Jay Customer

Marketing.co.id- Kalau kita naik pesawat penerbangan domestik, maka salah satu kejadian yang sering terjadi saat sebelum pesawat berangkat adalah permintaan dari pramugari untuk meminta penumpang mematikan telepon seluler (ponsel) masing-masing. Tidak jarang, walaupun sudah berada di dalam pesawat, beberapa penumpang tetap saja asyik mengetik dan mengirim SMS dan bahkan, ada juga yang sedang melakukan percakapan.

Yang lebih mengherankan lagi, bila ditegur, si penumpang kemudian menunjukkan wajah tidak senang. Mereka menganggap sebagai pelayanan yang tidak ramah dan tidak selayaknya pelanggan diperlakukan seperti ini. Respon yang lebih keras adalah dengan menunjukkan sikap tidak mendengar dan tetap bandel menggunakan ponselnya. Padahal, setiap naik pesawat, selalu saja diumumkan bahwa penggunaan telepon seluler dapat mengganggu navigasi pesawat. Inilah perilaku dari sebagian orang kelas atas Indonesia. Egois dan tidak mempedulikan kepentingan orang lain.

Bandingkan bila kemudian Anda naik penerbangan internasional yang diisi dengan penumpang Amerika, Eropa atau penumpang dari negara Asia Timur seperti Jepang. Mereka umumnya lebih tertib. Ini salah satu contoh, konsumen Indonesia yang memang lebih tidak tertib terutama bila menyangkut kepentingan umum.

Perilaku penggunaan ponsel yang tidak tertib juga sering terlihat di seminar. Sudah diumumkan bahwa penggunaan telepon seluler dilarang atau diminta untuk mengubah mode menjadi getar atau silent, tetapi tetap saja banyak peserta seminar yang masih memakai ponsel. Tidak jarang, percakapan telepon tetap dilakukan dengan suara yang terdengar dan peserta seminar lain kemudian merasa terganggu.

Contoh perilaku tidak tertib lainnya dan sangat sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah antrian. Banyak antrian yang tidak tertib. Penumpang yang sedang antri menunggu kendaraan umum, sering main serobot. Mereka yang mengantri di depan loket untuk membeli tiket, sering main serobot bila ada kesempatan. Prinsip antrian yang menggunakan sistem FIFO (first in-first out), tidak dipatuhi.

Ketidaktertiban lain yang lazim juga terlihat di jalanan. Padahal, perilaku mengendarai yang tidak tertib, selain membahayakan diri sendiri, juga berbahaya untuk orang lain. Mereka seakan-akan tidak mau tahu terhadap lingkungan, orang lain, dan sangat egois. Iklan Sampoerna A-Mild yang memperlihatkan bagaimana seorang gadis muda melanggar rambu-rambu lalu lintas adalah representasi dari kebiasaan kita berkendara. Bila tidak ada yang melihat, maka sangat besar kemungkinan seseorang kemudian melanggar peraturan lalu lintas. Bahkan bila ada peraturan sekalipun, seperti aturan 3-in-1 di jalan protokol Jakarta, tetap saja ada cara untuk menyiasati hal ini. Joki-joki yang ada di jalanan, sampai hari ini pun, sungguh sulit untuk diberantas.

Para pengendara sepeda motor, juga memperlihatkan hal yang sama. Kita melihat banyak sekali kebut-kebutan. Bukan hanya di kota-kota, tetapi juga di kampung-kampung dan di desa-desa. Sungguh, suatu pemandangan yang sangat biasa. Peraturan untuk menggunakan helm pun sering dilanggar. Tidak jarang, helm tetap dipakai tetapi sama sekali tidak ada tali pengikatnya. Jadi, tidak ubahnya seperti memakai topi saja. Padahal, semuanya ini untuk keselamatan dirinya sendiri.

Pada tingkat yang lebih tinggi, konsumen yang tidak tertib dan egois, dapat mengarah menjadi jay customer. Ini sebuah istilah yang digunakan bila konsumen sudah mulai memperlihatkan perilaku yang merugikan orang lain. Berikut ini adalah beberapa perilaku sebagian kecil dari konsumen Indonesia yang tergolong sebagai jay customer.

Mereka adalah konsumen dan pelanggan yang suka berbohong. Mereka akan mengatakan umur anak mereka belum mencapai 12 tahun agar membayar tiket pertunjukan atau tiket pesawat lebih murah. Mereka tidak segan-segan untuk membohongi perusahaan dengan mengatakan mereka adalah anggota suatu perkumpulan agar menikmati fasilitas gratis dari suatu klub. Di beberapa klub olahraga, sering terlihat bagaimana mereka masuk dan menggunakan fasilitas milik suatu klub di mana mereka tidak diperbolehkan karena bukan anggota atau orang yang berhak menggunakan.

Mereka juga berbohong saat melakukan klaim atas garansi. Mereka tahu bahwa garansi karena kelalaian sendiri, tidak berlaku, Tetapi mereka melakukan kebohongan untuk mendapatkan pelayanan gratis dari garansi. Mereka berbohong kepada perusahaan asuransi agar klaim yang mereka ajukan, bisa diterima.

Perilaku yang lebih negatif adalah mencuri. Ada sebagian kecil konsumen suka mencuri barang-barang di toko. Tidak mengherankan, beberapa ritel besar, mengalokasikan biaya hingga 2% sebagai biaya ongkos kehilangan stok. Kita juga melihat konsumen yang sering tidak membayar bila naik kendaraan umum. Mereka tidak membeli karcis.

