Not Blue, Not Red But Purple Ocean

Marketing.co.id– Tulisan dalam kolom Winning Strategy di bulan lalu, yang saya beri judul “Blue, Red or Purple Ocean?” ternyata mendapat respon yang hangat dari para pembaca Majalah MARKETING. Tulisan ini intinya memaparkan pandangan kritis terhadap strategi Blue Ocean. Saya percaya, bahwa Blue Ocean adalah strategi masa depan yang menjanjikan. Strategi ini menawarkan inovasi radikal. Sebuah strategi yang mampu menciptakan profitabilitas yang jauh di atas rata-rata industri. Sebuah strategi yang berupaya untuk memangkas biaya dan sekaligus meningkatkan revenue. Ini semua dapat terjadi karena pesaing dibuat menjadi tidak relevan. Blue Ocean menciptakan suatu kategori baru dengan rules of the game yang baru dan yang mampu menawarkan customer value yang lebih tinggi.

Saya berargumentasi bahwa Blue Ocean berisiko lebih tinggi bila diterapkan di pasar Indonesia. Pengalaman menjadi konsultan dari banyak perusahaan di Indonesia dan hasil survei selama 10 tahun terhadap lebih dari 300 merek, meyakinkan saya bahwa banyak perusahaan di Indonesia yang gagal dalam menerapkan Blue Ocean. Salah satunya, biaya edukasi terhadap konsumen yang relatif mahal.

Walaupun demikian, adalah sungguh benar, bahwa perusahaan yang masuk dalam persaingan Red Ocean, memiliki peluang yang lebih kecil untuk memenangkan persaingan. Mereka akan terus terjebak dalam peperangan harga. Mereka bertarung dalam industri atau kategori yang sama. Para pemain selalu mencoba menawarkan atribut baru dan benefit baru kepada pelanggan yang sama. Pada titik tertentu, terjadilah proses komoditisasi dan akhirnya, semua pemain kehilangan diferensiasinya.

Purple Ocean

Saya menyebut Purple Ocean karena sebuah strategi alternatif yang mengkombinasikan kedua strategi ini atau strategi Blue Ocean yang tidak terlalu radikal dalam implementasinya. Banyak strategi yang termasuk dalam kategori “purple” ini. Misalnya, sebuah perusahaan yang menciptakan kategori baru dan kemudian mengajak pesaing untuk masuk dalam kategori yang sama adalah bagian dari Purple Ocean. Atau, perusahaan berupaya untuk menciptakan kategori baru, tetapi tetap terus mendorong produk yang lama. Kategori baru hanya digunakan sebagai strategic product atau untuk menciptakan image yang lebih baik tetapi penjualan tetap saja bertumpu pada produk yang lama. Tentunya, masih banyak bentuk-bentuk Purple Ocean yang dapat dikembangkan.

Apa saja contoh kegagalan dalam menerapkan Blue Ocean? Rasanya, daftarnya cukup panjang. Salah satu cara yang paling sederhana dalam Blue Ocean adalah mengkombinasikan dua kategori untuk kemudian menjadi kategori baru. Atau, bisa saja dengan memposisikan suatu produk adalah sebagai substitusi atau komplemen dari produk yang ada.

Bank Bali, sebelum kemudian harus merger dengan empat bank lainnya menjadi Bank Permata adalah bank yang cukup inovatif. Inilah bank yang di pertengahan tahun 90-an, meluncurkan direct banking. Sebuah terobosan yang cukup radikal untuk industri perbankan di Indonesia. Dengan pelayanan seperti ini, maka nasabah cukup melakukan transaksi dengan menggunakan fasilitas telepon. Terobosan baru yang membutuhkan edukasi cukup panjang. Karena tidak disertai dengan pesaing dalam mengedukasi pasar, layanan ini akhirnya menjadi catatan sejarah strategi perbankan di Indonesia. Padahal, hari ini, layanan seperti ini sudah dimiliki oleh sebagian besar bank-bank di Indonesia.

