Marketing, Jakarta – Sejak pertama kali ditemukan kasus positif COVID-19 (Corona Virus) di Indonesia, jumlah orang yang terjangkiti virus ini terus meningkat setiap harinya. Begitu pun orang yang meninggal karena COVID-19, jumlahnya tiap bertambah dalam hitungan hari.
Sebenarnya jumlah korban yang meninggal dapat ditekan jika pasien positif COVID-19 ditangani lebih dini. Korban meninggal karena virus tersebut berhasil menembus ke paru-paru dan akhirnya menimbulkan peradangan di organ vital tersebut. COVID-19 masuk ke dalam tubuh karena menempel di receptor paru-paru. Karena itu, diperlukan metode atau formula untuk memblok receptor tersebut (receptor blocker).
Perusahaan biotech PUFF, Nucleus Farma, dan Professor Nidom Foundation (PNF) berhasil menemukan formula “BCL” yang berfungsi sebagai receptor blocker untuk menghalau COVID-19 agar tidak menempel di paru-paru. Formula ini menggunakan empat kandungan, yakni BCL (Bromhexine Hydrochloride), Guaiphenisin, Vegetable Glycerine (VG), dan Propylene Glycol (PG). Adapun komposisi kandungan tersebut, saat ini hak patennya sudah didaftarkan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI.
Kandungan BCL telah lazim digunakan sebagai obat mukolitik untuk mengatasi gangguan pernafasan, terutama yang terkait dengan batuk yang terus menerus. BCL merupakan reaksi kimiawi dari bromhexine dan hidrogen klorida dalam komposisi yang seimbang. Seperti diketahui, COVID-19 menyerang sistem pernafasan, yang antara lain gejalanya berupa batuk-batuk.
Uniknya, formula tersebut tidak dalam bentuk kapsul atau sirup yang harus diminum, melainkan dalam bentuk vaporizer, sehingga penggunaanya melalui metode aerosol (penguapan).
Prof Chaerul Anwar Nidom, Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin Professor Nidom Foundation menjelaskan, cara kerja formula ini dengan membendung reseptor ACE2 (Angiotensin Converting Enzyme 2) di paru-paru.
“Selain ada di paru-paru, reseptor ACE2 juga ada di jantung. BCL ini tidak mempengaruhi Myonal Cardivit atau ACE2 yang ada di jantung, sehingga BCL ini jika digunakan untuk menghambat COVID-19 akan lebih efektif dengan cara penguapan,” tutur guru besar biologi molekuler dari Universitas Airlangga ini.
Nidom menegaskan, metode penguapan lebih efektif karena ACE2 harus dibendung secepat mungkin oleh reseptor melalui aerosol. “Prosesnya lebih cepat dibandingkan menggunakan cara lain seperti oral, karena membutuhkan proses metabolisme di dalam darah,” tandas Nidom.
Riset telah membuktikan keampuhan metode aerosol ketika diaplikasikan pada treatment medis, salah satunya penggunaan salbutamol. Terbukti bio-availabilitas (penyerapan ke dalam tubuh) salbutamol dalam bentuk aerosol 57% lebih tinggi dibandingkan salbutamol dalam sediaan oral (diminum).
Dengan telah ditemukannya formula BCL yang penggunaanya melalui aerosol, diharapkan akan bisa membantu pemulihan pasien COVID-19, terutama yang masih dalam tahap awal. Hal ini disebabkan virus tersebut akan mati dengan sendirinya karena tidak berhasil menempel di receptor ACE2 paru-paru.
”Nucleus, PUFF Farma, dan Prof Nidom Foundation ingin membantu pemerintah yang saat ini tengah gencar memutus mata rantai penularan COVID-19 dan treatment awal agar tidak berkelanjutan,” tutur CEO Nucleus Farma, Edward Basilianus.
Edward menambahkan, pihaknya menyadari dan sangat menghargai kinerja pemerintah yang selama ini sudah bekerja keras dalam mengatasi Pandemi COVID-19. Dia berharap, seluruh elemen masyarakat bersatu dan bersinergi dalam mengatasi pandemi ini.
“Nucleus Farma, PUFF Farma, dan Prof Nidom Foundation siap membantu dari sisi obat dan formula-formula untuk membantu menangani pemulihan pasien COVID-19. Mengingat urgensi situasi dan kondisi saat ini yang sangat mendesak, kami membutuhkan dukungan dari Pemerintah untuk mempermudah proses uji klinis sehingga kita dapat segera membantu masyarakat,” pungkas Edward.