Arogansi Merek

Apa yang Anda pikirkan tentang judul itu? Tentu beragam makna muncul di benak Anda. Brand arrogance (arogansi merek) bisa saja diartikan sebagai kesombongan merek, merek yang sangat berlebihan dalam mencitrakan dirinya, merek yang merasa lebih baik dan menganggap enteng merek lain. Inilah yang menjadi penyebab runtuhnya kejayaan merek-merek besar.

Gampangnya, dalam drama Yunani kuno, arogansi atau hubris adalah “tragic flaw” yang membawa kejatuhan orang-orang besar pada masa itu. Brand arrogance timbul akibat terlalu percaya kepada kejayaan masa lampau tanpa memerhatikan persepsi konsumen masa kini. Padahal, bukan tidak mungkin citra merek di mata konsumen mengalami kemunduran.

Semestinya, pada fase stagnasi seperti itu, marketer harus merevitalisasi atau merejuvenasi mereknya. Tetapi, pada kenyataannya, banyak marketer yang cenderung memuji diri sendiri, selalu membicarakan kesuksesan yang sudah usang, dan menganggap saat ini mereka masih seperti yang dulu. Mereka lupa bahwa merek-merek lain telah “lepas landas” dan melampaui posisinya.

Kita ingat akan kesuksesan Alfred P Sloan yang membawa General Motors (GM) hingga mencapai puncak kejayaannya. Di tangan Alfred, GM berhasil meraih kepercayaan konsumen dan mampu mengalahkan semua pesaing. Sayangnya, kemenangan itu membuat GM arogan.

Kesalahan fatal terjadi ketika mereka menghadapi invasi otomotif Jepang pada era 1970–1980-an. Kala itu, GM menganggap remeh merek-merek asal Negeri Sakura. Bahkan, GM mengizinkan diler-dilernya bebas menjual mobil-mobil merek Toyota, Honda, juga Nissan. Tidak ketinggalan, kesempatan yang sama juga diberikan kepada merek-merek Eropa, salah satunya Volkswagen, yang sebelumnya cuma menjadi pemain ceruk.

GM telah salah melangkah dengan memberikan keunggulan kompetitifnya ke pihak lawan. Penyebabnya, GM merasa lebih besar dan unggul. Tak disangka, kesombongan itu membawa petaka. Merek-merek Jepang berhasil memakan market share cukup besar yang dimiliki GM sebelumnya.

Contoh lain, betapa arogannya Microsoft yang melupakan Google sehingga search engine ini bebas berkembang. Kini, Google menjadi merek raksasa dunia, sedangkan search engine yang diusung Microsoft tak terlalu dikenal banyak pengguna internet di dunia. Google menjadi merek yang lebih mahal harganya daripada produk Microsoft dalam hal ini.

Di dalam negeri, industri sepeda motor menjadi contoh yang menggelikan. Bagaimana mungkin market share Honda bisa dicuri Yamaha, merek yang satu dasawarsa lalu berada jauh di bawah Suzuki. Honda terlalu angkuh dengan keperkasaannya. Ia asyik dengan keberhasilan dan persepsi konsumen tempo dulu.

Sementara Yamaha, dengan mengusung tagline “Semakin di Depan”, benar-benar semakin di depan. Merek yang menggandeng Valentino Rossi sebagai brand ambassador-nya ini lebih berani berinovasi dan lebih memerhatikan keinginan konsumen masa sekarang. Baik produk maupun iklannya sama-sama kreatif sehingga disukai pasar. Sementara, Honda masih berkutat pada kehendaknya sendiri. Arogansi merek bisa timbul akibat ulah para shareholder, karyawan atau bahkan para perantara mereka. Kita mensinyalir bahwa salah satu penyebab timbulnya arogansi merek Honda adalah karena arogansi dari para main dealer mereka yang tetap berperang dengan pola pikir dan pola kerja lama, padahal perubahan pola pikir dan pola kerja sudah harus dilakukan.

Parahnya, disinyalir bahwa top management Honda bahkan menganggap kekalahan penjualan dalam satu, dua, atau tiga bulan semasa dua tahun terakhir bukan sebuah kesalahan fatal. Padahal, dalam pemasaran, kekalahan satu hari bahkan  satu detik pun tetap menjadi masalah. Rupanya Honda bersikukuh dengan kebesaran mereknya. Ia cenderung arogan dan tak mau mengakui kekeliruannya.

Kita juga tahu betapa kokohnya Fuji Film di pasar film kamera di Indonesia 10–20 tahun lalu. Kekuatannya seolah-olah tak bisa tertandingi. Tetapi, mereka tak mau mengantisipasi perubahan yang mungkin terjadi. Akhirnya, di tengah gempuran teknologi kamera digital, Fuji Film harus berlapang dada menyerahkan pangsa pasarnya ke banyak pemain cuci cetak digital.

Sony apalagi. Merek Jepang ini belakangan semakin tak ada gaungnya di Indonesia, terutama setelah pabriknya hengkang dari negeri kita. Bahkan, produk televisi yang menjadi andalannya pun sekadar diketahui pasar. Pasar lebih memilih merek lain yang lebih murah dan tetap berkualitas. Ini akibat ulah Sony yang “mati-matian” menjunjung tinggi mereknya dan ternyata tidak bisa memaksa pasar untuk memilihnya. Market telah berubah ke arah “value market” dan pemain Korea sudah merajai industri elektronik di Indonesia, sehingga pemain-pemain sekelas Sharp diharapkan tidak melanjutkan arogansi merek mereka.

David dan Goliath

Barangkali Anda tidak lupa dengan cerita David mengalahkan Goliath. David yang lebih kecil mampu mengalahkan Goliath yang raksasa. Begitu juga dengan merek, tidak mustahil merek besar ditaklukkan oleh merek yang sebelumnya kecil dan dianggap remeh. Buktinya, Goliath kalah dengan David.

Biasanya, brand arrogance timbul karena merek tersebut menjadi pionir dan merasa tidak ada yang dapat menirunya. Merek tersebut menganggap dirinya lebih cerdik ketimbang merek lain. Ini terjadi setelah sekian lama sebuah merek menikmati kesuksesan dan menancapkan kesuksesan itu secara mendalam dalam jiwa perusahaan.

Merek tersebut menjadi semakin gemuk dan sulit bergerak, selalu merasa tetap berada di atas puncak gunung es. Padahal, seiring berjalannya waktu, gunung es itu telah mencair tanpa disadari. Ironisnya, marketer baru tergugah setelah gunung es itu sudah lebih pendek daripada yang lain. Market share-nya semakin berkurang karena terkikis oleh merek kompetitor.

Oleh sebab itu, marketer harus bisa menjaga mereknya agar tidak masuk ke dalam lubang brand arrogance. Lakukanlah perbaikan internal, misalnya dengan mengubah sifat arogansi para manajernya. Untuk urusan eksternal, garaplah customer insight dan competition insight dengan baik agar mampu menciptakan strategi dan taktik pemasaran yang semakin menguatkan brand value. Janganlah arogan! (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here