
Quiet Covering, Strategi Adaptasi Generasi Z di Dunia Kerja yang Perlu Dipahami Perusahaan
Marketing.co.id – Berita Lifestyle | Fenomena generasi muda di tempat kerja selalu menarik untuk diamati. Setelah tren quiet quitting yang sempat heboh, kini hadir istilah quiet covering. Perilaku ini menjadi bagian dari cara Generasi Z (Gen Z) untuk menjaga keseimbangan antara autentisitas diri dengan tuntutan profesionalisme.
Baca Juga: Perbedaan Belanja Online Gen Z, Milenial dan Gen X
Memahami tren ini bukan sekadar soal manajemen sumber daya manusia (SDM), melainkan juga tentang membaca pola pikir konsumen masa depan. Gen Z tidak hanya hadir sebagai karyawan, tetapi juga sebagai pasar utama yang kian dominan dalam beberapa tahun ke depan.
Apa Itu Quiet Covering?
Mengutip dari Detikcom, quiet covering merupakan fenomena di tempat kerja ketika karyawan menyembunyikan aspek-aspek probadi dari diri mereka sendiri untuk menghindari penilaian negatif, dan diskriminasi tujuannya adalah agar dapat diterima oleh lingkungan kerja, terlihat lebih profesional, dan meningkatkan peluang untuk promosi.
Baca Juga: Tren Kuliner Milenial dan GenZ: Siapa Paling Doyan Eksperimen?
Singkatnya, quiet covering berarti karyawan memilih untuk “menyembunyikan” sebagian dari identitas atau kebiasaan pribadinya agar lebih diterima di lingkungan kerja. Mereka tetap produktif, namun lebih hati-hati dalam menampilkan diri.
misalnya, menahan penggunaan bahasa gaul di rapat formal, menghindari gaya berpakaian yang terlalu kasual agar tak dinilai kurang profesional, dan tidak terbuka soal preferensi pribadi yang dianggap sensitif.
Jika quiet quitting adalah “diam-diam mundur” dari komitmen kerja tambahan, maka quiet covering lebih kepada “diam-diam menyesuaikan diri” agar tetap aman secara sosial dan profesional.
Baca Juga: 6 Tips Sukses Bisnis F&B Menjangkau Milenial dan Generasi Z
Bukan tanpa alasan mereka melakukannya. Dikenal sebagai generasi yang mengutamakan otentisitas, Gen Z di dunia kerja berhadapan dengan norma lintas generasi, standar konservatif, dan ekspektasi perusahaan. Mereka melakukan quiet covering dengan alasan untuk menjaga citra profesional tanpa harus kehilangan jati diri sepenuhnya (harmonisasi identitas), menghindari penilaian negatif yang bisa memengaruhi karier (perlindungan psikologis), dan menyesuaikan diri agar tidak membuang energi untuk konflik atau perbedaan pandangan (efisiensi sosial).
Tentunya, fenomena ini berdampak positif terhadap budaya perusahaan karena menunjukkan fleksibilitas dan kemampuan adaptasi generasi muda. Namun, dampak negatifnya adalah jika terlalu sering, karyawan bisa merasa tidak “benar-benar diterima” yang berujung pada burnout atau disengagement.
Baca Juga: Memahami Mindset Milenial dan Gen Z Terhadap Rumah
Insight ini tentu sangat bermanfaat bagi perusahaan. Generasi Z sebagai pelanggan pun bisa berperilaku serupa, kan? Mereka mengedepankan self-expression, tetapi juga akan menyesuaikan diri dengan norma sosial di platform atau brand tertentu.
Fenomena quiet covering setidaknya memberikan tiga pelajaran penting. Pertama, brand harus membangun ruang inklusif, baik sebagai tempat kerja maupun identitas merek. Kedua, employer branding perlu menekankan keberagaman. Bukan hanya soal rekrutmen, tapi juga dalam budaya kerja sehari-hari. Ketiga, konsistensi komunikasi brand. Gen Z menghargai keterbukaan, sehingga mereka lebih loyal pada brand yang “walk the talk”.
Menuju Workplace dan Marketplace yang Sehat
Mengurangi kebutuhan quiet covering artinya membangun ekosistem di mana karyawan merasa aman menjadi dirinya sendiri. Hal ini sejalan dengan tren global diversity, equity, and inclusion (DEI).
Baca Juga: Tren Penggunaan Skincare di Kalangan Milenial dan Gen Z
Perusahaan yang sukses adalah yang mampu menghubungkan autentisitas individu dengan identitas kolektif perusahaan. Tidak hanya relevan di dunia kerja, tetapi juga dalam menciptakan merek yang dipercaya konsumen. Karena, baik di kantor maupun pasar, Gen Z tidak menuntut kesempurnaan, melainkan penerimaan yang tulus.