PLN termasuk perusahaan yang mengerti benar betapa banyak konsumen Indonesia yang suka mencuri. Mereka mencuri listrik. Menggunakan listrik dengan daya yang lebih besar, tetapi membayar dengan biaya yang kecil. Jumlah konsumen seperti ini bisa mencapai 3% hingga 5%. Perbuatan mencuri listrik ini, tidak hanya dilakukan oleh konsumen kelas bawah tetapi juga dilakukan oleh konsumen kelas atas juga.

Operator seluler juga kena tipu dari konsumen yang nakal ini. Mereka menjadi pelanggan pascabayar. Mereka menggunakan telepon dalam jumlah yang banyak dan kemudian tidak mau membayar. Setelah diputus, mereka akan pergi ke operator lainnya dan melakukan hal yang serupa. Kerugian akibat perilaku ini bisa mencapai puluhan miliar bagi operator yang besar. Di beberapa daerah, jumlahnya bisa mencapai 10% dari total pelanggan baru. Mereka juga berani untuk tidak membayar kartu kredit yang mereka gunakan. Tidak mengherankan. Bisnis debt collector bertumbuh subur di Indonesia. Perilaku seperti ini semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Perilaku negatif lainnya adalah merusak atau yang dikenal dengan vandalisme. Fasilitas umum di Indonesia, sangatlah sulit untuk dipelihara. Ini terjadi karena memang ada sebagian konsumen yang senang merusak. Mereka merusak pagar, tembok dan mereka merusak telepon umum dan fasilitas lainnya. Jumlah telepon umum yang rusak di Indonesia, bisa mencapai 10-30%. Ada beberapa daerah yang memiliki tingkat vandalisme yang lebih tinggi.

Pertunjukan musik dari band yang terkenal selalu menakutkan terutama kalau sudah mencapai puluhan ribu. Kerusakan pagar dan panggung, sering terjadi. Tidak jarang, pertunjukan band sering memakan korban hingga meninggal dunia. Sebuah tontonan yang ditonton oleh konsumen yang tidak tertib, egois, tidak mencintai lingkungan dan bertindak sebagai perusak.

Lalu, apa implikasinya buat perusahaan? Salah satu yang paling sulit untuk menghadapi tipe konsumen atau pelanggan seperti ini adalah perusahaan yang ingin meningkatkan kualitas pelayanan. Di satu sisi, mereka diminta untuk memperlakukan pelanggan sebagai raja dan di sisi lain, pelanggan seperti ini sudah pada tingkat merugikan. Saya yakin, perilaku dari jay customer inilah yang membuat banyak perusahaan kemudian apatis terhadap kualitas pelayanan.

Akibatnya, konsumen dan pelanggan yang baik, menjadi korban. Perusahaan kemudian cenderung curiga dan membuat proses menjadi berbelit-belit. Karena hanya sebagian kecil pelanggan yang suka mencuri, maka setiap pelanggan di ritel besar, selalu dicurigai isi tasnya. Petugas ritel Makro yang selalu mengecek barang, berpakaian layaknya petugas keamanan, saya yakin, membuat sebagian pelanggan merasa tidak nyaman dan tidak puas dengan pelayanan Makro.

Lantas, apa yang dapat dilakukan perusahaan? Pertama, untuk pelanggan yang termasuk jay customer seperti mencuri dan merusak, jawabannya sudah sangat jelas. Mereka tidak perlu menjadi target pelanggan. Mereka jelas tidak akan memberikan laba bagi perusahaan dengan cara apapun. Perusahaan akan lebih baik untuk menghindari. Oleh karena itu, kemampuan perusahaan untuk mendeteksi lebih awal, sangatlah membantu. Sekali lagi, perusahaan perlu mempersiapkan sistem informasi yang lebih baik dan terpadu.

Perbankan haruslah mampu membuat model untuk mendeteksi jay customer. Ini bisa dilakukan dengan membuat scoring system, sebuah cara yang lazim dilakukan untuk industri kartu kredit. Semakin baik model yang dibangun, semakin tinggi pula kemampuan perusahaan untuk mendeteksi jay customer. Perusahaan-perusahaan pembiayaan dapat mempelajari database, membuat model dan akhirnya dapat menggolongkan pelanggan berdasarkan tingkat risiko menjadi jay customer. Mereka yang sangat baik dan jauh dari perilaku seperti ini, dapat diberikan fasilitas pre-approve—artinya, setipe kredit yang diajukan, bisa langsung disetujui.

Menghadapi pelanggan yang tidak tertib, relatif lebih mudah. Mereka membutuhkan proses edukasi. Oleh karena itu, perusahaan perlu  menerapkan suatu sistem untuk mengedukasi mereka. Ini bisa dilakukan dengan membuat aturan yang lebih jelas dan yang penting dikomunikasikan. Semua aturan yang baik ini adalah untuk kepentingan pelanggan sendiri.

Bagi perusahaan, tantangannya adalah membuat peraturan yang tegas tetapi tidak menjadi perusahaan yang birokratis. Ini jelas pekerjaan yang tidak mudah. Kalau suatu restoran sering menghadapi kenyataan bahwa banyak ibu-ibu yang berbohong mengenai umur anaknya, lebih baik ubah kriterianya. Tidak perlu berdasarkan umur tetapi cukup dengan tinggi badan sebagai batas antara anak kecil dan dewasa.

Teknologi jelas merupakan perangkat yang ampuh menghadapi pelanggan yang tidak tertib dan jay customer. Ini akan menjadi cara ampuh untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Semua sistem yang serba manual, sudah pasti memberikan peluang yang besar bagi pelanggan untuk tidak tertib dan memberi kesempatan untuk bertindak seperti jay customer.

Handi Irawan D, Chairman Frontier Consulting Group

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.