
Di tengah dunia yang semakin sadar akan isu keberlanjutan, merek-merek lokal ini membuktikan bahwa masa depan industri kecantikan dan fashion tidak harus bertentangan dengan kelestarian alam.
Marketing.co.id – Berita UMKM | Di balik setiap botol skincare alami dan lembar kain tenun yang menawan, tersimpan kekuatan luar biasa dari komunitas lokal di pelosok nusantara. Bukan sekadar tren, brand-brand lokal ini hadir membawa misi yang jauh lebih besar: mempercantik tanpa melukai bumi.
Industri fashion dan kecantikan selama ini menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat bahwa sektor ini menyumbang 8 hingga 10% dari total emisi global, lebih tinggi daripada gabungan industri penerbangan dan pelayaran. Di tengah krisis iklim dan gelombang greenwashing yang kian marak, sejumlah merek lokal Indonesia justru menghadirkan harapan baru lewat praktik bisnis yang berakar pada kearifan lokal dan keberlanjutan.
Sabun dari Lahan Banjir yang Pulih
Salah satu contoh nyata datang dari Desa Pulu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Pasca banjir bandang, warga desa tidak hanya bangkit untuk memperbaiki kehidupan mereka, tetapi juga melahirkan inovasi bisnis lewat Tumbavani, sebuah brand sabun sereh wangi berbahan dasar minyak atsiri lokal.
“Sabun ini bukan hanya soal kebersihan, tapi tentang bagaimana komunitas kami pulih dari bencana dan menjaga lingkungan,” ujar Nedya Sinintha Maulaning, Ketua Gampiri Interaksi Lestari. Melalui kolaborasi dengan BUMDes dan dukungan Mercy Corps Indonesia, Tumbavani menjadi lebih dari sekadar produk—ia menjadi simbol ketahanan dan keberlanjutan.
Skincare Kalimantan yang Ramah Kulit dan Alam
Dari hutan Kalimantan Barat, lahir brand kecantikan Arcia. Dengan memanfaatkan kekayaan alam seperti tengkawang, kemiri, lidah buaya, dan kelapa murni, Arcia menciptakan produk-produk skincare bebas bahan kimia sintetis.
“Kami ingin membuktikan bahwa produk yang aman bagi manusia juga bisa aman bagi bumi,” kata pendiri Arcia, Yenni Angreni. Tidak hanya ramah lingkungan, Arcia juga menawarkan inovasi seperti sabun dan sampo batangan yang praktis dan minim limbah, hingga kemasan yang bisa didaur ulang bank sampah.
Aroma Hutan Bali dalam Botol
Siapa sangka, minyak atsiri bisa menjadi jembatan antara konservasi hutan dan industri kecantikan. Itulah yang dilakukan Foresta, brand minyak atsiri asal Bali yang dikembangkan perusahaan sosial Conservana.
Dengan bahan baku dari sistem agroforestri ramah lingkungan, Foresta tak hanya menjual produk dengan aroma menenangkan, tetapi juga menyematkan sertifikasi Wildlife Friendly yang menjamin bahwa seluruh proses produksi tidak merusak habitat satwa liar.
“Kami ingin setiap tetes minyak membawa pesan bahwa Anda bisa merawat diri tanpa merusak ekosistem,” tegas Eka Maulana Nugraha Putra, Business Director Conservana.
Tenun Dayak Iban, Warisan yang Bertransformasi
Dari Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, tenun ikat Dayak Iban membuktikan bahwa tradisi bisa beradaptasi dengan zaman. Jika dulu warna-warna tenun terbatas pada merah bata atau hitam, kini palet warna meluas ke biru, hijau sage, pink, hingga kuning mustard berkat eksplorasi pewarna alami.
“Setiap helai benang membawa cerita, tentang perempuan Dayak yang berdaya, mandiri, dan bangga pada identitas budaya mereka,” tutur Hardiyanti, peneliti Mahakarya Tenun. Selain menjadi sumber penghidupan, tenun ini juga menjadi simbol perlawanan terhadap budaya konsumtif yang merusak lingkungan.
Tas Noken Papua, Dari Warisan Menjadi Tren
Ki.Basic, brand asal Papua, mengubah persepsi tentang noken, tas rajut dari serat kulit kayu yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO. Lewat desain yang kekinian, noken kini tidak hanya hadir dalam bentuk tradisional, tapi juga tampil dengan warna-warna cerah dan model yang lebih modern.
“Setiap noken dirajut dengan cinta, dan setiap seratnya bercerita tentang ketahanan budaya dan kelestarian alam Papua,” ujar Naomi Waisimon, Co-Owner Ki.Basic.
Kulit Kayu Jadi Aksesori Fashion
Dari Sulawesi Tengah, kelompok usaha di dataran tinggi Kulawi menghadirkan dompet dan tas dari kain berbahan dasar kulit kayu nunu atau ivo. Teknik yang diwariskan secara turun-temurun ini kini dikembangkan menjadi produk fesyen bernilai ekonomi tinggi.
“Lewat inovasi ini, kami ingin kain kulit kayu tidak hanya dikenal sebagai simbol budaya, tapi juga jadi tren yang mendukung keberlanjutan,” jelas Nedya.
Apa yang ditawarkan Tumbavani, Arcia, Foresta, Mahakarya Tenun, Ki.Basic, dan komunitas Kulawi adalah lebih dari sekadar produk fashion atau kecantikan. Ini adalah cerita tentang perlawanan terhadap krisis iklim, tentang perempuan yang berdaya, dan tentang bagaimana kita semua bisa memilih gaya hidup yang tidak hanya membuat kita tampil cantik, tetapi juga turut menjaga bumi.