Monday, October 6, 2025
Home Blog Page 2204

Android Lesatkan HTC dan Samsung, Nokia Masih Perkasa

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Motor Italia Derbi Masuk RI

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Hotel Ibis, Sheraton, Sofyan, Aston Bakal Beroperasi di Palembang

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Garuda Travel Fair Bidik Penjualan Rp 20 Miliar

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Tata Motors Resmi Luncurkan MPV Pesaing Toyota Inova

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Astra: Rp320 miliar untuk Memperkuat Otomotif

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

YLKI: Masyarakat Harus Kurangi Konsumsi Mi Instan

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Brand Social Responsibility

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Di dunia pemasaran, banyak orang yang mendebatkan satu hal: corporate social responsibility (CSR). Sekelompok orang di garis kanan mengatakan bahwa CSR merupakan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat sekitar yang wajib dilaksanakan tanpa mengharapkan timbal balik dari mereka. Sementara, sekelompok orang di garis kiri berpendapat CSR hanyalah program akal-akalan merek semata yang pada akhirnya bertujuan mengeruk laba.

Perdebatan yang tak ada habis-habisnya itu kemudian menghasilkan kelompok baru, yakni kanan-kiri oke. Mengapa demikian? Karena garis tengah ini tidak fanatik terhadap satu pendapat tertentu, entah kanan atau kiri. Mereka menyadari kedua pendapat sama benarnya. Namun, lupakan pendapat mana yang benar atau salah, dan mari kita belajar bagaimana perusahaan-perusahaan besar (menggunakan dana yang besar) mengemas program CSR-nya dengan baik.

Royal Dutch Shell Plc., perusahaan eksplorasi minyak dan gas bumi terbesar keempat di dunia—setelah BP, ExxonMobil, dan Total—asal Belanda, dituduh menghancurkan lingkungan ekologis dan menyalahgunakan tenaga kerja di Nigeria. Setelah kejadian itu, pada tahun 2003, perusahaan yang masuk ke Indonesia sejak November 2005 tersebut mulai memerhatikan lingkungan sekitar. Kecemburuan sosial dihapuskan, dimulai dari meningkatkan kesejahteraan karyawannya terlebih dahulu.

Dalam upaya itu, Shell rela menghabiskan USD 50 juta per tahun untuk melaksanakan berbagai proyek pengembangan sosial, seperti pembangunan rumah sakit, pendirian gedung sekolah, penyediaan air bersih, perbaikan jalan, dan pengadaan listrik di Nigeria. Tidak hanya itu, merek berlogo mirip kerang dengan nuansa warna kuning ini juga memberikan beasiswa, pelatihan keterampilan, kredit mikro, peralatan dan penyuluhan pertanian, dan lain sebagainya. Semua itu dikerjakan dengan melibatkan lembaga independen.

Demi Masa

CSR, atau kalangan pemasar sering menyebutnya dengan “brand social responsibility” (BSR), alias tanggung jawab sosial merek, memang ada dua tujuan besar: demi massa dan demi masa. Demi massa dimaksudkan untuk membantu dan atau mengembalikan apa yang seharusnya diterima oleh masyarakat di sekitar perusahaan itu berada. Bisa juga untuk mendukung kampanye yang sedang dilakukan, misalnya LG Electronics Indonesia memilih membantu sekolah menengah kejuruan (SMK) ketimbang sekolah menengah atas (SMA).

Apa alasannya? Perusahaan asal Korea Selatan itu merasa peduli terhadap pendidikan dan pemberdayaan SMK. Langkah ini juga dijalankan untuk membantu tekad pemerintah dalam mendongkrak keahlian alumni sekolah tersebut yang selama ini seolah-olah dinomorduakan. Tahun lalu, di SMK Negeri 4 Bandung, LG mengucurkan dana Rp 100 juta untuk merenovasi laboratorium sekaligus melengkapinya dengan segala peralatan. LG berharap para lulusan SMK bisa benar-benar terampil (dan kalau masuk LG akan menghasilkan kinerja positif bagi perusahaan).

Sedangkan demi masa, artinya pelaksanaan BSR bertujuan untuk kelangsungan atau kesinambungan bisnis perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang melakukannya berusaha mendekatkan diri dengan masyarakat sekitar, mulai dari karyawan hingga insan-insan yang dijadikan obyek tanggung jawab sosial perusahaan atau merek tersebut. Sebagai contoh, Sido Muncul tidak segan-segan memberangkatkan ribuan pedagang jamu ke kampung halaman mereka menggunakan bus secara cuma-cuma. Mudik dan jamu memang tidak ada hubungannya. Tapi, setelah yang diberangkatkan pedagang jamu, secara tidak langsung mereka akan bersemangat menjual jamu merek Sido Muncul di kemudian hari.

