Marketing – Untuk menyehatkan industri telekomunikasi di tanah air perlu dilakukan merger atau akuisisi. Pasalnya kinerja industri telekomunikasi sepanjang tahun 2018 memang terpuruk. Menurut Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), untuk pertama kalinya dalam sejarah, industri telekomunikasi Indonesia mengalami pertumbuhan minus 6,4 persen pada 2018.
Padahal dua tahun silam, industri telekomunikasi masih mampu mengantongi pendapatan mencapai sekitar Rp 158 triliun. Namun di 2018 nilainya turun menjadi Rp 148 triliun alias minus 6,4 persen. Bisa dikatakan Industri telekomunikasi di tahun 2018 memang tidak begitu menggembirakan.
Penurunan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain anjloknya pendapatan dari voice/SMS yang telah digantikan oleh layanan baru dari penyelenggara Over the Top (OTT), perang tarif antar operator di layanan data, dan regulasi registrasi SIM Card.
Mengenai layanan data yang sedang tren, perlu diketahui Indonesia merupakan salah satu pasar dengan tarif layanan data termurah. Sementara itu, konsumsi layanan data per pengguna juga cukup rendah dibandingkan negara yang sebanding, seperti Malaysia, Filipina dan India yaitu sekitar 3,5GB per bulan.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan, kondisi industri telekomunikasi di Indonesia belum ideal karena terlalu banyak pemain. Hal ini menyebabkan industri telekomunikasi di Indonesia tidak efisien. “Di Indonesia ada 6 operator telekomunikasi, idealnya ada 3 operator,” tuturnya saat seminar bertema ‘Konsolidasi Jurus Pamungkas Sehatkan Industri Telekomunikasi’ di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (2/5/19).
Namun menteri yang akrab disapa Chief RA ini mengakui merger atau akuisisi di industri telekomunikasi tidaklah mudah, karena aksi korporasi ini menjadi wewenang pemegang saham bukan top management. “Karena itu saya tidak memaksa untuk konsolidasi, tapi ini juga sifatnya lebih dari anjuran atau imbauan,” lanjutnya.
Jika dibiarkan terus kondisi industri telekomunikasi akan semakin mengkhawatirkan. Imbas dari perang harga dan promo jor-joran di layanan data membuat industri ini hanya tumbuh single digit tahun lalu. Padahal industri telekomunikasi sangat dibutukan untuk mendorong ekonomi digital. “Volume data tumbuh 50 persen. Tapi pertumbuan industri hanya 7 persen,” imbuhnya.
Karena itu, dia meminta operator agar jangan memanjakan konsumen dengan harga murah, bahkan dengan tarif nyaris gratis. Konsumen juga harus menyadari operator perlu ongkos untuk memelihara jaringan. “Dalam 5 tahun terakhir Ebitda industri telekomunikasi turun 5 persen,” tandasnya.
Menurut Rudiantara, konsolidasi merupakan salah satu cara untuk menyehatkan industri . “Sejak 2016 sudah berharap itu karena pertumbuhan industri sudah tidak sehat. Sampai dengan tahun 2015-2016 revenue masih double digit, pertumbuhan paling tinggi dengan kontribusi ke GDP/PDB. Sekarang turun tinggal 7%, seharusnya bisa drive untuk ekonomi,” ungkapnya.
Kendala Regulasi
Ada satu kendala yang membuat operator enggan melakukan konsolidasi. Undang-undang Telekomunikasi Tahun 1999 mengamanatkan frekuensi menjadi milik negara. Akibatnya jika satu operator berhenti karena berbagai sebab, antara lain karena diakuisisi oleh pihak lain, frekuensinya harus dikembalikan kepada pemerintah.
Dalam konteks akuisisi, frekuensi yang harus dikembalikan ke pemerintah membuat perusahaan yang mengakuisisi perusahaan lain tak ubahnya membeli perusahaan kosong. Padahal tujuan suatu operator mengakuisisi operator lain agar dapat mendapat tambahan frekuensi.
Rudiantara menegaskan, saat ini Kemenkominfo sedang menyusun aturan merger dan akuisisi di sektor telekomunikasi yang bertujuan memberikan rasa keadilan bagi industri. Termasuk frekuensi tidak akan diambil pemerintah jika ada aksi korporasi satu operator mengakuisisi operator lain. Aturan ini sedang dipersiapkan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Kendati demikian, konsolidasi bisa dilakukan tanpa perlu menunggu aturan keluar.
Tantangan Konsolidasi
Ismail, Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) menyebutkan ada tiga hal penting terkait usaha konsolidasi tersebut.
Pertama, tujuan konsolidasi untuk menyehatkan industri agar dapat tumbuh berkelanjutan. Dengan konsolidasi, maka perusahaan bisa meningkatkan segmen pasarnya. Menurutnya, saat ini kondisi pasar terlalu ketat dengan jumlah operator yang sudah banyak.
Kedua, masalah frekuensi. Frekuensi katanya bukanlah aset milik perusahaan telekomunikasi karena sifatnya sebagai sumberdaya terbatas. “Karena itu perlu diperhatikan soal ini, apakah frekeuensi langsung menjadi bagian dari perusahaan yang mengakuisisi atau sebagian dikembalikan kepada pemerintah seperti kasus akuisisi XL terhadap Axis,” jelas Ismail.
Ketiga, soal isu pelanggan. Pelanggan tidak boleh dirugikan dalam proses merger atau akuisisi. Justru sebaliknya, dengan merger atau akuisisi perusahaan menjadi sehat, sehingga bisa memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan.