Sensasi Suara Lebah

Dengungan lebah adalah suara yang punya banyak makna. Tentu saja buat sang lebah sendiri, bukan buat kita. Bagi lebah, setiap dengung memiliki banyak arti—sekalipun kita menandainya sama.

Sebetulnya bukan hanya pada lebah, manusia pun memiliki dengungan yang berbeda, dan dimaknai yang berbeda ketika kita adalah anggota sebuah kelompok yang tidak sama. Kata “bonyok” berbeda buat kelompok yang berusia 20-an dan 30-an. Untuk usia 30-an, kata  ini diartikan sebagai “akibat sebuah benturan/pukulan”; sedangkan bagi kelompok usia 20-an, “bonyok” berarti “bokap nyokap” alias “bapak ibu”. Mungkin karena itu jugalah, suara dengungan pada sebuah komunitas—kita sebut sebagai buzzing—menjadi semacam dengungan lebah yang hanya bisa dipahami oleh komunitas itu sendiri.

Menariknya, dengungan suara komunitas jauh lebih didengar oleh komunitas itu sendiri dibandingkan dengan iklan segencar apa pun, semahal apa pun, dan sekolosal apa pun. Sekalipun kecil dan tidak beraturan, dengungan suara komunitas memiliki makna yang semakin dalam bagi komunitasnya itu sendiri.

Bagi pemilik merek, dengungan itu menjadi sebuah tanda seru besar untuk dipahami. Sebab, begitu suara dengungan komunitas itu bisa teruraikan kodenya, itu berarti penghematan miliaran rupiah untuk anggaran iklan. Bagaimana tidak, saat anggaran iklan menjadi berbanding terbalik dengan efektivitasnya (hingga berubah menjadi pertanyaan besar), maka diperlukan tanda seru besar untuk mengatasi hal itu. Sayangnya, tanda seru besar ini belum sepenuhnya dipahami. Buzzing, alias dengungan suara lebah, masih belum utuh terbaca sebagai sebuah anatomi yang bisa dibedah dan dimanfaatkan untuk keperluan pencitraan merek, dan tentunya pemasaran.

Memang, beberapa bukti menunjukkan bahwa kasus dengungan komunitas begitu efektif untuk mendongkrak penjualan. Kita lihat saja, misalnya, fenomena buzzing dalam dunia otomotif di Indonesia. Mendadak saja mobil warna putih menjadi tren di kelas menengah-atas. Putih dipersepsikan sebagai warna VVIP. Padahal, setahun yang lalu, mobil warna putih masih identik dengan ambulans. Merek-merek otomotif pun bersorak, karena dengan cat warna putih itu, mereka bisa menjual produk dengan biaya produksi yang lebih “murah”.

Pertanyaannya, apakah merek-merek otomotif merekayasa proses buzzing itu, sehingga menjadi dengungan di kalangan kelas menengah bahwa warna putih adalah warna VVIP? Rasanya saya harus menjawab tidak, karena para ekspatriat-lah yang menciptakan buzzing tersebut. Tentu saja, tidak dengan disengaja. Dan kemudian produsen otomotif mengambil kesempatan tersebut.

Reengineering Buzzing

Sebetulnya, banyak sekali kasus di mana sebuah merek menjadi buah bibir di sebuah komunitas hingga citranya menguat dan jualan semakin bagus. Sayang, begitu akan mengulang kisah sukses, seringkali kita tidak tahu bagaimana jalannya. Singkatnya, buzzing seringkali teridentifikasi justru pada saat sudah terjadi, tapi tidak terdeteksi asal muasalnya, apalagi bentuk anatomi detilnya.

Padahal, sebenarnya upaya untuk membangun sensasi melalui suara lebah ini sudah sering diciptakan oleh beberapa pengusaha yang justru tidak pernah menyebut dirinya sebagai praktisi pemasaran. Karena mereka mengenal komunitasnya, mereka bisa membangun sensasi suara lebah secara akurat. Dan yang terpenting, mereka bisa mengulanginya untuk produk mereka yang lain.