Lain lagi dengan SariWangi yang mempunyai cara unik dalam memanjakan konsumen di kala musim mudik Lebaran. Sudah beberapa tahun terakhir ini pemimpin pasar teh celup tersebut menggelar mudik bareng dengan program “SariWangi Mobil Mudik”. Sama dengan tahun lalu, tahun ini ada 100 Kijang Innova yang dipersembahkan untuk konsumen yang terpilih secara acak. Konsumen diberi kesempatan menikmati mudik sekeluarga dengan mobil yang difasilitasi SariWangi itu secara gratis. Bahkan, 10 pemenang tahun ini akan mendapat kesempatan kembali memenangkan undian pada tahun depan. Banyak sekali merek yang memanfaatkan Idul Fitri sebagai ajang BSR mereka. Telkomsel, XL, Indosat, BNI, dan Giant adalah contoh-contoh merek yang gencar melaksanakan program tersebut.

Sepertinya ungkapan “Sekali mengayuh dua-tiga pulau terlampaui” layak disandangkan bagi merek-merek yang menggarap program BSR di setiap mudik Lebaran (dan masa yang lain). Sebab, di samping bisa menunjukkan kepedulian kepada pelanggan, merek tersebut bisa mendongkrak penjualan secara signifikan. Bayangkan, pada tahun 2009, konsumen yang mengirimkan bungkus kosong SariWangi ada 58.000 orang. Tahun ini, jumlahnya ditargetkan akan naik menjadi 80.000 orang. Luar biasa, bukan?

Tabungan Merek

BSR ibarat tabungan merek. Atau, orang-orang menyebut “investasi merek”. Nah, sama seperti kita, kalau kita menabung pasti akan untung (asalkan tidak salah pengelolaannya). Begitu pula dengan BSR, akan menghasilkan kinerja positif bagi merek itu sendiri. BSR bisa menjadi obyek komunikasi untuk membangun merek. Mengomunikasikan BSR dengan baik akan menentukan keefektifan dan keberhasilan merek dalam mendongkrak citranya.

A+ CSR Indonesia menyatakan, ada lima hal yang harus diperhatikan di dalam mengomunikasikan BSR. Pertama, public relations dan komunikasi. Kedua, strategi komunikasi dan manajemen reputasi. Ketiga, pengelolaan risiko reputasi. Keempat, do’s and don’ts dalam komunikasi. Dan kelima, pembinaan hubungan dengan media massa. Artinya, kelima hal tersebut mesti dipahami dan dijalankan betul sehingga akan menghasilkan citra merek secara maksimal. Kesalahan mengomunikasikan BSR akan membuang percuma aksi-aksi yang telah diperankan sebagus apa pun.

Dan mulailah menggarap BSR dari sekarang, komunikasikan secara maksimal, lantas terimalah hasil yang super-optimal. Kapan lagi kalau tidak dari sekarang? (www.marketing.co.id)

Bingung: “Strategi atau Taktik”

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Penulis menyajikan topik dalam tulisan ini kelihatannya merupakan sesuatu yang usang atau bahkan terlalu sederhana. Namun pada kenyataannya, saat berhadapan dan berdiskusi dengan klien maupun calon klien, penulis banyak menemui isu yang sama juga dengan kasat mata. Banyak yang bingung, atau bahkan tidak dapat memahami hal-hal yang sangat sederhana. Seperti saat menentukan suatu jabatan, apakah sebagai seorang marketing executive atau sebenarnya hanya seorang salesman, sebagai marketing manager atau sales manager. Begitu juga sales coordinator atau sales supervisor. Bahkan, membedakan antara selling skill dengan salesmanship saja banyak yang tidak  paham, dan keduanya dianggap sama.

Melihat judul di atas, dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh jajaran penjual—mulai dari pimpinan puncak hingga pelaku lapangan—sebenarnya kadang kala terjadi tumpang tindih. Namun, kalau diatur dengan uraian tugas yang jelas, akan tampak garis pembedaan yang tegas dan jelas tentang siapa yang bertanggung jawab dan apa yang harus dilakukan. Siapa yang berpikir tentang strategi dan siapa yang bertindak dengan taktik. Oleh karenanya, untuk lebih memudahkan pemahaman akan hal tersebut, penulis memberikan pembedaan yang lazim terjadi  dalam tabel berikut:

Jadi, kalau kita mengamati tabel di atas, pemahaman kuncinya adalah bahwa strategi memerlukan bantuan dari tim lain, walau tidak perlu rumit. Kemudian, berinteraksi lebih intens dengan bagian yang terkait, seperti bagian teknik, bagian  desain, bagian R & D, bagian survei, bagian produksi atau pihak ketiga.  Sedangkan taktik adalah sesuatu yang bisa dilakukan sendiri, karena faktor bakat akan erat menempel dalam pelaksanaannya. Semoga bermanfaat. (www.marketing.co.id)

Gadai Syariah Cukup Diminati Di Daerah

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Garuda Buka Penerbangan Baru Ke Gorontalo dan Bengkulu

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Strategi Mengelola Pelanggan Besar

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Pelanggan besar adalah pelanggan yang penting! Pelanggan besar adalah pelanggan yang kita harus pelihara! Bila perlu, kita harus memberikan perhatian yang ekstra kepada mereka! Perusahaan tidak boleh kehilangan mereka! Pelanggan inilah yang akan memberikan revenue dan profit di masa mendatang! Inilah pernyataan yang sering kita dengar. Benarkah keseluruhan pernyataan ini?

