Saturday, September 13, 2025
Home Blog Page 2188

Toyota Prius Segera Dirakit di Thailand

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Segmentasi Pelayanan?

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Pertanyaan:

Belakangan ini, di store kami semakin banyak pelanggan yang sangat mudah marah untuk permasalahan yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan baik-baik, tanpa perlu marah atau bahkan melakukan serangan secara fisik. Sewaktu kami menerapkan service recovery dengan memberikan kompensasi, ada kecenderungan itu dimanfaatkan oleh para pelanggan.  Mohon pencerahan dari Ibu.

Terima kasih.

Freddy, di Jakarta.

Jawab:

Ada beberapa hal yang sangat mungkin merupakan penyebab pelanggan menjadi semakin mudah marah. Yang pertama tentunya faktor edukasi dari para kompetitor dan industri pada umumnya kepada pelanggan kita.  Pelanggan kita adalah pelanggan multidimensi pelayanan. Mereka berpengalaman dengan berbagai macam pelayanan dan mereka tentu menilai, mana pelayanan yang bagus, yang memberikan pengalaman positif dan mana yang memberikan pengalaman kurang baik. Dan tentu saja mereka menuntut pelayanan yang baik.

Langkah pertama dalam usaha untuk memuaskan pelanggan adalah dengan memberikan service excellent, dimulai dengan memilih segmen pelanggan yang tepat.  Setiap segmen pelanggan mempunyai karakteristik dan tingkat kebutuhan yang berbeda, bahkan untuk kebutuhan dasar, yaitu rasa nyaman, keadilan, dan penghormatan. Pelanggan kelas atas akan merasa tidak nyaman apabila diperlakukan seperti seorang residivis pada saat melihat-lihat di toko, ke mana saja selalu diikuti oleh sales promotion girl.

Sedangkan pelanggan yang datang dari masyarakat bawah cenderung masih dapat menerimanya. Kesalahan perlakuan ini akan membuat pelanggan “mendendam” sehingga pada saat kita melakukan kesalahan kecil, hal itu akan dijadikan peluang untuk membalas rasa sakit hatinya.

Dengan mengetahui segmen yang akan kita sasar, kita akan dapat mempersiapkan skenario pelayanan pelanggan yang sesuai, sehingga dapat menghindari kesalahan perlakuan kepada pelanggan yang pada gilirannya akan mengurangi “rasa dendam” pelanggan.

Selain itu, segmentasi dan pemilihan target yang tepat akan membuat kita tepat dalam mempersiapkan frontliner dengan kualifikasi dan pelatihan yang memadai.  Kurang tepat tentunya menentukan kualifikasi frontliner kita lulusan sekolah menengah apabila segmen pelanggan yang dilayani adalah para kalangan atas untuk showroom mobil mewah.

Kualifikasi yang sesuai dan pelatihan pembekalan pengetahuan produk serta service skill yang baik akan membuat frontliner kita mampu menempatkan diri secara sejajar dengan pelanggan dan tidak terlihat ragu dalam melayani. Sekali saja frontliner tampil ragu akan membuat pelanggan menjadi menganggap remeh, sehingga pada saat terjadi kegagalan service akan membuat sebagian pelanggan yang tinggi hati tersebut menumpahkan kekesalannya secara tidak proporsional lagi.

Mengenai service recovery, ini merupakan hal yang baik tentunya. Apabila jumlah interkasi kita (moment of truth) dengan pelanggan sangat banyak sehingga kita tidak mampu melakukan pelayanan secara 100 persen benar pertama kali, maka service recovery yang efektif akan mampu memberikan kepuasan pelanggan yang lebih kepada pelanggan yang mengalami pengalaman kurang menyenangkan.

Bila kita telah menetapkan service recovery sebagai salah satu strategi pencapaian kepuasan pelanggan, itu berarti kita juga harus mempersiapkan pengaturan empowerment dan kompensasi atas ketidaknyamanan pelanggan secara terdefinisi dan terdokumentasi dengan baik. Tanpa empowerment dan kompensasi, service recovery tidak dapat memberikan ketuntasan dalam waktu yang cepat bagi pelanggan, malahan membuat pelanggan semakin kecewa dan marah.

Namun, kita juga harus berhati-hati dalam memberikan kompensasi kepada pelanggan. Jangan terjebak mengartikan bahwa kompensasi harus dalam bentuk finansial. Kompensasi terkadang dapat disampaikan dalam bentuk yang lain, misalnya pemberian kemudahan dalam proses pelayanan. Sebuah service center hand phone dapat memberikan kompensasi atas keluhan pelanggannya dengan cara memberikan layanan-antar atas hand phone yang telah diperbaiki.

