Evaluasi Inovasi Pascapandemi: Kultural atau Struktural? (3)

[Reading Time Estimation: 2 minutes]

Marketing.co.id – Di artikel Bagian 2 sudah dibahas perumpamaan faktor struktural sebagai elemen-elemen yang dapat menentukan naik turunnya temperatur air. Bagaimana mengatur agar temperatur air dapat turun tetapi tidak sampai beku seperti es dan dapat naik tetapi tidak sampai menguap? Dalam artikelnya di Harvard Business Review edisi Mei 2019, Safi Bahcall mengibaratkan temperatur optimum itu sebagai M yang berusaha untuk terus ditingkatkan, dimana M tergantung dari 4 variabel, seperti pada rumus berikut:

[E = equity fraction, S = span of control, F = Fitness Ratio, dan G = Growth of Salary]

Yang dimaksud dengan E adalah seberapa besar porsi kesuksesan sebuah inovasi yang diberikan kembali kepada para staf yang berkontribusi pada inovasi tersebut. E dapat dibuat besar dengan cara memberikan reward, recognition, bonus, dan berbagai bentuk apresiasi lainnya kepada para staf inovatif. Jika E membesar maka M akan meningkat. Sebaliknya jika tidak ada apresiasi yang cukup, berarti E mengecil, maka M juga turun.

Berikutnya adalah S. Semakin banyak jumlah layer di dalam perusahaan, maka jangkauan supervisi (span) dari seorang pimpinan menjadi kecil. Perusahaan yang birokratis membuat S menjadi kecil, sehingga M turun drastis (ditandai dengan besaran kuadrat pada formula). Staf akan lebih sibuk memikirkan cara untuk naik jabatan daripada memikirkan dan menghasilkan inovasi. Sebaliknya perusahaan yang lean, tidak berlapis-lapis layer-nya, S akan meningkat, dan M akan naik tajam.

Bagaimana dengan F? F sendiri adalah sebuah rasio antara kompetensi karyawan dalam menghasilkan inovasi dengan ruang untuk melakukan lobi dan politik internal. F dapat dibuat menjadi besar (agar M meningkat) dengan cara meningkatkan keterampilan karyawan (sehingga mereka produktif dalam berinovasi) dan mengurangi ruang lobi dan politik internal (perusahaan tidak memberi peluang untuk promosi jabatan dengan semata bermodal kedekatan alias KKN). Bayangkan jika staf banyak yang tidak kompeten tetapi dibarengi adanya peluang naik jabatan karena ada koneksi dengan pimpinan, maka F akan kecil, dan akibatnya M turun.

Yang terakhir adalah G. Jika disparitas gaji antara satu level dengan level lainnya cukup besar (misalnya gaji manajer 2 atau 3 x lipat dari asisten manajer), G berarti besar, maka si asisten manajer akan berusaha keras untuk bisa naik jabatan. Fokus si asisten manajer tidak lagi kepada bagaimana ia dapat berkontribusi pada inovasi, tetapi pada kenaikan gaji. Bisa jadi setelah ia berhasil naik gaji, motivasinya untuk berinovasi langsung turun drastis karena sudah cukup puas dengan gajinya yang baru. Jadi, G yang membesar mengakibatkan M turun.

Kita akan bahas contoh-contoh penerapan formula struktural di atas pada berbagai perusahaan, di artikel berikutnya.

 

Asnan Furinto

Marketing Scientist and Strategist
Dosen Program DRM, Bina Nusantara University

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here