinking dan beralih ke visual thinking, karena yang mereka hadapi adalah konsumen siber, yakni cyber mom, cyber babies, dan cyber teen.

Tony Burhanudin

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.