Sekalipun kita sepakat memberikan kompensasi dalam bentuk finansial atau ganti rugi, maka harus dapat diperhitungkan dengan baik value yang diberikan terhadap kerugian pelanggan yang tejadi. Terlalu mudah memberikan kompensasi finansial memang akan menyelesaikan suatu keluhan pelanggan, tapi untuk jangka panjang justru akan menimbulkan peluang bagi para pelanggan yang mempunyai niat yang kurang baik.  Selamat bekerja! (www.marketing.co.id)

Suzuki Hayabusa Berubah Jadi Ferrari

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Manula di China Diawasi Lewat GPS

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Harga Memori Komputer Terus Merosot

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Tak Cukup Petronas, Malaysia Ambisi Bangun Menara 100 Tingkat

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Pada 2020, Produksi Mobil Listrik di Cina Capai 1 Juta Unit

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Restoran akan Gusur Ruang untuk Perokok

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Pasar Mobil Bekas Tetap Bergairah

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

BMW Tarik Puluhan Ribu Unit Seri 5, 6, dan 7 di Cina

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Ford Dikabarkan Lego Saham di Mazda

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Transumers

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Setiap kali melihat tumpukan barang di rumah, rasanya ingin membuang banyak sekali barang. Namun, terkadang terpikir bahwa barang tersebut suatu saat mungkin akan berguna. Jika demikian, rasanya lebih baik tidak memiliki sama sekali barang-barang tersebut. Memiliki akan membuat Anda merasa sayang untuk membuangnya.

Memang, membuang sesuatu adalah pekerjaan yang akan banyak dilakukan orang di masa depan. Mengapa? Di masa depan, orang dengan mudah mendapatkan sesuatu. Kehidupan konsumen menjadi semakin konsumtif. Akibatnya, semua yang Anda dapatkan tertumpuk di rumah dan membuat Anda harus membuang sebagian yang Anda miliki.

Ini sama halnya pada saat kita mengonsumsi informasi. Ledakan informasi menyebabkan konsumen kebanjiran informasi. Sementara, daya tampung (space) informasi kita terbatas. Akibatnya, kita harus memilih dan membuang informasi yang tidak berguna.

Konsumen masa depan menurut Trendwatching adalah konsumen jenis transumers. Mereka adalah konsumen yang dibentuk oleh pengalaman baru dibandingkan sesuatu yang “fixed”. Mereka berusaha melakukan discovery sebagai bagian dari perjuangan mereka untuk melawan kebosanan. Mereka ingin lepas dari masalah-masalah yang terkait kepemilikan (kerusakan, pajak, dan lain-lain). Mereka senang memperkaya hidup mereka dengan pengalaman dan “story” terbaru demi kepuasan sesaat.

Ciri-ciri konsumen ini berkembang karena berbagai faktor. Pilihan produk yang semakin banyak akan semakin membuat konsumen bingung. Ini yang disebut sebagai tyranny of choice. Konsumen diperbudak oleh pilihan yang terlalu banyak. Sementara emosi di dalam diri konsumen menginginkan sebanyak mungkin menikmati semua pilihan tersebut. Mereka menjadi tidak loyal dan selalu mencari yang baru.

Konsumen masa depan juga hidup dalam social network. Mereka suka melakukan sharing dan bercerita. Anda bayangkan, orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang sering melakukan update status di Facebook. Mereka akan butuh pengalaman setiap hari untuk diceritakan. Itulah kenapa mereka adalah konsumen yang selalu di-drive oleh experience.

Masalahnya, kehidupan kita selalu dibatasi oleh ruang (space) yang terbatas. Mau tidak mau pencarian konsumen akan space baru yang menciptakan pengalaman baru selalu dilakukan. Mereka menginginkan kebebasan dan sering melakukan perjalanan (travel). Tak mengherankan jika industri pariwisata dan hospitality akan berkembang pesat, karena konsumen lebih sering berada di luar rumah. Berdasarkan survei kami, rata-rata orang di kota berada di luar rumah 12 jam per hari.  Artinya, setengah kehidupan konsumen akan ada di luar rumah. Angka ini bisa jadi meningkat terus dengan semakin baiknya infrastruktur transportasi dan komunikasi yang dinikmati konsumen.

Implikasi lain adalah kepemilikan ekuitas yang akan dikurangi. Mereka tidak mau memiliki sesuatu untuk jangka panjang. Daripada memiliki tapi harus membuang, mereka lebih baik tidak memiliki. Akibatnya, mereka senang untuk menyewa sesuatu demi menampilkan gaya hidup mereka sesaat. Di luar negeri, orang terbiasa untuk menyewa Limousine demi kelihatan “gaya”, menyewa jas untuk ke pesta, atau bahkan memakai tas dan baju sewaan dengan merek-merek terkenal. Daripada Anda membeli tas merek Louis Vuitton yang dipakai hanya untuk ke pesta, lebih baik Anda menyewa saja. Kalau ini terjadi, bisnis penyewaan barang-barang lux akan berpotensi meningkat.

Namun demikian, selain sisi konsumerisme yang menonjol, transumers secara langsung maupun tidak langsung juga akan menjadi kelompok yang menjaga ekosistem dan lingkungan. Ini karena gaya hidup mereka yang tidak memiliki barang berlebihan yang pada akhirnya menumpuk menjadi sampah.

Yang harus diwaspadai adalah sisi gelap transumers, yakni kehidupan keluarga yang bisa jadi kurang harmonis, mengingat setiap anggota keluarga Anda akan memiliki “petualangan”nya sendiri-sendiri. Semuanya berupaya untuk melakukan discovery, entah melalui berselancar di internet, bergaul di BlackBerry, atau melakukan perjalanan. Ini bisa terjadi pada Anda, atau bahkan suami, atau isteri Anda! (Majalah MARKETING)

Jepang Minta Google ‘Hapus’ Pulau China

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]

Kawasaki Luncurkan Pesaing Suzuki Hayabusa, ZX-14 Terbaru

0
[Reading Time Estimation: < 1 minute]