Mari kita tengok apa yang dilakukan oleh kelompok Florikultura Indonesia memperlakukan tanaman hias menjadi bernilai miliaran rupiah. Saat mereka memutuskan untuk membangun citra sebuah jenis tanaman anturium. Sebelum membangun buzzing tentang sebuah tanaman, mereka mematangkan dulu jenis tanaman tersebut di kalangan penyilang ataupun pemilik tanaman indukan. Kemudian mereka mengecek reaksi publik dengan melakukan “test the water”, di mana mereka melemparkan informasi tanaman (calon) unggulan tersebut di kontes ataupun pameran tanaman. Begitu reaksi bagus, maka tanaman tersebut dipublikasikan di Trubus ataupun Flona, dan (yang tidak kalah penting) pemilik tanaman indukan serta kalangan penyilang diminta untuk membatasi jumlah tanaman tersebut.

Tampaknya sederhana, tapi sebetulnya kekuatan dari kelompok Florikultura Indonesia ini adalah mereka paham betul anatomi buzzing tanaman yang akan mereka unggulkan. Mereka paham betul tentang Triple C di dalam anatomi buzzing, yaitu Character (komunitas tanaman), Consideration (masyarakat untuk membeli tanaman), dan Communication (di antara komunitas utama, kelompok pendukung, dan publik sebagai konsumen).

Jadi, sekalipun kerja mereka hanya “berhenti” hingga mempublikasikan tanaman tersebut di Trubus ataupun Flona, mereka tahu persis bahwa buzzing-nya akan bergulir melalui 3C tadi. Setelah di Trubus, masyarakat akan berburu (padahal jumlahnya sengaja dibatasi). Kemudian investor menanamkan modal, lantas ada isu pembelian dengan harga fantastis, dan terciptalah tren tanaman yang diunggulkan dengan harga fantastis pula.

Triple C, Dual Effect

Memahami Triple C memang tidak mudah, kecuali mereka yang secara langsung bergelut di dalam komunitas itu, dan paham betul “hot button” yang ada di komunitas tersebut saat menerima sebuah isu. Itulah sebabnya, semisal ada pemain-pemain tanaman global akan mengikuti gaya kelompok Florikultura Indonesia, mereka tidak akan bisa, karena mereka tidak paham langgam komunitas tanaman di Tanah Air.

Itulah sebabnya, kenapa kita sering gagal melakukan buzzing marketing, karena kita hanya menebak-nebak komunitas yang akan kita sasar. Sialnya pula, komunitas ini tidak bisa dideteksi dengan riset kuantitatif. Kurva normal tidak berlaku untuk buzzing, karena memang keunikan komunitas yang menjadi inti dasar komunikasinya. Mau tidak mau, kita harus tongkrongin untuk memahami anatomi sebuah komunitas. Secara detil, harus kita gambarkan model stimulus-respon yang muncul dari karakter komunitasnya, kemudian bagaimana kata-kata kunci yang bisa menyentuh “hot button” masyarakat untuk merespon buzzing, dan efek domino yang terjadi dalam proses komunikasi di antara komunitas inti, komunitas pendukung dan masyarakat itu sendiri.

Sebaiknya memang, kita mesti menyempatkan diri untuk nongkrong di komunitas-komunitas tersebut. Karena kalau kita sudah mendapatkan anatominya, kita bisa memanfaatkan hasil anatomi tersebut secara ganda untuk (sekadar) mengedukasi pasar, atau (sekaligus) merangsang terjadinya penjualan. Melalui edukasi pasar, kita bisa membentuk kebutuhan produk baru tanpa bisa diintip oleh kompetitor; karena kita melakukannya langsung di komunitas, tidak melalui perantaraan media.

Selain itu, kita juga jadi cepat mendapatkan kata-kata kunci dari masyarakat mengenai ketidaksukaan mereka terhadap kelemahan produk kita dan produk kompetitor. Kita jadi paham ketika mendengar plesetan-plesetan (negatif) yang berkaitan dengan merek kita. Dan yang terpenting adalah: kita bisa menghemat miliaran rupiah anggaran iklan di media massa. Asal, ya itu tadi, mau menyempatkan diri untuk nongkrong. (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.