Bukan tren sesaat, gig economy adalah wajah baru ekonomi kreatif dan digital. Bagi industri properti dan pemasar, mengerti kebutuhan dan aspirasi pekerja fleksibel berarti mengerti masa dengan hunian.
Marketing.co.id – Berita Properti | Setelah pandemi, istilah seperti freelancer, digital nomad, hingga content creator menjadi bagian dari arus utama ekonomi. Inilah era gig economy, di mana pekerjaan fleksibel, proyek berbasis kontrak, dan mobilitas tinggi menjadi gaya hidup baru generasi muda. Tapi, cara mereka tinggal adalah satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari cara mereka bekerja.
Pekerjaan Tanpa Kantor, Rumah Tanpa Ikatan
Gig economy menantang model kerja tradisional. Banyak anak muda kini tidak lagi bekerja dari gedung perkantoran, melainkan dari kafe, co-working space, atau bahkan dari rumah. Akibatnya, konsep hunian pun mengalami redefinisi. Rumah tidak lagi dilihat sebagai aset permanen atau simbol kemapanan. Bagi pekerja lepas dan kreatif, hunian adalah tempat yang harus mobile, efisien, mendukung produktivitas, dan bebas dari komitmen jangka panjang.
Mengapa Mereka Tidak Beli Rumah?
Prof Rhenald Kasali dalam videonya di YouTube berjudul “Ketika Kaum Muda tak Ingin Membeli Rumah” mengungkapkan data menarik bahwa 49% generasi muda memilih tidak membeli rumah karena harganya yang terlalu tinggi. Tapi, ada alasan yang lebih dalam. Pertama, lokasi tidak produktif. Menurutnya, banyak rumah bersubsidi dibangun di lokasi terpencil, jauh dari pusat aktivitas dan transportasi. Hal tersebut menyebabkan perjalanan lebih lama setiap harinya.
Kedua, mobilitas tinggi. Pekerja gig tidak ingin terikat di satu lokasi. Mereka butuh fleksibilitas pindah kota atau bahkan negara mengikuti proyek yang mereka dapatkan. Ketiga, stabilitas finansial bukan fokus utama. Mereka menganggap rumah sebagai beban finansial jangka Panjang. Sehingga, generasi gig lebih nyaman menyewa atau tinggal secara fleksibel dengan sistem langganan.
Bagi konsumen gig, hunian yang ideal bukanlah rumah tapak 60 meter persegi di pinggir kota, tetapi apartemen studio fully furnished, akses WiFi cepat dan co-working area, dan lokasi dekat transportasi umum.
Selain itu, hunian kini dianggap sebagai service-oriented product layaknya berlangganan Netflix atau Spotify. Oleh karenanya, mereka membutuhkan dukungan layanan digital seperti self check-in, smart lock, hingga aplikasi manajemen sewa.
Bagi pemasar dan pengembang properti ini tentu menjadi sebuah peluang yang tak bisa diabaikan. Rhenald Kasali dalam video tersebut juga membagikan beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk menjangkau generasi gig.
Strategi menjangkau generasi gig
Pertama, buat segmentasi berdasarkan pola kerja. Fokus pada konsumen dengan gaya kerja fleksibel, bukan hanya usia atau status pernikahan. Kedua, branding hunian sebagai alat produktivitas. Gunakan narasi bahwa tempat tinggal adalah bagian dari toolkit untuk sukses seperti laptop atau koneksi internet cepat.
Ketiga, desain ruang untuk bekerja, bukan hanya tidur. Buat unit yang dilengkapi meja kerja ergonomis, lighting natural, dan soundproof sebagai keunggulan kompetitif. Keempat, integrasi dengan ekosistem ekonomi digital. Berkolaborasi dengan platform seperti transportasi online, kursus online, bahkan marketplace freelance bisa menciptakan hunian tematik berbasis komunitas profesi.
Hari ini kita sedang menyaksikan transisi besar dari kepemilikan ke experience. Generasi gig mengajarkan bahwa value dari sebuah hunian bukan lagi terletak pada sertifikatnya, tapi pada experience yang ditawarkannya. So, membangun hunian tanpa penghuni hanyalah sebuah proyek. Tapi, membangun ruang tinggal yang mendukung gaya hidup penghuninya adalah masa depan industri properti.