Bank yang sama juga pernah meluncurkan program Kualiva. Intinya adalah point reward yang berdasarkan koalisi dengan berbagai merchant. Sebuah terobosan yang akhirnya tidak dinikmati oleh sang inovator. Hari ini, coalition reward adalah bagian dari strategi untuk menciptakan loyalitas yang terbukti cukup efektif. Sekali lagi, Bank Bali pun pernah meluncurkan produk pre-paid card dengan nama e-wallet. Produk ini, cukup sukses termasuk di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

Pre-paid seharusnya sebuah terobosan yang baru. Kategori yang berbeda dengan credit card dan debit card. Bahkan, pre-paid card inilah yang akan menjadi cikal bakal dari smart card di masa mendatang. Manfaatnya cukup banyak. Nasabah tidak perlu memiliki rekening di bank. Di Singapura, pre-paid card adalah sebuah lifestyle card. Kartu ini digunakan untuk membuka garasi, digunakan untuk membayar tol secara otomatis, dan digunakan untuk membayar transportasi publik lainnya.

Kartu ini juga dapat dipakai untuk mengontrol pengeluaran nasabah. Juga dapat diberikan kepada orang lain sebagai hadiah. Karena sebagai kartu ATM, maka hampir semua yang dapat dilakukan oleh debit card pun dapat dilakukan oleh kartu ini. Semua merchant yang dapat digunakan oleh kartu kredit, juga akan menerima kartu ini sebagai alat pembayaran.

Nyatanya, e-wallet tidak sukses. Apa problemnya? Sekali lagi, edukasi untuk kategori produk ini mahal. Dibutuhkan waktu yang lama dan budget lebih dari Rp 1.000 miliar untuk membuat kartu agar mendapatkan tepatnya. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang gaptek. Mereka cenderung ikut-ikutan bila menyangkut teknologi. Celakanya, mereka yang gaptek ini juga termasuk kelompok orang dewasa yang memiliki penghasilan tinggi. Anak-anak remaja dan muda yang melek IT, sebagian besar masih tidak memiliki dana dan pengeluaran yang cukup untuk menyemarakkan industri ini.

Lalu, mengapa kisahnya tidak seperti debit card? BCA yang pertama kali meluncurkan debit card dan kemudian terbukti sukses. BCA, setelah meluncurkan produk ini, kemudian diikuti oleh bank-bank lain yang jumlahnya banyak. Akhirnya, biaya edukasi pasar ditanggung bersama. Kategori awareness juga sangat cepat dan “introduction stage” dari ketegori ini menjadi semakin pendek.

BCA sukses karena kemudian memiliki keunggulan bersaing. Memang, akhirnya menjadi Red Ocean, tetapi BCA cenderung bermain dalam dimensi Purple Ocean. Mereka meluncurkan fitur-fitur baru dan dengan dukungan IT yang lebih baik serta network yang luas, akhirnya bank ini menjadi pemimpin pasar di kategori ini.

BCA mungkin akan sukses untuk pre-paid card, tetapi dengan pola yang berbeda. Mereka sekarang bukan pionir untuk kategori ini. Tetapi, justru inilah waktu yang lebih baik. Sekitar 20% hingga 30% dari nasabah, sudah memahami adanya ketegori produk ini. Berbeda dengan e-wallet yang pertama diluncurkan, dimulai dari zero. Bahkan dengan melakukan aliansi dengan berbagai pihak seperti Pertamina di mana kartu pre-paid ini dapat digunakan untuk melakukan pembelian BBM di SPBU Pertamina, maka prospeknya juga menjanjikan. Saya lebih cenderung, BCA dalam hal ini tidak melakukan Blue Ocean. Mereka cenderung melakukan Purple Ocean karena masih bersaing dalam satu kategori yang sama, tetapi terus mengupayakan keunggulan bersaing atau mencari suatu fitur yang betul-betul menjadi diferensiasi.