Tentu saja, sebagian benar, tetapi ada sisi di mana kita bisa berargumentasi. Memang, pelanggan besar sudah pasti pelanggan yang relatif penting baik buat perusahaan saat ini, maupun di masa mendatang. Mereka memiliki potensi yang besar. Pelanggan besar cenderung menjadi pelanggan lebih besar lagi. Mereka memiliki kemampuan sumber daya manusia, keuangan, dan mungkin teknologi yang mampu membuat pertumbuhan perusahaan.

Yang menjadi problem kemudian adalah situasi ketika kita tidak proporsional untuk mengelola pelanggan yang lebih kecil. Perusahaan lalu cenderung untuk tidak memberikan perhatian yang semestinya kepada pelanggan yang lebih kecil ini. Bahkan situasi yang buruk bisa terjadi. Ternyata, pelanggan besar tidak memberikan keuntungan sebesar penjualannya. Mereka cenderung membeli dengan harga murah dan selalu minta diskon yang paling besar. Melayani kebutuhan mereka dalam hal pelayanan dan pemberian solusi juga membuat perusahaan harus mengeluarkan biaya yang besar, dan akhirnya profit perusahaan tidak maksimal mencetak laba perusahaan.

Tidak jarang, terutama dalam industri consumer goods, produsen atau distributor pemasok pelanggan besar seperti Carrefour, Hypermart, Giant, atau yang lain-lain, sering menyatakan keluhannya. Mereka merasa bahwa memasok barang kepada perusahaan-perusahaan ini sering kali untungnya sangat sedikit. Selain itu, piutang mereka kemudian banyak dipotong untuk program promosi bersama. Tidak mengherankan, bagian keuangan adalah pihak yang paling sering mengeluh, mengomel, atau bahkan jengkel dengan para pelanggan besar tersebut. Ini salah satu tanda bahwa ada pekerjaan yang perlu diselesaikan untuk melihat permasalahan lebih jernih sehingga lebih mudah untuk membuat keputusan.

Oleh karena itu, pesannya sederhana. Menghadapi pelanggan besar, diperlukan strategi dan pengelolaan yang tepat. Tidak mengherankan, sekarang marak perusahaan menerapkan “key account management”. Artinya, pelanggan besar adalah penting, tetapi harus dikelola masa depannya. Perusahaan juga harus melayani mereka, menciptakan hubungan yang baik, dan sekaligus terjadilah hubungan bisnis yang saling menguntungkan. Untuk mendapatkan profit yang optimal, perusahaan perlu untuk menjadikan dirinya sebagai supplier yang dipreferensi. Untuk mencapai key supplier status ini, adalah tugas account manager untuk memahami pelanggan besar dengan baik.

Profitabilitas Pelanggan Besar

Profit setiap pelanggan besar seharusnya dihitung secara individual. Oleh karena itu, untuk menghitung profit, perusahaan perlu mengetahui bagaimana mengukur profit dan mengukur biaya untuk setiap pelanggan. Pengukuran biaya biasanya relatif mudah, terutama bila perusahaan sudah menerapkan standar keuangan.

Yang perlu menjadi kesepakatan bersama adalah menghitung profit. Yang sederhana tentunya adalah profit dari transaksi. Jadi, dalam hal ini, kita menghitung tingkat penjualan selama satu bulan atau satu tahun, kemudian kita hitung berapa gross profit dan biaya operasional lainnya. Apakah perhitungan yang benar? Tentu saja tidak. Mengelola pelanggan besar adalah mengelola untuk jangka panjang. Jadi, untuk menghitung profit, juga diperlukan parameter jangka panjang.

Model perhitungan favorit saya adalah customer lifetime value (CLV). Di kolom majalah MARKETING ini, saya sudah sangat sering menulis mengenai cara menghitung harga seorang pelanggan. Ini adalah profit yang kita terima selama dia menjadi pelanggan. Rumus sederhananya adalah CLV = annual profit (retention rate / 1 + i – retention rate). Dalam rumus ini, nilai i adalah discounting rate yang bisa kita asumsikan sebesar 10 persen untuk kondisi saat ini. Retention rate adalah kemungkinan dia untuk tetap menjadi pelanggan kita di tahun mendatang.

