Marketing.co.id – Berita Marketing | Melalui pengamatan dekat di lapangan dan berbekal informasi dari berbagai sumber, Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk Adrian Panggabean, melihat (paling tidak) ada enam perubahan dalam pola perilaku masyarakat Indonesia – yang mana perubahannya berpotensi menjadi permanen.
Pertama, perilaku menabung dan tingkat tabungan. Dimata masyarakat umum, situasi pandemi Covid-19 kemungkinan besar masih akan berlangsung lama — paling tidak sampai 2022. Persepsi ini terutama dipengaruhi oleh terbatasnya laju kecepatan vaksinasi (inoculation rate) yang berimplikasi pada lambatnya proses pembentukan herd-immunity, yang pada gilirannya menyebabkan rumah tangga mengalokasikan lebih besar pendapatannya untuk ditabung atau diinvestasikan sebagai mekanisme berjaga-jaga.
They need more umbrellas in stock, in case the rainy season turns out to be much longer. Akibatnya, tingkat kecenderungan mengkonsumsi (propensity to consume) telah bergeser ke bawah. Mungkin sudah permanen. Untuk merumuskan kebijakan ekonomi yang akurat, tentunya diperlukan riset kuantitatif untuk mengukur seberapa jauh pergeseran kecenderungan konsumsi telah terjadi.
Baca juga: Industri Ritel Modern ASEAN: Konsumsi Makanan Alami Pergeseran
Kedua, perilaku DIY (do it yourself) telah tercipta di banyak bentuk aktivitas sehari-hari, utamanya sebagai konsekuensi dari upaya menghindari interaksi fisik.
Ketiga, transaksi digital telah menjadi rutinitas sehari-hari sehingga pertumbuhan transaksi digital telah terakselerasi (jauh) lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.
Keempat, kebutuhan akan air bersih dan peralatan higienis (clean waterand hygiene) telah meningkat tajam. Naik tingginya konsumsi air bersih perkapita serta permanennya perilaku ini akan menyebabkan permintaan yang sangat tinggi terhadap penyediaan infrastruktur dan distribusi air bersih. Padahal kita tahu, penyediaan air bersih adalah masalah kronis (dan akut) di seluruh wilayah Indonesia.
Kelima, fenomena WFH, SFH dan social distancing, telah memunculkan kebutuhan akan desain rumah/ ruangan yang berbeda. Yaitu ruang yang mampu mengakomodasi kebutuhan sekolah anak, pekerjaan orangtua, dan istirahat keluarga pada saat yang bersamaan. Ini adalah tantangan intelektual dan kreativitas. Di tataran publik, fenomena social distancing telah memunculkan kebutuhan akan ruang/fasilitas publik yang memberikan jarak/sirkulasi aman. Bahkan sudah mengental kebutuhan akan bentuk packaging produk yang dinilai “aman penyebaran virus”.
Baca juga: Tips Jadikan New Normal dan WFH Produktif
Keenam, naik tajamnya kesadaran akan kesehatan dan hidup sehat (health and wellness). Implikasinya: besarnya kebutuhan masyarakat akan fasilitas kesehatan yang (a) memadai secara kuantitas, (b) memuaskan secara kualitas, dan (c) dengan biaya yang terjangkau (affordable health service).
Hal ini mengisyaratkan dibutuhkannya reformasi fundamental di sektor kesehatan, mencakup jasa-jasa turunannya seperti tata niaga obat-obatan, prosedur layanan kesehatan, serta mekanisme pembiayaan layanan kesehatan. Paling tidak selama dua dekade terakhir, setiap tahun masyarakat dihadapkan dengan laju kenaikan biaya kesehatan yang secara rata-rata 2,5 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding kenaikan upah atau kenaikan inflasi. A yawning gap between the price of health care and people’s affordability. Dan fenomena ini diduga terjadi sebagai konsekuensi dari bentuk tata niaga struktur pasar di sektor kesehatan, yang telah berlangsung sangat lama. Ini adalah domain mikroekonomi (welfare improvement), bukan domain makroekonomi (national income determination). Sehingga membutuhkan desain kebijakan yang sangat rinci dan dukungan politik yang sangat kuat.
Sumber: Economics Note, “Prospek Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di Tahun 2021”
Marketing.co.id: Portal Berita Marketing & Berita Bisnis