Untuk produk yang berbau teknologi, mudah dipahami bahwa kategori yang baru akan mendapatkan tantangan karena masyarakat kita yang tidak reseptif terhadap teknologi tinggi. Padahal, strategi Blue Ocean banyak menyandarkan kepada kemampuan dari teknologi baru. Tidak mengherankan, daftar kegagalan kategori baru yang mencoba bermain dalam Blue Ocean relatif banyak. Perusahaan-perusahaan kecil yang inovatif, akhirnya tidak mampu menikmati keberhasilan oleh karena waktu sukses yang tidak kunjung tiba. Mereka kurang sabar atau memang tidak memiliki dukungan finansial dan jaringan untuk membuat penetrasi menembus critical mass.

Unilever adalah raja consumer goods di Indonesia. Banyak produknya sukses di pasaran dengan pangsa pasar tertinggi. Walaupun demikian, tentunya tidak semua produknya sukses. Nasi goreng instan, yang diluncurkan beberapa tahun yang lalu, seharusnya memiliki peluang yang sukses. Nasi goreng adalah satu dari 4 makanan pagi orang Indonesia. Logikanya, produk ini menawarkan value.

Sayangnya, masyarakat tidak bisa menerimanya. Rasanya berbeda dengan nasi goreng yang asli. Juga, mereka masih malas untuk memahami infomasi bagaimana cara menyajikannya. Rasa terasi yang asli dan aroma yang tercium saat membuat nasi goreng, tidak tercium dari produk ini. Garudafood mencoba melakukan peruntungan yang serupa. Berharap sudah masuk pada kondisi yang lebih baik. Ada kategori awareness dari produk ini. Demikian juga, rasa sudah diperbaiki. Sekali lagi, sayang, masyarakat Indonesia tetap saja belum berubah banyak.

Kita lupa bahwa sukses mie siap saji diraih setelah berjalan 20 tahun. Kegagalan demi kegagalan telah terjadi. Kemudian, produsen belajar untuk melakukan perbaikan. Mereka berpacu untuk membuat mie yang benar-benar siap saji dalam waktu yang semakin singkat. Perbaikan rasa juga telah dilakukan. Tidak menutup kemungkinan bahwa nasi goreng siap saji ini, suatu saat akan sukses dalam kurun 10 tahun lagi. Dibutuhkan generasi muda yang belum terbiasa dengan nasi goreng asli.

Justru, mie siap saji dalam bentuk goreng adalah contoh yang sukses. Ini jelas tidak murni Blue Ocean. Tidak juga Red Ocean karena sudah terbentuk sebuah kategori yang relatif baru. Mie siap saji yang dalam bentuk goreng telah mengalahkan yang dalam bentuk kuah. Ini bisa dimengerti karena kategori baru ini membonceng ombak yang lain. Ada ombak besar yang dinamakan goreng-gorengan. Masyarakat Indonesia, gemar benar dengan gorengan. Ini lambang masyarakat yang makmur. Ketika miskin, banyak makanan mereka yang direbus. Jadi, menggoreng adalah bagian dari perilaku mereka yang keluar dari kemiskinan. Jadi, walaupun tidak benar-benar digoreng, mie siap saji yang diberi embel-embel goreng ini, akhirnya sukses.

Ada banyak strategi antara Blue dan Red yang saya namakan Purple. Saya berharap, kolom-kolom selanjutnya saya akan banyak membahas strategi ini untuk berbagi kepada para pembaca Majalah MARKETING. Strategi membidik pelanggan hybrid, yaitu mereka yang online dan offline adalah contoh strategi Purple Ocean. Tidak 100% masuk online atau 100% offline. Sebuah kaki berada di Blue dan kaki sebelahnya menginjak yang Red. Apa pendapat Anda?

Handi Irawan D, Chairman Frontier Consulting Group

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.