Para Pesohor di Panggung Politik dan Fenomena Anti Politisi Selebritas

Marketing.co.id – Opini Marketing| Salah satu fenoma yang muncul tiap kali akan digelar Pemilu di Indonesia, yakni munculnya selebritas sebagai caleg (calon legislatif) di berbagai partai. Hampir semua partai memiliki caleg dari kalangan pesohor. Sekadar menyebut contoh PDIP memiliki 8 caleg selebritas, Nasdem 8, dan PAN 7.

Sebagian pengamat mencurigai masuknya selebritas ke partai politik hanya dimanfaatkan sebagai vote getter (pendulang suara). Hal ini dapat dimaklumi karena selebritas punya “nilai jual” lebih dibandingkan orang kebanyakan. Mereka memiliki public awareness dan popularitas yang tinggi, sehingga lebih mudah dalam meraih atensi publik.

Tanggapan minor lain terkait caleg selebritas, mereka dinilai tidak memiliki pemahaman terhadap visi, misi, dan nilai-nilai perjuangan partai. Karena mereka sejatinya bukan kader partai, namun hanya “the outsider” yang tiba-tiba muncul menjelang Pemilu.

Terlepas dari pro-kontra politisi selebritas, di panggung politik internasional kita melihat beberapa selebritas yang berhasil menduduki jabatan politik tertinggi. Antara lain mantan aktor Ronald Reagen yang menjadi Amerika Serikat ke-40 (1981–1989), aktor Joseph Ejercito Estrada yang menjabat sebagai Presiden Filipina ke-13 ( 1998 – 2001). Dan yang tengah menjadi sorotan dunia karena Perang Rusia – Ukraina, Presiden Volodymyr Zelensky. Sebelum menjadi Presiden Ukraina, Zelensky adalah komedian terkenal di negaranya.

Baca juga: Marketing Politik: Apa Saja yang Dijual Partai Politik?

Apa sebenarnya politisi selebritas? Dalam bahasa sederhana kita dapat mengatakan, politisi selebritas adalah figur yang menggunakan ketenarannya sebagai alat untuk memengaruhi publik mengenai suatu isu atau ideologi politik tertentu. Figur selebritas penting karena menjadi titik penataan sentral dalam identifikasi diri dan sosial, melakukan peran yang semakin penting dalam membingkai diri, membayangkan diri, merevisi diri, dan refleksi diri (Elliott, Anthony, 1998, “Celebrity and Political Psychology: Remembering Lennon”).

Siapa saja yang memiliki banyak pengikut dan pengaruh terlepas apapun profesinya, apakah atlet profesional, aktor, aktris, penyanyi, bintang televisi, atau musisi dapat dikategorikan sebagai selebritas. Selebritas memiliki dua kekuatan khusus; kemampuan untuk menjelaskan masalah dan meyakinkan khalayak (Celebrity Influence”. kansaspress.ku.edu. Retrieved 2018-11-28).

Kehadiran media sosial makin menegaskan eksistensi selebritas. Selebritas yang tadinya hanya dikenal di media konvensional, kemudian masuk ke media sosial dan berhasil memperbesar basis pendukungnya. Di sisi lain, media sosial juga telah melahirkan selebritas-selebritas baru, antara lain melalui munculnya Selebgram di Instagram dan Content Creator di YouTube yang memiliki jutaan pengikut atau subscriber. Pengaruh Selebgram dan Content Creator tak kalah besarnya dengan pengaruh yang dimiliki selebritas lainnya.

Keberhasilan Gerakan Anti Politisi Selebritas di Jerman

Perihal serbuan selebritas ke dunia politik, ada artikel menarik di laman theconversation.com yang ditulis oleh Peter Nicholls. Nicholls menulis artikel dengan judul menggelitik, “The antidote to Trump: how ‘anti-celebrity’ politicians can still thrive in a world driven by stardom.”

Nicholls menulis, perjuangan tanpa henti untuk mendapatkan perhatian media di lingkungan politik modern kita telah memunculkan fenomena lain: politisi yang menjadi selebritas itu sendiri. Politisi ini menata diri mereka sebagai persona publik yang menarik, dan terus-menerus mencari publisitas melalui penampilan sosial dan keterlibatan proaktif dengan media.

politisi selebritas
Volodymyr Zelensky mantan aktor komedian yang menjadi Presiden Ukraina

Barack Obama yang karismatik dan Boris Johnson yang badut sama-sama berhasil mengubah perhatian media yang dihasilkan menjadi kekuatan politik. Lebih lanjut, Nicholls menulis, di tengah Trump dan Johnson di dunia, dapatkah politisi “tradisional” masih bersaing untuk mendapatkan kekuasaan?

Baca juga: Menelisik Positioning para Capres di Pemilu 2024

Politisi anti-selebritas berpakaian dan berperilaku tidak mencolok, dan seolah-olah kurang paham media. Politisi anti-selebriti juga mewujudkan kualitas yang berlawanan dengan ketenaran selebriti dan menghindari pusat perhatian. Politisi anti-selebriti berkembang ketika mulai muncul tendesi kejenuhan terhadap gaya politisi selebritas.

Nicholls juga menulis, pemilu Jerman baru-baru ini memberi contoh kemenangan dari gerakan anti politisi selebritas. Pemenang pemilu Olaf Scholz dari Partai Sosial Demokrat menampilkan Kanselir yang tidak karismatik dan lebih menonjolkan sisi teknokratis, yang membuatnya mendapat julukan “mesin Scholz”.

Scholz dengan hati-hati meniru citra stabilitas dari pendahulunya Kanselir Angela Merkel – seorang anti-selebriti klasik. Aktivitas politik Merkel tampak tidak dipentaskan dan dia dikenal karena ketulusannya, penampilannya yang netral, menghindari sorotan media dan kontroversi, serta kurangnya emosi dan impulsif.

Menurut Nicholls, keberhasilan politik anti-selebriti tergantung pada sistem politik dan media lokal. Dalam sistem presidensial dengan pasar media yang sangat dikomersialkan, seperti AS, terdapat fokus yang kuat pada politisi individu dan budaya selebritas. Karena itu media menyukai Bill Clinton dari Partai Demokrat yang bermain saksofon, tetapi pengungkapan skandal Clinton yang berlebihan membuka jalan bagi George W. Bush dari Partai Republik untuk memenangkan pemilihan Presiden.

Sementara dalam sistem parlementer dengan lingkungan media yang lebih diatur, seperti Inggris, publik memilih partai daripada individu, dan jurnalis harus mematuhi peraturan yang lebih ketat tentang liputan politik. Sistem ini memungkinkan mereka yang kurang mencolok naik ke jajaran politik yang relatif terlindungi dari logika media komersial.

Bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia memang belum muncul gelombang anti politisi selebritas, yang ada hanya nada-nada sumbang mengenai mereka, itupun muncul hanya menjelang Pemilu.

Kondisi Indonesia agak mirip dengan AS, dimana media komersial sering menyoroti politisi dari berbagai sudut. Media bukan hanya memberitakan “tupoksi” dari seorang politisi, tapi hal-hal lain seperti kehidupan pribadi dan keluarganya, liburannya, cara bicara dan berpakaian, sampai hal-hal remeh apa makanan favorit sang politisi. Kalau sudah begini, politisi tersebut sudah masuk dalam jebakan politisi selebritas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here