E-money, Pasar Indonesia Dikuasai The Big Three

Pemain e-money papan atas memiliki lahan transaksi andalan yang tidak dipunyai pemain lain. Itu sebabnya cuma ada tiga pemain besar di industri ini. Namun, TCash sebagai salah satu the big three tidak ingin hanya puas di transaksi pulsa dan data.

emoney
Dan Wicaksana, CEO Tcash. (Foto: Lia)

Bisnis e-money berbasis server (server-based) tengah menggeliat akhir-akhir ini. Ada tiga pemain besar yang agresif mengembangkan pasarnya: satu dari perusahaan telko yakni TCash, dan dua dari perusahaan OTT (over the top), yakni Go-Pay dan OVO.

Makin maraknya e-money berbasis server di Indonesia tentu tak lepas dari tren global di industri e-money. Menurut Danu Wicaksana, CEO TCash, di seluruh dunia pengembangan e-money mengarah ke server-based. Hal ini dikarenakan e-money berbasis server memiliki beberapa keunggulan dibandingkan e-money berbasis kartu (chip).

Dua jenis e-money tersebut memang menawarkan transaksi yang aman, nyaman, bebas uang palsu dan uang kembalian. Namun, e-money berbasis server punya keunggulan lebih, karena semua data transaksi terekam. “Data transaksi ini berguna untuk customer karena dapat memantau pengeluaran belanja, berguna juga untuk merchant dan pemerintah,” tutur Danu.

Dengan data rekam transaksi, pengelola e-money berbasis server dapat merancang program CRM (customer relationship management) yang cocok untuk customer, misalnya berbagai program promo. Sebaliknya, transaksi melalui e-money berbasis kartu tidak terekam karena pada kartu tersebut tidak tercantum nama pemilik. Kelemahan lain e-money kartu adalah soal security. “Misalnya kartu hilang uangnya ikut hilang, karena uang tersimpan di kartu,” tutur Danu.

Jika kita bicara transaksi andalan (anchor use case), Go-Pay dan OVO bersaing ketat. Kebetulan dua e-money ini bermain di anchor use case sejenis, yakni sama-sama mengandalkan transaksi transportasi online. Go-Pay dimiliki Go-Jek dan aplikasi OVO secara eksklusif menjadi payment gateway Grab.

e-Money memang harus punya anchor use case atau use case utama. Go-Jek dan Grab agak langka, karena kalau kita lihat di negara lain seperti Eropa, China, India, Kenya, dan Zimbabwe tidak ada yang anchor use case-nya dari ojek online, sehingga kita tidak mungkin membandingkan TCash dengan Go-Pay atau OVO,” bebernya.

Lebih jauh Danu mengatakan, TCash bertumbuh dalam lingkungan yang berbeda dari Go-Pay dan OVO. TCash, yang merupakan bagian dari Telkomsel, sangat mengandalkan transaksi pembelian pulsa dan data. Apa yang dilakukan T-Cash bukan tanpa benchmarking atau contoh sukses di luar negeri. Danu menyebut contoh sukses e-money berbasis server M-Pesa di Kenya dan Paytm di India. Dua e-money ini sangat sukses dengan penjualan pulsa dan data internet.

“Mungkin Anda bertanya, Go-Pay atau OVO bisa jual pulsa dan data juga. Benar, tapi ini ibaratnya penjual nasi gorenglah yang paling tahu berapa harga nasi goreng. Begitu juga dengan pulsa dan data, karena ‘pabriknya’ di kami, kami paling tahu harganya. Hopefully kami bisa lebih compete di situ. Tapi ini hanya permulaan, makanya harus ditambah dengan transaksi lain seperti Blue Bird,” terang Danu.

Regulator Tentukan Arah Industri

Danu mengatakan, Bank Indonesia selaku regulator e-money di Indonesia mendorong pelaku industri e-money menganut open system policy. Dengan kata lain, pelaku jangan bersikap eksklusif dan mesti mau membuka diri dengan platform e-money lain. Karena itu, dia memprediksi ke depan, e-money seperti Go-Pay atau OVO akan membuka diri dengan e-money lain.

“Karena buat mereka (Go-Pay dan OVO) tergantung tujuan monetisasinya. Apakah menuju ke data analytic, advertising, atau lainnya. Jika tujuannya untuk mendapatkan iklan, mereka akan lebih senang kalau TCash juga bisa masuk, karena dapat data tambahan,” tuturnya.

Prediksi Danu bukan tanpa preseden. Dia memberi contoh ketika pelaku e-money berlomba-lomba memperbanyak QR Code di berbagai merchant secara eksklusif. Tak tahunya BI menetapkan standardisasi bahwa semua QR Code harus dapat menerima semua e-money. “Kami sangat mendukung open market, kami pun tidak pernah menuntut merchant harus eksklusif dengan kami saja. Kecuali merchant yang minta,” jelas dia.

Danu mengungkapkan, saat ini jumlah pengguna terdaftar (registered users) TCash sekitar 25 juta dengan jumlah merchant lebih dari 75.000. Dari sekitar 25 juta pengguna terdaftar, jumlah pengguna layanan full service sudah mencapai 5 juta lebih. Sisanya masih pengguna layanan basic service. Perlu kerja esktra keras bagi TCash untuk mencapai pengguna full service di angka 10 juta, karena ada regulasi dari BI yang mengharuskan proses KYC (know your customer) tatap muka untuk layanan full service.

TCash sudah melakukan berbagai ekspansi untuk memperluas use case antara lain mendigitalisasi transaksi di ‘pasar becek’ atau pasar yang menjual sayur mayur, buah, dan ikan di Pasar Modern Bintaro dan Pasar Mayestik Kebayoran Baru. Di dua pasar tersebut pembeli bisa membayar dengan TCash. TCash juga telah menjalin kerja sama dengan Blue Bird untuk transaksi pembayaran di armada Blue Bird.

Rencana terbaru, dengan menggandeng SingTel, TCash akan masuk Singapura. Nantinya untuk beberapa transaksi seperti taksi, pengguna yang sedang bepergian ke Singapura bisa membayar dengan TCash. “TCash harus membuktikan diri sebagai regional e-money,” tuturnya mengenai rencana ekspansi ke Singapura.

Menyoal persaingan antara Go-Pay dan OVO, menurutnya ke depan akan terjadi konsolidasi. Konsolidasi terjadi karena beberapa faktor, antara lain banyaknya pengemudi yang double job (menjadi mitra pengemudi di Go-Jek dan Grab), banyaknya merchant yang overlap (jadi merchant Grab sekaligus merchant Go-Jek), dan rendahnya loyalitas customer.

Danu mengklaim di kalangan industri telko, saat ini TCash menjadi market leader. Karena perusahaan telko yang sebelumnya memiliki e-money, saat ini praktis sudah tidak fokus lagi mengembangkannya. “Pasar sudah dikuasai big three yakni Go-Pay, OVO, dan TCash. Pemain lain yang ingin masuk ke level ini membutuhkan investasi sangat besar,” tuturnya.

Di masa depan, potensi pasar e-money berbasis server masih sangat terbuka lebar. Faktor pendorongnya antara lain masih banyaknya lahan transaksi yang bisa dimasuki, penetrasi internet dan smartphone yang kian meluas, dan konsumen yang makin teredukasi. “Cuma tantangannya, kita jangan hanya masuk ke masyarakat kelas atas yang sudah memiliki e-money, tapi juga masuk ke masyarakat menengah-bawah yang belum menggunakan e-money,” pungkas Danu.

Tony Burhanudin

MM.11.2018/W

 

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.