Jadi, misalnya, pelanggan besar memberikan profit setahun sebesar Rp 100 juta. Retention rate adalah 90 persen dan nilai discounting rate adalah 10 persen, maka CLV pelanggan ini adalah Rp 450 juta. Dengan menghitung CLV ini, dengan mudah perusahaan menetapkan ranking dari pelanggan yang menguntungkan dan pelanggan yang kurang menguntungkan.

Perhitungan CLV ini akan memberikan kemudahan dalam menentukan program bersama dengan pelanggan besar. Jadi, setiap program promosi atau solusi baru yang membutuhkan biaya baru dapat dibandingkan dengan kenaikan CLV yang terjadi. Perusahaan akan optimal profitnya, bila kemudian biaya yang dikeluarkan untuk membuat program dengan pelanggan besar ternyata lebih besar dibandingkan dengan kenaikan CLV dari pelanggan tersebut. Inti dari key account management adalah mengoptimalkan profit dari pelanggan.

Key Account Strategy

Tujuan dari key account management adalah menciptakan agar perusahaan menjadi key supplier status dari pelanggan besar. Oleh karena itu, perusahaan perlu mengenal pelanggan dengan baik. Mereka perlu memahami supply chain management dari pelanggannya dan juga produk dan layanan apakah yang diinginkan oleh pelanggan. Dengan demikian, kita dapat memberikan nilai tambah untuk bisnis pelanggan kita. Ini adalah dasar dari menciptakan hubungan baik, yaitu apabila kita dipersepsi memberikan nilai tambah kepada pelanggan besar tersebut. Hal-hal lain seperti hubungan yang baik dan komunikasi yang intim, sudah pasti juga memberikan pengaruh yang besar untuk menciptakan hubungan yang baik dengan pelanggan besar.

Ada banyak model yang dapat memberikan pedoman untuk memformulasikan strategi dalam mengelola pelanggan besar. Salah satunya, Anda dapat mulai memikirkan dua hal dalam perspektif pelanggan. Pertama, apakah pelanggan akan mempunyai kebutuhan untuk berhubungan dengan kita? Kedua, apakah memang kita adalah supplier yang penting bagi pelanggan besar kita? Dari dua pertanyaan ini, akan dihasilkan empat kemungkinan. Lalu, di manakah letak posisi perusahaan kita? Kemudian, mungkinkah kita mengubah posisi kita?

Kemungkinan pertama adalah situasi ketika kita adalah supplier yang relatif tidak penting dan juga pelanggan tidak ingin banyak berhubungan dengan kita. Dalam situasi ini, kita perlu untuk memikirkan bagaimana membuat bisnis yang mudah dengan pelanggan kita. Kita ciptakan sistem di mana proses order menjadi cepat dan membuat mereka juga mengambil keputusan secara cepat. Kita perlu melakukan investasi terhadap hal-hal yag membuat mereka mudah berhubungan bisnis dengan kita.

Kemungkinan kedua, kita adalah supplier yang relatif tidak penting, tetapi pelanggan mau banyak berhubungan dengan kita. Maka keseluruhan program dan aktivitas yang kita berikan kepada pelanggan besar adalah harga yang kompetitif. Setelah itu, mencari hal-hal yang dapat membedakan kita dengan supplier yang lain sebagai langkah untuk diferensiasi. Perusahaan ini juga harus mengandalkan hubungan yang personal dan intim dengan pelanggan besar.

Kemungkinan ketiga, perusahaan kita adalah perusahaan yang dianggap penting, tetapi pelanggan tidak ingin berhubungan banyak dengan kita. Dalam situasi seperti ini, peran reputasi dan merek menjadi sangat penting. Account manager sulit menciptakan hubungan yang intim karena produknya adalah jenis di mana pelanggan sekali membeli kemudian baru membeli lagi beberapa tahun kemudian. Jadi, sebagai account manager, Anda perlu menciptakan reputasi yang baik di mata mereka.

Kemungkinan keempat adalah perusahaan kita dipersepsi sebagai supplier yang penting dan pelanggan juga mau banyak berhubungan dengan kita. Ini adalah situasi saat dibutuhkan perspektif jangka panjang. Account manager haruslah menguasai kebutuhan dan harapan pelanggan dengan sangat baik. Account manager harus didukung oleh departemen lain dalam memberikan solusi.

Penjelasan di atas adalah salah satu contoh di mana mengelola pelanggan besar haruslah dilakukan dengan strategis. Tujuan akhir kita adalah untuk mendapat status sebagai supplier yang dipreferensi dan sekaligus mampu menciptakan keuntungan bagi perusahaan kita.

Honda Siapkan Sepeda Motor Murah @ Rp5,3 Juta

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Honda Tampilkan CBR600RR Tricolor di Italia

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]